Rabu, 26 Juni 2013

"Yang Luput dari Penghargaan: Politik Penganugerahan Hadiah Nobel Sastra" oleh Ben Anderson


"Yang Luput dari Penghargaan: Politik Penganugerahan Hadiah Nobel Sastra," oleh Benedict Anderson. Diterjemahkan oleh Ronny Agustinus dengan persetujuan dan penyeliaan penulis dari “The Unrewarded: Notes on the Nobel Prize for Literature”, New Left Review 80, Maret-April 2013, hlm. 99-108. Tulisan ini merupakan perluasan dari Kata Pengantar buku Nor Faridah Abdul Manaf dan Mohammad Quayum (eds.), Imagined Communities Revisited: Critical Essays on Asia-Pacific Literatures and Cultures, Kuala Lumpur 2011.


Keputusan untuk menganugerahkan Hadiah Nobel Sastra 2012 kepada novelis Mo Yan dari Tiongkok sekali lagi menimbulkan pertanyaan menggelitik tentang pola-pola pendistribusian hadiah ini pada tataran global. Hampir di setiap negara, penganugerahan hadiah-hadiah sastra tentunya tak lepas dari politik nasional, formasi klik-klik sastrawan, keyakinan religius, prasangka rasial, standar ganda, dan ideologi-ideologi zaman ini dan itu. Apakah ini alasannya, mengapa selama lebih dari 110 tahun pengumuman pemenang Hadiah Nobel Sastra, penerimanya tak pernah ada yang berasal dari negara-negara Asia Tenggara—padahal setiap kawasan besar lainnya sudah mendapat giliran?

Sejarah pembagian Hadiah ini bisa dibagi tiga: era dominasi dunia oleh negara-negara kuat di Eropa Barat, era Perang Dingin, dan era globalisasi kontemporer. Selama periode pertama, antara 1901-1939, hampir semua hadiahnya dimenangkan oleh penulis dari Eropa Barat, dengan urutan sebagai berikut: enam dari Perancis; lima dari Jerman; dan masing-masing tiga untuk Swedia, Italia, Norwegia, dan AS. Inggris, Spanyol, Polandia, Irlandia, dan Denmark masing-masing dapat dua, lalu para perwakilan tunggal dari Belgia, Finlandia, Rusia, Swiss, dan India (lihat Tabel 1). Pilih kasih kedaerahan kentara jelas waktu itu—para penulis Skandinavia menerima sepertiga dari total hadiah yang diberikan, padahal di antara mereka hanya Knut Hamsun dari Norwegia yang bisa dibilang penulis kelas dunia. Rabindranath Tagore dari India (kolonial) adalah keganjilan menarik. Ia satu-satunya pemenang (pada 1913) yang pernah mewakili negara jajahan, dan tetap “bintang” tunggal Asia hingga 1968, saat Yasunari Kawabata dari Jepang berhasil meraihnya. Para penulis Amerika baru mulai menang pada masa 1930an yang penuh gejolak, dua di antaranya sesudah Hitler berkuasa, dan mutu mereka sesungguhnya rada kacangan. Pada saat yang sama, ada satu negara penting di Eropa yang secara blak-blakan didiskriminasi, yakni Rusia/Uni Soviet. Sebelum revolusi Lenin, diskriminasi ini dikarenakan persaingan turun temurun dan ketidaksukaan Swedia terhadap Rusia imperial; pasca 1919, komunisme yang jadi faktor penentunya. Tak syak lagi, satu-satunya pemenang dari era itu yang orang Rusia, Ivan Bunin, hidup dalam pengasingan di Paris. Pada tahun-tahun terakhir masa kekuasaan Tsar, si begawan gaek Leo Tolstoy diabaikan, mungkin gara-gara pendirian politik “anarkis”-nya yang radikal, begitu pula Anton Chekhov dan penyair Aleksandr Blok. Nantinya, dramawan besar Mikhail Bulgakov, para penyair Vladimir Mayakovsky dan Osip Mandelstam, serta para novelis Maxim Gorky, Leonid Andreev, dan Yevgeny Zamyatin semuanya dilewati.


 Komite Nobel berisikan 5 anggota dari 18 orang yang duduk di Akademi Swedia, sebuah lembaga bentukan kerajaan Swedia yang anggotanya menjabat seumur hidup. Akademi ini bersifat self-perpetuating atau berkelanjutan dalam memilih anggota pengganti, dengan tugas utama memperkaya “kemurnian, kebugaran, dan keelokan” bahasa Swedia. Komite menyiapkan daftar pendek yang didapat dari pencalonan oleh ahli-ahli terkait dan badan-badan sastra pro­fesional seluruh dunia, serta dari Akademi sendiri dan para penerimanya yang masih hidup, yang akhirnya diputuskan melalui suara terbanyak oleh ke-18 anggota tadi dalam rapat pleno. Maka tidak mengejutkan apabila selera sastra Akademi umumnya konservatif. Para anggotanya tidak doyan para penyair Surealis atau kaum modernis eksperimental seperti Marcel Proust, James Joyce, Robert Musil, Bertolt Brecht, Rainer Maria Rilke, Constantine Cavafy, Walter Benjamin, Joseph Roth, Virginia Woolf, Federico García Lorca, atau dramawan “mengejutkan” August Strindberg dari Swedia sendiri.[1] Dedikasi Nobel sebagaimana tertuang dalam wasiatnya yang diperuntukkan bagi karya yang “ideal” atau berkecenderungan “idealistik” menggugurkan sebagian dari para penulis ini, juga para penulis lainnya seperti Henrik Ibsen atau Emile Zola, Thomas Hardy, D.H. Lawrence atau Theodore Dreiser—dan pada saat yang sama turut membentuk salah satu genre paling medioker dalam kesusastraan abad ke-20, yakni Nobel citation atau pemerian alasan pemberian hadiah itu sendiri, dengan humanisme hambar yang diciptakan dari gunungan klise yang bakal menodai lembaran sastra koran kampung sekalipun yang tahu menjaga harga diri. Selain itu, perlu disadari juga bahwa pada tahun-tahun itu kemampuan berbahasa Komite cukup terbatas, dan terjemahan karya-karya sastra dari bahasa-bahasa non-Eropa sangatlah sedikit. Kendala struktural ini bisa menjelaskan dengan gamblang mengapa Tiongkok (Lu Hsün misalnya, atau Lu Ling) dan Jepang (Natsume Soseki, Ryonosuke Akutagawa, Junichiro Tanizaki) tidak menjadi kandidat penerima hadiah ini.

Era Perang Dingin menunjukkan pola-pola yang cukup berbeda. Tak ada hadiah yang diberikan selama 1940-1943, tahun-tahun genting Perang Dunia II. Namun sejak 1944 dst, Komite tak syak lagi dipengaruhi oleh runtuhnya imperialisme Eropa dan persaingan perebutan pengaruh antara Uni Soviet dan Amerika Serikat di dunia, yang membelah Eropa ke dalam dua blok yang saling berseteru. Negara-negara koloni bisa diabaikan, namun negara-negara bangsa merdeka yang baru, yang duduk di Majelis Umum PBB, tidak bisa diperlakukan begitu. Harga diri Eropa dalam hal superioritas budaya yang mengungguli si “ndeso” Amerika Serikat, dalam era baru kemunduran ekonomi-politiknya sendiri ini, mendorong lonjakan hasrat —terutama di London dan Paris—akan penerjemahan dan penerbitan karya-karya sastra penting dari luar Eropa. Sementara itu sikap dan pandangan Swedia sendiri cukup berbeda dari masa sebelum Perang Dunia II. Negeri ini tetap netral di antara kekuatan sekutu dan fasis, padahal Denmark dan Norwegia diduduki oleh tentara Nazi, dan netralitas ini menuai cemooh dari negara-negara Sekutu pemenang perang tahun 1945. Kengerian yang diperbuat rezim Hitler atas nama rasisme dan superioritas Arya dengan telak merontokkan prestise nasionalisme sayap kanan (termasuk sastra sayap kanan) di seluruh Eropa. Sepanjang masa Perang Dingin, Swedia menata ulang netralitasnya dengan cara-cara baru yang penting. Negara itu mengembangkan masyarakat sosial-demokrasi paling maju di dunia dan mencoba menyajikan diri sebagai alternatif ketiga di antara kapitalisme Amerika yang ganas dan sosialisme-negara Soviet yang menindas. Mendekati negara-negara “Dunia Ketiga” adalah cara bagus buat Swedia untuk membangun reputasi barunya sebagai negara kiri moderat yang cinta damai, yang produktif dalam meraih jabatan-jabatan tinggi di PBB.

Antara 1944 hingga 1991, lima puluh Hadiah Nobel Sastra diberikan dengan persebaran yang cukup berbeda dari era sebelumnya. Bila lima belas negara yang memenangkan hadiah ini antara 1901 hingga 1939, dua puluh delapan yang berhasil meraihnya semasa Perang Dingin. Perancis, dengan enam pemenang (meski Sartre menolaknya) masih tetap nomor satu, tapi tipis. Berikutnya AS dengan lima pemenang, Inggris dan Uni Soviet masing-masing empat; Swedia, Jerman, dan Spanyol tiga; Italia, Cile, dan Yunani masing-masing dua. Yang cuma menang sekali berasal dari Polandia, Denmark, Irlandia, Eslandia, Yugoslavia, Israel, Guatemala, Jepang, Australia, Bulgaria, Kolombia, Cekoslowakia, Nigeria, Mesir, Meksiko, dan Afrika Selatan. Dalam daftar ini bisa kita lihat bahwa blok Skandinavia sebelum Perang Dunia II anjlok drastis.

Di sisi lain, pandangan Stockholm kini meluas ke Asia Timur, Timur Tengah, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika, dan Australia—hanya Asia Tenggara yang masih tak dilirik. Arah politik Komite telah berubah dalam beberapa hal penting. Hal pertama yang bisa kita cermati adalah diskriminasi terhadap penulis-penulis sayap kanan, misalnya: Louis-Ferdinand Céline dan André Malraux di Perancis, Jorge Luis Borges di Argentina, Mario Vargas Llosa (diampuni baru pada 2010), Evelyn Waugh dan Anthony Powell. Perkecualian yang konyol adalah Winston Churchill. Di sisi lain, kiri-kiri independen macam Jean-Paul Sartre, atau bahkan komunis seperti Pablo Neruda oke-oke saja, asalkan mereka tidak berasal dari Soviet atau RRT. Mikhail Sholokhov kasus tersendiri, dihadiahi persis sesudah masa-masa Khrushchev yang relatif melunak, sementara ketiga pemenang lainnya yang dari Rusia adalah pembangkang dan/atau pelarian.

Perubahan besar lainnya adalah status komparatif antar bahasa. Sebelum Perang Dunia II, Jerman, Perancis, dan Inggris adalah bahasa-bahasa prestisius dalam kehidupan nyata maupun dalam “sastra dunia”. Namun sesudah 1945, Jerman terbelah dua dan Jermanfobi merebak di mana-mana. Wibawa linguistik Perancis merosot perlahan-lahan. “Inggris” dalam berbagai bentuknya merajalela sebagai hegemon dunia. Sungguh berandang bahwa meski Perancis tetap menjadi peraih hadiah terbanyak, tak satu pun pemenangnya berasal dari bekas imperium Perancis di seberang lautan seperti Indocina, Afrika Barat, Maghreb, atau Karibia. Di sisi lain, negara-negara dominion Inggris dan bekas koloninya melaju mulus: Patrick White untuk Australia, Samuel Beckett dan kemudian Seamus Heaney untuk Irlandia, Wole Soyinka untuk Nigeria, Nadine Gordimer (dan kemudian J.M. Coetzee) untuk Afrika Selatan dan terakhir Derek Walcott untuk Hindia Barat (Saint Lucia). Para penulis yang melarikan diri atau bermigrasi ke AS dan Inggris juga menulis dalam bahasa Inggris—Czeław Miłosz, yang sudah menyeberang ke Barat 30 tahun sebelum menerima Nobel; Joseph Brodsky; Elias Canetti, yang meninggalkan Bulgaria menuju Inggris pada umur 6 tahun; dst. Namun demikian, yang masih berlanjut dari era sebelumnya adalah dilupakannya atau diabaikannya para penulis dari banyak negara yang sangat dikagumi oleh para kritikus zaman sekarang, misalnya: Kobo Abe dari Jepang, Vladimir Nabokov dan Anna Akhmatova dari Rusia, W.H. Auden yang Inggris-Amerika dan Graham Greene dari Inggris.

Dalam hampir seperempat abad sesudah era Perang Dingin, kita bisa melihat beberapa kebaruan menarik. Pertama, tumbangnya otoritas Perancis (cuma satu hadiah), hegemoni Amerika (satu hadiah), prestise Rusia (tanpa hadiah). Para juara adalah orang Hindia Barat yang berbahasa Inggris, Amerika, Jepang, Polandia, Italia, Portugis, Hungaria, Afrika Selatan, Austria, Turki, Irlandia, Perancis, Peru dan ... Swedia. Perkecualiannya adalah Jerman bangkit lagi (dua hadiah: Günter Grass dan Herta Müller, meski bukan Hans Magnus Enzensberger) serta Tiongkok (dua hadiah juga: Mo Yan dan Gao Xingjian—meski Gao yang menang pada 2000 sudah menetap di Perancis sejak akhir 1980an). Inggris unggul dengan tiga hadiah—tapi dari para pemenang Inggris ini, hanya Harold Pinter yang asli Inggris, sementara V. S. Naipaul berasal dari Hindia Barat dan Doris Lessing besar di Rhodesia.

Satu yang Lain Sendiri
Lalu Asia Tenggara? Secara struktur, kawasan ini luar biasa beraneka—tak ada bahasa dominan, tak ada kepaduan religius, tak ada hegemon politik. Pada era kolonial, bagian-bagian Asia Tenggara dikuasai oleh imperialis Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol, Portugis, dan Amerika. Gabriel García Márquez bisa dianggap mewakili Amerika Tengah dan Selatan yang Katolik dan berbahasa Spanyol, Walcott untuk Karibia (bekas-Inggris), Tagore untuk Asia Selatan (bekas-Inggris), Naguib Mahfouz untuk Timur Tengah Muslim, Soyinka untuk Afrika (di mana imperialisme Inggris yang paling digdaya) dan barangkali Orhan Pamuk untuk Turki-yang-ngebet-masuk-Eropa. Tapi tak ada penulis Asia Tenggara yang bisa menjadi simbol dari kawasan ini secara keseluruhan. Selama Perang Dingin, Asia Tenggara tercabik-cabik dalam pengertian ideologis dan militer. Hampir semua negara di sana mengalami periode panjang konflik bersenjata antara kubu komunis dan anti-komunis—membuahkan kediktatoran militer atau kediktatoran sayap kanan di Filipina, Thailand, Indonesia, Singapura, dan Birma, serta tiga negara komunis yang berhasil di Indocina.

Terjadi juga proses hilangnya “bahasa besar” secara mencolok di kawasan ini sepanjang abad ke-20. AS memastikan agar bahasa Spanyol lenyap di sebagian besar Filipina, Indonesia dengan lekas membuang bahasa Belanda, Birma di bawah rezim militer menyingkirkan bahasa Inggris, dan Indocina meminggirkan bahasa Perancis selama dua generasi. Kontras dengan Afrika sangat mencolok: sebagian besar bekas negara jajahan di benua itu melanjutkan pemakaian bahasa kolonial sebagai bahasa negara, sekalipun bila mereka menggencarkan bahasa-bahasa daerah sebagai lambang nasionalisme tertentu. Atas alasan ini, para penulis Asia Tenggara jadi tidak bisa memiliki sekutu yang energik di Eropa, di belahan bumi Barat, atau bahkan di dunia Islam. Satu kejanggalan pamungkas yang perlu dicatat: Indonesia, negara-bangsa terbesar di Asia Tenggara, dijajah oleh Belanda, kekuatan imperialis paling kecil dan paling tak penting di Eropa, yang bahasanya hanya digunakan oleh warganya sendiri. Lebih parah lagi, atau malah bagus, Belanda tak pernah sekalipun menang Nobel, yang mendudukkan negeri itu sejajar dengan para pecundang akut Eropa lainnya, Albania dan Rumania (kalau kita anggap Canetti mewakili Bulgaria). Maka Den Haag juga tak berada dalam posisi untuk melobi kuat-kuat buat Indonesia, bahkan sekalipun jika mereka mau begitu.

Kita bisa menduga bahwa kuasa-kuasa kolonial besar akan mendukung para penulis dari bekas wilayah kekuasaan mereka. Tapi Paris lebih tertarik pada negara-negara bekas federasi Afrika Barat Perancis, Maghreb, serta Karibia yang masih berbahasa Perancis ketimbang Vietnam nun jauh di sana yang telah mengalahkan Perancis dalam perang pembebasan yang panjang dan mematikan. AS, selalu dengan perasaan inferioritas budaya terhadap Eropa, lebih memilih mengklaim para pelarian pemenang Nobel yang telah mengambil kewarganegaraan AS sebagai “penulis Amrik” (Miłosz dari Polandia, Brodsky dari Rusia), meski kewibawaan sastra mereka sudah sangat menjulang sebelum pindah ke sana. Dengan demikian Filipina sama sekali diabaikan atau disepelekan, sekalipun bahasa dominannya adalah “Inggris versi Amerika”. London punya banyak opsi lain akibat besaran dan jangkauan imperiumnya dulu—banyak negara eks-dominion (Australia, Afrika Selatan, Kanada, Selandia Baru) begitu pula tempat-tempat seperti Nigeria, Ghana, India, Karibia, Pakistan, dll.—sehingga Malaysia dan Singapura, yang mempertahankan Inggris sebagai bahasa negara, tidak dipandang penting.

Bagaimana dengan dampak nasionalisasi bahasa di Asia Tenggara? Sebagian besar nasionalisasi ini dilaksanakan untuk mencapai solidaritas nasional, namun keputusan bahasa manakah yang harus menjadi “bahasa nasional” hampir selalu berdampak menguntungkan kelompok-kelompok linguistik-demografik-politik tertentu. Orang Birma dan Vietnam punya banyak klaim —jumlah mereka, kepadatan geografis, pendidikan yang lebih tinggi, kuasa politik—sehingga keputusan untuk menasionalkan bahasa Birma dan bahasa Vietnam adalah “keniscayaan alamiah”, bahkan sekalipun itu berarti memarjinalisasi banyak “kelompok minoritas”. Sementara Bangkok tak punya dominasi “alamiah” macam itu, sehingga pemaksaan bahasa “Thai Bangkok” hanya bisa dicapai lewat sarana yang otoriter. Pada akhir kolonisasi Amerika, kelompok linguistik terbesar di Filipina mengucapkan pelbagai dialek Cebuano, tapi bahasa Tagalog, yang dituturkan oleh orang-orang di ibukota atau wilayah sekitarnya, harus dipaksakan lewat koersi, dengan hasil campur-campur. Penentangan datang dari banyak pihak, baik yang mendukung Cebuano atau Inggris versi Amerika sebagai lingua franca. Di Malaysia, bahasa Melayu juga harus diterapkan paksa oleh orang-orang Melayu yang dominan secara politik, namun ditentang oleh orang Tionghoa, India, dan orang-orang “Kalimantan Utara” yang bercakap entah dalam bahasa aslinya sendiri yang asing (Tionghoa, India) atau lingua franca (Inggris).

Satu-satunya negara yang mencapai sebuah bahasa nasional tanpa tentangan dan yang sekaligus juga merupakan lingua franca adalah Indonesia. Dalam sastra, sulit untuk menemukan penulis penting Indonesia yang tidak secara otomatis memakai bahasa Indonesia ini, sekalipun dengan infleksi-infleksi lokal. Bahasa ini tidak menguntungkan kelompok tertentu. Karena itulah dalam jajaran sastra nasional terdapat aneka ragam etnis: Kwee Thiam Tjing (Tionghoa Hokkian), Iwan Simatupang (Batak Toba), Chairil Anwar (Minang Medan), Amir Hamzah (Melayu), Pramoedya Ananta Toer (Jawa), Eka Kurniawan (Sunda), Putu Wijaya (Bali) dst. Dari pengalaman saya yang terbatas, saya yakin dalam hal sastra Indonesia adalah negeri paling kreatif di Asia Tenggara persis karena ia telah membaurkan lingua franca dengan bahasa nasional dalam sebuah cara yang tidak memaksa. Sebaliknya, pemaksaan koersif (oleh para politisi dan birokrat yang picik) justru mendorong semacam neo-tradisionalisme yang bodoh serta penolakan mentah-mentah. Karenanya kelompok-kelompok minoritas yang penting justru memilih menulis dalam bahasa Inggris, dengan maksud menolak neo-tradisionalisme, namun juga untuk mencapai pemirsa internasional yang barangkali mau menerimanya.

Tapi nasionalisasi macam apapun berarti juga sejenis keterpencilan. Tak satu pun bahasa nasional di Asia Tenggara punya aura transnasional. Sistem global membentuk sebuah kepastian bahwa bahasa Birma, Vietnam, Lao, Thai, Khmer, Tagalog, bahkan Melayu hanya diperuntukkan buat “penutur” lokal saja. Bahkan dalam kasus bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, yang masih sepupu dekat, orang Indonesia jarang membaca sastra Melayu —yang mereka anggap udik dan kuno, serta berbau “etnik”—sementara orang Melayu Malaysia cenderung menganggap bahasa Indonesianya orang Indonesia sebagai gado-gado semrawut dari banyak bahasa. Jadi sepertinya tak mungkin ada bahu-membahu dalam menghadapi Stockholm. Keterpencilan juga berarti bahwa peluang memperoleh Hadiah Nobel membutuhkan penerjemahan ke “bahasa besar” yang bisa dicerna orang-orang Swedia itu. Namun elite-elite nasionalis picik yang berkuasa umumnya tidak membaca karya sastra yang bagus, dan jarang berpikir untuk melatih penerjemah-penerjemah yang benar-benar bagus. Penerjemahan bukan dipahami sebagai seni, namun semata-mata teknik. Satu alasan mengapa penulis-penulis besar Amerika Latin bisa mendapat Hadiah Nobel adalah adanya sekelompok penerjemah dwibahasa (Spanyol-Inggris) profesional kelas wahid yang dihormati secara luas. Asia Tenggara, sebagai sebuah kawasan, dan sebagai sekelompok negara yang berdiri sendiri-sendiri, tak memiliki yang seperti ini.

Para Penantang
Pernahkah ada kandidat yang mungkin meraih Nobel Sastra dari Asia Tenggara? Saya tak kompeten untuk mengurai sampai tuntas persoalan ini. Pahlawan nasional Filipina, José Rizal—jelas tokoh sastra terbesar yang dihasilkan negerinya—dihukum mati oleh orang Spanyol pada 1896, lima tahun sebelum Hadiah Nobel mulai dianugerahkan. Andai ia hidup sampai umur 60-an, akankah ia punya kesempatan? Saya kira tidak, sekalipun ia menulis dalam salah satu bahasa “penting”, sebab tak ada penulis anti-imperialis serius dari koloni manapun yang bisa diterima sampai sesudah Perang Dunia II (Hadiah Nobel hanya diberikan kepada penulis yang masih hidup). Puisi-puisi tasawuf Islam yang menakjubkan gubahan aristokrat Melayu Medan Amir Hamzah pada 1930an tak bakal dianggap serius di Stockholm, dan ia kelewat cepat “pergi”, dibunuh oleh begundal-begundal “revolusioner” setahun sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Karyanya amat sulit diterjemahkan, tak kurang karena kecondongan religiusnya, dan sejauh yang saya tahu, belum pernah diterjemahkan secara profesional. Baik negara kolonial Belanda maupun Republik Indonesia juga tidak begitu mengindahkannya. Namun masuk akal untuk mengangankan bahwa andai diterjemahkan dengan jitu ke dalam bahasa Perancis atau Inggris, secara prinsipil puisi-puisinya mungkin untuk jadi pemenang pada era pasca-Perang Dingin—andai saja ia masih hidup.

“Kemungkinan” terakhir jelas Pramoedya Ananta Toer, yang namanya mulai diajukan oleh para pendukungnya di Eropa sejak 1980an. Tak ada yang bakal membantah fakta bahwa Pramoedya jelas prosais terbesar dalam bahasa Indonesia, dengan curahan karya yang menakjubkan (nov­el, cerpen, drama, dan esai-esai kritik sastra) selama lebih dari 40 tahun, kasarnya 1948–1988. Bila kita mencoba mencari penjelasan mengapa ia berulang kali dilewati oleh Komite Stockholm, ada sejumlah argumen yang bisa diajukan. Pertama dan terutama adalah sikap politiknya sebagai aktivis revolusi kemerdekaan Indonesia, dan kemudian sebagai aktivis kiri independen yang menulis terutama dalam alur realisme sosialis. Pada awal 1960an, ia menyerang secara konstan sesama penulis dan cendekiawan Indonesia yang berhaluan konservatif dan liberal atas arah politik mereka yang reaksioner serta keterikatan mereka pada Barat. Sejumlah tulisannya dengan lekas diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin, Rusia, serta beberapa bahasa yang lebih sedikit penuturnya di Eropa Timur dan unsur-unsur non-Rusia dalam Uni Soviet. Bahkan sekalipun bila saat itu ia telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, ia takkan pernah diterima oleh Stockholm, tak kurang karena Partai Komunis Indonesia (yang Pramoedya sendiri sebenarnya bukan anggotanya) adalah partai komunis terbesar di luar blok Komunis.

Kita bisa mengira peluang Pramoedya meningkat pada 1980, karena ia menghabiskan tahun-tahun 1966 hingga 1979 di penjara-pulau bikinan kediktatoran Soeharto sesudah pembantaian besar-besaran atas orang komunis dan yang dituduh komunis pada 1965–1966. Terlebih lagi, bahwa ia berhasil menulis novel-novel “tetralogi Buru” yang terkenal itu semasa berada di kamp konsentrasi Pulau Buru yang terpencil. Malahan, semua karyanya dicekal selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, dan sampai sekarang pun pelarangan ini belum secara resmi dicabut, sekalipun juga sudah jarang ditegakkan. Sejauh yang saya tahu, belum pernah ada pemenang Nobel yang menghabiskan waktu begitu lama di penjara (tanpa pernah diadili). Kemungkinan juga Pramoedya tak direpresentasikan dengan baik oleh kawan-kawan lamanya, yang memutuskan menerbitkan terjemahan Inggris yang tergesa-gesa atas tetralogi Buru, terutama demi maksud-maksud politik dan HAM, hasil kerja seorang aktivis Australia yang tak begitu mumpuni untuk menggarap tugas itu. Gaya prosa Pramoedya tak seperti penulis Indonesia manapun, dan humor gelapnya sangatlah sulit dialihkan ke bahasa Inggris. Terlebih lagi, tulisan-tulisan terbaiknya —kumpulan cerpen-cerpen dahsyatnya dari tahun 1950an—masih banyak yang belum diterjemahkan. Sesudah berakhirnya Perang Dingin, ia memenangkan Hadiah Magsaysay (1995) dan Hadiah Fukuoka (2000), namun kedua penghargaan ini disambut dengan permusuhan sengit oleh kelas berkuasa Indonesia serta banyak dari littérateurs dan kaum intelektualnya yang anti-komunis. Baru sesudah wafat ia diterima sebagai penulis modern terbesar di negerinya. Telat sudah bagi Stockholm...



[1] Perasaan orang umum di Swedia sendiri bertabrakan telak dengan Akademi, dan pada 1912 Strindberg dianugerahi hadiah yang nantinya dikenal sebagai Anti-Nobel Prize. Sejumlah 50.000 kronor berhasil digalang melalui sumbangan publik ala kadarnya untuk menghormati sang dramawan, seorang anarkis bersemangat yang pada 1884 merancang rencana untuk membunuh raja. Hadiah dipersembahkan oleh pemimpin Sosial Demokrasi Swedia, Hjalmar Branting, dengan suatu arak-arakan buruh besar-besaran sambil diterangi nyala obor untuk memperingati ulang tahun ke-60 Strindberg. (Baca Strindberg’s Letters, vol. 2, diedit dan diterjemahkan oleh Michael Robinson, London 1992, hlm. 790.)