Menyusuri Calle 23, jalan utama Havana, dalam Volkswagen kap terbuka yang disetir David Calzado, rasanya seperti menyusuri Sunset Boulevard bersama Puff Daddy. Tiap orang –baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang sedang menunggu bis, menggenjot sepeda bikinan Cina, atau cuma berjalan kaki—melambaikan tangan, tersenyum, menjerit, atau mencoba menjamah pentolan Charanga Habanera ini, band tari paling top dan kontroversial di Kuba. Bahkan sedikit orang yang beruntung bisa punya mobil membunyikan klaksonnya.
Calzado dengan senang menjalani status bintangnya ini. Ia tiupkan ciuman ke mana-mana. Ia melambai dan mengklakson balik. Ia tos dengan seorang pria yang naik mobil tua Amerika dari zaman pra-Castro dan melajukan mobil peraknya dengan ban berpelek lebar itu. VW-nya sudah 10 tahun, tapi keren, langka dan mewah di Havana. Kaus Tommy Hilfiger warna merah putih birunya lengket ke dada. “Aku cinta negeri ini,” ujarnya. “Kalau bukan karena aku harus bermain di luar negeri buat cari duit, aku takkan pernah pergi. Tapi tahu kan, aku terbiasa dengan barang-barang mahal.” Ia suka berpakaian ropa de marca (baju-baju bermerk) seperti jins Pelle Pelle baru dan Nike hitam yang ia pakai. Ia ingin membeli Mitsubishi empat pintu dan memasang tiga teve kecil di dalamnya. “Ini akan jadi mobil bertelevisi pertama di Havana,” katanya.
Pemerintahan Fidel Castro bersikeras bahwa Kuba adalah masyarakat sosialis. Namun dengan restu Komite Sentral, sejumlah kecil musisi sekarang lebih berpunya –jauh lebih berpunya—dibanding 11 juta warga Kuba lainnya yang tinggal di pulau itu. Merekalah kaum profesional pertama dalam hampir empat dasawarsa yang bisa menumpuk kekayaan sejak Castro mendepak keluar tauke-tauke tembakau dan gula, para mafia dan perusahaan-perusahaan Amerika. Merekalah orang-orang Kuba pertama yang diperbolehkan menjadi pengusaha independen dan kapitalis kaya raya, sekalipun tidak diizinkan berinvestasi di negara mereka sendiri.
Perlakuan pilih kasih ini terkait dengan hilangnya topangan Uni Soviet terhadap negeri itu. Sebelum 1989, musisi dijatah rumah bagus dan punya kesempatan pergi keluar negeri dan memperoleh per diem, tapi di dalam negeri mereka dibayar sebagai “pekerja Revolusi,” seperti buruh-buruh tebu, guru sekolah, atau tukang linting cerutu. Sekarang, segelintir di antara mereka, terutama yang memainkan musik dansa populer seperti Calzado, diperlakukan bak bintang. Paulito FG, penyanyi otodidak necis yang membuat cewek-cewek abg Kuba histeris; Manolín González Hernández, yang dikenal sebagai el Medico de la Salsa atau Dokter Salsa (dokter berusia 33 tahun yang beralih jadi bintang salsa); dan Calzado sendiri hidup mewah—paling tidak dalam ukuran Kuba.
Di Havana, baliho-baliho masih mencanangkan “Sosialisme atau Mati”, tapi jalanan terlihat lebih seperti Hollywood yang baru jadi. Calzado membawaku ke El Aljibe, restoran favoritnya. Di situ menu makan sepuasnya yang terdiri dari ayam saus jeruk yang lezat, nasi, kacang, salad, dan pastel dihargai $14 per orang, setara gaji bulanan dokter bedah jantung. Ini tempat tongkrongan para pejabat teras, pebisnis dan jurnalis asing, serta turis mancanegara. Pelayan mengecup pipi Calzado dan mengantar kami ke meja langganannya. Calzado mencopot kacamata hitamnya dan menaruhnya di samping kunci mobil dan dompet kulit. Ponselnya tak berhenti berdering. Manajernya menelepon beberapa kali: Institut Musik minta Charanga bermain dua kali minggu ini. Pertama untuk para pegawai Kementrian Dalam Negeri, dan lantas di Pabexpo, balai sidang tempat pemerintah menutup The First International Construction Fair. Tugas-tugas ini masuk dalam deskripsi kerja band itu sebagai musisi negara, yang untuknya mereka dibayar gaji bulanan sekitar $30. Tapi yang sesungguhnya ingin diketahui Calzado adalah sudah pastikah bandnya akan bermain di El Palacio de la Salsa, klub beken yang biaya masuknya $20 dan pengunjungnya kebanyakan pria-pria bule dan cewek-cewek Kuba.
Calzado, kini 42 tahun, hampir sama tua seperti revolusi Castro. Ia dididik dengan mengucapkan sumpah di sekolah tiap hari untuk menjadi “pionir Komunisme” dan berikrar akan menjadi “seperti Che.” Ia bertempur di Angola. Saat ia menambah makanan untuk ketiga kalinya dan meminta pelayan keripik ketela, aku bertanya apa perasaannya mengenai perbedaan yang kentara jelas antara dirinya dan penggemarnya, bagaimana menyelaraskan pendidikan revolusionernya dengan gaya hidupnya yang baru ini. Ia menjawab dengan mengutip produsernya yang orang Spanyol, tempat ia belajar pedoman gaya hidup kapitalisnya: “Kita harus terbiasa dengan kenyataan bahwa ada yang berpunya dan ada yang kurang berpunya. Kesetaraan bukan berarti kita semua punya yang sama, tapi masing-masing kita memiliki apa yang layak kita dapatkan, yang kita garap dengan bekerja," ucapnya. “Lagipula, aku harus berada di atas. Penggemarku ingin aku jadi yang terbaik, dan itu artinya aku harus berpakaian paling bagus, mengendarai mobil terbagus. Aku tidak mau mengecewakan mereka.”
Bon diantar dan aku ngotot ingin membayar. “Tolong,” desaknya. “Ini tak ada artinya buatku. Lihat, cuma $30. Kau harusnya lihat berapa yang kubayar ketika para produser musik datang dari luar negeri dan kami makan besar. Aku memang suka begitu. Aku tidak mau semua orang mengira orang Kuba tidak sanggup membayar makan siang mereka sendiri.”
Ia buka dompetnya penuh kerahasiaan dan kegaiban seperti seseorang yang hendak menunjukkan sesuatu yang terlarang atau sangat berharga. “Aku selalu bayar dengan ini.”
“Cek,” ujarku. “Tidak banyak orang di Kuba bisa memilikinya, ya kan? Kukira bahkan lebih sedikit dari yang punya ponsel.”
Ia mengangguk puas. “Ya,” katanya. “Nanti aku ingin punya kartu kredit. Tapi aku belum begitu mengerti cara kerjanya.”
Dari dulu Kuba adalah lumbung musik. Di sinilah musik son tradisional dilahirkan, begitu pula mambo dan cha-cha-cha yang mengharu biru para pecinta dansa di era 1950-an. Beny Moré, Arsenio Rodríguez, dan Pérez Prado, kakek moyang dari apa yang kini dikenal sebagai salsa, semuanya orang Kuba. Kehidupan malam yang terkenal di Havana pada 1950-an, yang biasanya diasosiasikan dengan judi, prostitusi, dan mafia-mafia bercerutu, juga dipenuhi musik yang hebat. Salah satu langkah pertama Fidel Castro sesudah merebut kekuasaan adalah menghambat peredaran musik dansa, dengan harapan bisa menghapus citra Kuba sebagai tempat pelesiran orang Amerika. Tapi komunisme tidak sanggup membunuh musik, dan bisa jadi ini satu-satunya hal yang tersisa bagi banyak orang. Periode Khusus –eufemisme Castro tentang masa-masa pasca hilangnya subsidi Soviet—membawa kesukaran dan ketidakpuasan. Hilang sudah masa-masa penuh makanan bayi produksi Bulgaria dan carne rusa kalengan, daging ham Rusia yang kini dikenang orang Kuba dengan penuh nostalgia. Sebuah survei dari Meksiko baru-baru ini menyebutkan bahwa 76 persen orang Kuba merasa kondisi ekonomi mereka tak pernah seburuk sekarang ini.
Listrik boleh mati, bensin bisa langka, bahkan rum pun dijatah, namun musik selalu ada. Teve jarang menayangkan berita namun berlimpah acara musik. Gaji boleh sedikit tapi pesta-pesta musik yang dibiayai negara marak. Calzado memberitahuku bahwa ketika bandnya main di pinggiran kota, satu-satunya orang yang tinggal di rumah hanya orang-orang jompo dan bayi. “Charanga bisa menarik orang ke Alun-Alun Revolusi di Santiago sebanyak Fidel Castro,” ujarnya.
Musik yang dimainkan Charanga bernama timba, paduan jazz dan rumba yang dibumbui reggae, funk, dan hiphop. Sekalipun berakar dalam elemen-elemen tradisional musik son (ritme khas Kuba dari kocekan gitar yang ditingkahi alat tiup), bunyinya terdengar beda dengan musik Havana kuno sebagaimana musik rap berbeda dengan the Ronettes. Timba adalah mambo modern, cha-cha-cha yang diperkeras, yang dirancang untuk membuat orang-orang yang paling kaku dalam menari pun ingin berdiri dan bergoyang. “Dasarnya son, tapi lebih Afrika, lebih perkusif,” kata Ned Sublette, penulis lagu dan penyanyi asal Texas yang merintis salah satu perusahaan rekaman pertama di Amerika untuk musik-musik Kuba. “Ini musik dansa yang asyik.”
Timba adalah bunyi Kuba baru pasca-Soviet Cuba; musik dari Periode Khusus. Inilah suara orang Kuba kebanyakan, orang-orang yang membolehkan “kekubaan” mereka –jatidiri Kuba yang memadukan keceriaan hidup, sensualitas, dan perangai macho—tampil keluar. “Kamilah suka cita yang dimiliki orang Kuba bahkan ketika mereka tidak memiliki apa-apa,” kata Paulito FG sembari menghisap cerutu dan duduk bersilang kaki menampakkan kaus kaki Mickey Mouse. “Di sini orang-orang bernyanyi sepanjang waktu, bahkan saat tidak mabuk.”
Bila Granma, koran resmi Kuba, mengisi halaman-halamannya dengan pidato-pidato panjang Castro, memorandum partai, dan artikel-artikel tentang masa depan panenan tebu, timba melukiskan kehidupan sehari-hari di Kuba yang baru, di mana dolar kini bersaing dengan dialektika. Empat puluh tahun Marxisme tidak mampu melucuti jiwa Kuba dari hakikat musik Afro-Kubanya. Timba itu riang, bermain-main, sensual. “Revolusi hendak membuat negeri baru, bahkan dengan musik kami,” kata Manolín Sang Dokter Salsa, salah seorang timbero yang paling politis dan lantang bersuara. “Mereka mencoba meminggirkan son dan memaksakan trova pada kami.” Yang ia maksud adalah nueva trova, sejenis musik folk era 1960 yang membawa pesan-pesan cinta revolusi dan membenci imperialisme yanqui. Masyarakat yang dulu bernyanyi memuja-muja persaudaraan universal, yang menginspirasi satu generasi mulai dari Meksiko sampai Argentina, kini menyanyikan tembang-tembang hits tentang perempuan yang lebih suka jadi simpanan. “Trova adalah musik kaum intelektual, bukan musik rakyat,” kata Manolín. “Di sini kami harus mendirikan monumen untuk musik son. Ratu negeri ini adalah musik tradisional kami. Di sini kebanyakan orang tidak cukup punya otak untuk mengartikan apa yang hendak disampaikan para trovadores. Sementara kami melakukannya dengan bahasa jalanan — blak-blakan dan langsung.”
Para timbero bernyanyi soal gosip sekitar, tentang cekcok antar pasangan, tentang konsumsi dan materialisme. Ada sebuah lagu timba populer yang berjudul “Maniak Belanja.” Lagu lainnya, “Turis Super,” berkisah tentang seorang cewek Kuba yang suka pergi ke tempat-tempat mahal, tempat-tempat yang cuma turis sanggup mengajaknya. Di lagu lainnya, Charanga menasehati para perempuan muda untuk punya papirriqui con wanikiki (simpanan berduit), “agar kau bisa punya, agar kau senang.” “Kuubah nama uang di Kuba ini,” kata Calzado. Kini, kalau menyebut dolar, orang Kuba menyebutnya wanikiki.
Saat aku bertanya pada vokalis utama Charanga, Michel M. Márquez yang berusia 18 tahun, apa pendapatnya soal Che, ia cuma angkat bahu. “Tidak terpikir apa-apa,” katanya. “Ia sudah tiada waktu aku lahir.” Begitulah sentimen umum generasi baru, dan lagu-lagu timba mencerminkan sikap apolitis ini. Namun dalam satu hal, bintang-bintang salsa ini bersikap cukup politis, bahkan subversif. Manolín bernyanyi soal “meninggalkan mentalitas lama... guna memberi peluang bagi perdamaian... zaman tengah berubah, lihat saja. Aku sudah punya teman di Miami.” Dan Charanga memakai metafor yang gamblang dalam “El Mango”: “Hei, kau mangga, kami semua menyukaimu waktu kau masih hijau. Kini kau sudah kuning dan tua, bukankah sudah waktunya kau jatuh dari pohon?”
Namun tetap, dalam atmosfer politik Kuba 1990-an yang baru terbentuk, di mana kebebasan berusaha suatu waktu didukung dan kala lainnya dimusuhi, lirik-lirik protes dan pembangkangan, betapa pun rapi disamarkan, kadang menyulut masalah, seperti dialami Charanga.
“Charanga itu mujizat,” Calzado menjelaskan saat kami duduk di rumah keluarga ibunya yang berisi kulkas Rusia, teve Sony 19 inci, dan altar bagi Chang, dewa Afrika ibunya. Ia pun bercerita tentang bandnya yang terbentuk pada 1988 itu. Sebelum tahun tersebut, Calzado menjalani hidup yang nyaman meski tidak menakjubkan. Ia berlatih sebagai pemain biola klasik di Kuba di mana uang tidak dibutuhkan. Semua diurus dan disubsidi gaya Soviet. Ia besar di apartemen sederhana tak bertingkat yang diberikan pemerintah pada ayahnya, seorang musisi terkenal, tak lama setelah kemenangan Castro. Pendidikannya di Cubanacán, salah satu konservatori seni terbaik di negeri itu, gratis. Begitu ia lulus dari institut tersebut, pemerintah menempatkannya dalam Orquestra Ritmo Oriental, salah satu band yang memainkan musik yang dikenal dengan nama charanga, yang menambah biola dan seruling pada bunyi gitar musik son tradisional. Calzado tinggal gratis di apartemen satu kamar tidur bersama istri dan anak perempuannya. Pasangan itu bekerja di Tropicana yang terkenal. Istrinya menjadi penari sementara ia pemain biola utama di jam makan sebelum pertunjukan.
Suatu malam, ia didekati pengusaha asing yang menawarkan per diem $50 untuk bermain di Eropa, dengan band yang akan ia bentuk. Gaji bulanannya dari negara kurang dari $20. Dalam hitungan hari ia kumpulkan sembilan musisi profesional, semuanya telah dilatih dengan kecermatan, disiplin, dan metodologi institusi-institusi musik yang didirikan Uni Soviet. Selama empat tahun berikutnya, dari Mei sampai September, grupnya berpentas di Monako, memainkan tembang-tembang lawas Kuba sebagai pembuka pentas bintang-bintang pop seperti Whitney Houston, Barry White, Liza Minnelli, dan Frank Sinatra. Ia pun kembali ke Havana pada musim gugur dengan kantung penuh tabungan. “Aku hidup seperti raja,” kata Calzado. Namun sekalipun populer di French Riviera, mereka tak dikenal dan tak diinginkan di Kuba — orang Kuba tak berminat pada band yang memainkan “Guantanamera.”
Pada1993, karena butuh aliran dana, pemerintah melegalisir dolar dan mulai memperluas pasar luar negeri untuk rum, tembakau, bioteknologi, dan musik. Arsip rekaman-rekaman lawas yang tak pernah dirilis mulai dijual. Semua musisi diberi hak berpergian dan kesempatan untuk menabung dolar dari per diem mereka yang sebelumnya hanya diizinkan buat sedikit yang beruntung seperti Calzado. Namun demikian, yang benar-benar mengubah peruntungan para musisi Kuba adalah Undang-Undang tahun 1995 yang membolehkan mereka bernegosiasi sendiri dengan produser rekaman dan penyelenggara tur dari luar negeri. Seraya Kuba membuka diri untuk pariwisata, klab-klab malam yang bertaburan dolar pun merebak di Havana. Dalam semalam, semua orang di Kuba ingin jadi pemusik.
Sementara itu, saat anggota Charanga duduk dan menunggu tur musim panas mereka, Paulito dan Manolín merajai tangga lagu. Paulito bernyanyi soal patah hati, Manolín soal pacar yang meninggalkannya demi seorang Italia. Konser mereka penuh sesak, dan mereka pun meneken kontrak rekaman. Calzado pun memutuskan pindah ke irama timba. Lagu pertama Charanga, lagu riang tentang seorang cowok yang jatuh cinta pada perawat, langsung menjadi hit.
Francis Cabezas, seorang Spanyol pemilik perusahan rekaman Magic Music, menonton pentas Charanga di Teater Karl Marx. Ia kontrak mereka, lantas mengganti kemeja guarachera mereka yang serba putih dan berjumbai-jumbai dengan celana terusan dan topi bisbol, lalu menambahkan koreografi dan tari kejang dalam pentasnya. Pada 1996, Charanga Habanera menerima hadiah setara Grammy untuk album terbaik tahun itu.
Pada Juli 1997, sebagai band paling populer saat itu, mereka diundang untuk mengisi penutupan Festival Mahasiswa dan Pemuda Dunia XIV, acara pertemuan yang menyerukan “solidaritas, anti-imperialisme, perdamaian, dan persahabatan.” Mereka bermain di luar ruangan untuk ribuan sosialis muda dari sepenjuru dunia. Mereka berpentas seperti biasanya, dengan gurauan-gurauan berbau seksual, Michel pura-pura mencopot celana, serta kiasan-kiasan soal narkoba. Esok harinya, tamat riwayat Charanga. Kaum garis keras naik pitam: Federasi Perempuan Kuba terperanjat, Serikat Komunis Muda “sangat terhina” dan “sangat kecewa”, Institut Radio dan Televisi Kuba pun mencekal mereka.
Mereka dijuluki “biang ketaksenonohan” dan dilarang tampil selama enam bulan. “Kata mereka ini gara-gara konser kami yang sangat kapitalis,” kata Calzado. “Tapi aku tak tahu, dalam soal pentas, apa yang membuat pertunjukan ini kapitalis dan yang itu komunis?” Mungkin karena mereka membayar $5.000 untuk tiba di konser memakai helikopter, atau mungkin gara-gara goyangan Michel yang tinggi semampai itu. “Tapi anak umur 4 tahun di Kuba juga menggoyangkan pinggulnya seperti itu,” protes Calzado. Seroang produser Amerika berkata mengenai band-band baru ini: “Bakal terjadi konfrontasi lanjutan dengan pihak berwenang saat subkultur mereka berkembang kian menangguk untung. Negara akan mulai mencari-cari alasan untuk memberangus mereka sebab mereka mewakili kebebasan.”
Saat ini ada sekitar 12.000 musisi yang digaji oleh negara, memainkan antara 20 hingga 30 genre yang berbeda: klasik dan jazz; segala variasi musik tradisional seperti son, rumba, dan guaguanco serta musik-musik dansa turunannya; bahkan rock dan rap. “Ada lebih banyak pemusik ketimbang jenis musiknya,” tulis Luis Tamargo di majalah musik Latin Beat, “semuanya termotivasi alasan komersil.” Tahun kemarin lebih dari sepertiga musisi itu berpentas di luar negeri dan dibayar dengan dolar. Charanga Habanera kini meminta $18.000 seminggu untuk pentas di Eropa dan konon telah meneken kontrak enam digit dengan Universal di London.
Jelas bahwa Calzado, Paulito, dan Manolín belumlah miliuner. Tapi mereka menghasilkan lebih dari $40.000 setahun, yang jauh lebih banyak ketimbang gaji $2.000 yang akan diterima Sang Dokter dengan profesinya yang dulu. Sebagai hadiah buat vokalisnya, Michel, Calzado membelikannya mobil –Nissan putih usang empat pintu—yang barangkali membuat Michel menjadi satu-satunya remaja yang punya mobil di seluruh pulau itu. Sang Dokter tinggal di apartemen bergaya Art Deco yang baru saja dicat dengan pagar bergembok, perangkat ruang tamu berlapis beludru hitam, dan dapur modern lengkap dengan satu set gelas anggur. Paulito menyetir Mitsubishi baru gres dengan kaca jendela gelap, sejenis yang ingin dibeli Calzado.
Musim gugur lalu, pemerintah menutup klab-klab malam yang memakai dolar, termasuk El Palacio de la Salsa. Persis sebelum itu, aku pergi melihat konser Charanga. Bertempat di Hotel Riviera yang dulu dimiliki Meyer Lansky, Palacio sesungguhnya adalah ruangan gelap dengan meja bertaplak kota-kotak merah hitam dan kursi besi, bau puntung rokok dan bir yang sudah tengik. Hiasan di panggung dibuat dari aluminum foil dan kamar gantinya tak punya bohlam. “Bisa-bisa dicolong orang,” kata seorang anggota Charanga sembari mengancingkan kemejanya diterangi nyala pemantik. Dari Kamis sampai Minggu, El Palacio menyuguhkan konser Los Van Van, Manolín, Paulito, atau Charanga Habanera dengan biaya masuk $20.
Inilah salah satu penampilan pertama Charanga sesudah enam bulan larangan. Semua orang gugup. Band tahu mereka telah tersisih selama berbulan-bulan dan tahu bahwa mereka sedang dipantau. Mereka telah menyiapkan dua lagu baru yang akan mereka jajal malam ini.
“Tentang apa?” tanyaku.
“Kejutan,” balas Calzado.
Lobi hiruk pikuk dengan perempuan-perempuan molek yang mengenakan celana berbahan lycra paling terang yang pernah kulihat di luar pusat kebugaran. Pria-prianya kebanyakan bule-bule separuh baya dan beberapa lelaki Kuba, berdandan rapi. Salah seorang Kuba itu menyeringai menampakkan gigi emas; yang lain memakai kalung emas tebal dengan lambang dolar menggelantung di lehernya. “Mereka itu especuladores,” kata temanku Amaury, pemuda 22 tahun mantan anggota partai yang kini merasa kecewa. “Orang Kuba yang pamer apa yang mereka punya. Mereka naik mobil dan punya emas. Untuk bisa begitu kau harus jadi penyelundup cerutu, germo, atau timbero. Tak ada peluang buatku.”
Di dalam, apa saja dijual. Aku ditawari rekaman bajakan, bir selundupan, kupon diskon, les tari seharga $2, dan foto-foto mengkilap Paulito seharga $5. Duduk di meja pesanan, ibunda Calzado yang berusia 72 tahun terlihat sumringah, bersolek dengan gaun baru yang dibelikan anaknya di luar negeri. Saat melihatku, ia angkat gelas plastiknya yang berisi rum Havana Club dan berkata bahwa Charanga siap “menggebrak kembali dan memangsa Havana,” mengutip salah satu lagu karya anaknya pasca dijatuhi sanksi.
Di atas panggung mereka padukan kepiawaian bermusik dengan gaya Earth, Wind and Fire dan gangsta rap versi mereka sendiri. Pakaian mereka gado-gado: para pemain terompet memakai setelan satin merah terang gaya 1970-an, para pemain perkusi berpakaian kedodoran. Salah satu vokalis berdandan seperti Prince sewaktu masih menjadi Prince. Michel tak pakai kaus, masih memakai rompi hitam dan celana panjang kotak-kotak hitam putih yang ia kenakan sepanjang hari. Dandanan Calzado sukar ditebak, entah funk, gangsta, atau gaya tradisional Kuba, karena ia comot dari masing-masing pakem itu: paduan celana baggy hitam putih dan jubah sampai ke lutut, topi anyaman di kepala pelontosnya, dan sepatu kulit hitam putih, seperti yang dikenakan ayahnya dulu. Koreografinya rada culun: mereka angkat kaki berbarengan, dan pada satu titik semuanya berjatuhan seperti kartu domino. Mereka umumkan lagu baru. Yang satu, dikarang oleh Michel, berisi gerundelan tentang ibu mertua; yang satunya lagi, gubahan Calzado, menyoal seorang teman baik yang suka berpesta dan pura-pura tidak. Lagu-lagu ini tak punya makna politik terselubung, tak ada kiasan provokatif pada uang atau narkoba.
“Charanga tidak beroperasi dengan kecepatan penuh,” kata Calzado. Dalam siaran pers ia umumkan “sangat menyesal bila penampilan kami menciptakan gambaran yang kurang menyenangkan, sebab itu bukan niat kami.” Ini seperti Marilyn Manson meminta maaf ke Tipper Gore. Dan karena kini segala sesuatu ujung-ujungnya duit, sanksi berarti berkurangnya uang. Tidak bisa tur ke Eropa berarti tamatlah gaya hidup yang begitu lekas membuatnya betah itu. Ia harus bertahan hidup dengan $30 (360 peso) yang ia terima dari pemerintah saban bulan, yang sekarang ini ia serahkan ke ibunya. “Ia masih hidup dengan peso. Aku hidup dalam dolar.”
Klab Los Jardines de la Tropical diperuntukkan buat orang-orang Kuba yang masih hidup dengan peso. Los Van Van, band tari nomor satu di Kuba selama 30 tahun terakhir, sedang pentas di sana pada Senin malam. “Van Van itu Kuba,” kata seorang teman. Namun teman saya ini tidak menganjurkan saya datang ke La Tropical. “Ini buat Kuba tulen. Terlampau keras buat yang bukan Kuba.” Tapi Calzado menawarkan diri mengajakku. “Aku bisa bawa kita ke lantai VIP,” ujarnya. “Akan kupesan meja.”
La Tropical sama sekali bukan taman, melainkan stadion terbuka yang kumuh dan tanpa bangku. Band-band yang ditampilkan sama seperti di El Palacio de la Salsa, kecuali di sini bea masuknya dengan peso, terjangkau buat semua. Ruang eksklusif yang dibilang Calzado adalah lantai dua gedung beton itu di mana para musisi seperti Calzado selalu bisa mendapatkan meja dan sebotol rum cuma-cuma. Lantai dua ini tak seberapa ramai bila dibandingkan kerumunan orang di lantai stadion. Inilah orang-orang Kuba yang tidak pergi ke Palacio –para perempuannya tidak molek dan laki-lakinya tidak menghasilkan dolar—tapi mereka inilah yang benar-benar bergoyang mengikuti musik yang dialunkan para timbero. Di sini mereka bisa melupakan soal jatah ransum yang sedikit, soal bis yang mereka tunggu-tunggu tanpa berkesudahan. Selama sekian jam mereka tak harus mencari pemecahan (resolver), kata kerja yang paling sering dipakai di Kuba, di mana segala sesuatu perlu dicarikan solusi.
Melalui speaker-speaker yang gemerisik, Mayito, penyanyi muda Los Van Van yang mengenakan jins kedodoran dan rambut dirasta, meminta semua orang naik ke el tren de la alegrá, kereta suka cita. Jelas, musiklah yang menyatukan Kuba; musiklah yang membuat orang Kuba tetap hidup. Manolín boleh jadi dikecam karena memainkan lagu tentang Miami, tapi ia diperbolehkan hidup bagai diplomat, dengan kekebalan dan keistimewaan, karena pemerintah menyadari betapa mereka membutuhkan dirinya dan yang lain.
Sekalipun orang Kuba kebanyakan kini harus membuat lauk tanpa daging dari resep yang semestinya berbahan daging, para perempuannya berdansa dengan bule-bule hanya demi sepasang sepatu baru, dan sebagian besar anak mudanya tak punya bayangan akan masa depan, dalam musiklah mereka semua mendapat penghiburan. Los Van Van menyanyikan pleidoi bagi Orula, ruh Santería, agar “melindungi semua orang Kuba.” Mayito berlutut meminta pengunjung mengangkat tangan dan bernyanyi dengannya, dan mereka menurut. Apa yang akan terjadi di Kuba bila pemerintah berhenti memasok mereka dengan musik?
Konser usai pukul dua dini hari. Saat kerumunan orang bubar keluar dari stadion, kulihat mobil-mobil yang ada di parkiran hanyalah taksi-taksi dan mobil Calzado. Sebagian besar orang di sini akan pulang berjalan kaki. Taksi terlampau mahal dan bis sudah kelewat malam. Sepasang suami-istri berusia awal 40-an berjalan bergandengan dan terlihat puas, bahkan bahagia. Mereka memberitahuku bahwa butuh waktu amat lama untuk sampai ke rumah sehingga sang suami, yang bekerja sebagai satpam mulai pukul 7, harus langsung berangkat kerja.
“Lalu mengapa kemari?” aku bertanya padanya. “Dengan semua kerepotan ini.”
“Soalnya cuma ini yang kami punya.”
Seraya Calzado mengantarku pergi, trotoar meriah penuh orang. Tawa berderai di sela-sela komentar yang ditujukan pada Calzado saat kami berlalu. Seseorang bercanda meminta tumpangan padanya. Orang lainnya berseru, mengutip sebuah lagu, “Oye, David, bagaimana kau ingin dibayar: cek atau tunai?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar