Senin, 18 Oktober 2010

Sastra Itu Api: Pidato Mario Vargas Llosa 1967

"La literatura es fuego", pidato Mario Vargas Llosa saat menerima hadiah sastra Premio Rómulo Gallegos pada 11 Agustus 1967 di Caracas, Venezuela, atas novel keduanya La casa verde. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari kumpulan esai Contra viento y marea Vol. I (Barcelona: Seix Barral, 1986).

Catatan penerjemah: Saat mengucapkan pidato ini, Mario Vargas Llosa masih mencanangkan diri “sosialis” dan mendukung Revolusi Kuba, dan juga masih berteman dengan Gabriel García Márquez. Karena itulah pidato ini masih menyebut-nyebut ideal “sosialisme” dan merujuk ke salah satu karakter ciptaan García Márquez, Kolonel Aureliano Buendía. Peralihan ideologis Vargas Llosa berlangsung berangsur-angsur mulai 1970-an, terutama setelah pengakuan di bawah paksaan para penulis Kuba seperti Heberto Padilla dan César López, yang menurut Vargas Llosa “bukanlah spontan, tapi direkayasa seperti pengadilan Stalinis tahun ‘30-an.” Hal ini membuatnya berpisah jalan dengan banyak kawan lamanya termasuk García Márquez. Persahabatan mereka benar-benar bubar setelah keduanya adu jotos di sebuah gedung bioskop di Mexico City. Keduanya tak pernah bertegur sapa lagi dan hanya terhubung melalui teman bersama mereka, Carlos Fuentes. Namun demikian, sekalipun ideologi politik Vargas Llosa bergeser, bisa dibilang keyakinannya tentang fungsi sosial sastra tidak, dan justru mengalami pematangan dalam esai-esainya dari periode kekaryaannya yang selanjutnya.


Gabriel García Márquez dan
Mario Vargas Llosa
saat masih berteman 
Kurang lebih 30 tahun lalu, seorang pemuda yang telah membaca dengan penuh semangat tulisan-tulisan perdana Breton, wafat di Pegunungan Sevilla, di sebuah rumah sakit amal, penuh luapan amarah. Ia wariskan pada dunia selembar kaus berwarna serta “Cinco metros de poemas” (“Lima Meter Puisi”) yang memiliki kepekaan visioner luar biasa. Pemuda ini punya nama yang nyaring lagi merdu, santun, dan setengah priyayi, namun hidupnya serba tak pasti, sangat tidak berbahagia. Di Lima ia orang udik yang kelaparan, seorang pemimpi yang tinggal di kampung kumuh Mercado dalam sebuah saung tanpa penerangan. Dan tatkala pergi ke Eropa, tanpa seorang pun tahu mengapa, ia diciduk dari kapal di Amerika Tengah, dibui, disiksa dan dibiarkan menggeletak demam. Dan sesudah wafatnya, kemalangannya yang tak kenal iba belum berakhir, bahkan mencapai taraf sempurna: meriam-meriam Perang Saudara Spanyol menghapus nisannya dari muka bumi, dan sesudah bertahun-tahun, waktu telah menghapus ingatan akannya dalam benak orang-orang yang cukup beruntung bisa mengenal atau membaca­nya. Saya tak kaget bila tikus-tikus menaruh minat pada eksemplar-eksemplar buku dia satu-satunya yang terpendam dalam perpustakaan-perpustakaan yang tidak dikunjungi siapa-siapa, dan puisi-puisinya, yang kini tidak dibaca oleh siapa-siapa, dengan lekas berubah “jadi uap, jadi hawa, tak jadi apa-apa” seperti kaus merang terang yang ia beli untuk mati itu. Padahal, kompatriot saya ini seorang yang sungguh ajaib, penyihir kata, arsitek imaji yang berani, pengarung mimpi yang berkilau, pencipta yang rinci dan keras kepala yang mempunyai cukup kejernihan dan kegilaan untuk menjalankan kerja kepenulisannya sebagaimana mestinya: sebagai pengorbanan harian dan mati-matian.

Saya panggil ke sini, malam ini, bayang-bayang nokturnalnya yang sembunyi untuk merecoki pesta saya sendiri, pesta yang terwujud berkat kemurahan hati Venezuela sekaligus nama kondang Rómulo Gallegos, karena penghargaan terhadap novel saya melalui hadiah yang menakjubkan ini, yang dianugerahkan oleh Institut Budaya dan Seni Rupa Nasional sebagai stimulus dan tantangan bagi para novelis berbahasa Spanyol serta sebagai penghormatan kepada seorang pencipta besar Amerika, bukan cuma mengisi diri saya dengan rasa syukur terhadap Venezuela, namun juga memperkuat tanggung jawab saya sebagai seorang penulis. Dan penulis, seperti Anda ketahui, adalah tukang recok abadi. Bayangan diam-diam Oquendo de Amat di sini, di samping saya, harus mengingatkan kita semua –terutama orang Peru satu ini yang Anda renggut dari Kangaroo Valley, London, boyong ke Caracas dan Anda hujani dengan persahabatan dan penghormatan—akan nasib muram yang menimpa, dan masih banyak menimpa, para pencipta di Amerika Latin. Memang benar tidak semua penulis kita mengalami ujian yang seekstrem Oquendo de Amat; ada yang berhasil menundukkan rasa permusuhan, ketidakacuhan, penghinaan dari negara-negara kita terhadap sastra lantas menulis, menerbitkan, bahkan dibaca. Memang benar tidak semua orang bisa dibunuh oleh kelaparan, ketidakacuhan, atau ejekan. Tapi yang beruntung ini sebuah perkecualian. Umumnya, penulis Amerika Latin hidup dan menulis dalam lingkungan yang sungguh sulit, sebab masyarakat kita telah memapankan mekanisme membekukan yang hampir sempurna untuk menjegal dan mematikan panggilan hidupnya. Panggilan ini indah, namun juga mencengkeram dan tiranik, menuntut dari para pemeluknya pengabdian seutuhnya. Bagaimana bisa penulis-penulis ini menjadikan sastra sebagai takdir, sebagai militansi, di tengah mayoritas orang yang tidak bisa membaca atau tidak mampu membeli buku, atau minoritas yang bisa namun tidak suka membaca? Tanpa penerbit, tanpa pembaca, tanpa lingkungan budaya yang merangsang dan menuntutnya, penulis Amerika Latin adalah orang yang berangkat berperang dengan tahu sejak awal bahwa ia akan kalah. Kerjanya tidak dipandang oleh masyarakat, nyaris tidak ditolerir; tak ada cara buat menyambung hidup, dan ia pun menjadi produsen rendahan, ad honorem. Penulis di negara-negara kita harus jungkir balik, memisahkan kerjanya dari mata pencaharian sehari-hari, membelah dirinya dalam ribuan kerja yang menyita waktu yang dibutuhkan untuk menulis dan seringkali bertentangan dengan keyakinan dan hati nuraninya. Sebab, selain tak menemukan ruang dalam hati mereka bagi sastra, masyarakat kita terus mendorong syak wasangka terhadap makhluk marjinal yang rada anonim ini, yang bersikeras –dengan melawan segala logika—untuk menekuni sebuah profesi yang terlihat hampir tak-nyata dalam konteks Amerika Latin. Atas alasan itulah lusinan penulis kita jadi frustrasi dan mencampakkan kerja mereka atau mengkhianatinya, bertindak setengah hati dan sembunyi-sembunyi, tanpa tekad dan tanpa ketegaran.

Tapi memang benar bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini keadaan mulai berubah. Perlahan-lahan merayapi negeri kita iklim yang lebih ramah bagi sastra. Sirkulasi buku mulai meningkat, kaum borjuis menyadari bahwa buku ada gunanya, bahwa para penulis bukan sekadar si gila yang halus budinya, bahwa mereka punya peran dalam masyarakat. Tapi kemudian, ketika keadilan mulai berlaku bagi penulis Amerika Latin, atau tepatnya, ketika ketidakadilan yang membebaninya mulai terangkat, ancaman lain bisa timbul, mara bahaya yang subtil mengerikan. Masyarakat yang sama yang dulu pernah mengucilkan dan menolak penulis, sekarang bisa berpikir bahwa ada faedahnya untuk mengasimilasi dia, mengintegrasikan dia, menganugerahinya semacam status resmi. Oleh sebab itu, penting untuk mengingatkan masyarakat kita akan apa yang akan mereka dapatkan. Ingatkan mereka bahwa sastra itu api, yang berarti perbedaan pendapat dan pemberontakan, bahwa alasan keberadaan seorang penulis adalah protes, konfrontasi, serta kritik. Jelaskanlah bahwa tidak ada jalan tengah: entah masyarakat harus menindas kecakapan manusia yang berupa kreasi artistik dan mengenyahkan selamanya elemen sosial yang sukar dikendalikan itu, sang penulis, atau sebaliknya merengkuh sastra, yang artinya mereka tak punya alternatif selain menerima arus serangan yang tiada henti, ironi dan satir yang ditujukan baik kepada aspek-aspek hidup yang sementara maupun yang hakiki, dari puncak ke dasar piramida sosial. Begitulah keadaannya dan tak ada jalan keluar: penulis, dulu, sekarang, dan akan terus merasa tidak puas. Tak seorang pun yang merasa puas bisa menulis. Tak seorang pun yang sepakat atau berdamai dengan kenyataan mampu melaksanakan ketololan ambisius untuk menciptakan realitas verbal. Panggilan sastra lahir dari ketidaksepakatan seorang manusia dengan dunia, intuisinya akan kekurangan, perbedaan, dan penderitaan di sekitarnya. Sastra adalah pemberontakan permanen dan tidak bisa menerima jaket pengekang. Upaya apapun untuk membelokkan wataknya yang pemberang, pemberontak, ditakdirkan gagal. Sastra bisa mati tapi takkan pernah bisa kompromi.

Hanya dalam kondisi ini sastra bisa berguna bagi masyarakat. Ia bersumbangsih dalam pembangunan kemanusiaan, mencegah stagnasi spiritual, rasa puas-diri, kejumudan, kelumpuhan, kemerosotan intelektual atau moral. Misinya adalah untuk membangkitkan, mengganggu, menggelisahkan, untuk membuat manusia berada dalam kondisi ketidakpuasan konstan dengan dirinya sendiri. Fungsinya adalah untuk mendorong, tanpa kenal henti, hasrat akan perubahan dan perbaikan, sekalipun diperlukan senjata-senjata tertajam guna menunaikan tugas ini. Penting bagi tiap orang untuk memahami soal ini sekaligus: makin kritis tulisan-tulisan seorang penulis menentang negaranya, makin intens gairah yang mengikat dia ke negara tersebut. Sebab dalam ranah sastra, kekerasan adalah bukti cinta.

Realitas benua Amerika, tentu saja, menawarkan kepada penulis terlampau banyak alasan buat memberontak dan merasa tak puas. Dalam masyarakat di mana ketidakadilan adalah hukum, surga kebodohan, eksploitasi, ketimpangan yang mencolok mata, kemelaratan, alienasi ekonomi, budaya, dan moral, tanah kita yang kacau balau menyuguhkan bagi kita bahan-bahan untuk dikuak dalam karya fiksi, secara langsung maupun tak langsung, lewat fakta, impian, pengakuan, kiasan, mimpi buruk, atau penampakan bahwa realitas ini dibikin secara tidak sempurna, bahwa hidup harus berubah. Namun dalam sepuluh, duapuluh, atau limapuluh tahun, masa keadilan sosial akan tiba di negeri-negeri kita, sebagaimana yang terjadi di Kuba, dan seluruh Amerika Latin akan terbebas dari tatanan yang menjarahnya, dari kasta-kasta yang mengeksploitirnya, dari kekuatan-kekuatan yang sekarang menghina dan menindasnya. Dan saya ingin agar masa ini tiba sesegera mungkin dan agar Amerika Latin memasuki, sekali untuk selamanya, jagat martabat dan modernitas, agar sosialisme membebaskan kita dari anakronisme dan horor kita. Tapi tatkala ketimpangan-ketimpangan sosial sirna, bukan berarti penulis memasuki masa mufakat, subordinasi, dan keterlibatan resmi. Misinya akan berlanjut, dan harus berlanjut, dengan tetap sama: kompromi apapun di ranah ini berarti pengkhianatan. Dalam masyarakat yang baru, dan sepanjang jalan tempat kita disetir oleh hantu-hantu dan momok pribadi kita, kita akan terus seperti dulu, seperti sekarang, berkata tidak, memberontak, menuntut pengakuan atas hak kita untuk berbeda pendapat, menunjukkan dengan cara yang hidup dan ajaib ini, satu-satunya yang dapat diperbuat sastra, bahwa dogma, sensor, dan keputusan sewenang-wenang juga merupakan musuh bebuyutan kemajuan dan martabat manusia, menegaskan bahwa hidup tidaklah sederhana dan tidak bisa pas rapi sesuai pola, bahwa jalan menuju kebenaran tidaklah senantiasa mulus dan lurus, namun kerap kali berliku-liku dan bergeronjal, menunjukkan berulang kali lewat buku-buku kita kerumitan dan keanekaragaman hakiki dari dunia serta ambiguitas kontradiktif dari peristiwa-peristiwa manusia. Seperti kemarin, seperti sekarang, bila kita mencintai pekerjaan kita, kita harus terus bertempur dalam tigapuluh dua perang Kolonel Aureliano Buendía, meski seperti dia, kita kalah dalam semuanya.

Panggilan ini telah membuat kita, para penulis, menjadi kaum profesional ketidakpuasan, perecok masyarakat secara sadar atau tak sadar, pemberontak dengan tujuan, pembangkang dunia yang tak tersembuhkan, penentang tak terbendung atas apa yang dianggap baik. Saya tak tahu baik atau burukkah keadaan ini, saya cuma tahu bahwa beginilah keadaannya. Inilah kondisi penulis dan kita harus mempertahankannya sebagaimana adanya. Dalam tahun-tahun ini ketika Amerika Latin mulai menemukan, menerima, dan menyokong sastra, ia juga harus menyadari bahaya yang mendekat, harga mahal yang harus dibayarnya atas kebudayaan. Masyarakat kita harus waspada: entah ditampik atau diterima, dihajar atau diganjar, penulis yang memang layak menyandang nama itu akan terus melemparkan ke muka orang-orang pemandangan yang tidak senantiasa sedap atas azab dan sengsara mereka.

Dengan memberi saya hadiah ini, yang karenanya saya sangat berterimakasih, dan yang saya terima sebab saya pertimbangkan bahwa ia tidak menuntut dari saya sekilas pun kompromi ideologi, politik, atau artistik, dan yang mestinya diterima oleh para penulis Amerika Latin lain yang punya lebih banyak buku dan lebih banyak jasa ketimbang saya –saya berpikir tentang [Juan Carlos] Onetti yang dahsyat misalnya, yang belum memperoleh pengakuan yang layak ia dapatkan di Amerika Latin—dan dengan melimpahi saya begitu banyak perhatian dan kehangatan sejak tiba di kota yang sedang berkabung ini (1), Venezuela telah membuat saya terbenam utang berlimpah ruah. Satu-satunya cara saya bisa membayar balik utang ini adalah dengan menjadi, dalam batas-batas kekuatan saya, kian teguh dan kian setia pada panggilan untuk menulis ini, yang tak pernah saya sangka akan memberi kepuasan yang saya rasakan ini hari.
____
1) Catatan penerjemah: Caracas baru saja dilanda gempa besar saat penganugerahan ini diberikan.

3 komentar:

  1. Wah dahsyat wawancaranya. Aku jadi bertanya, apakah yang Llosa sampaikan dalam wawancara itu tergambar dalam karya2nya?

    BalasHapus
  2. Sangat tergambar. Terlepas dari apa ideologi yang dianutnya, Vargas Llosa adalah orang yang percaya betul keharusan sastra menyelami kehidupan sosial-politik masyarakat dan melakukan kritik terhadapnya. Jadi kalau "kanan" dan "kiri" dalam sastra Indonesia secara gampangan dipilah menjadi "seni untuk seni" dan "seni untuk rakyat", maka Vargas Llosa --biarpun kanan--sangat meyakini prinsip "seni untuk rakyat" (atau utk tujuan2 sosial-politik). Hampir semua penulis Amerika Latin meyakini demikian.

    BalasHapus