"Salju"
karya Julia Álvarez, dalam antologi cerita sangat pendek Amerika Latin yang
saya susun, Matinya Burung-burung (Moka Media, 2015) hlm. 106 mengalami
kesalahan cetak yang cukup fatal karena terpotong tak selesai. Pemuatan di blog
ini sebagai koreksi sekaligus permintaan maaf kepada pembaca.
Tahun pertama di New York kami menyewa
apartemen kecil dekat sebuah sekolah Katolik yang diasuh oleh suster-suster
Karitas, para perempuan kekar dengan gaun hitam panjang dan kap rambut yang
membuat mereka terlihat khas, seperti boneka sedang berkabung. Aku suka sekali
mereka, terutama guru kelas empatku yang seperti nenek sendiri, Suster Zoe. Aku
punya nama yang indah, katanya, dan ia menyuruhku mengajari seisi kelas cara
melafalkannya. Yo-lan-da. Sebagai
satu-satunya imigran di kelas, aku didudukkan di bangku spesial baris depan
dekat jendela, terpisah dari anak-anak lain agar Suster Zoe bisa mengajariku
secara khusus tanpa mengganggu mereka. Perlahan-lahan ia mengeja rangkaian
kata-kata baru yang harus kuulangi: mesin
cuci, keripik jagung, kereta bawah tanah, salju.
Dengan lekas aku
menguasai cukup bahasa Inggris untuk bisa mengerti bahwa bencana sedang
menjelang. Kepada seisi kelas yang terbelalak Suster Zoe menjelaskan apa yang
tengah berlangsung di Kuba. Peluru-peluru kendali sedang dirakit, konon
diarahkan ke kota New York. Presiden Kennedy, yang juga terlihat khawatir,
muncul di televisi di rumah, menjelaskan bahwa kita sepertinya perlu berperang
melawan Komunis. Di sekolah, kami berlatih serangan udara: bel yang menakutkan
akan berbunyi dan kami pun berbaris tiarap menuju aula, menudungi kepala dengan
mantel, dan membayangkan rambut kami rontok, tulang-tulang di tangan kami
melunak. Di rumah, Mami dan aku serta saudara-saudara perempuanku berdoa
rosario untuk perdamaian dunia. Aku mendengar kosakata baru: bom nuklir, debu radioaktif, benteng perlindungan.
Suster Zoe menjelaskan kejadiannya. Ia menggambar jamur di papan tulis dan
membuat titik-titik kapur acak-acakan untuk debu yang akan membunuh kami semua.
Bulan demi bulan
bertambah dingin, November, Desember. Hari gelap saat aku bangun di pagi hari,
membeku saat aku mengikuti hembus nafasku ke sekolah. Suatu pagi saat duduk di
bangku melamun menghadap keluar jendela, kulihat bintik-bintik di udara seperti
yang digambar Suster Zoe, awalnya jarang-jarang, lalu banyak dan banyak. Aku
memekik, “Bom! Bom!” Suster Zoe tersentak, rok hitam panjangnya menggembung
saat ia terbirit-birit ke arahku. Beberapa anak perempuan mulai menangis.
Tapi lantas raut
terkejut Suster Zoe sirna. “Ampun, Yolanda sayang, itu salju!” Ia tertawa.
“Salju.”
“Salju,” aku ulangi.
Aku memandang keluar jendela dengan hati-hati. Seumur hidup aku sudah mendengar
soal kristal-kristal putih yang menghujani langit Amerika di musim dingin. Dari
bangkuku aku melihat debu halus itu menyalut trotoar dan mobil-mobil yang diparkir
di bawah. Tiap kepingnya berbeda, kata Suster Zoe, seperti manusia, indah dan
tak tergantikan.
Langsung. Mau cari dan beli bukunya. :)
BalasHapus