Rabu, 04 April 2012

Carmen Balcells: Penggerak Sesungguhnya “Boom” Sastra Amerika Latin


Ketika berbicara tentang boom sastra Amerika Latin –fenomena lonjakan penjualan dan minat publik pada karya sastra Amerika Latin baik dalam bahasa Spanyol maupun terjemahan yang terjadi pada era 1960-1970-an—kebanyakan pengamat dan pembaca hanya berbicara tentang para penulis yang menonjol dari era tersebut, terutama, sebutlah, Gabriel García Márquez, Mario Vargas Llosa, Carlos Fuentes, dsb. Seakan-akan hanya dari tekad, perjuangan, dan kualitas para penulis inilah sastra Amerika Latin bisa dikenal dunia. Kebanyakan pembaca di Indonesia misalnya, nyaris tak mengenal nama Carmen Balcells. Dia memang bukan penulis, “hanya” seseorang yang bekerja di balik layar sebagai agen sastra. Namun tanpa dia, boom sastra Amerika Latin bisa dipastikan tak akan terjadi. Mempelajari apa yang dilakukan Balcells sesungguhnya bisa sangat berguna apabila kita hendak serius mengangkat sastra Indonesia ke pentas dunia.

Carmen Balcells Segalà dilahirkan pada 9 Agustus 1930 di Santa Fe de Segarra, kota kecil dengan penduduk hanya sekitar 50 orang di provinsi Lérida, sebelah timur laut Spanyol yang masuk dalam wilayah otonom Katalunya. Pada usia 16 tahun ia pindah ke Barcelona dan bekerja di sana. Persentuhannya dengan dunia sastra sebenarnya baru terjadi pada 1954, ketika Balcells pindah kerja dari sekretaris di pabrik tekstil menjadi perwakilan Barcelona untuk agensi sastra ACER milik penulis Rumania, Vintila Horia. Balcells segera dikenal dan disukai oleh para penulis karena dengan keras ia memperjuangkan hak-hak penulis dari kesemena-menaan penerbit yang hanya cari untung. Ia membuat kontrak penerbitan menjadi lebih adil bagi kedua pihak.

Setelah dua tahun menimba pengalaman di ACER, pada 1956 Balcells merasa siap membuka agensinya sendiri di Barcelona, dan dari situlah boom sastra Amerika Latin sesungguhnya bermula. Balcells melihat potensi luar biasa para penulis Amerika Latin, dan ia jajakan buku-buku mereka ke penerbit-penerbit Spanyol serta Eropa lainnya untuk diterjemahkan. Itu sebabnya Barcelona sering dijuluki sebagai “ibukota sastra Amerika Latin.”

Hingga kini tak kurang dari lima peraih Hadiah Nobel Sastra besar dalam naungannya: Mario Vargas Llosa, Gabriel García Márquez, Camilo José Cela, Pablo Neruda, Miguel Ángel Asturias, dan Vicente Aleixandre. “Carmen Balcells Agencia Literaria S.A.” juga menjadi wadah bagi para penulis sohor Amerika Latin lainnya (seperti Augusto Roa Bastos, Carlos Fuentes, Isabel Allende, José Donoso, dll) serta para penulis besar Spanyol (seperti Manuel Vázquez Montalbán, Juan Goytisolo, Rafael Alberti, Ana María Matute dll).

Carmen Balcells di depan lukisan potret dirinya karya Gonzalo Goytisolo
Foto: M. Sàenz / El País

Tentunya, Balcells tak bisa mencapai ini tanpa atmosfer zaman itu yang memang mendukung, yakni tumbuhnya kesadaran akan Amerika Latin sebagai sebuah kesatuan politik, bukan semata-mata geografis, serta tampilnya Amerika Latin sebagai kekuatan politik yang menonjol pasca digulingkannya kedikatoran Batista oleh pasukan gerilya Fidel Castro di Kuba.

Sebelum 1960, bisa dibilang tak ada “kesadaran Amerika Latin”—yang ada hanyalah negara-negara kecil di selatan benua Amerika yang saling memusuhi satu sama lain, meskipun memiliki kesamaan bahasa (Spanyol) dengan variasi dialek lokal dan nasionalnya masing-masing. Seperti dibilang oleh novelis Cile José Donoso dalam memoarnya tentang masa-masa boom: “Sebelum 1960 sangat tidak lazim mendengar orang bicara tentang ‘novel Amerika Latin kontemporer’. Adanya hanya novel Uruguay atau Ekuador, novel Meksiko atau Venezuela. Novel tiap-tiap negara terkurung dalam batas-batas negaranya saja, ketenaran atau relevansi sebuah novel dalam banyak kasus hanya menjadi perkara lokal.”[1]

Semua ini berubah dengan meletusnya Revolusi Kuba. Kemenangan Castro membuat negara-negara Amerika Selatan mulai melihat dirinya sebagai satu kesatuan politik yang mengalami rute historis yang serupa. Dukungan pada Castro menyatukan kaum intelektual negara-negara Amerika Selatan dan menumbuhkan rasa sebagai satu “Amerika Latin”. Seperti ditulis Donoso, suasana Kongres Intelektual di Concepción, Cile, pada 1962, dipenuhi semangat dukungan pada Kuba oleh provokasi novelis Meksiko Carlos Fuentes yang menyatakan bahwa Amerika Latin kini hanya bisa berpaling pada Kuba, dan bahwa di Amerika Latin “sastra dan politik tak terpisahkan.”[2] Donoso juga mengenang bahwa pada kongres itulah ia pertama kali berkenalan dengan Fuentes, sementara nama-nama (yang kini) besar seperti García Márquez, Vargas Llosa, bahkan Jorge Luis Borges dan Juan Rulfo, tak disinggung-singgung sama sekali karena tak banyak orang mengenal mereka.[3] Dengan demikian bisa disimpulkan, bahkan pada tahun 1962 itu pun, para sastrawan Amerika Latin masih belum saling membaca karya sastra antar negara mereka.

“Sastra Amerika Latin” baru mewujud ketika karya-karya dari Amerika Latin diboyong ke Barcelona untuk diterbitkan di Spanyol dan negara-negara Eropa lainnya. Para penulis Amerika Latin yang berkumpul di Barcelona mulai membaca satu sama lain dan merasa diri sebagai satu kesatuan yang mengemban proyek literer-politik yang sama. Kita bisa melihat sekilas kemiripan situasi ini dengan analisa Ben Anderson tentang kemunculan nasionalisme Indonesia atau Filipina, di mana justru di negara induklah (Belanda dalam kasus Indonesia dan Spanyol dalam kasus Filipina), orang-orang buangan dari negara kolonial merasa sebagai satu kesatuan untuk lalu membentuk proyek nasionalisme.

Pada sisi lain, kemenangan Castro dalam Revolusi Kuba juga menumbuhkan minat dunia pada subbenua tersebut, terutama kecemasan AS terhadap meluasnya komunisme di benua Amerika. Amerika Latin mulai dipandang sebagai sebuah kekuatan (kalau bukan ancaman) ekonomi-politik yang sedang berkembang. Segala tulisan yang berasal dari subbenua tersebut karenanya menjadi layak untuk diterjemahkan, dibaca, dan diteliti. Dalam konteks inilah Carmen Balcells dengan antuasiasme menggebu-gebu mempromosikan sastra Amerika Latin sebagai sastra kelas dunia yang sudah waktunya dibaca oleh pembaca di Dunia Pertama.

Carmen Balcells dijuluki “la dueña del boom” (induk semang boom sastra Amerika Latin) oleh majalah Clarín,[4] dan sungguh tak salah, karena sebagai agen sastra ia memang bersikap bak “ibu kos” bagi para penulisnya: cerewet, bawel, namun penuh perhatian. Donoso mengenang pesta Tahun Baru 1970, di mana Julio Cortázar berjoget tidak karuan, Vargas Llosa dan istrinya berdansa walsa Peru, García Márquez dan istrinya menari merenque, sementara Carmen Balcells hanya duduk santai di sofa empuk sambil terus mengudap dan “mempelajari kami: barangkali dengan rasa kagum, barangkali dengan rasa lapar, barangkali dengan paduan keduanya.”[5] Ia berjaga agar mereka tak kelewat mabuk.

Pada akhir 1970-an, ketika Vargas Llosa terpaksa menjadi dosen tamu di King’s College untuk menyambung hidup, dan dengan demikian merintangi kerja penulisannya, Balcells menyuruhnya pindah ke Barcelona agar bisa berkonsentrasi menulis dan mengganti upah yang didapatnya sebagai dosen. Dan saat Camilo José Cela di usia senjanya sudah tak sanggup lagi menulis, Balcellslah yang menopang hidupnya. Ia juga memberi dukungan moril pada Ana María Matute agar sembuh dari depresi, yang lantas memungkinkannya merampungkan novel terbaiknya, Olvidado rey Gudú (1996). “Ya, ya, ya… Para penulis ini memang aneh-aneh,” Balcells mengenang.[6] Juan Goytisolo sering meneleponnya untuk curhat soal rumah tangga dan García Márquez bahkan bertanya usil padanya, “Carmen, kau mencintaiku?” “Aku susah menjawabnya, sepertiga pemasukanku berasal darimu.”

Mario Vargas Llosa dan Carmen Balcells
(Foto: Quique García / El Mundo)

Namun yang paling membuat Carmen Balcells menjadi legenda adalah kegigihannya dalam memperjuangkan mati-matian hak para penulis. Carmen Balcells menghentikan praktik-praktik “kontrak seumur hidup” yang jamak terjadi dalam dunia penerbitan zaman itu. Novelis Katalunya Manuel Vázquez Montalbán menyebutnya sebagai la liberadora de autores (pembebas para penulis): “Sebelum ada dia, penulis meneken kontrak seumur hidup dengan penerbit, menerima royalti yang amat menyedihkan besarannya, dan kadang, sebagai hadiah, dikado baju hangat atau keju.”[7]

Menulis ini, saya jadi teringat Drs. Suyadi (Pak Raden) yang kini di usia senjanya hidup serba berkesusahan tanpa memperoleh sedikit pun royalti dari serial Unyil yang ia ciptakan sendiri, karena kontrak dengan PFN dengan sangat tidak adil tidak mencantumkan batasan waktu kapan lisensi yang dipegang PFN berakhir.

Banyak penulis merasa berutang budi pada Balcells. García Márquez menjulukinya penuh takzim “Mamá Grande” (Mama Besar), yang lantas dijadikan salah satu tokoh cerpennya dalam Los funerales de la Mamá Grande. José Donoso dalam novel El jardin de al lado menggambarkan pribadi Balcells sebagai agen sastra tak kenal ampun dalam diri tokoh bernama Núria Monclús. Uniknya, Isabel Allende mengaku memutuskan mengirimkan naskah La casa de los espíritus ke Carmen Balcells –setelah ditolak semua penerbit di Amerika Latin—setelah membaca novel Donoso tersebut.[8] Allende mendedikasikan novel Retrato en Sepia juga kepada Balcells.

Namun tentu tak semua pihak memandang positif pengaruh Balcells pada sastra Amerika Latin dan sastra berbahasa Spanyol secara lebih luas. Terutama dari pihak penerbit. Pada 1960-an itu, seperti ditulis Mario Vargas Llosa, kegigihan Balcells dalam membela hak-hak penulis membuatnya dituding oleh penerbit sebagai “pengkhianat, matre, mata duitan, pembantai sastra, dan ribuan julukan tak sedap lainnya.”[9]

Mayder Dravasa misalnya, dalam kajiannya tentang masa-masa boom di Barcelona ini, menyebut bahwa tuntutan-tuntutan Balcells banyak merugikan penerbit dan menciptakan ekspektasi-ekspektasi dalam diri para penulis yang sesungguhnya tidak bisa dipenuhi oleh pasar pada saat itu.[10] Dravasa mencontohkan, ketika Balcells menuntut uang muka 40.000 peseta, ini artinya penerbit harus bekerja keras menjual ratusan ribu eksemplar, angka yang mustahil bagi pasar zaman itu. Namun Dravasa tidak menjelaskan dakwaannya lebih lanjut dalam hitung-hitungan ekonomis: benarkah tuntutan Balcells merugikan penerbit? Bukankah Alfaguara dan Barral (saat itu Seix-Barral), dua penerbit yang menjadi langganan Balcells saat itu, kini menjadi penerbit-penerbit terbesar di Spanyol, bahkan termasuk penerbit besar di dunia? Tidakkah ini –paling tidak sebagiannya—dikarenakan oleh dampak larisnya karya-karya el boom? Vargas Llosa mencatat ironinya di sini: bila pada masa boom Balcells memperjuangkan royalti tinggi karena yakin akan mutu sastra para penulisnya, sekarang ini justru banyak penulis pemula dengan karya medioker berharap bisa ditangani oleh Balcells justru karena impian akan tingginya perolehan royalti itu.[11]

Uniknya lagi, ketika tugas seorang publisis kini lebih banyak dimaknai sebagai banyak bicara di sana-sini mewakili penulis, atau menggelar kuis-kuis, hadiah-hadiah, dan kegiatan-kegiatan yang kadang tak ada kaitannya dengan sastra, terasa janggal melihat Balcells justru sangat jarang tampil di depan media. Karenanya, wawancara yang saya kutip untuk esai ini dari majalah Clarín (September 2006) terbilang istimewa, karena terakhir kali Balcells mau diwawancarai adalah lebih dari 20 tahun sebelumnya oleh Carme Riera dari majalah Quimera. Apa alasannya? Balcells menjawab tegas bahwa kegiatan seorang agen bukanlah beriklan atau berhadapan muka langsung dengan publik. Publisitas harus tertuju pada penulis dan karyanya sendiri. Maka Sang Mama Besar pun menjadi besar karena memilih tetap di belakang layar.

Balcells telah menerima pelbagai penghargaan antara lain: gelar doktor Honoris Causa dari Universidad Autónoma de Barcelona (2005) dan Montblanc Award for Women (2006). Pada Mei 2000 Balcells mengumumkan diri pensiun, namun ibarat Steve Jobs yang kembali ke Apple setelah kinerja perusahaan itu terus menurun, demikian juga pada 2008 Balcells kembali bekerja mengetuai agensi sastranya setelah hengkangnya beberapa penulis ternama dari daftar kliennya, seperti penulis Kuba Guillermo Cabrera Infante, penulis Cile Roberto Bolaño, dan penulis Spanyol Daniel Vázquez Salles.

Pada 2010, Departemen Kebudayaan Spanyol membeli total arsip-arsip Carmen Balcells seharga tiga juta Euro—arsip-arsip yang terdiri dari 2.000 dus dan bila dijajarkan akan menjulur sepanjang 2,5 kilometer. Arsip ini baru bisa diakses publik pada November 2011 lalu, meski masih menjadi tarik ulur antara pemerintah pusat di Madrid dengan pemerintah otonom Katalunya di mana arsip tersebut hendak dirumahkan. Bagi penggemar sastra Amerika Latin secara umum, dan khususnya para peneliti sastra, arsip Balcells adalah harta karun. Banyak detail menarik bisa didapat untuk memperjelas dan memperkaya kajian-kajian tentang masa-masa boom.

Salah satu dokumen dari arsip Carmen Balcells: nota transfer sebesar AS$4.190
dari Balcells kepada Gabriel García Márquez untuk biaya tiket pesawat
Meksiko-Swedia dalam rangka acara penerimaan Hadiah Nobel 1982.

(koleksi: Departemen Kebudayaan Spanyol)

Kembali soal boom sastra, kadang saya mendapat pertanyaan (dan juga bertanya-tanya sendiri) mengapa sastra Indonesia tidak bisa melahirkan boom pada aras internasional seperti yang dilakukan oleh sastra Amerika Latin? Saya kira ada dua jawaban yang bisa disimpulkan dari sini. Pertama, seperti kata Fuentes, sastra adalah politik. Minat dunia internasional (katakanlah penerbitan berbahasa Inggris) pada sastra nasional suatu negara tampaknya berbanding lurus dengan minat dunia internasional pada negara tersebut secara ekonomi-politik (entah sebagai peluang atau sebagai ancaman).

Ambil Cina sebagai contoh. Apakah sebuah kebetulan belaka bahwa sastra Cina kontemporer dalam terjemahan Inggris merebak beberapa tahun belakangan ini, dengan angka penjualan yang fantastis? Sebutlah Wolf Totem karya Jiang Rong, The Good Women of China karya Xin Ran, Village of Stone karya Xiaolu Guo, The Right Bank of the Argun karya Chi Zijian, atau 13 Flowers of Nanjing karya Yan Geling. Apakah sebuah kebetulan belaka bahwa Cina menjadi tamu kehormatan di London Book Fair 2012, atau bahwa University of Oklahoma Press kini punya seri khusus “Chinese Literature Today”, atau bahwa penerbit-penerbit terbesar Inggris telah membentuk forum khusus China-UK Literature in Translation? Tentunya ini berkaitan dengan minat dunia internasional untuk mempelajari Cina seiring kekuatan ekonomi-politiknya yang kian menonjol.

Maka dari itu, sebagus apapun para penulis kita berkarya, selama secara ekonomi-politik Indonesia terus menjadi bulan-bulanan dalam percaturan politik internasional, sastra kita secara umum juga takkan dilirik. Satu atau dua karya mungkin berhasil terbit di negeri orang (seperti Bi wa Kizu-nya Eka Kurniawan atau Frische Knochen aus Banyuwangi-nya Agus R. Sarjono), namun boom secara umum tidak akan terjadi.

Kedua, belum ada upaya yang intens, sistematis, dan terorganisir untuk memasarkan karya-karya Indonesia ke luar negeri. Dalam mengikuti pesta-pesta buku internasional semacam Frankfurt Book Fair, penerbit Indonesia datang dengan tujuan utama berburu copyrights buku terjemahan, bukan menjual copyrights buku untuk diterjemahkan. Jadi, sinyalemen sejarawan Anthony Reid, “Indonesia adalah bangsa yang paling tidak efektif di dunia dalam menjelaskan dirinya kepada dunia,”[12] bisa jadi benar. Bila tak ada upaya intens memperkenalkan diri pada dunia –sebagaimana yang dilakukan Carmen Balcells pada sastra Amerika Latin—maka jangan terlalu berharap dunia akan bisa mengenal kita dengan sendirinya.


[1] José Donoso, Historia personal del “boom” (Barcelona: Editorial Anagrama, 1972), hlm. 10.
[2] Ibid., hlm. 48.
[3] Ibid., hlm. 34.
[4] Xavi Ayén, “Balcells, la dueña del boom: entrevista a Carmen Balcells,” Clarín, 29 Juli 2006.
[5] Donoso, op. cit., hlm.
[6] Ayén, op. cit.
[7] Dikutip dari Tereixa Constenla, “Los secretos de la Mamá Grande,” El País, 17 November 2011.
[8] Cerita ini didapat dari  Alejandro Herrero-Olaizola, The Censorship Files: Latin American Writers and Franco's Spain (New York: SUNY Press, 2007), hlm. 174-175.
[9] Mario Vargas Llosa, “El jubileo de Carmen Balcells,” El País, 20 Agustus 2000.
[10] Mayder Dravasa, The Boom in Barcelona: Literary Modernism in Spanish and Spanish-American Fiction 1950-1974 (New York: Peter Lang, 2005), hlm. 134.
[11] Vargas Llosa, op. cit.
[12] Anthony Reid, “Indonesia dan Dunia Sesudah 66 Tahun,” majalah Tempo, 14-20 November 2011.