Presentasi wakil
presiden Federasi Mahasiswa Cile, Camila
Vallejo, pada rangkaian acara Global
Student Leadership Summit di Inggris, 19-21 September 2012. Presentasi ini
dilaksanakan pada hari kedua, pukul 10.00 waktu setempat. Diterjemahkan ke
bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus.
Akan saya awali dengan menggarisbawahi
permasalahan yang sudah gamblang bagi semua orang: pendidikan di belahan bumi
manapun bukanlah, atau seharusnya bukanlah, sekadar hak azasi, melainkan juga
unsur strategis bagi pembangunan masyarakat. Jadi, apa yang terjadi manakala
pembangunan ini sesat jalan? Atau ketika pembangunan ini tak lebih dari
pemiskinan ekonomi yang terus menghebat? Apa yang terjadi manakala sasarannya
bukanlah untuk memperbaiki standar hidup manusia yang selaras dengan
lingkungan, melainkan untuk meningkatkan efisiensi dan tingkat keuntungan
perusahaan-perusahaan, tanpa peduli dengan kerusakan ekologis dan manusiawinya
yang terus menerus? Manakala sasaran strategis dari model-model pembangunan
kita bukanlah kesetaraan, kebebasan, dan martabat rakyat, melainkan reproduksi
ketimpangan dan penajamannya yang dipijakkan pada akumulasi kekayaan, atau
bahkan satu generasi bentuk-bentuk baru perbudakan, seperti jeratan utang dan
narkoba.
Maka, pantaskah membiarkan sistem pendidikan
kita dijadikan alat reproduksi sosial dan ideologis dari model pembangunan semacam
itu? Atau kita ingin merancang sistem pendidikan baru yang berfungsi sebagai
perangkat transformasi sosial yang sebenar-benarnya?
Di Cile, gerakan mahasiswa, dan kemudian
pendidikan sosial, jelas memilih yang kedua. Di negara kami, bukan hanya hak
azasi atas pendidikan tak dijamin dalam konstitusi politik, mengingat
konstitusi tersebut pertama-tama memastikan adanya kebebasan berusaha, melainkan
juga bahwa desain sistem pendidikan kami secara presisi ditujukan untuk
melanggengkan dan mereproduksi model ekonomi neoliberal yang diberlakukan paksa
selama kediktatoran militer 1973.
Bukan kebetulan apabila serangkaian gerakan
sosial yang berkembang di Cile, setidaknya sejak 2010 dan seterusnya, selain
mengajukan tuntutan-tuntutan spesifik, semuanya juga mempertanyakan model
pembangunan kita. Yang terjadi adalah realitas telah melampaui janji-janji yang
selama lebih dari 30 tahun tidak bisa dipenuhi oleh model tersebut. Realitas material
ini ada kaitannya dengan masalah ketimpangan, berutangnya jutaan orang dan laba
kaum yang segelintir di atas pundak jutaan orang itu.
Cile berada di salah satu tingkat
ketimpangan tertinggi di dunia. Menurut angka-angka dari Fundación SOL, organisasi
nirlaba yang menggelar penelitian dunia kerja di Cile, ketimpangan antara kaya
dan miskin telah naik 46 kali lipat sejak 1980an. Sejak 1990an, ekonomi
produktif bertumbuh 80% sementara upah buruh hanya naik 20%. 46% penduduk
berpenghasilan kurang dari upah minimum (kurang dari 400 dolar atau 320 euro) dan
2 dari 3 orang yang berada di bawah garis kemiskinan adalah para pekerja gajian.
Faktanya adalah di Cile, sejak model
perekomian neoliberal diberlakukan, dan dikukuhkan oleh Washington Consensus, ketimpangan
meninggi dan hak-hak dasar direduksi menjadi bisnis dan privilese segelintir
orang saja.
Karena mereka tidak punya cukup upah untuk
hidup, tenaga kerja terpaksa meminjam dari bank-bank swasta untuk membiayai
pendidikan, kesehatan, pangan, sandang, dan layanan-layanan dasar bagi keluarga
mereka.
Dihadapkan pada realitas ini –yang tak
pernah disebut-sebut dalam pidato-pidato resmi tentang betapa hebatnya
kebijakan makroekonomi kami—bagi kami tidak bisa ditolerir bahwa pendidikan
tidak dirancang untuk mengatasi ketimpangan ini, malah mereproduksinya dan
membuatnya kian dalam.
Pada 1980an, dalam kediktatoran militer
penuh dan tanpa meminta pendapat siapapun, Negara direduksi perannya menjadi
sekadar pelengkap, sementara pasar diberi kuasa dan sumber daya untuk mengubah
pendidikan dan hak-hak dasar lainnya menjadi bisnis yang menguntungkan. Pendidikan
negeri dalam sekejap ditelantarkan, dan pendidikan swasta mengalami limpahan
yang belum ada presedennya.
Hari ini, pendidikan umum kurang mendapat
dana. Pada tingkat sekolah, pendanaan ini hanya senilai 30% dari bea
pendaftaran total dan pendidikan tinggi negeri kurang dari 20%, penurunan yang
dari tahun ke tahun disebabkan oleh perkembangan langkah-langkah dan
perombakan-perombakan di sektor komersial. Universitas-universitas negeri
rata-rata menerima kurang dari 15% dari anggaran mereka dari Negara, dan keluarga
pun praktis membayar biaya-biaya ini melalui sumber daya mereka secara langsung
(30.000 dolar per gelar secara rata-rata), atau melalui utang kreditan (yang
bisa melambungkan biayanya sampai 200%).
Sistem swasta tumbuh tanpa regulasi.
Investor dari Cile dan pelbagai belahan dunia lainnya menyuntikkan modal finansial
mereka ke bisnis-bisnis besar yang menguntungkan, yang memberi mereka sektor
pendidikan kami, tak peduli dengan tipu muslihat yang telah menyusun
institusi-institusi ini.
Subsidi bagi sisi permintaan ini, melalui
pembiayaan bersama (keluarga dan Negara) serta kompetisi tak sebanding antara
institusi-institusi negeri dan swasta berakibat bahwa pendidikan di Cile bukan
hanya salah satu yang termahal di dunia akibat privatisasi itu, melainkan juga
yang paling tersekat-sekat. Laporan yang sama dari OECD menunjukkan bahwa
pendidikan di Cile secara sadar distrukturkan oleh kelas-kelas sosial.
Hal ini berarti bahwa pendidikan di Cile
dicipta untuk melanggengkan dan membelah-belah kelas-kelas sosial: pendidikan
bagi orang kaya, bagi kelas menengah, dan bagi kaum miskin—pendidikan untuk
menghasilkan calon-calon elite nasional. Di sisi lain, pendidikan teknis unggulan
untuk membentuk tenaga kerja manual yang murah, sementara
universitas-universitas swasta membentuk calon direksi perusahaan-perusahaan
besar, dst. Semua orang dipilah-pilah berdasarkan kemampuan mereka membayar, dan
mayoritas terbesarnya berutang.
Jadi, sasaran privatisasi di Cile bukan
hanya mempertahankan ketimpangan sosial, menghancurkan pendidikan negeri
sebagai ruang integrasi sosial, namun punya hubungan langsung dengan hancurnya
apa yang dipandang sebagai titik temu “musuh dalam selimut”: pendidikan negeri
yang membentuk warga negara yang kritis, yang berpikir soal realitas kebangsaan
dan ketidakadilan-ketidakadilannya, aktif dalam proses demokratisasi internal dari
lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini.
Yang berusaha dihancurkannya adalah kemungkinan
bahwa pendidikan akan memberikan perangkat yang dibutuhkan bagi mahasiswa bukan
hanya untuk menjadi kaum profesional yang baik, namun warga negara yang kritis dan
bukan sekadar boneka-boneka hidup yang terkurung dalam perusahaan-Universitas
yang besar ini.
Di sekolah-sekolah negeri, pendidikan
kewargaan (educación cívica)
berangsur-angsur dihabisi. Dikuranginya jam pelajaran sejarah, filsafat, seni,
dan musik menggambarkan betapa mayoritas rakyat kami harus menjalani sebuah
pendidikan yang secara fungsional digiring ke arah neoliberalisme. Kesadaran
mereka secara mendalam telah digerogoti. Sampai pada nilai-nilai solidaritas, etik,
penalaran kolektif yang fundamental bagi pembentukan organisasi-organisasi
kerakyatan di negeri kami selama era ’60an dan ’70an.
Liberalisasi tawaran pendidikan dan
privatisasi sistem ini sebagai hasilnya, kurangnya pendanaan sekolah-sekolah
dan universitas-universitas negeri, pengalihan tata kelola sekolah dari Negara
ke pemerintah daerah dengan selisih yang amat besar dalam anggaran maupun
kemampuan, diutamakannya kebebasan berusaha di atas hak atas pendidikan dalam
konstitusi politik kami, subsidi atas sisi permintaan ini melalui beasiswa dan
kredit, serta standarisasi mekanisme pengukuran kualitas berdasarkan kriteria-kriteria
pasar, semuanya adalah kebijakan yang dianggap akan menyediakan, pada satu sisi,
pengajaran yang memungkinkan mereka mereproduksi unsur-unsur dasar produksi
ekonomi, dan di sisi lain, melahirkan unsur-unsur ideologis yang memastikan
kondisi politik bagi beroperasinya sistem ini.
Saya utarakan semua ini persis karena
sesudah sekian dasawarsa konstruksi dan rekonstruksi keorganisasian, artikulasi
dan penguatan dalam dunia mahasiswa, pada 2011 para mahasiswa Cile berjalan
melalui sebuah proses sintesa historis, di mana kami berhasil bukan hanya dalam
mengajukan gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ekonomi untuk
meningkatkan pendanaan pendidikan negeri, namun juga dalam bingkai proses
panjang pendewasaan politik, kami berhasil memahami bias pendidikan kami, bias
yang sangat ideologis ke arah kian tajamnya ketimpangan sosial.
Dan dengan demikian kami simpulkan bahwa
privatisasi diciptakan bukan hanya untuk membuka sebuah bisnis baru bagi sektor
swasta, namun juga untuk menghancurkan ruang-ruang publik bagi pembentukan
ideologi-ideologi yang bersimpang jalan dari pendidikan dan masyarakat. Beramai-ramai
dengan para guru, wali amanat, rektor dan pekerja pendidikan, kami sanggup
menuntut, secara berbondong-bondong di jalanan, sebuah perubahan paradigma dalam
model pendidikan di Cile, dan dengan itu juga mengubah masyarakat kami.
Perubahan paradigma ini bukan hanya
berimplikasi dipulihkannya jaminan konstitusional hak atas pendidikan –dan
karenanya, Negara harus berperan menyediakan pendidikan negeri gratis dan ruang
berkualitas bagi integrasi sosial—namun secara mendasar terkait dengan
keharusan untuk membela dan memberi kembali makna kepada “publik”, sebagai
sebuah ruang apropriasi demokratis dalam penciptaan dan penyebaran pengetahuan.
Penting untuk diutarakan bahwa dalam
perdebatan regional di Karibia dan Amerika Latin, kami juga berpikir tentang universitas
dari perspektif transformasi, perspektif sejarah gerakan mahasiswa, yang sejak
awal abad telah mengajukan dibangunnya sebuah sistem pendidikan yang
membebaskan yang mengontrak universitas sesuai kebutuhan sektor-sektor dalam
masyarakat. Sebagai sebuah gerakan mahasiswa kami percaya bahwa universitas telah
kehilangan jalannya dan tak mampu menangani kenyataan-kenyataan problematis benua
kita. Dewasa ini, isu-isu seperti segregasi sosial, kemiskinan, kelaparan, polusi
atas planet dan begitu banyak masalah lain yang mempengaruhi masyarakat kami, tidak
diperlakukan sebagai prioritas-prioritas utama di universitas-universitas. Mereka
telah disekap oleh visi reduksionis penganut pasar bebas yang makin lama makin
cepat dalam memproduksi tenaga kerja terdepolitisasi dan terstandarisasi bagi
pasar global.
Hari ini generasi-generasi baru mahasiswa terus
menjaga agar semangat pemberontakan pendahulu-pendahulu kita tetap hidup, dan
karenanya mempertahankan proses perjuangan di benua kami: saudara-saudara kami
di Kanada, yang baru saja berhasil menunda kenaikan uang sekolah; kamerad-kamerad
dari Puerto Rico, lakon dalam lembaran sejarah heroik gerakan mahasiswa kawasan
ini; kamerad-kamerad Kolombia yang setiap harinya menunjukkan bahwa sekalipun
situasinya sulit dan di tengah ancaman dan penindasan terus menerus, kepentingan
mendesak saat ini adalah memperjuangkan sebuah pendidikan yang menjawab kepentingan-kepentingan
rakyat; mahasiswa-mahasiswa Dominika menuntut 4% PDB untuk pendidikan; gerakan
mahasiswa Ekuador berjuang mempertahankan ideal-ideal otonomi dan
pemerintahan-bersama mahasiswa di Córdoba; mahasiswa Brasil berhasil mendorong 10%
PDB diinvestasikan ke sektor pendidikan, dan kami, mahasiswa Cile berjuang
memerangi model kehidupan pasar bebas yang dipaksakan oleh kediktatoran Pinochet
dan yang hari ini membeking pemerintahan Piñera dengan represi brutal atas
gerakan sosial, pelanggaran HAM, dan bahkan pengajuan undang-undang yang
mempidanakan demonstran dengan hukuman 3 tahun penjara apabila menduduki
sekolah, alun-alun, atau memacetkan jalan raya.
Dewasa ini, mata kami tertuju pada
keberagaman dan kekayaan pemikiran benua kami. Tahun lalu kami selenggarakan
Kongres Mahasiswa Amerika Latin ke-16 OCLAE (Organización Continental
Latinoamericana y Caribeña de Estudiantes) di mana lebih dari 6.000 mahasiswa
berkumpul. Kami tegaskan tekad organisasi-organisasi sebenua untuk memperkuat
pendidikan negeri bagi transformasi, inklusi, dan persatuan semua sektor
kerakyatan di tangan kaum buruh, pekerja manual, dan masyarakat adat.
Akhir kata, kami semua
berkomitmen untuk mengintegrasikan konsep-konsep adat kuno melalui proses
pendidikan interkultural, yang menghadirkan visi peradaban baru pasca-kapitalis
yang seirama dengan lingkungan dan pemanfaatan secara berdaulat dan
bertanggungjawab atas material dan sumberdaya primer kita yang terbatas. Mengembangkan
visi inilah yang sekarang ini memberi proses pendidikan di Amerika Latin jatidirinya
sendiri, dari ruang-ruang kelas ke penelitian canggih bagi perkembangan
teknologi-teknologi baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar