Lebih cepat dari kereta bayi!
Lebih kuat dari nenek-nenek! Itulah Superbarrio
Gómez, “superhero” sungguhan dari ibukota Meksiko. Mirip dengan superhero
yang kita kenal selama ini dalam komik, ia tampil lengkap dengan kostum ketat warna
merah yang menonjolkan bentuk tubuhnya yang jauh dari atletis, jubah, logo di
dada, kancut kuning di luar, dan tentunya topeng untuk menutupi identitasnya. Topengnya
bergaya luchador atau pegulat gaya bebas
khas Meksiko. Namun tak seperti superhero di komik, yang diperanginya bukan
para penjahat super atau alien dari luar angkasa, melainkan para pejabat dan polisi
korup, tuan tanah dan juragan-juragan real estate yang suka menggusur rakyat
kecil Meksiko. Superbarrio –barrio berarti
kampung—memimpin demonstrasi-demonstrasi kaum miskin kota, berorasi dan hadir
dalam perundingan-perundingan dengan para politisi, aktif dalam gerakan buruh, menggalang
petisi menolak penggusuran, serta memperjuangkan tata kota yang lebih bersahabat
bagi kepentingan kelas bawah.
Eduardo Galeano menulis:
“Superbarrio berperut buncit dan kakinya bengkok. Memakai topeng merah dan
jubah kuning. Bukan mumi, hantu, dan vampir yang diperanginya. Di satu titik
kota ia hadapi polisi dan membantu korban penggusuran yang kelaparan; di titik
lain ikut dalam demo memperjuangkan hak-hak perempuan atau memprotes pencemaran
udara; dan di tengah-tengahnya, menerabas ke gedung Kongres dan berpidato
mengecam busuknya pemerintah.”
Beraksi pertama kali pada Juni 1987, Superbarrio bisa dibilang muncul jauh lebih dulu sebelum “pahlawan bertopeng” Meksiko lainnya: Subcomandante Marcos dari Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (dan juga jauh lebih dulu sebelum film dan komik Kick-Ass membayangkan superhero dunia nyata). Bersama kemunculan setiap superhero, selalu ada mitologi yang mengiringinya: planet yang meledak; orang tua yang dibunuh; radiasi sinar gamma dll. Demikian pula Superbarrio. Konon, seorang pedagang kaki lima yang mantan pegulat mendengar keluh kesah seorang ibu yang rumahnya akan digusur, “Kita perlu Superman untuk menyelamatkan kita.” Seolah mendapat wangsit dari keluhan itu (bagai Bruce Wayne melihat kelelawar menerobos masuk ke jendela rumahnya), ia pun mencari kostum dan tampil sebagai Superbarrio.
Tentu saja kenyataannya tidak
“sekomik” itu. Superbarrio lahir dari suatu langkah politik konkret yang
dilakukan oleh Asamblea de Barrios (Dewan Kampung) untuk menghadapi penggusuran.
Perlu diingat, pada tahun 1987 itu Partido
Revolucionario Institucional (Golkar-nya Meksiko) masih berkuasa nyaris
mutlak di negeri itu. Belum pernah ada partai oposisi yang menang pemilu selama
PRI memegang kekuasaan lebih dari 70 tahun. Pemberontakan Zapatista di Chiapas
juga belum terjadi dan agenda demokratisasi masih diredam kuat-kuat pasca
pembantaian Tlatelolco 1968 yang menelan korban ratusan demonstran mahasiswa
maupun warga sipil. Dengan menerapkan strategi pembangunan kapitalis yang abai
pada kaum miskin, Meksiko digadang-gadang oleh dunia Barat sebagai “teladan”
pertumbuhan ekonomi dan contoh bagaimana negara Dunia Ketiga bisa sejajar
dengan Dunia Pertama melalui strategi tersebut. Dalam konteks menggenjot pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi itulah marak terjadi penggusuran kampung-kampung urban
demi pembangunan gedung-gedung metropolis modern.
Pada 9 Juni 1987, Asamblea beramai-ramai
mendatangi rumah seorang nyonya yang hendak digusur oleh pihak yang mengklaim
sebagai pemilik tanahnya. Kedatangan mereka ternyata berhasil mencegah rencana
penggusuran. Sejak itu diputuskan bahwa gerakan ini harus mempunyai simbol bagi
aksi-aksinya di masa depan. Dan entah ide dari mana, Superbarrio muncul sebagai
simbol itu.
Dengan dukungan Asamblea dan
kekuatan-kekuatan politik kiri lainnya, Superbarrio maju ke pengadilan untuk mengajukan
keberatan hukum atas penggusuran. Gugatan ini ternyata dianggap cukup kuat dan
beralasan oleh pengadilan tinggi sehingga berhasil menangguhkan 1.500 rencana
penggusuran hingga lima tahun sesudahnya. Dari sini aksi-aksi politik
Superbarrio berkembang. Ia mendorong warga untuk membentuk kelompok-kelompok
solidaritas dalam mempertahankan hak mereka atas kota. Ia juga terlibat aktif
dalam Konvensi Gerakan Rakyat Urban dan pengajuan berbagai petisi menyangkut
hak-hak publik atas kesehatan, perumahan, dll.
Bukan hanya para politisi dalam
negeri yang diprotesnya, tetapi juga Amerika Serikat. Menurut Superbarrio,
politik luar negeri AS (terutama terhadap Amerika Latin) berpengaruh besar
terhadap kondisi rakyat Meksiko. Pada 1990, misalnya, di depan kedutaan besar
AS ia melakukan demo masak tamale (sejenis
lemper ukuran besar dari tepung maizena yang diisi daging dan sayuran) untuk
memprotes invasi AS ke Panama. Atas dasar tuduhan sebagai gembong narkoba,
Presiden Panama waktu itu Manuel Noriega didongkel dan ditangkap paksa oleh
militer AS dengan “barang bukti 50 kg kantong kokain” yang kemudian didapati hanyalah
kantung-kantung berisi tamale.
Pada 1996 Superbarrio “mencalonkan
diri” sebagai kandidat Presiden AS dan berkampanye sepanjang kota-kota di
perbatasan Meksiko-AS. Dibalut humor (misalnya dengan mengklaim bahwa dirinya mendapat
dukungan dari Superman, Batman, dan Spider-Man), Superbarrio sesungguhnya sedang
menggelar rangkaian kampanye serius tentang politik imigrasi dan
ketenagakerjaan antara kedua negara. Ia menguak data-data penting yang bisa
digolongkan sebagai korban pelanggaran HAM, misalnya sebanyak 3.200 pekerja
yang tewas hanya karena berusaha melintasi Sungai Río Bravo dalam kurun waktu
1984-1994. (Camnitzer 2007: 258)
Berbagai aksi Superbarrio |
Respons kelas penguasa Meksiko
terhadap Superbarrio tentu bisa ditebak. Mereka mencemoohnya sebagai pelawak dan
pencari sensasi belaka (respons yang sama yang juga diterima oleh SubMarcos
beberapa tahun sesudahnya). Namun di balik aksi Superbarrio yang tampak melawak
itu terdapat filosofi politik yang berbau-bau Guy Debord. Dalam sebuah
wawancara ia mengatakan: “Kami mengubah demonstrasi menjadi keriuhan pesta ...
Kami harus membuka saluran-saluran kreativitas, kepolosan rakyat, ingatan
kolektif ... Kami harus mencipta kembali bentuk-bentuk aksi di mana orang bukan
cuma menjadi penonton, melainkan pelaku.” (Camnitzer 2007: 257) Akibat aspek performance dan spectacle dalam aksi-aksinya itulah Superbarrio telah ditelaah
dalam beberapa kajian yang mengulas bentuk-bentuk protes urban serta kaitan
antara performance art dan politik.
(Cadena-Roa dalam Johnston dan Noakes
2005: 69-86)
Menurut Berta Jottar (2008),
Superbarrio menjalankan “politik kemungkinan,” sebuah imajinasi politik
alternatif yang terbentuk melalui budaya pop dan pembangunan suatu gerakan
sosial nasional dan transnasional. Lebih lanjut menurut Jottar, “Superbarrio
membuat runtuhnya batas antara politik dan performance
menjadi kentara jelas; ia memaksa kita berpikir melampaui performance dari politik guna memahami
politik dari performance.”
Superbarrio juga dipandang oleh
sebagian pengamat lain sebagai “keajaiban” atau “absurditas” khas Amerika Latin
yang menautkan realitas kasar kehidupan urban modern dengan mitologi-mitologi
kuno (keajaiban yang sama yang konon memunculkan genre realisme magis dalam
kesusastraan anak benua itu).
Superbarrio dan seorang prajurit Tentara Pembebasan Nasional Zapatista di Chiapas, Agustus 1994 © Gerardo Magallon |
Terlepas dari pelbagai tafsiran
itu, keberadaan Superbarrio mempunyai agenda dan dampak politik yang konkret.
Dengan memilih wakil perundingan seseorang yang sengaja tampil dengan kostum
sangat komikal, masyarakat membuat para pejabat yang terlibat perundingan
merasa tertohok dan dilecehkan. Politisi merasa diolok-olok bila harus
berunding dengan Superbarrio. (Levi 2008: 132)
Selain itu, aspek terpenting
Superbarrio adalah topengnya. Topeng, kata penyair Meksiko Octavio Paz, “di
satu sisi adalah tameng, tembok. Dan sebaliknya juga kumpulan tanda.” Topeng
menyembunyikan wajah pemakainya, tetapi sekaligus mengungkap perwajahan macam
apakah yang ingin dihadirkannya pada orang-orang lain. Dan wajah yang tampil
melalui topeng Superbarrio adalah sebuah pernyataan bahwa “kami tidak bisa
dikooptasi.”
Selama ini, taktik PRI –dan taktik
penguasa di mana pun pada umumnya—adalah merangkul dan mengkooptasi para
oposannya untuk masuk ke dalam sistem atau lingkar kekuasaannya. Praktik
semacam ini membutuhkan nama dan eksistensi riil. Tanpa keduanya, seperti yang ada
dalam sosok Superbarrio, ia menjadi mustahil dikooptasi. Anonimitas membuat
transaksi politik jadi tak bermakna.
Secara logis, permasalahan topeng
dan anonimitas ini pun membawa kita ke pertanyaan krusial selanjutnya: siapa
sesungguhnya Superbarrio Gómez? Selama bertahun-tahun terbangun mitos bahwa ia
adalah seorang jebolan SMA yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang
asongan. Kemudian diyakini bahwa pria di balik topeng itu adalah Marco Rascón Córdova, seorang aktivis kiri
dan pentolan Asamblea de Barrios yang
memang mengonsep Superbarrio sejak awal dan menjadi semacam juru bicara baginya.
Namun demikian, perlu dicatat pernyataan menarik Mauricio-José Schwarz, penulis
buku Todos somos Superbarrio (atau Kita Semua Superbarrio [1994]), yang
bisa dibilang sebagai satu-satunya biografi atas tokoh satu ini. Schwarz
menulis dalam pengantar edisi tahun 2011 buku tersebut bahwa ia tidak percaya
bahwa Marco Rascón Córdova adalah Superbarrio. Pasalnya, ia pernah menemui
kedua orang itu dalam waktu bersamaan (“sama muskilnya seperti melihat Superman
dan Clark Kent bersamaan,” tulisnya) dan yang lebih penting lagi, ia pernah
melihat Superbarrio tanpa topeng. (Schwarz 2011: 2)
Luis Camnitzer (2007: 257)
menyebut bahwa Superbarrio adalah “tim yang terdiri dari beberapa orang yang
menyatu di bawah nama itu.” Meski tidak diketahui pasti berapa banyak orang
yang ada di balik Superbarrio, Camnitzer menengarai ada tiga. Bisa jadi Marco Rascón memang
adalah Superbarrio. Namun tidak bisa disangkal juga bahwa pada beberapa
kesempatan Marco Rascón dan Superbarrio terlihat muncul berbarengan. Siapa
orang-orang lain yang pernah berada di balik topeng itu masih belum diketahui
hingga kini.
Marco Rascón Córdova, Noam Chomsky, dan Superbarrio. Bila Marco Rascón adalah Superbarrio, maka foto ini akan "sama muskilnya seperti melihat Superman dan Clark Kent bersamaan." |
Menjelang pergantian milenium,
Superbarrio semakin jarang beraksi di jalanan. Hal ini dikarenakan pada paruh
kedua dekade 1990-an, kekuatan politik kiri Meksiko semakin melembaga dan mengerucut
ke dalam Partido de la Revolución Democrática (PRD) di bawah kepemimpinan
Cuauhtémoc Cárdenas. Cárdenas sendiri, menurut Rascón, telah bersama-sama
Asamblea de Barrios sejak awal menggulirkan pelbagai inisiatif gerakan rakyat
urban. (Rascón 2007) Meski kalah dalam pemilu nasional 1994, PRD dan Cárdenas
berhasil memenangkan pemilu walikota México City pada 1997 (pemilihan walikota
yang pertama kalinya berlangsung secara terbuka setelah selama ini ditunjuk langsung
oleh Presiden). Kemenangan elektoral kelompok kiri-demokratik ini tentunya tak lepas dari kampanye-kampanye urban yang ikut digalakkan oleh Superbarrio selama ini, tetapi kemenangan tersebut juga membuat peran
dan signifikansi Superbarrio menjadi berkurang. (Schwarz 2011: 1) Dalam wawancaranya dengan novelis Kolombia Laura
Restrepo, Superbarrio mengaku lelah dengan kegiatan-kegiatan yang kian lama
kian seremonial pasca kemenangan kubu kiri-demokratik. Dan pada 2001 ia pun
memutuskan gantung kostum. (Restrepo 2008; Gayà 2011)
Marco Rascón mundur dari politik dan menjadi koki terkenal |
Mungkin juga ada sebab lain. Pada
2007 Marco Rascón –yang pasca pensiunnya Superbarrio beralih menjadi koki terkenal
dan membuka restoran—menulis semacam kenangan akan “superhero” itu di koran
kiri Meksiko, La Jornada. Salah satu
paragraf penutupnya berbunyi: “Superbarrio adalah pelopor bentuk-bentuk baru
partisipasi dan aksi di Meksiko dan dunia. Menggugat kekuasaan melalui parodi,
lelucon, dan karnaval. Humor dan ironi adalah senjata luar biasa. Kekuatannya
berasal dari kemampuannya untuk menjalin persekutuan dan mendorong semangat
akan kemampuan mengorganisir diri sendiri, saling meyakini dan mempercayai satu
sama lain antar para peserta, dan bukan syak wasangka bahwa setiap kritik
adalah pengkhianatan.” (Rascón 2007)
Ada nada getir dalam kalimat terakhir
itu, seperti menyiratkan kesebalan Rascón pada kawan-kawannya dulu di
politik kiri. Memang setelah Cárdenas menjabat, PRD menjadi tak ubahnya partai-partai
pada umumnya. Korupsi kaum kiri merebak di pemerintahan kota México City. Dalam
upaya memperluas kekuasaan yang sudah didapat ini, PRD sendiri bergerak kian ke
kanan. Cárdenas berusaha meraih simpati kaum kapitalis dan sektor swasta
Meksiko dengan mencoba menanggalkan apa yang ia kampanyekan pada pemilu 1994. Menurutnya,
keliru kiranya untuk melekatkan label kiri pada PRD. (Ramírez 2010) Pergeseran
ke kanan ini mengguncang basis militan partai. Subcomandante Marcos berkomentar
perihal arah politik PRD: “Kemarin mereka kiri, sekarang tengah, besok di mana
ya?” Alih-alih memperluas perolehan suara, PRD justru berantakan dan pemilu
nasional tahun 2000 dan 2006 pun dimenangkan oleh partai kanan Partido Acción Nacional (PAN).
Mungkin kekecewaan inilah yang
mendorong Marco Rascón mundur dari politik untuk bekerja di balik kompor-kompor dapur. Dan sungguh teramat kebetulan apabila surutnya aktivitas
politik Marco Rascón berlangsung bersamaan dengan absennya Superbarrio dari
kehidupan publik. Barangkali Rascón-atau-Superbarrio tetap bersetia pada
ideal-ideal politik jalanannya dan karenanya berbenturan dengan
politisi-politisi kiri yang memilih jalur kekuasaan.
Dalam salah satu wawancara
terbarunya, kepada jurnalis El Periódico Superbarrio
mengatakan: “Ini sudah busuk. Harus dimulai dari nol.” (Gayà 2011) Apakah ini berarti Marco Rascón
atau siapa pun dia akan kembali aktif
dengan kostumnya untuk turun ke jalan-jalan? Kita tunggu saja.
Daftar Pustaka
Berta Jottar. 2008. “Superbarrio Gómez for US President:
Global
Citizenship and the ‘Politics of the Possible’.”
Esai foto di jurnal e-misferica, terbitan Hemispheric Institute of Performance and
Politics.
Catalina Gayà. 2011. “Superbarrio, en la Barceloneta”. El Periódico. 2 Mei.
Jorge Cadena-Roa. 2005. “Strategic Framing,
Emotions, and Superbarrio—Mexico City’s Masked Crusader.” Dalam Hank Johnston
& John A. Noakes (eds.), Frames of
Protest: Social Movements and the Framing Perspective. Lanham: Rowman &
Littlefield.
Laura
Restrepo. 2008. “El poder de la máscara”. El País. 6 September.
Luis
Camnitzer. 2007. Conceptualism in Latin
American Art: Didactics of Liberation. Terutama Bab 22 “From Politics into
Spectacle and Beyond.” Austin: The
University of Texas Press.
Heather
Levi. 2008. The World of Lucha Libre: Secrets, Revelations, and Mexican National
Identity. Terutama Bab 4 “The
Wrestling Mask.” Durham: Duke University Press.
Marco Rascón. 2007. “Veinte años de Superbarrio”. La Jornada. 19 Juni.
Mauricio-José
Schwarz. 2011 [1994]. Todos somos
Superbarrio. México: Planeta.
Vladimir
Escalante Ramírez. 2010. “Why does the PRD lose?” Documents on Mexican Politics
https://cs.uwaterloo.ca/~alopez-o/politics/prdlose.html
kapan bahas novelis mia coto, "the smuggler writer" itu ? novelnya Sleepwalking Land gak kalah sama yg lain.
BalasHapusMia Couto dari Mozambik kan ya. Afrika, bukan Amerika Latin
Hapushmmmm emang sih ....tp menulis dlm bahsa portugis.
BalasHapus