Senin, 24 September 2012

Pidato Camila Vallejo di Global Student Leadership Summit, Inggris, 20 September 2012


Presentasi wakil presiden Federasi Mahasiswa Cile, Camila Vallejo, pada rangkaian acara Global Student Leadership Summit di Inggris, 19-21 September 2012. Presentasi ini dilaksanakan pada hari kedua, pukul 10.00 waktu setempat. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus.



Akan saya awali dengan menggarisbawahi permasalahan yang sudah gamblang bagi semua orang: pendidikan di belahan bumi manapun bukanlah, atau seharusnya bukanlah, sekadar hak azasi, melainkan juga unsur strategis bagi pembangunan masyarakat. Jadi, apa yang terjadi manakala pembangunan ini sesat jalan? Atau ketika pembangunan ini tak lebih dari pemiskinan ekonomi yang terus menghebat? Apa yang terjadi manakala sasarannya bukanlah untuk memperbaiki standar hidup manusia yang selaras dengan lingkungan, melainkan untuk meningkatkan efisiensi dan tingkat keuntungan perusahaan-perusahaan, tanpa peduli dengan kerusakan ekologis dan manusiawinya yang terus menerus? Manakala sasaran strategis dari model-model pembangunan kita bukanlah kesetaraan, kebebasan, dan martabat rakyat, melainkan reproduksi ketimpangan dan penajamannya yang dipijakkan pada akumulasi kekayaan, atau bahkan satu generasi bentuk-bentuk baru perbudakan, seperti jeratan utang dan narkoba.

Maka, pantaskah membiarkan sistem pendidikan kita dijadikan alat reproduksi sosial dan ideologis dari model pembangunan semacam itu? Atau kita ingin merancang sistem pendidikan baru yang berfungsi sebagai perangkat transformasi sosial yang sebenar-benarnya?

Di Cile, gerakan mahasiswa, dan kemudian pendidikan sosial, jelas memilih yang kedua. Di negara kami, bukan hanya hak azasi atas pendidikan tak dijamin dalam konstitusi politik, mengingat konstitusi tersebut pertama-tama memastikan adanya kebebasan berusaha, melainkan juga bahwa desain sistem pendidikan kami secara presisi ditujukan untuk melanggengkan dan mereproduksi model ekonomi neoliberal yang diberlakukan paksa selama kediktatoran militer 1973.

Bukan kebetulan apabila serangkaian gerakan sosial yang berkembang di Cile, setidaknya sejak 2010 dan seterusnya, selain mengajukan tuntutan-tuntutan spesifik, semuanya juga mempertanyakan model pembangunan kita. Yang terjadi adalah realitas telah melampaui janji-janji yang selama lebih dari 30 tahun tidak bisa dipenuhi oleh model tersebut. Realitas material ini ada kaitannya dengan masalah ketimpangan, berutangnya jutaan orang dan laba kaum yang segelintir di atas pundak jutaan orang itu.

Cile berada di salah satu tingkat ketimpangan tertinggi di dunia. Menurut angka-angka dari Fundación SOL, organisasi nirlaba yang menggelar penelitian dunia kerja di Cile, ketimpangan antara kaya dan miskin telah naik 46 kali lipat sejak 1980an. Sejak 1990an, ekonomi produktif bertumbuh 80% sementara upah buruh hanya naik 20%. 46% penduduk berpenghasilan kurang dari upah minimum (kurang dari 400 dolar atau 320 euro) dan 2 dari 3 orang yang berada di bawah garis kemiskinan adalah para pekerja gajian.

Faktanya adalah di Cile, sejak model perekomian neoliberal diberlakukan, dan dikukuhkan oleh Washington Consensus, ketimpangan meninggi dan hak-hak dasar direduksi menjadi bisnis dan privilese segelintir orang saja.

Karena mereka tidak punya cukup upah untuk hidup, tenaga kerja terpaksa meminjam dari bank-bank swasta untuk membiayai pendidikan, kesehatan, pangan, sandang, dan layanan-layanan dasar bagi keluarga mereka.

Dihadapkan pada realitas ini –yang tak pernah disebut-sebut dalam pidato-pidato resmi tentang betapa hebatnya kebijakan makroekonomi kami—bagi kami tidak bisa ditolerir bahwa pendidikan tidak dirancang untuk mengatasi ketimpangan ini, malah mereproduksinya dan membuatnya kian dalam.

Pada 1980an, dalam kediktatoran militer penuh dan tanpa meminta pendapat siapapun, Negara direduksi perannya menjadi sekadar pelengkap, sementara pasar diberi kuasa dan sumber daya untuk mengubah pendidikan dan hak-hak dasar lainnya menjadi bisnis yang menguntungkan. Pendidikan negeri dalam sekejap ditelantarkan, dan pendidikan swasta mengalami limpahan yang belum ada presedennya.

Hari ini, pendidikan umum kurang mendapat dana. Pada tingkat sekolah, pendanaan ini hanya senilai 30% dari bea pendaftaran total dan pendidikan tinggi negeri kurang dari 20%, penurunan yang dari tahun ke tahun disebabkan oleh perkembangan langkah-langkah dan perombakan-perombakan di sektor komersial. Universitas-universitas negeri rata-rata menerima kurang dari 15% dari anggaran mereka dari Negara, dan keluarga pun praktis membayar biaya-biaya ini melalui sumber daya mereka secara langsung (30.000 dolar per gelar secara rata-rata), atau melalui utang kreditan (yang bisa melambungkan biayanya sampai 200%).

Sistem swasta tumbuh tanpa regulasi. Investor dari Cile dan pelbagai belahan dunia lainnya menyuntikkan modal finansial mereka ke bisnis-bisnis besar yang menguntungkan, yang memberi mereka sektor pendidikan kami, tak peduli dengan tipu muslihat yang telah menyusun institusi-institusi ini.

Subsidi bagi sisi permintaan ini, melalui pembiayaan bersama (keluarga dan Negara) serta kompetisi tak sebanding antara institusi-institusi negeri dan swasta berakibat bahwa pendidikan di Cile bukan hanya salah satu yang termahal di dunia akibat privatisasi itu, melainkan juga yang paling tersekat-sekat. Laporan yang sama dari OECD menunjukkan bahwa pendidikan di Cile secara sadar distrukturkan oleh kelas-kelas sosial.

Hal ini berarti bahwa pendidikan di Cile dicipta untuk melanggengkan dan membelah-belah kelas-kelas sosial: pendidikan bagi orang kaya, bagi kelas menengah, dan bagi kaum miskin—pendidikan untuk menghasilkan calon-calon elite nasional. Di sisi lain, pendidikan teknis unggulan untuk membentuk tenaga kerja manual yang murah, sementara universitas-universitas swasta membentuk calon direksi perusahaan-perusahaan besar, dst. Semua orang dipilah-pilah berdasarkan kemampuan mereka membayar, dan mayoritas terbesarnya berutang.

Jadi, sasaran privatisasi di Cile bukan hanya mempertahankan ketimpangan sosial, menghancurkan pendidikan negeri sebagai ruang integrasi sosial, namun punya hubungan langsung dengan hancurnya apa yang dipandang sebagai titik temu “musuh dalam selimut”: pendidikan negeri yang membentuk warga negara yang kritis, yang berpikir soal realitas kebangsaan dan ketidakadilan-ketidakadilannya, aktif dalam proses demokratisasi internal dari lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini.

Yang berusaha dihancurkannya adalah kemungkinan bahwa pendidikan akan memberikan perangkat yang dibutuhkan bagi mahasiswa bukan hanya untuk menjadi kaum profesional yang baik, namun warga negara yang kritis dan bukan sekadar boneka-boneka hidup yang terkurung dalam perusahaan-Universitas yang besar ini.

Di sekolah-sekolah negeri, pendidikan kewargaan (educación cívica) berangsur-angsur dihabisi. Dikuranginya jam pelajaran sejarah, filsafat, seni, dan musik menggambarkan betapa mayoritas rakyat kami harus menjalani sebuah pendidikan yang secara fungsional digiring ke arah neoliberalisme. Kesadaran mereka secara mendalam telah digerogoti. Sampai pada nilai-nilai solidaritas, etik, penalaran kolektif yang fundamental bagi pembentukan organisasi-organisasi kerakyatan di negeri kami selama era ’60an dan ’70an.

Liberalisasi tawaran pendidikan dan privatisasi sistem ini sebagai hasilnya, kurangnya pendanaan sekolah-sekolah dan universitas-universitas negeri, pengalihan tata kelola sekolah dari Negara ke pemerintah daerah dengan selisih yang amat besar dalam anggaran maupun kemampuan, diutamakannya kebebasan berusaha di atas hak atas pendidikan dalam konstitusi politik kami, subsidi atas sisi permintaan ini melalui beasiswa dan kredit, serta standarisasi mekanisme pengukuran kualitas berdasarkan kriteria-kriteria pasar, semuanya adalah kebijakan yang dianggap akan menyediakan, pada satu sisi, pengajaran yang memungkinkan mereka mereproduksi unsur-unsur dasar produksi ekonomi, dan di sisi lain, melahirkan unsur-unsur ideologis yang memastikan kondisi politik bagi beroperasinya sistem ini.

Saya utarakan semua ini persis karena sesudah sekian dasawarsa konstruksi dan rekonstruksi keorganisasian, artikulasi dan penguatan dalam dunia mahasiswa, pada 2011 para mahasiswa Cile berjalan melalui sebuah proses sintesa historis, di mana kami berhasil bukan hanya dalam mengajukan gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ekonomi untuk meningkatkan pendanaan pendidikan negeri, namun juga dalam bingkai proses panjang pendewasaan politik, kami berhasil memahami bias pendidikan kami, bias yang sangat ideologis ke arah kian tajamnya ketimpangan sosial.

Dan dengan demikian kami simpulkan bahwa privatisasi diciptakan bukan hanya untuk membuka sebuah bisnis baru bagi sektor swasta, namun juga untuk menghancurkan ruang-ruang publik bagi pembentukan ideologi-ideologi yang bersimpang jalan dari pendidikan dan masyarakat. Beramai-ramai dengan para guru, wali amanat, rektor dan pekerja pendidikan, kami sanggup menuntut, secara berbondong-bondong di jalanan, sebuah perubahan paradigma dalam model pendidikan di Cile, dan dengan itu juga mengubah masyarakat kami.

Perubahan paradigma ini bukan hanya berimplikasi dipulihkannya jaminan konstitusional hak atas pendidikan –dan karenanya, Negara harus berperan menyediakan pendidikan negeri gratis dan ruang berkualitas bagi integrasi sosial—namun secara mendasar terkait dengan keharusan untuk membela dan memberi kembali makna kepada “publik”, sebagai sebuah ruang apropriasi demokratis dalam penciptaan dan penyebaran pengetahuan.

Penting untuk diutarakan bahwa dalam perdebatan regional di Karibia dan Amerika Latin, kami juga berpikir tentang universitas dari perspektif transformasi, perspektif sejarah gerakan mahasiswa, yang sejak awal abad telah mengajukan dibangunnya sebuah sistem pendidikan yang membebaskan yang mengontrak universitas sesuai kebutuhan sektor-sektor dalam masyarakat. Sebagai sebuah gerakan mahasiswa kami percaya bahwa universitas telah kehilangan jalannya dan tak mampu menangani kenyataan-kenyataan problematis benua kita. Dewasa ini, isu-isu seperti segregasi sosial, kemiskinan, kelaparan, polusi atas planet dan begitu banyak masalah lain yang mempengaruhi masyarakat kami, tidak diperlakukan sebagai prioritas-prioritas utama di universitas-universitas. Mereka telah disekap oleh visi reduksionis penganut pasar bebas yang makin lama makin cepat dalam memproduksi tenaga kerja terdepolitisasi dan terstandarisasi bagi pasar global.

Hari ini generasi-generasi baru mahasiswa terus menjaga agar semangat pemberontakan pendahulu-pendahulu kita tetap hidup, dan karenanya mempertahankan proses perjuangan di benua kami: saudara-saudara kami di Kanada, yang baru saja berhasil menunda kenaikan uang sekolah; kamerad-kamerad dari Puerto Rico, lakon dalam lembaran sejarah heroik gerakan mahasiswa kawasan ini; kamerad-kamerad Kolombia yang setiap harinya menunjukkan bahwa sekalipun situasinya sulit dan di tengah ancaman dan penindasan terus menerus, kepentingan mendesak saat ini adalah memperjuangkan sebuah pendidikan yang menjawab kepentingan-kepentingan rakyat; mahasiswa-mahasiswa Dominika menuntut 4% PDB untuk pendidikan; gerakan mahasiswa Ekuador berjuang mempertahankan ideal-ideal otonomi dan pemerintahan-bersama mahasiswa di Córdoba; mahasiswa Brasil berhasil mendorong 10% PDB diinvestasikan ke sektor pendidikan, dan kami, mahasiswa Cile berjuang memerangi model kehidupan pasar bebas yang dipaksakan oleh kediktatoran Pinochet dan yang hari ini membeking pemerintahan Piñera dengan represi brutal atas gerakan sosial, pelanggaran HAM, dan bahkan pengajuan undang-undang yang mempidanakan demonstran dengan hukuman 3 tahun penjara apabila menduduki sekolah, alun-alun, atau memacetkan jalan raya.

Dewasa ini, mata kami tertuju pada keberagaman dan kekayaan pemikiran benua kami. Tahun lalu kami selenggarakan Kongres Mahasiswa Amerika Latin ke-16 OCLAE (Organización Continental Latinoamericana y Caribeña de Estudiantes) di mana lebih dari 6.000 mahasiswa berkumpul. Kami tegaskan tekad organisasi-organisasi sebenua untuk memperkuat pendidikan negeri bagi transformasi, inklusi, dan persatuan semua sektor kerakyatan di tangan kaum buruh, pekerja manual, dan masyarakat adat.

Akhir kata, kami semua berkomitmen untuk mengintegrasikan konsep-konsep adat kuno melalui proses pendidikan interkultural, yang menghadirkan visi peradaban baru pasca-kapitalis yang seirama dengan lingkungan dan pemanfaatan secara berdaulat dan bertanggungjawab atas material dan sumberdaya primer kita yang terbatas. Mengembangkan visi inilah yang sekarang ini memberi proses pendidikan di Amerika Latin jatidirinya sendiri, dari ruang-ruang kelas ke penelitian canggih bagi perkembangan teknologi-teknologi baru.