Minggu, 12 April 2015

"Salju," oleh Julia Álvarez



"Salju" karya Julia Álvarez, dalam antologi cerita sangat pendek Amerika Latin yang saya susun, Matinya Burung-burung (Moka Media, 2015) hlm. 106 mengalami kesalahan cetak yang cukup fatal karena terpotong tak selesai. Pemuatan di blog ini sebagai koreksi sekaligus permintaan maaf kepada pembaca.


Tahun pertama di New York kami menyewa apartemen kecil dekat sebuah sekolah Katolik yang diasuh oleh suster-suster Karitas, para perempuan kekar dengan gaun hitam panjang dan kap rambut yang membuat mereka terlihat khas, seperti boneka sedang berkabung. Aku suka sekali mereka, terutama guru kelas empatku yang seperti nenek sendiri, Suster Zoe. Aku punya nama yang indah, katanya, dan ia menyuruhku mengajari seisi kelas cara melafalkannya. Yo-lan-da. Sebagai satu-satunya imigran di kelas, aku didudukkan di bangku spesial baris depan dekat jendela, terpisah dari anak-anak lain agar Suster Zoe bisa mengajariku secara khusus tanpa mengganggu mereka. Perlahan-lahan ia mengeja rangkaian kata-kata baru yang harus kuulangi: mesin cuci, keripik jagung, kereta bawah tanah, salju.
Dengan lekas aku menguasai cukup bahasa Inggris untuk bisa mengerti bahwa bencana sedang menjelang. Kepada seisi kelas yang terbelalak Suster Zoe menjelaskan apa yang tengah berlangsung di Kuba. Peluru-peluru kendali sedang dirakit, konon diarahkan ke kota New York. Presiden Kennedy, yang juga terlihat khawatir, muncul di televisi di rumah, menjelaskan bahwa kita sepertinya perlu berperang melawan Komunis. Di sekolah, kami berlatih serangan udara: bel yang menakutkan akan berbunyi dan kami pun berbaris tiarap menuju aula, menudungi kepala dengan mantel, dan membayangkan rambut kami rontok, tulang-tulang di tangan kami melunak. Di rumah, Mami dan aku serta saudara-saudara perempuanku berdoa rosario untuk perdamaian dunia. Aku mendengar kosakata baru: bom nuklir, debu radioaktif, benteng perlindungan. Suster Zoe menjelaskan kejadiannya. Ia menggambar jamur di papan tulis dan membuat titik-titik kapur acak-acakan untuk debu yang akan membunuh kami semua.
Bulan demi bulan bertambah dingin, November, Desember. Hari gelap saat aku bangun di pagi hari, membeku saat aku mengikuti hembus nafasku ke sekolah. Suatu pagi saat duduk di bangku melamun menghadap keluar jendela, kulihat bintik-bintik di udara seperti yang digambar Suster Zoe, awalnya jarang-jarang, lalu banyak dan banyak. Aku memekik, “Bom! Bom!” Suster Zoe tersentak, rok hitam panjangnya menggembung saat ia terbirit-birit ke arahku. Beberapa anak perempuan mulai menangis.
Tapi lantas raut terkejut Suster Zoe sirna. “Ampun, Yolanda sayang, itu salju!” Ia tertawa. “Salju.”
“Salju,” aku ulangi. Aku memandang keluar jendela dengan hati-hati. Seumur hidup aku sudah mendengar soal kristal-kristal putih yang menghujani langit Amerika di musim dingin. Dari bangkuku aku melihat debu halus itu menyalut trotoar dan mobil-mobil yang diparkir di bawah. Tiap kepingnya berbeda, kata Suster Zoe, seperti manusia, indah dan tak tergantikan.