Kamis, 26 September 2013

Dekadensi Kebudayaan? Atau Sekadar Gerundelan Penulis Tua?


La civilización del espectáculo, Mario Vargas Llosa. Meksiko: Alfaguara, Februari 2012. ISBN 978-607-11-1766-3. 228 hlm.


Buku esai terbaru Mario Vargas Llosa, La civilización del espectáculo (Peradaban Hiburan atau bisa juga Peradaban Tontonan) ini memukau, tetapi juga menggundahkan. Impresif, tetapi cukup bikin depresif. Membacanya memang terasa bagai gerundelan orang tua yang tidak lagi memahami budaya anak muda kontemporer, dan masih mengangankan “kebudayaan tinggi” sebagai ideal atas dekadensi kultural saat ini. 

Pada pembukaannya (hlm. 13) tertulis: “Belum pernah sebelumnya sepanjang sejarah begitu banyak risalah, esai, teori, dan analisa ditulis mengenai kebudayaan sebanyak di zaman kita. Dan hal ini kian mengejutkan karena kebudayaan, dalam pengertian tradisional kata tersebut, justru pada zaman sekarang ini berada di ambang menghilang. Dan mungkin sudah menghilang…”

Vargas Llosa meratapi bagaimana produk-produk kebudayaan telah menjadi hiburan semata, karya seni menjadi banal, erotisisme menjadi pornografi, jurnalisme menjadi pencarian sensasi, yang semuanya bertumpu pada kelarisan. Peradaban hiburan adalah peradaban “di mana kenikmatan, untuk lari dari kebosanan, menjadi hasrat universal” (hlm. 33). Ketika kebudayaan tak lagi independen (dipatok dengan kelarisan dan ukuran komersial, bukan mutu), maka masyarakat akan kehilangan pijakannya dalam mempertahankan kebebasannya dan politik jadi kehilangan makna.

Ini poin menarik dari seorang penulis yang sebelumnya dikenal sangat liberal secara politik. Bisa dibilang inilah kritik tajam Vargas Llosa pada perkembangan (kultural) terkini kapitalisme-liberal, ideologi yang justru ia junjung tinggi dan gencarkan selama hampir seluruh masa kepenulisannya. Bila dulu ia berpendapat hanya dengan inilah masyarakat bisa memperoleh basis kebebasannya (bukan melalui komunisme, fasisme, atau lainnya), kini ia mengakui ekses-ekses kapitalisme bisa menggerogoti kebebasan masyarakat dengan membelokkan pengertian “kebudayaan” sebagai semata-mata “cara menyenangkan untuk menghabiskan waktu,” bukan lagi penggalian dan pencarian eksistensi kemanusiaan yang mendalam.

Yang menarik, antitesis keadaan ini bagi Vargas Llosa adalah agama. Bukan berarti ia menganjurkan untuk kembali pada negara agama dan fundamentalisme lainnya, tetapi ia mengakui bahwa ada kedalaman, pencarian, atau tambatan spiritual tertentu yang didapat dalam agama, yang besar pengaruhnya bagi tinggi rendahnya kesenian. Semua peradaban dunia menjunjung pencarian transendensi ini. Di sini Vargas Llosa seperti menggaungkan esai Walter Benjamin berpuluh tahun sebelumnya tentang bagaimana kemajuan teknologi reproduksi telah melenyapkan aura yang terpancar dalam ikon-ikon dan karya seni religius.

Mungkin Vargas Llosa benar, tapi buat saya ia terlampau pesimistis. Ambillah sastra. Apa betul kita tengah digempur oleh bacaan ringan yang sepintas lalu dan tak memiliki kedalaman? Betul, tapi bukan berarti tidak ada penulis bagus yang tetap tekun menempuh jalan sastrawi. Tiap generasi pasti melahirkan penulis bagusnya sendiri-sendiri. Vargas Llosa sendiri mengakui itu: “Saya tidak bermaksud mengecam para penulis sastra hiburan ini karena terlepas dari entengnya tulisan mereka, di antaranya ada yang benar-benar berbakat. Bila di zaman kita jarang didapati avontur-avontur sastrawi seperti Joyce, Virginia Woolf, Rilke, atau Borges, itu bukan hanya karena penulisnya; tapi karena budaya tempat kita tinggal menghambat dan bukan mendorong upaya-upaya berani yang melahirkan karya-karya yang menuntut dari pembaca konsentrasi intelektual yang sama intensnya dengan yang memungkinkan karya-karya itu ada.” (hlm. 36)

Saya agak meragukan pernyataan di atas. Pernahkah ada masa ketika sastra tinggi benar-benar populer dan dibaca orang banyak? Saya kira tidak. Jujur saja, berapa banyak penutur bahasa Inggris pernah membaca Finnegans Wake, pada saatnya ia terbit maupun sekarang? Pada tiap zaman “benturan kebudayaan” macam ini pasti terjadi. Pernah ada masanya ketika musik jazz dianggap sebagai perlawanan dari budaya tinggi, dan ada masanya ketika jazz menjadi budaya tinggi itu sendiri.

Bisa jadi Vargas Llosa hanya tengah menua dan terbata-bata memahami dunia zaman ini yang tak lagi seperti dunia yang dijalaninya dulu. Karena itu ia pesimistis. Bisa jadi pula ia sedang beralih dari satu konservatisme ke konservatisme lain. Maka makin tepatlah sinyalemen Alberto Manguel bertahun-tahun lalu yang mengibaratkan Vargas Llosa sebagai “fotografer buta”, yang tak bisa melihat apa yang ditangkap dengan begitu jitu oleh lensanya. Lensanya adalah sastranya, dan matanya adalah pandangan politiknya. Bagaimana bisa seseorang dengan karya-karya yang demikian radikal (baik secara bentuk maupun isi) bisa sedemikian konservatif dalam pandangan sosial-politiknya?