La civilización del espectáculo, Mario Vargas Llosa.
Meksiko: Alfaguara, Februari 2012. ISBN 978-607-11-1766-3. 228 hlm.
Buku esai terbaru Mario Vargas Llosa, La civilización del espectáculo (Peradaban Hiburan atau bisa juga Peradaban Tontonan) ini memukau, tetapi juga menggundahkan. Impresif,
tetapi cukup bikin depresif. Membacanya memang terasa bagai gerundelan orang
tua yang tidak lagi memahami budaya anak muda kontemporer, dan masih
mengangankan “kebudayaan tinggi” sebagai ideal atas dekadensi kultural saat
ini.
Pada pembukaannya (hlm. 13) tertulis: “Belum pernah
sebelumnya sepanjang sejarah begitu banyak risalah, esai, teori, dan analisa
ditulis mengenai kebudayaan sebanyak di zaman kita. Dan hal ini kian
mengejutkan karena kebudayaan, dalam pengertian tradisional kata tersebut,
justru pada zaman sekarang ini berada di ambang menghilang. Dan mungkin sudah
menghilang…”
Vargas Llosa meratapi bagaimana produk-produk kebudayaan
telah menjadi hiburan semata, karya seni menjadi banal, erotisisme menjadi pornografi,
jurnalisme menjadi pencarian sensasi, yang semuanya bertumpu pada kelarisan.
Peradaban hiburan adalah peradaban “di mana kenikmatan, untuk lari dari
kebosanan, menjadi hasrat universal” (hlm. 33). Ketika kebudayaan tak lagi
independen (dipatok dengan kelarisan dan ukuran komersial, bukan mutu), maka
masyarakat akan kehilangan pijakannya dalam mempertahankan kebebasannya dan
politik jadi kehilangan makna.
Ini poin menarik dari seorang penulis yang sebelumnya
dikenal sangat liberal secara politik. Bisa dibilang inilah kritik tajam Vargas
Llosa pada perkembangan (kultural) terkini kapitalisme-liberal, ideologi yang
justru ia junjung tinggi dan gencarkan selama hampir seluruh masa
kepenulisannya. Bila dulu ia berpendapat hanya dengan inilah masyarakat bisa
memperoleh basis kebebasannya (bukan melalui komunisme, fasisme, atau lainnya),
kini ia mengakui ekses-ekses kapitalisme bisa menggerogoti kebebasan masyarakat
dengan membelokkan pengertian “kebudayaan” sebagai semata-mata “cara
menyenangkan untuk menghabiskan waktu,” bukan lagi penggalian dan pencarian
eksistensi kemanusiaan yang mendalam.
Yang menarik, antitesis keadaan ini bagi Vargas Llosa adalah
agama. Bukan berarti ia menganjurkan untuk kembali pada negara agama dan
fundamentalisme lainnya, tetapi ia mengakui bahwa ada kedalaman, pencarian,
atau tambatan spiritual tertentu yang didapat dalam agama, yang besar
pengaruhnya bagi tinggi rendahnya kesenian. Semua peradaban dunia menjunjung
pencarian transendensi ini. Di sini Vargas Llosa seperti menggaungkan esai
Walter Benjamin berpuluh tahun sebelumnya tentang bagaimana kemajuan teknologi
reproduksi telah melenyapkan aura yang terpancar dalam ikon-ikon dan karya seni
religius.
Mungkin Vargas Llosa benar, tapi buat saya ia terlampau
pesimistis. Ambillah sastra. Apa betul kita tengah digempur oleh bacaan ringan
yang sepintas lalu dan tak memiliki kedalaman? Betul, tapi bukan berarti tidak
ada penulis bagus yang tetap tekun menempuh jalan sastrawi. Tiap generasi pasti
melahirkan penulis bagusnya sendiri-sendiri. Vargas Llosa sendiri mengakui itu:
“Saya tidak bermaksud mengecam para penulis sastra hiburan ini karena terlepas
dari entengnya tulisan mereka, di antaranya ada yang benar-benar berbakat. Bila
di zaman kita jarang didapati avontur-avontur sastrawi seperti Joyce, Virginia
Woolf, Rilke, atau Borges, itu bukan hanya karena penulisnya; tapi karena
budaya tempat kita tinggal menghambat dan bukan mendorong upaya-upaya berani
yang melahirkan karya-karya yang menuntut dari pembaca konsentrasi intelektual
yang sama intensnya dengan yang memungkinkan karya-karya itu ada.” (hlm. 36)
Saya agak meragukan pernyataan di atas. Pernahkah ada masa
ketika sastra tinggi benar-benar populer dan dibaca orang banyak? Saya kira
tidak. Jujur saja, berapa banyak penutur bahasa Inggris pernah membaca Finnegans Wake, pada saatnya ia terbit maupun
sekarang? Pada tiap zaman “benturan kebudayaan” macam ini pasti terjadi. Pernah
ada masanya ketika musik jazz dianggap sebagai perlawanan dari budaya tinggi,
dan ada masanya ketika jazz menjadi budaya tinggi itu sendiri.
Bisa jadi Vargas Llosa hanya tengah menua dan terbata-bata
memahami dunia zaman ini yang tak lagi seperti dunia yang dijalaninya dulu. Karena
itu ia pesimistis. Bisa jadi pula ia sedang beralih dari satu konservatisme ke
konservatisme lain. Maka makin tepatlah sinyalemen Alberto Manguel
bertahun-tahun lalu yang mengibaratkan Vargas Llosa sebagai “fotografer buta”,
yang tak bisa melihat apa yang ditangkap dengan begitu jitu oleh lensanya.
Lensanya adalah sastranya, dan matanya adalah pandangan politiknya. Bagaimana
bisa seseorang dengan karya-karya yang demikian radikal (baik secara bentuk
maupun isi) bisa sedemikian konservatif dalam pandangan sosial-politiknya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar