Jumat, 29 Oktober 2010

Ada Kalanya Kesedihan Tak Perlu Dituliskan

Sorrow
Claribel Alegría
Terjemahan Inggris oleh Carolyn Forché dari Saudade (1999)
edisi dwibahasa, Curbstone Press, 1999


Ada kalanya kesedihan hanya harus direnungi dan dijalani tanpa harus dituliskan. Bahkan bagi seorang penyair sekelas Claribel Alegría.

Claribel Alegría adalah penyair dan aktivis kenamaan dari El Salvador, yang salah satu buku suntingannya pernah saya resensi di sini. Selama puluhan tahun ia dan suaminya, Darwin J. Flakoll, menuliskan sejarah negeri dan rakyat mereka, mencatat detail-detail perjuangan gerakan Sandinista, dan ikut berjuang agar El Salvador terbebas dari tirani. Meninggalnya sang suami pada 1995 menghempaskan Alegría pada kesedihan mendalam. 

Judul asli kumpulan puisi ini, Saudade, adalah frase yang tak mudah dicari terjemahan/padanannya (seperti dijelaskan di artikel wiki ini). Judul Sorrow yang dipakai untuk edisi Inggris juga tidak begitu tepat sebenarnya. Saudade mirip "kangen", namun lebih keras dari itu. Dalam bayangan saya, mungkin frase "rindu dendam" dari J.E. Tatengkeng bisa dipakai untuk menggambarkannya.

Dalam situasi diri yang limbung itu Alegría pergi ke Thailand dan Indonesia untuk mencari ketenangan batin dan "bercakap-cakap" dengan suaminya. Ini menarik buat saya, bagaimana Asia dipandang sebagai tempat kebatinan bukan cuma oleh bule-bule dari Dunia Pertama macam Elizabeth Gilbert dg Eat, Shit, Make Love-nya itu (eh, judulnya salah ya?), namun juga buat orang Amerika Latin yang notabene sama-sama "Dunia Ketiga", di mana Amerika Latin sendiri juga dipandang eksotis oleh bule-bule Dunia Pertama. Orientalisme rupanya memang telah tertanam begitu kuat dalam imajinasi banyak orang.

Kepergian ke Timur inilah yang kemudian melahirkan kumpulan puisi ini, yang --maaf--menurut saya tidak menampakkan kualitas Alegría sebagai salah satu penyair terpenting Amerika Latin. Lihatlah puisi pertama "Salí a buscarte" ("Aku pergi mencarimu"), hlm. 2:

Salí a buscarte
atravesé valles
y montañas
surqué mares lejanos
le pregunté a las nubes
y al viento
inútil todo
inútil
dentro de mí estabas

Aku pergi mencarimu
lintasi lembah
dan pegunungan
arungi laut nun di kejauhan
bertanya pada awan
dan angin
segala percuma
percuma
kau toh ada dalam diriku


Frase "lintasi lembah, pegunungan, arungi laut" tidakkah terdengar seperti lirik lagu dangdut? Begitu klise dan bombastis. Namun ada beberapa lainnya yang menggetarkan, ketika perasaan kehilangan dan kerinduan diekspresikan dalam majas yang lebih sublim, termasuk puisinya yang dibuat di Jakarta ini, "No importa si en Yakarta" ("Tidak soal apakah di Jakarta"), hlm. 84:

No importa si en Yakarta
en París
o en Umbria
el espejo me habla
en español

Tidak soal apakah di Jakarta
di Paris
atau di Umbria
cermin bicara padaku
dalam bahasa Spanyol


Maka begitulah, ada kalanya kesedihan tak perlu (langsung) dituliskan. Orang butuh waktu untuk bisa meletakkan kondisi diri dalam perspektif, yang mungkin merupakan salah satu cara untuk menghindari mediokritas. Namun tentu penilaian saya ini hanya tertuju pada kualitas puisi yang ada, dan sama sekali tak bermaksud menghakimi perasaan Alegría bahwa sentimentalitas yang dirasakannya itu "dangdutan."

Medioker atau tidak, Alegría sudah jujur menuliskannya. Dan menurutnya ia memang harus menuliskannya, agar sang suami tetap "ada", seperti terungkap dalam puisinya "Cada vez" ("Tiap kali"), hlm. 92:

Cada vez
que los nombros
resucitan mis muertos

Tiap kali
kunamai
bangkitlah lagi orang-orangku yang mati

Kamis, 28 Oktober 2010

Revolusi Nanti Akan Stereo

“The Revolution Will Be in Stereo”, Silvana Paternostro. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari The New York Times Magazine, 10 Januari 1999.


Menyusuri Calle 23, jalan utama Havana, dalam Volkswagen kap terbuka yang disetir David Calzado, rasanya seperti menyusuri Sunset Boulevard bersama Puff Daddy. Tiap orang –baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang sedang menunggu bis, menggenjot sepeda bikinan Cina, atau cuma berjalan kaki—melambaikan tangan, tersenyum, menjerit, atau mencoba menjamah pentolan Charanga Habanera ini, band tari paling top dan kontroversial di Kuba. Bahkan sedikit orang yang beruntung bisa punya mobil membunyikan klaksonnya.

Calzado dengan senang menjalani status bintangnya ini. Ia tiupkan ciuman ke mana-mana. Ia melambai dan mengklakson balik. Ia tos dengan seorang pria yang naik mobil tua Amerika dari zaman pra-Castro dan melajukan mobil peraknya dengan ban berpelek lebar itu. VW-nya sudah 10 tahun, tapi keren, langka dan mewah di Havana. Kaus Tommy Hilfiger warna merah putih birunya lengket ke dada. “Aku cinta negeri ini,” ujarnya. “Kalau bukan karena aku harus bermain di luar negeri buat cari duit, aku takkan pernah pergi. Tapi tahu kan, aku terbiasa dengan barang-barang mahal.” Ia suka berpakaian ropa de marca (baju-baju bermerk) seperti jins Pelle Pelle baru dan Nike hitam yang ia pakai. Ia ingin membeli Mitsubishi empat pintu dan memasang tiga teve kecil di dalamnya. “Ini akan jadi mobil bertelevisi pertama di Havana,” katanya.

Pemerintahan Fidel Castro bersikeras bahwa Kuba adalah masyarakat sosialis. Namun dengan restu Komite Sentral, sejumlah kecil musisi sekarang lebih berpunya –jauh lebih berpunya—dibanding 11 juta warga Kuba lainnya yang tinggal di pulau itu. Merekalah kaum profesional pertama dalam hampir empat dasawarsa yang bisa menumpuk kekayaan sejak Castro mendepak keluar tauke-tauke tembakau dan gula, para mafia dan perusahaan-perusahaan Amerika. Merekalah orang-orang Kuba pertama yang diperbolehkan menjadi pengusaha independen dan kapitalis kaya raya, sekalipun tidak diizinkan berinvestasi di negara mereka sendiri.

Perlakuan pilih kasih ini terkait dengan hilangnya topangan Uni Soviet terhadap negeri itu. Sebelum 1989, musisi dijatah rumah bagus dan punya kesempatan pergi keluar negeri dan memperoleh per diem, tapi di dalam negeri mereka dibayar sebagai “pekerja Revolusi,” seperti buruh-buruh tebu, guru sekolah, atau tukang linting cerutu. Sekarang, segelintir di antara mereka, terutama yang memainkan musik dansa populer seperti Calzado, diperlakukan bak bintang. Paulito FG, penyanyi otodidak necis yang membuat cewek-cewek abg Kuba histeris; Manolín González Hernández, yang dikenal sebagai el Medico de la Salsa atau Dokter Salsa (dokter berusia 33 tahun yang beralih jadi bintang salsa); dan Calzado sendiri hidup mewah—paling tidak dalam ukuran Kuba.

Di Havana, baliho-baliho masih mencanangkan “Sosialisme atau Mati”, tapi jalanan terlihat lebih seperti Hollywood yang baru jadi. Calzado membawaku ke El Aljibe, restoran favoritnya. Di situ menu makan sepuasnya yang terdiri dari ayam saus jeruk yang lezat, nasi, kacang, salad, dan pastel dihargai $14 per orang, setara gaji bulanan dokter bedah jantung. Ini tempat tongkrongan para pejabat teras, pebisnis dan jurnalis asing, serta turis mancanegara. Pelayan mengecup pipi Calzado dan mengantar kami ke meja langganannya. Calzado mencopot kacamata hitamnya dan menaruhnya di samping kunci mobil dan dompet kulit. Ponselnya tak berhenti berdering. Manajernya menelepon beberapa kali: Institut Musik minta Charanga bermain dua kali minggu ini. Pertama untuk para pegawai Kementrian Dalam Negeri, dan lantas di Pabexpo, balai sidang tempat pemerintah menutup The First International Construction Fair. Tugas-tugas ini masuk dalam deskripsi kerja band itu sebagai musisi negara, yang untuknya mereka dibayar gaji bulanan sekitar $30. Tapi yang sesungguhnya ingin diketahui Calzado adalah sudah pastikah bandnya akan bermain di El Palacio de la Salsa, klub beken yang biaya masuknya $20 dan pengunjungnya kebanyakan pria-pria bule dan cewek-cewek Kuba.

Calzado, kini 42 tahun, hampir sama tua seperti revolusi Castro. Ia dididik dengan mengucapkan sumpah di sekolah tiap hari untuk menjadi “pionir Komunisme” dan berikrar akan menjadi “seperti Che.” Ia bertempur di Angola. Saat ia menambah makanan untuk ketiga kalinya dan meminta pelayan keripik ketela, aku bertanya apa perasaannya mengenai perbedaan yang kentara jelas antara dirinya dan penggemarnya, bagaimana menyelaraskan pendidikan revolusionernya dengan gaya hidupnya yang baru ini. Ia menjawab dengan mengutip produsernya yang orang Spanyol, tempat ia belajar pedoman gaya hidup kapitalisnya: “Kita harus terbiasa dengan kenyataan bahwa ada yang berpunya dan ada yang kurang berpunya. Kesetaraan bukan berarti kita semua punya yang sama, tapi masing-masing kita memiliki apa yang layak kita dapatkan, yang kita garap dengan bekerja," ucapnya. “Lagipula, aku harus berada di atas. Penggemarku ingin aku jadi yang terbaik, dan itu artinya aku harus berpakaian paling bagus, mengendarai mobil terbagus. Aku tidak mau mengecewakan mereka.”

Bon diantar dan aku ngotot ingin membayar. “Tolong,” desaknya. “Ini tak ada artinya buatku. Lihat, cuma $30. Kau harusnya lihat berapa yang kubayar ketika para produser musik datang dari luar negeri dan kami makan besar. Aku memang suka begitu. Aku tidak mau semua orang mengira orang Kuba tidak sanggup membayar makan siang mereka sendiri.”

Ia buka dompetnya penuh kerahasiaan dan kegaiban seperti seseorang yang hendak menunjukkan sesuatu yang terlarang atau sangat berharga. “Aku selalu bayar dengan ini.”

“Cek,” ujarku. “Tidak banyak orang di Kuba bisa memilikinya, ya kan? Kukira bahkan lebih sedikit dari yang punya ponsel.”

Ia mengangguk puas. “Ya,” katanya. “Nanti aku ingin punya kartu kredit. Tapi aku belum begitu mengerti cara kerjanya.”

Dari dulu Kuba adalah lumbung musik. Di sinilah musik son tradisional dilahirkan, begitu pula mambo dan cha-cha-cha yang mengharu biru para pecinta dansa di era 1950-an. Beny Moré, Arsenio Rodríguez, dan Pérez Prado, kakek moyang dari apa yang kini dikenal sebagai salsa, semuanya orang Kuba. Kehidupan malam yang terkenal di Havana pada 1950-an, yang biasanya diasosiasikan dengan judi, prostitusi, dan mafia-mafia bercerutu, juga dipenuhi musik yang hebat. Salah satu langkah pertama Fidel Castro sesudah merebut kekuasaan adalah menghambat peredaran musik dansa, dengan harapan bisa menghapus citra Kuba sebagai tempat pelesiran orang Amerika. Tapi komunisme tidak sanggup membunuh musik, dan bisa jadi ini satu-satunya hal yang tersisa bagi banyak orang. Periode Khusus –eufemisme Castro tentang masa-masa pasca hilangnya subsidi Soviet—membawa kesukaran dan ketidakpuasan. Hilang sudah masa-masa penuh makanan bayi produksi Bulgaria dan carne rusa kalengan, daging ham Rusia yang kini dikenang orang Kuba dengan penuh nostalgia. Sebuah survei dari Meksiko baru-baru ini menyebutkan bahwa 76 persen orang Kuba merasa kondisi ekonomi mereka tak pernah seburuk sekarang ini.

Listrik boleh mati, bensin bisa langka, bahkan rum pun dijatah, namun musik selalu ada. Teve jarang menayangkan berita namun berlimpah acara musik. Gaji boleh sedikit tapi pesta-pesta musik yang dibiayai negara marak. Calzado memberitahuku bahwa ketika bandnya main di pinggiran kota, satu-satunya orang yang tinggal di rumah hanya orang-orang jompo dan bayi. “Charanga bisa menarik orang ke Alun-Alun Revolusi di Santiago sebanyak Fidel Castro,” ujarnya.

Musik yang dimainkan Charanga bernama timba, paduan jazz dan rumba yang dibumbui reggae, funk, dan hiphop. Sekalipun berakar dalam elemen-elemen tradisional musik son (ritme khas Kuba dari kocekan gitar yang ditingkahi alat tiup), bunyinya terdengar beda dengan musik Havana kuno sebagaimana musik rap berbeda dengan the Ronettes. Timba adalah mambo modern, cha-cha-cha yang diperkeras, yang dirancang untuk membuat orang-orang yang paling kaku dalam menari pun ingin berdiri dan bergoyang. “Dasarnya son, tapi lebih Afrika, lebih perkusif,” kata Ned Sublette, penulis lagu dan penyanyi asal Texas yang merintis salah satu perusahaan rekaman pertama di Amerika untuk musik-musik Kuba. “Ini musik dansa yang asyik.”

Timba adalah bunyi Kuba baru pasca-Soviet Cuba; musik dari Periode Khusus. Inilah suara orang Kuba kebanyakan, orang-orang yang membolehkan “kekubaan” mereka –jatidiri Kuba yang memadukan keceriaan hidup, sensualitas, dan perangai macho—tampil keluar. “Kamilah suka cita yang dimiliki orang Kuba bahkan ketika mereka tidak memiliki apa-apa,” kata Paulito FG sembari menghisap cerutu dan duduk bersilang kaki menampakkan kaus kaki Mickey Mouse. “Di sini orang-orang bernyanyi sepanjang waktu, bahkan saat tidak mabuk.”

Bila Granma, koran resmi Kuba, mengisi halaman-halamannya dengan pidato-pidato panjang Castro, memorandum partai, dan artikel-artikel tentang masa depan panenan tebu, timba melukiskan kehidupan sehari-hari di Kuba yang baru, di mana dolar kini bersaing dengan dialektika. Empat puluh tahun Marxisme tidak mampu melucuti jiwa Kuba dari hakikat musik Afro-Kubanya. Timba itu riang, bermain-main, sensual. “Revolusi hendak membuat negeri baru, bahkan dengan musik kami,” kata Manolín Sang Dokter Salsa, salah seorang timbero yang paling politis dan lantang bersuara. “Mereka mencoba meminggirkan son dan memaksakan trova pada kami.” Yang ia maksud adalah nueva trova, sejenis musik folk era 1960 yang membawa pesan-pesan cinta revolusi dan membenci imperialisme yanqui. Masyarakat yang dulu bernyanyi memuja-muja persaudaraan universal, yang menginspirasi satu generasi mulai dari Meksiko sampai Argentina, kini menyanyikan tembang-tembang hits tentang perempuan yang lebih suka jadi simpanan. “Trova adalah musik kaum intelektual, bukan musik rakyat,” kata Manolín. “Di sini kami harus mendirikan monumen untuk musik son. Ratu negeri ini adalah musik tradisional kami. Di sini kebanyakan orang tidak cukup punya otak untuk mengartikan apa yang hendak disampaikan para trovadores. Sementara kami melakukannya dengan bahasa jalanan — blak-blakan dan langsung.”

Para timbero bernyanyi soal gosip sekitar, tentang cekcok antar pasangan, tentang konsumsi dan materialisme. Ada sebuah lagu timba populer yang berjudul “Maniak Belanja.” Lagu lainnya, “Turis Super,” berkisah tentang seorang cewek Kuba yang suka pergi ke tempat-tempat mahal, tempat-tempat yang cuma turis sanggup mengajaknya. Di lagu lainnya, Charanga menasehati para perempuan muda untuk punya papirriqui con wanikiki (simpanan berduit), “agar kau bisa punya, agar kau senang.” “Kuubah nama uang di Kuba ini,” kata Calzado. Kini, kalau menyebut dolar, orang Kuba menyebutnya wanikiki.

Saat aku bertanya pada vokalis utama Charanga, Michel M. Márquez yang berusia 18 tahun, apa pendapatnya soal Che, ia cuma angkat bahu. “Tidak terpikir apa-apa,” katanya. “Ia sudah tiada waktu aku lahir.” Begitulah sentimen umum generasi baru, dan lagu-lagu timba mencerminkan sikap apolitis ini. Namun dalam satu hal, bintang-bintang salsa ini bersikap cukup politis, bahkan subversif. Manolín bernyanyi soal “meninggalkan mentalitas lama... guna memberi peluang bagi perdamaian... zaman tengah berubah, lihat saja. Aku sudah punya teman di Miami.” Dan Charanga memakai metafor yang gamblang dalam “El Mango”: “Hei, kau mangga, kami semua menyukaimu waktu kau masih hijau. Kini kau sudah kuning dan tua, bukankah sudah waktunya kau jatuh dari pohon?”

Namun tetap, dalam atmosfer politik Kuba 1990-an yang baru terbentuk, di mana kebebasan berusaha suatu waktu didukung dan kala lainnya dimusuhi, lirik-lirik protes dan pembangkangan, betapa pun rapi disamarkan, kadang menyulut masalah, seperti dialami Charanga.

“Charanga itu mujizat,” Calzado menjelaskan saat kami duduk di rumah keluarga ibunya yang berisi kulkas Rusia, teve Sony 19 inci, dan altar bagi Chang, dewa Afrika ibunya. Ia pun bercerita tentang bandnya yang terbentuk pada 1988 itu. Sebelum tahun tersebut, Calzado menjalani hidup yang nyaman meski tidak menakjubkan. Ia berlatih sebagai pemain biola klasik di Kuba di mana uang tidak dibutuhkan. Semua diurus dan disubsidi gaya Soviet. Ia besar di apartemen sederhana tak bertingkat yang diberikan pemerintah pada ayahnya, seorang musisi terkenal, tak lama setelah kemenangan Castro. Pendidikannya di Cubanacán, salah satu konservatori seni terbaik di negeri itu, gratis. Begitu ia lulus dari institut tersebut, pemerintah menempatkannya dalam Orquestra Ritmo Oriental, salah satu band yang memainkan musik yang dikenal dengan nama charanga, yang menambah biola dan seruling pada bunyi gitar musik son tradisional. Calzado tinggal gratis di apartemen satu kamar tidur bersama istri dan anak perempuannya. Pasangan itu bekerja di Tropicana yang terkenal. Istrinya menjadi penari sementara ia pemain biola utama di jam makan sebelum pertunjukan.

Suatu malam, ia didekati pengusaha asing yang menawarkan per diem $50 untuk bermain di Eropa, dengan band yang akan ia bentuk. Gaji bulanannya dari negara kurang dari $20. Dalam hitungan hari ia kumpulkan sembilan musisi profesional, semuanya telah dilatih dengan kecermatan, disiplin, dan metodologi institusi-institusi musik yang didirikan Uni Soviet. Selama empat tahun berikutnya, dari Mei sampai September, grupnya berpentas di Monako, memainkan tembang-tembang lawas Kuba sebagai pembuka pentas bintang-bintang pop seperti Whitney Houston, Barry White, Liza Minnelli, dan Frank Sinatra. Ia pun kembali ke Havana pada musim gugur dengan kantung penuh tabungan. “Aku hidup seperti raja,” kata Calzado. Namun sekalipun populer di French Riviera, mereka tak dikenal dan tak diinginkan di Kuba — orang Kuba tak berminat pada band yang memainkan “Guantanamera.”

Pada1993, karena butuh aliran dana, pemerintah melegalisir dolar dan mulai memperluas pasar luar negeri untuk rum, tembakau, bioteknologi, dan musik. Arsip rekaman-rekaman lawas yang tak pernah dirilis mulai dijual. Semua musisi diberi hak berpergian dan kesempatan untuk menabung dolar dari per diem mereka yang sebelumnya hanya diizinkan buat sedikit yang beruntung seperti Calzado. Namun demikian, yang benar-benar mengubah peruntungan para musisi Kuba adalah Undang-Undang tahun 1995 yang membolehkan mereka bernegosiasi sendiri dengan produser rekaman dan penyelenggara tur dari luar negeri. Seraya Kuba membuka diri untuk pariwisata, klab-klab malam yang bertaburan dolar pun merebak di Havana. Dalam semalam, semua orang di Kuba ingin jadi pemusik.

Sementara itu, saat anggota Charanga duduk dan menunggu tur musim panas mereka, Paulito dan Manolín merajai tangga lagu. Paulito bernyanyi soal patah hati, Manolín soal pacar yang meninggalkannya demi seorang Italia. Konser mereka penuh sesak, dan mereka pun meneken kontrak rekaman. Calzado pun memutuskan pindah ke irama timba. Lagu pertama Charanga, lagu riang tentang seorang cowok yang jatuh cinta pada perawat, langsung menjadi hit.

Francis Cabezas, seorang Spanyol pemilik perusahan rekaman Magic Music, menonton pentas Charanga di Teater Karl Marx. Ia kontrak mereka, lantas mengganti kemeja guarachera mereka yang serba putih dan berjumbai-jumbai dengan celana terusan dan topi bisbol, lalu menambahkan koreografi dan tari kejang dalam pentasnya. Pada 1996, Charanga Habanera menerima hadiah setara Grammy untuk album terbaik tahun itu.

Pada Juli 1997, sebagai band paling populer saat itu, mereka diundang untuk mengisi penutupan Festival Mahasiswa dan Pemuda Dunia XIV, acara pertemuan yang menyerukan “solidaritas, anti-imperialisme, perdamaian, dan persahabatan.” Mereka bermain di luar ruangan untuk ribuan sosialis muda dari sepenjuru dunia. Mereka berpentas seperti biasanya, dengan gurauan-gurauan berbau seksual, Michel pura-pura mencopot celana, serta kiasan-kiasan soal narkoba. Esok harinya, tamat riwayat Charanga. Kaum garis keras naik pitam: Federasi Perempuan Kuba terperanjat, Serikat Komunis Muda “sangat terhina” dan “sangat kecewa”, Institut Radio dan Televisi Kuba pun mencekal mereka.

Mereka dijuluki “biang ketaksenonohan” dan dilarang tampil selama enam bulan. “Kata mereka ini gara-gara konser kami yang sangat kapitalis,” kata Calzado. “Tapi aku tak tahu, dalam soal pentas, apa yang membuat pertunjukan ini kapitalis dan yang itu komunis?” Mungkin karena mereka membayar $5.000 untuk tiba di konser memakai helikopter, atau mungkin gara-gara goyangan Michel yang tinggi semampai itu. “Tapi anak umur 4 tahun di Kuba juga menggoyangkan pinggulnya seperti itu,” protes Calzado. Seroang produser Amerika berkata mengenai band-band baru ini: “Bakal terjadi konfrontasi lanjutan dengan pihak berwenang saat subkultur mereka berkembang kian menangguk untung. Negara akan mulai mencari-cari alasan untuk memberangus mereka sebab mereka mewakili kebebasan.”

Saat ini ada sekitar 12.000 musisi yang digaji oleh negara, memainkan antara 20 hingga 30 genre yang berbeda: klasik dan jazz; segala variasi musik tradisional seperti son, rumba, dan guaguanco serta musik-musik dansa turunannya; bahkan rock dan rap. “Ada lebih banyak pemusik ketimbang jenis musiknya,” tulis Luis Tamargo di majalah musik Latin Beat, “semuanya termotivasi alasan komersil.” Tahun kemarin lebih dari sepertiga musisi itu berpentas di luar negeri dan dibayar dengan dolar. Charanga Habanera kini meminta $18.000 seminggu untuk pentas di Eropa dan konon telah meneken kontrak enam digit dengan Universal di London.

Jelas bahwa Calzado, Paulito, dan Manolín belumlah miliuner. Tapi mereka menghasilkan lebih dari $40.000 setahun, yang jauh lebih banyak ketimbang gaji $2.000 yang akan diterima Sang Dokter dengan profesinya yang dulu. Sebagai hadiah buat vokalisnya, Michel, Calzado membelikannya mobil –Nissan putih usang empat pintu—yang barangkali membuat Michel menjadi satu-satunya remaja yang punya mobil di seluruh pulau itu. Sang Dokter tinggal di apartemen bergaya Art Deco yang baru saja dicat dengan pagar bergembok, perangkat ruang tamu berlapis beludru hitam, dan dapur modern lengkap dengan satu set gelas anggur. Paulito menyetir Mitsubishi baru gres dengan kaca jendela gelap, sejenis yang ingin dibeli Calzado.

Musim gugur lalu, pemerintah menutup klab-klab malam yang memakai dolar, termasuk El Palacio de la Salsa. Persis sebelum itu, aku pergi melihat konser Charanga. Bertempat di Hotel Riviera yang dulu dimiliki Meyer Lansky, Palacio sesungguhnya adalah ruangan gelap dengan meja bertaplak kota-kotak merah hitam dan kursi besi, bau puntung rokok dan bir yang sudah tengik. Hiasan di panggung dibuat dari aluminum foil dan kamar gantinya tak punya bohlam. “Bisa-bisa dicolong orang,” kata seorang anggota Charanga sembari mengancingkan kemejanya diterangi nyala pemantik. Dari Kamis sampai Minggu, El Palacio menyuguhkan konser Los Van Van, Manolín, Paulito, atau Charanga Habanera dengan biaya masuk $20.

Inilah salah satu penampilan pertama Charanga sesudah enam bulan larangan. Semua orang gugup. Band tahu mereka telah tersisih selama berbulan-bulan dan tahu bahwa mereka sedang dipantau. Mereka telah menyiapkan dua lagu baru yang akan mereka jajal malam ini.

“Tentang apa?” tanyaku.

“Kejutan,” balas Calzado.

Lobi hiruk pikuk dengan perempuan-perempuan molek yang mengenakan celana berbahan lycra paling terang yang pernah kulihat di luar pusat kebugaran. Pria-prianya kebanyakan bule-bule separuh baya dan beberapa lelaki Kuba, berdandan rapi. Salah seorang Kuba itu menyeringai menampakkan gigi emas; yang lain memakai kalung emas tebal dengan lambang dolar menggelantung di lehernya. “Mereka itu especuladores,” kata temanku Amaury, pemuda 22 tahun mantan anggota partai yang kini merasa kecewa. “Orang Kuba yang pamer apa yang mereka punya. Mereka naik mobil dan punya emas. Untuk bisa begitu kau harus jadi penyelundup cerutu, germo, atau timbero. Tak ada peluang buatku.”

Di dalam, apa saja dijual. Aku ditawari rekaman bajakan, bir selundupan, kupon diskon, les tari seharga $2, dan foto-foto mengkilap Paulito seharga $5. Duduk di meja pesanan, ibunda Calzado yang berusia 72 tahun terlihat sumringah, bersolek dengan gaun baru yang dibelikan anaknya di luar negeri. Saat melihatku, ia angkat gelas plastiknya yang berisi rum Havana Club dan berkata bahwa Charanga siap “menggebrak kembali dan memangsa Havana,” mengutip salah satu lagu karya anaknya pasca dijatuhi sanksi.

Di atas panggung mereka padukan kepiawaian bermusik dengan gaya Earth, Wind and Fire dan gangsta rap versi mereka sendiri. Pakaian mereka gado-gado: para pemain terompet memakai setelan satin merah terang gaya 1970-an, para pemain perkusi berpakaian kedodoran. Salah satu vokalis berdandan seperti Prince sewaktu masih menjadi Prince. Michel tak pakai kaus, masih memakai rompi hitam dan celana panjang kotak-kotak hitam putih yang ia kenakan sepanjang hari. Dandanan Calzado sukar ditebak, entah funk, gangsta, atau gaya tradisional Kuba, karena ia comot dari masing-masing pakem itu: paduan celana baggy hitam putih dan jubah sampai ke lutut, topi anyaman di kepala pelontosnya, dan sepatu kulit hitam putih, seperti yang dikenakan ayahnya dulu. Koreografinya rada culun: mereka angkat kaki berbarengan, dan pada satu titik semuanya berjatuhan seperti kartu domino. Mereka umumkan lagu baru. Yang satu, dikarang oleh Michel, berisi gerundelan tentang ibu mertua; yang satunya lagi, gubahan Calzado, menyoal seorang teman baik yang suka berpesta dan pura-pura tidak. Lagu-lagu ini tak punya makna politik terselubung, tak ada kiasan provokatif pada uang atau narkoba.

“Charanga tidak beroperasi dengan kecepatan penuh,” kata Calzado. Dalam siaran pers ia umumkan “sangat menyesal bila penampilan kami menciptakan gambaran yang kurang menyenangkan, sebab itu bukan niat kami.” Ini seperti Marilyn Manson meminta maaf ke Tipper Gore. Dan karena kini segala sesuatu ujung-ujungnya duit, sanksi berarti berkurangnya uang. Tidak bisa tur ke Eropa berarti tamatlah gaya hidup yang begitu lekas membuatnya betah itu. Ia harus bertahan hidup dengan $30 (360 peso) yang ia terima dari pemerintah saban bulan, yang sekarang ini ia serahkan ke ibunya. “Ia masih hidup dengan peso. Aku hidup dalam dolar.”

Klab Los Jardines de la Tropical diperuntukkan buat orang-orang Kuba yang masih hidup dengan peso. Los Van Van, band tari nomor satu di Kuba selama 30 tahun terakhir, sedang pentas di sana pada Senin malam. “Van Van itu Kuba,” kata seorang teman. Namun teman saya ini tidak menganjurkan saya datang ke La Tropical. “Ini buat Kuba tulen. Terlampau keras buat yang bukan Kuba.” Tapi Calzado menawarkan diri mengajakku. “Aku bisa bawa kita ke lantai VIP,” ujarnya. “Akan kupesan meja.”

La Tropical sama sekali bukan taman, melainkan stadion terbuka yang kumuh dan tanpa bangku. Band-band yang ditampilkan sama seperti di El Palacio de la Salsa, kecuali di sini bea masuknya dengan peso, terjangkau buat semua. Ruang eksklusif yang dibilang Calzado adalah lantai dua gedung beton itu di mana para musisi seperti Calzado selalu bisa mendapatkan meja dan sebotol rum cuma-cuma. Lantai dua ini tak seberapa ramai bila dibandingkan kerumunan orang di lantai stadion. Inilah orang-orang Kuba yang tidak pergi ke Palacio –para perempuannya tidak molek dan laki-lakinya tidak menghasilkan dolar—tapi mereka inilah yang benar-benar bergoyang mengikuti musik yang dialunkan para timbero. Di sini mereka bisa melupakan soal jatah ransum yang sedikit, soal bis yang mereka tunggu-tunggu tanpa berkesudahan. Selama sekian jam mereka tak harus mencari pemecahan (resolver), kata kerja yang paling sering dipakai di Kuba, di mana segala sesuatu perlu dicarikan solusi.

Melalui speaker-speaker yang gemerisik, Mayito, penyanyi muda Los Van Van yang mengenakan jins kedodoran dan rambut dirasta, meminta semua orang naik ke el tren de la alegrá, kereta suka cita. Jelas, musiklah yang menyatukan Kuba; musiklah yang membuat orang Kuba tetap hidup. Manolín boleh jadi dikecam karena memainkan lagu tentang Miami, tapi ia diperbolehkan hidup bagai diplomat, dengan kekebalan dan keistimewaan, karena pemerintah menyadari betapa mereka membutuhkan dirinya dan yang lain.

Sekalipun orang Kuba kebanyakan kini harus membuat lauk tanpa daging dari resep yang semestinya berbahan daging, para perempuannya berdansa dengan bule-bule hanya demi sepasang sepatu baru, dan sebagian besar anak mudanya tak punya bayangan akan masa depan, dalam musiklah mereka semua mendapat penghiburan. Los Van Van menyanyikan pleidoi bagi Orula, ruh Santería, agar “melindungi semua orang Kuba.” Mayito berlutut meminta pengunjung mengangkat tangan dan bernyanyi dengannya, dan mereka menurut. Apa yang akan terjadi di Kuba bila pemerintah berhenti memasok mereka dengan musik?

Konser usai pukul dua dini hari. Saat kerumunan orang bubar keluar dari stadion, kulihat mobil-mobil yang ada di parkiran hanyalah taksi-taksi dan mobil Calzado. Sebagian besar orang di sini akan pulang berjalan kaki. Taksi terlampau mahal dan bis sudah kelewat malam. Sepasang suami-istri berusia awal 40-an berjalan bergandengan dan terlihat puas, bahkan bahagia. Mereka  memberitahuku bahwa butuh waktu amat lama untuk sampai ke rumah sehingga sang suami, yang bekerja sebagai satpam mulai pukul 7, harus langsung berangkat kerja.

“Lalu mengapa kemari?” aku bertanya padanya. “Dengan semua kerepotan ini.”

“Soalnya cuma ini yang kami punya.”

Seraya Calzado mengantarku pergi, trotoar meriah penuh orang. Tawa berderai di sela-sela komentar yang ditujukan pada Calzado saat kami berlalu. Seseorang bercanda meminta tumpangan padanya. Orang lainnya berseru, mengutip sebuah lagu, “Oye, David, bagaimana kau ingin dibayar: cek atau tunai?”

Rabu, 27 Oktober 2010

Sisi Kocak Kebebasan: Wawancara Quino

“Quino, On The Funny Side of Freedom,” Lucía Iglesias Kuntz. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari The UNESCO Courier, edisi Juli/Agustus 2000, hlm. 69-74. (Sebagian catatan kaki ditambahkan oleh penerjemah).


“Aku tidak percaya humor bisa mengubah apa-apa, namun kadang ia bisa menjadi bulir pasir kecil yang bertindak sebagai katalis kebebasan,” kata kartunis Argentina Joaquín Salvador Lavado, yang lebih dikenal sebagai Quino. Lahir di Mendoza pada 1932, Quino yang disanjung sebagai “kartunis terbesar Amerika Latin di abad ini”, tak pernah ingin jadi apapun selain kartunis. Ia habiskan seumur hidupnya menghadap meja gambar. Reputasi internasionalnya terbangun oleh serial Mafalda, yang menyuguhkan dunia orang dewasa dilihat dari mata anak-anak [baca resensi saya]. Tokoh utamanya, gadis cilik penuh rasa ingin tahu yang selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan kikuk dan cemas akan perdamaian dunia, tampil dalam 10 buku yang telah diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa dan terbit di koran-koran serta majalah di pelbagai belahan dunia. Jenuh oleh tekanan harus mencetuskan ide baru setiap minggu, Quino memutuskan berhenti menggambar Mafalda pada 1973, dan mengisi waktunya dengan proyek-proyek lain yang membuatnya leluasa mengolah humor sarkastis yang selalu menjadi ciri khasnya. Digarap dalam hitam putih secara teliti dan penuh dengan detail-detail yang menggugah, gambar-gambar Quino berfokus pada hubungan kekuasaan, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan. Ringkas kata, segala isu yang –seperti diakuinya sendiri—“sama sekali tidak ada lucunya.”

Bagaimana Anda menjelaskan gaya humor Anda?
Menurutku kartun-kartunku bukan sejenis yang membuat orang tertawa terbahak-bahak. Aku cenderung memakai pisau bedah ketimbang menggelitik perut. Aku tidak berusaha melucu; itu keluar begitu saja dariku. Aku ingin jadi lebih lucu lagi, tapi semakin tua kau akan merasa semakin kurang menghibur dan jadi lebih merenung.

Buku-buku Anda sudah diterbitkan dengan banyak pujian di Perancis, Yunani, Italia, Cina, dan Portugal. Apa ini berarti humor itu universal?
Kukira ya. Konotasi lokal berbeda-beda tentunya, apalagi dalam humor politik. Tapi suatu gurauan bisa sama relevannya di Spanyol era Franco sebagaimana di Kuba era Fidel atau rezim-rezim militer se-Amerika Latin. Sementara gurauan tentang makanan, hal-hal yang kita ucapkan tentang daging di Argentina bisa dialihkan tentang nasi di Jepang. Aku pernah dengar ada seorang aktor Amerika Utara yang begitu menggemari lawakan Jepang sampai ia memutuskan belajar bahasa Jepang dan mengekspornya ke AS. Ketika gurauan Jepang itu menyebut pai buah ceri, ia menggantinya dengan pizza agar pemirsanya paham. Namun cara kerja humornya sama.

Anda tak pernah melejit di negara-negara berbahasa Inggris. Tidakkah Anda tertarik pada pasar itu?
Pertama-tama, aku tak pernah berpikir dalam kaidah pasar. Entah bukuku berhasil atau tidak berhasil. Bertahun-tahun lalu buku kartun nirkataku, The World of Quino, terbit di Amerika Serikat. Rekan-rekanku di Amerika Utara menyambutnya dengan sangat baik, termasuk Schulz.[1] Bahkan ada yang berkata: “Akhirnya ada kartunis yang tidak menggambar pasangan suami istri membaca koran pagi di meja makan saat sarapan.” Tapi buku itu tidak laku. Kukira publik penutur bahasa Inggris terbiasa dengan humor visual yang lebih langsung ketimbang karyaku. Aku berfokus pada detail, dan pembaca selalu bertanya mengapa aku memasukkan gambar-gambar tertentu. Bila aku menggambar koran, kutulis berita macam-macam di situ sampai membentuk semacam kode bagi pembaca. Banyak orang tidak memperhatikan detail ini. Sementara untuk Mafalda, orang Inggris beranggapan dia “terlampau Amerika Latin.”

Akankah Anda mengatakan humor Anda khas Argentina?
Serial Mafalda jelas. Lingkungan tempat tokoh-tokohnya hidup adalah perkampungan Buenos Aires tempatku sendiri hidup, dan cara bicara Mafalda juga khas Argentina, bahkan dalam edisi yang terbit di Spanyol dan negara-negara Amerika Latin lainnya. Di karyaku selebihnya yang memakai dialog, aku mencoba memakai idiom yang sedikit lebih netral. Sementara untuk kartun-kartunku yang lain, aku tidak tahu cara menjawab pertanyaanmu. Orang tuaku, bibi dan pamanku dan kakek-nenekku semuanya orang Spanyol. Semasa kecil, banyak imigran di sekitarku: si tukang daging orang Spanyol, begitu pula pemilik toko sembako yang menjual kacang lentil. Si tukang sayur orang Italia, dan kawan-kawan orang tua serta kakek-nenekku berasal dari Andalusia. Kontak riil pertamaku dengan orang Argentina terjadi saat di sekolah dasar. Aku berbicara dengan logal Andalusia yang sangat kental sampai teman-teman sekolahku tidak bisa mengerti apa yang kuucapkan. Aku merasa susah bergaul dengan mereka.

Kadang Anda pakai teks, kadang tidak. Menurut Anda teks itu faktor krusial dalam humor?
Aku lebih suka tanpa kata-kata. Tapi ada beberapa gagasan yang tak mungkin bisa dimengerti tanpa teks. Dalam hal ini humor itu seperti sinema. Chaplin, misalnya, tak pernah membutuhkan kata-kata. Begitu pula Jacques Tati. Tapi Woody Allen, yang tidak memakai lawakan visual, jadi tak lucu lagi begitu ia berhenti bicara.

Apa tema favorit Anda?
Kukira tidak ada, meski sepanjang waktu ini aku bisa melihat ada tema-tema tertentu yang muncul berulang kali. Yang paling sering ditemui dalam karyaku adalah humor tentang yang lemah dan yang kuat, tentang hubungan antara penguasa dan orang biasa. Aku tumbuh besar dalam keluarga yang sangat politis. Perang Saudara Spanyol dan bangkitnya fasisme adalah drama-drama yang menandai masa kecilku. Kejadian-kejadian itu memberiku pandangan politis tentang hidup, pandangan yang ingin kuungkapkan dalam semua gambarku. Menurutku hubungan kekuasaan ada dalam segala situasi, entah seseorang sedang berhadapan dengan pejabat pemerintah, yang senantiasa merupakan pihak yang berkuasa, atau pelayan atau dokter. Aku terpukau oleh hubungan yang didasarkan pada ketergantungan. Tema-tema lain yang kuangkat ada yang menyangkut hidup dan mati, di mana maut tergambar sebagai sosok yang kuat sementara hidup sebagai yang lemah. Aku khawatir kehilangan kebebasanku dalam usia senja—aku ngeri membayangkan harus bergantung pada orang lain untuk hal-hal yang paling sederhana. Jadi kugambar kartun tentang seorang tua 84 tahun yang ingin segelas anggur tapi bertentangan dengan keinginan cucu-cucunya.­

Adakah tema-tema yang terlarang?
Waktu aku baru mulai, aku bergurau soal tahanan. Napi dan orang terdampar sudah menjadi langganan humor sedunia. Tapi ketika orang mulai dipenjara di Argentina karena alasan-alasan politik, aku berhenti bergurau soal itu, dan sampai sekarang pun masih tidak bisa. Kurasa bakal kontraproduktif untuk mengangkat isu tragis seperti pemenjaraan dan penyiksaan melalui humor, dan aku masih belum bisa ikut serta dalam kampanye Amnesty International, sekalipun sering dikritik tentang hal ini. Aku juga tidak suka tragedi seperti gempa bumi atau bencana-bencana alam, sekalipun ini menurutku lebih dikarenakan fobia personal yang tidak dialami, misalnya, oleh kartunis-kartunis Brazil. Beberapa tahun lalu pesawat Uruguay yang membawa satu tim rugbi jatuh di pegunungan Andes. Orang-orang yang akhirnya selamat harus memakan daging mereka yang meninggal. Sebuah majalah humor Brazil mengkhususkan salah satu nomornya untuk peristiwa ini, yang sama sekali tidak lucu. Tapi mereka berhasil membuatnya lucu, sangat suram namun lucu. Dan belum berapa lama lalu aku melihat satu nomor mingguan Perancis, kalau tidak salah Le Canard Enchaîné, yang menampilkan gambar tentang perkosaan dalam penjara, topik yang takkan sanggup kugarap.

Buku Anda terbaru, Cuánta bondad, penuh gambar yang mengolok-olok teknologi modern: faks, komputer, ponsel. Anda benar-benar tidak menyukai barang-barang ini?
Aku benci ponsel, dan pemakaiannya secara konyol bikin aku gregetan. Aku bisa mengerti bila seorang dokter, tukang listrik, atau tukang ledeng memerlukan ponsel. Belum lama lalu di Asturias seorang pria selamat dari keroyokan serigala karena ia menelepon minta tolong dengan ponselnya. Tapi aku tidak tahan berada di ruang tunggu dokter mendengarkan orang menelepon cuma untuk bilang dokternya terlambat atau bertanya apa mereka perlu mampir toko. Kurasa internet sangat berfaedah dalam situasi-situasi tertentu. Di bidang kedokteran misalnya, menakjubkan bahwa seorang dokter di kota kecil bisa berkonsultasi dengan ahlinya di Amerika Serikat atau Swiss. Tapi sama sekali berbeda halnya untuk terpaku pada internet dan mencari pasangan atau pacar dengan mengubek-ubek komputer. Aku kenal seorang perempuan tua, seorang psikolog Italia, yang berkomunikasi dengan rahib-rahib Tibet melalui internet meski aku yakin ia tak pernah peduli untuk menyapa tetangganya. Banyaknya alat komunikasi berarti orang kian mengisolir diri dari orang-orang di sekelilingnya.

Sepak bola juga tampil dalam beberapa karya Anda. Anda suka bola?
Aku tidak mengetahui soal bola sebanyak yang aku inginkan, tapi ini sangat menarik buatku terutama dari sudut pandang sosial. Inilah satu-satunya olahraga yang membuat penontonnya bertindak kriminal. Aku pernah melihat terjadinya kekerasan antara tim hoki es, termasuk tewasnya seorang pemain yang tulang dadanya kena gebuk dan ditinggalkan mati. Tapi dalam sepak bola, publik itu sendirilah yang meradang, menyerang, dan membunuh. Seorang penulis Amerika yang mempelajari fenomena holiganisme di Inggris tiba pada simpulan bahwa sepak bola membikin frustrasi karena butuh waktu 90 menit untuk menanti sebuah gol disarangkan. Di basket atau bahkan hoki, perolehan angka terus menerus berubah, tapi dalam bola 30 atau 40 menit bisa berlalu tanpa gol satu pun. Alhasil frustrasi pun menumpuk di antara penonton dan itu harus diluapkan entah bagaimana. Aku lebih tertarik pada sepak bola dari sudut itu ketimbang sebagai olahraga, sekalipun kuakui ada pemain-pemain yang sungguh nikmat untuk ditonton. Ketika Johann Cruyff di lapangan, rasanya seperti menonton Rudolf Nureyev di atas panggung.

Tuhan digambarkan
dengan segitiga kesucian
di atas kepala (karena
lingkaran kesucian sudah
dipakai oleh malaikat).
Tuhan sering muncul dalam kartun-kartun Anda. Mengapa?
Aku tidak percaya Tuhan, tapi aku banyak membaca Kitab Suci karena itu sumber gagasan yang fantastis. Dan sekalipun bila Tuhan tidak ada, itu tetap tema yang sangat bagus. Ia sosok yang mustahil diabaikan: entah orang mencintainya atau membencinya. Dan ia terus menerus muncul dalam kartun-kartunku karena dalam satu hal ia adalah karakter yang bisa kau identifikasi. Saat menggambar kau mencipta banyak hal dengan pensil, dan kau bisa membangun di atas kertas segala jenis dunia yang terlintas di pikiran. Mungkin ia tidak ada, tapi sebagaimana kata Borges, cukup untuk memiliki kata yang ditujukan untuk merujuk sesuatu, dan sesuatu itu pun akan jadi nyata. Apalagi, agama itu sama seperti seks atau obat-obatan: selalu menyulut reaksi dan surat-surat dari pembaca, dan aku suka itu.

Apa kenangan terburuk Anda dalam menekuni profesi ini?
Tanpa ragu sedikit pun, yang paling mengesalkanku adalah dipakainya kartun-kartunku untuk maksud-maksud yang jauh berbeda dengan maksud yang mengilhamiku saat menggambarnya. Terutama, aku akan sangat marah ketika kartun-kartunku dipakai dalam kampanye politik sayap kanan. Pernah aku dikirimi dari Spanyol stiker bergambar Guille, adik Mafalda, membawa bendera pro-Franco. Itu pukulan telak, karena aku lahir dalam keluarga yang berantakan gara-gara Perang Saudara Spanyol, dan film-film tentang periode itu masih membuatku menangis. Komikku juga dipakai dalam kampanye politik seorang perwira militer Argentina yang pernah jadi kapolda Buenos Aires. Aku bertanya-tanya apakah orang-orang ini membaca karyaku dan sama sekali salah tafsir, atau apakah mereka sangat memahaminya dan justru ingin membelokkan maknanya. Hal-hal macam ini benar-benar tak bisa kupahami. Aku dengar Mafalda dipakai di Venezuela untuk kampanye pemilu, tapi aku takkan menyewa pengacara di Caracas karena kondisi macam ini akan mulur berkepanjangan selamanya.

Anda selalu bebas untuk menggambar apapun yang Anda suka?
Kelihatannya memang paradoksal, tapi di bawah pemerintahan militer Argentina –yang sama halnya dengan mengatakan pada hampir seluruh pemerintahan, karena sejak lahir aku cuma mengenal empat presiden yang terpilih secara demokratis—tak pernah ada badan sensor resmi. Ini berkebalikan dengan Brazil, di mana ada badan tempat semua kartunis harus mengirimkan gambar mereka sebelum bisa diterbitkan. Di Argentina, para editorlah yang mencoba meredammu. Masalahnya, kau tak pernah tahu apa atau siapa yang jadi masalah, jadi kau pun mulai menyensor karyamu sendiri. Ketika aku tiba di Buenos Aires dengan map penuh gambar kartun, aku langsung sadar bahwa gereja dan militer tidak mungkin dijadikan target banyolan, bahwa seks harus dipoles secara sopan, dan sama sekali tidak mungkin membahas soal homoseksualitas. Sejak masih muda dan ingin diterbitkan, aku menahan diri pada tema-tema yang diperbolehkan. Namun sampai hari ini, ketika semuanya boleh, aku masih merasa sangat sukar untuk lepas dari kebiasaan swasensor.

Anda hidup dalam pelarian selama kediktatoran militer.[2] Anda dipaksa keluar negeri?
Aku hengkang ketika situasinya benar-benar buruk. Banyak temanku dihilangkan, dan ketika aku pergi mengantar kartun ke majalah yang menerbitkan karyaku, kudapati bom telah meledak di sana atau gedungnya baru saja diberondong senapan mesin malam sebelumnya. Dengan kerja sepertiku, yang bisa dilakukan di meja hotel di tempat manapun sesukamu, bodoh kiranya untuk tetap tinggal. Antara 1976 hingga 1979 aku tinggal di Italia. Lantas aku mudik untuk menengok keadaan, dan sekarang delapan bulan dalam setahun aku tinggal di Buenos Aires dan sisanya di Milan, yang menjadi basisku di Eropa. Aku juga menghabiskan banyak waktu di Spanyol dan Perancis.

Selain di Argentina, Anda harus membuat konsesi agar buku-buku Anda bisa terbit?
Ya, sedikit, tapi biasanya untuk alasan-alasan yang anekdotal kalau bukan konyol. Sekitar 15 tahun lalu secara kebetulan aku dengar bahwa Mafalda sangat terkenal di Cina. Seorang gadis cilik dari Cina memberitahuku hal ini saat memintaku menandatangani sebuah album di pesta buku Buenos Aires. Sebelumnya aku tak punya bayangan bahwa buku-bukuku terbit di Cina, jadi aku sangat penasaran. Lewat seorang teman aku berhasil menemukan bahwa edisi bajakan itu dicetak di Taiwan, dan bahwa penerbitnya, seperti semua pembajak hebat, adalah orang Inggris. Agenku berhasil membuat edisi bajakan ini ditarik dan edisi resminya terbit di Cina daratan. Aku datang ke sana beberapa bulan lalu, dan bertanya bagaimana mereka menerjemahkan semua strip Mafalda yang membahas tentang “bahaya kuning”. Ketika menggambar strip-strip itu kita baru saja tahu bahwa Cina punya bom atom, dan terungkapnya fakta ini menyulut keprihatinan mendalam dunia Barat. Mereka memberitahuku bahwa segala yang berkaitan dengan Cina telah dibuang, karena mereka beranggapan aku tidak cukup mengenal Cina untuk bisa beropini—penalaran yang ajaib, menurutku. Aku juga mendapati bahwa Susanita, teman Mafalda yang berangan-angan punya keluarga besar, dianggap subversif terhadap kebijakan keluarga berencana di Cina.

Mafalda sangat politis. Pernahkah ini menimbulkan masalah bagi Anda?
Aku masih ingat kasus Kuba, negara yang kudatangi tujuh atau delapan kali dan di sana aku punya teman-teman baik. Mafalda terbit dalam edisi Kuba dan serial film animasi yang didasarkan pada strip kartun itu juga dibuat di sana. Tapi kapan pun aku pergi ke Kuba, orang selalu memintaku menjelaskan strip yang menggambarkan Mafalda duduk menghadap sepiring sup –makanan yang paling ia benci melebihi apapun—dan bertanya mengapa Fidel Castro tidak bilang sup itu enak agar di Argentina sup dilarang. Memang benar bahwa pada zaman itu, apapun yang terkait dengan Kuba dipandang penuh curiga di Argentina. Tapi yang sebetulnya diucapkan Mafalda adalah: “Kenapa sih si bego Fidel Castro nggak bilang…?”[3] Koran Spanyol El País menyensor sebagian gambarku dengan alasan terlampau “suram”, yang kujawab bahwa bisa jadi aku suram, tapi tak pernah sesuram hidup itu sendiri.

Serial Mafalda sering dibandingkan dengan Peanuts karya Schulz.
Sudah sewajarnya. Aku mengawali strip Mafalda sesudah ada pesanan iklan untuk sebuah merk perkakas rumah tangga, dan aku diminta untuk menggambar sesuatu yang mirip itu. Kubeli semua buku karya Schulz yang bisa kudapat di Buenos Aires, mempelajarinya dan lantas mencoba menggarap sesuatu yang serupa tapi diselaraskan dengan situasi kami. Iklan ini tak pernah dicetak karena majalah yang akan menerbitkan kartun-kartun ini sadar bahwa ini iklan kloset. Jadi kusimpan gambar-gambarku sampai setahun sesudahnya, 1964, dan kukeluarkan lagi untuk majalah Primera Plana.

Menurut Anda mengapa Mafalda masih terus diterbitkan dan dibaca hampir 30 tahun sesudah Anda berhenti menggambarnya?
Kukira sebagiannya karena pesannya masih relevan. Umat manusia masih punya banyak masalah untuk dihadapi. Dunia yang dikritisi Mafalda, dunia yang ada pada 1973 saat aku berhenti membuat strip ini belumlah lenyap, malah mungkin jadi bertambah buruk. Sekalipun aku tersanjung karena Mafalda masih terus dibaca, menyedihkan pula kalau dipikir bahwa ketidakadilan sosial yang dikecamnya masih terus berlangsung.

Mengapa Anda berhenti menggambar Mafalda, bertentangan dengan kehendak pembaca?
Humor dan karya seni pada umumnya bisa aus. Aku sangat mengagumi Schulz, dan aku suka Peanuts. Kubaca strip itu dengan penuh semangat selama 10 atau 15 tahun. Tapi aku juga ingin melihat humornya yang khas itu tercermin pada karya-karya lain. Aku merasakan hal yang sama mengenai pelukis Kolombia Fernando Botero: kurasa ia tidak harus terus melukis sosok-sosok gendut sepanjang hidupnya. Sementara aku sendiri, sesudah 10 tahun Mafalda, aku mulai menderita tiap kali menggambar nomor baru, dan aku merasa amat sukar untuk tidak mengulang-ulang. Ketika aku mulai menggambar, aku belajar bahwa bila kau tutup panel terakhir gambar stripmu dan orang bisa menebak akhirnya, maka cerita itu tidak layak. Sekalipun buku-buku itu masih sangat laris dan orang-orang memintaku lagi, kurasa aku mengambil keputusan yang tepat untuk berhenti menggarap Mafalda, dan aku tidak merindukannya sama sekali.

Sketsa untuk poster UNICEF
Mafalda inedita (1988)
Namun toh Anda menggambarnya lagi...
Ya. UNICEF memesan beberapa gambar untuk peringatan 10 tahun Konvensi Hak-Hak Anak, dan dengan senang hati aku membuatnya. Aku juga menggambarnya lagi untuk peringatan kelima pemerintahan demokratis Presiden Raul Alfonsín di Argentina, dan aku membolehkan Mafalda dipakai untuk kampanye kesehatan publik serta tujuan-tujuan lain yang menurutku layak didukung. Sekarang aku memakainya ketika ingin memprotes sesuatu — dialah juru bicara perasaan kesalku. Tapi aku tak pernah dan takkan pernah setuju bila Mafalda dipakai dalam iklan, begitu pula aku takkan membolehkan ia diadaptasi untuk teater atau film. Satu-satunya konsesi yang kubuat adalah untuk film animasi karena gambar tangan dibutuhkan untuk membuatnya.

Apa yang Anda sampaikan pada para pembaca, terutama anak-anak, yang meminta Anda menggambar Mafalda lagi?
Menjawab anak-anak itu mudah. Aku gambar Mafalda selama 10 tahun, jadi aku selalu memberitahu mereka hal yang sama. Kataku: bayangkan bila kalian harus melakukan hal yang sama setiap pagi sejak lahir sampai saat ini. Kalian suka itu? Mereka selalu bilang tidak. Anak-anak umur 15 atau 16 tahun lebih susah diyakinkan, dan kukira aku tidak berhasil meyakinkan mereka.

Beberapa kajian pseudo-ilmiah menyatakan bahwa anak-anak Amerika Latin yang membaca Mafalda cenderung tak suka sup.[4] Lalu ada pula anak-anak gadis yang benar-benar diberi nama Mafalda. Sebuah majalah bahkan menobatkannya sebagai salah satu dari 10 perempuan Argentina paling berpengaruh selama abad ke-20. Tidakkah ini tanggung jawab yang berat?
Jelas. Tapi tanggung jawab riil buatku adalah menghadapi halaman kosong saban minggu yang di atasnya aku bisa menuliskan apa saja sesukaku. Ada orang yang pernah memberitahuku bahwa ratusan orang ingin punya halaman mingguannya sendiri untuk bisa mengungkapkan apapun semau mereka. Menyadari tanggung jawab itu membuatku pening, tapi selebihnya, itu bukan urusanku.

Anda mengidentifikasi diri dengan karakter ciptaan Anda yang mana?
Pada taraf tertentu aku merasa identik dengan mereka semua. Aku percaya semua karakter yang muncul di gambar-gambarku semuanya relevan. Aku menyadari ini dari sebuah wawancara dengan sutradara film Amerika Frank Capra, yang sedang membicarakan pentingnya pemeran pembantu. Ketika ia memfilmkan suatu adegan di jalan, ia mengajak bicara tiap-tiap pemeran pembantu itu dan dengan cermat menjelaskan peran mereka. “Anda, nyonya, pergi ke toko obat dengan gundah karena suami Anda sakit. Anda, tuan, dekorator ruangan yang hendak mengecat sebuah apartemen dan Anda terburu-buru karena telat.” Setiap karakter yang tampil di film-film Capra, sekalipun cuma di latar belakang, punya kisah. Serupa dengan itu, ketika aku menggambar restoran, aku bayangkan pria yang duduk di meja belakang itu bekerja di bank dan punya saudara ipar yang tinggal di Venezuela. Aku senang berkhayal begitu.

Anda pernah bilang umat manusia adalah kanker planet ini. Apakah tak ada harapan?
Kuberi satu contoh: orang selalu berkata kawasan Amazon itu paru-paru bumi kita, tapi ini toh tidak menghentikan mereka untuk terus merusaknya. Seolah-olah seseorang yang terkena kanker paru-paru tidak berbuat apa-apa untuk mencegahnya, apalagi menyembuhkan diri. Karena begitu banyak orang mencemaskan perusakan Amazon, mengapa PBB tidak membelinya dan melindunginya? Tapi tidak. Manusia memang seperti itu. Mereka terus merokok sekalipun kena kanker paru-paru. Dalam pandanganku, harapan terletak pada menumbuhkan optimisme historis tertentu. Aku sependapat sepenuhnya dengan penerima Hadiah Nobel Sastra dari Portugal José Saramago, yang selalu bersikukuh bahwa sosialisme dan kaum kiri suatu hari nanti akan kembali mendapatkan pamornya yang hilang. Menurutku dia benar. Aku selalu membandingkan politik dengan penerbangan. Selama berabad-abad banyak orang meninggal karena mencoba terbang. Tapi sebelum mereka bisa terbang layang atau dengan pesawat ringan, pertama-tama harus ditemukan mesin pembakaran dalam, yang beratnya luar biasa. Bila Leonardo da Vinci mengenal material-material ringan yang kita gunakan sekarang, orang sudah bisa terbang sejak abad ke-15. Ini seperti menyambangi katakombe-katakombe Kristen di Roma. Dahsyat! Tiga abad bersembunyi! Kelompok politik mana saat ini yang bisa bertahan tiga abad tanpa diinfiltrasi? Dan 2000 tahun sesudahnya mereka masih ada, sekalipun memang sudah menjadi berkebalikan total dengan apa yang mereka klaim dulu.

Anda selalu menggambar dalam hitam putih?
Ya, dengan sedikit pengecualian. Edisi Perancis Mafalda berwarna karena penerbitnya merasa bila tidak berwarna, di Perancis tidak akan laku. Aku setuju tapi tidak begitu senang dengan hal ini. Mafalda sebagaimana yang kulihat adalah hitam putih, dan secara umum aku lebih menyukai komik hitam putih kecuali bila warna yang dipakai memang menambah sesuatu. Tentunya saat kau menonton film-film Akira Kurosawa, kau sadar warnanya memang memberi bobot tertentu. Aku memakainya jarang-jarang, hanya bila ada darah atau memang pada tempatnya. Aku pernah melukiskan seorang anak yang ditinggal di rumah sendirian dan ia menggambar garis melintas sepanjang dinding rumah itu, dari tangga sampai lorong ke kamar tidur. Ketika orang tuanya pulang ia menyapa mereka dengan berkata, “Aku berani taruhan kalian pasti tidak tahu warna kebebasan.”

Warna apa itu?
Hijau.
____
1) Charles M. Schulz (1922-2000), kartunis Amerika yang terkenal atas serial Peanuts dan tokoh anjing Snoopy.
2) 1976-1983.
3) Catatan penerjemah: Dalam edisi Indonesia, rupanya frase “cretino de Fidel Castro” (si bego Fidel Castro) juga tidak diterjemahkan lengkap. “Kenapa sih Fidel Castro nggak bilang kalau sup itu enak!” Lihat Mafalda 4, terjmh. Ratna Dyah Wulandari (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 88.
4) Catatan penerjemah: Kajian yang dimaksud oleh wawancara ini adalah data kelompok anak usia 7-11 tahun yang dilansir oleh berkala riset pasar Pan-Latin American Kids Study pada 1996:

Tingkat Kekerapan Membaca Mafalda
Persentase yang Menganggap Sup
Makanan Favorit Mereka
Selalu
4,2%
Sering
28,6%
Kadang-kadang
47,9%
Tidak dalam setahun terakhir
55,0%
Meski demikian, seperti dijelaskan sendiri oleh penerbit studi ini, tabel ini hanya menyandingkan dua data amatan dalam himpunan yang berbeda dan tidak menunjukkan hubungan kausalitas antar kedua himpunan. Sehingga tidak bisa dibilang membaca Mafalda membuat anak-anak tidak menyukai sup atau sebaliknya, tidak menyukai sup membuat anak-anak suka membaca Mafalda.