Jumat, 27 Mei 2011

Trench Town Rock, oleh Mario Vargas Llosa


“Trench Town Rock”, Mario Vargas Llosa. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari artikel dalam rubrikOpinión”, El País, 16 Januari 1995.

Dihadapkan pada laju tak terbendung pasukan Cromwell, yang menginvasi Jamaika pada 1655, kolonis-kolonis Spanyol membebaskan seribu lima ratus budak mereka, yang lari menghilang ke balik belukar raya. Mereka muncul kembali pada abad-abad berikutnya yang penuh gejolak dengan nama Maroon (diturunkan dari nama cimarrón atau budak pelarian) dan diselimuti aura bengal tak terjinakkan. Dari garis keturunan yang gagah berani inilah lahir Marcus Garvey pada 1887, rasul gerakan ‘negritud’ dan penganjur kembalinya kulit hitam Amerika ke Afrika, yang tanpanya kultus Rastafari takkan pernah melampaui perbatasan Ja­maika dan tanpanya Bob Marley takkan menjadi siapa adanya ia. Oleh Marcus Garveylah konon nubuat ini disampaikan (sekalipun para sejarawan membantahnya): “Lihatlah Afrika di mana seorang raja hitam dinobatkan. Dialah Sang Penebus.” Bertahun-tahun kemudian, pada 1930 di Etiopia, Ras Tafari Makonnen menduduki tahta kaisar dan diproklamirkan sebagai Ne­gus (raja segala raja). Di bawah pepohonan dan atap-atap pedesaan serta di dinding-dinding kampung Jamaika, mulai bermunculan gambar-gambar reproduksi wajah Haile Se­lassie serta warna emas, hijau, dan merah bendera Etiopia. Penganut agama baru ini berasal dari kelas bawah dan ajaran mereka sederhana saja: Yah (kependekan Yahwe) pada waktu yang rahasia akan membimbing orang kulit hitam balik ke Etiopia, mengeluarkan mereka dari Babilonia (dunia yang didominasi oleh kulit putih, keangkaraan, dan kekejaman). Waktu tersebut sudah dekat, karena Yah telah mewujud dalam diri raja dari Addis Ababa. Kaum Rasta menghindari alkohol, tembakau, daging, hasil laut, dan garam serta mematuhi perintah Lewi (25:5) untuk tidak menggunting rambut, janggut, atau kuku. Komuni dan ritualnya didasarkan pada ganja atau mariyuana, tanaman sakramental yang dimuliakan oleh Raja Salomo, yang dari makamnya tumbuhan itu bersemi.

Pertama kalinya Bob Nesta Marley melihat seorang Rasta adalah di Nine Miles, sebuah dukuh di paroki St. Ann, tempatnya lahir pada 1945. Putra seorang perempuan kulit hitam dan lelaki kulit putih, yang menikahi si perempuan namun meninggalkannya sebentar sesudahnya, si bocah blasteran ini menyimak terkesima kisah-kisah legenda abad pertengahan tentang Presbyter Yohanes yang dipakai untuk menghibur para petani oleh dukun desa itu, seorang pendongeng yang penuh ilham. Suatu hari, penampakan seorang pria dengan sarang ular di kepala, tatapan mata yang kabur, yang tampak mengawang-awang dan bukan berjalan, menakutkan anak itu, yang malam itu juga memimpikannya. Peralihannya pada kultus Rastafari terjadi jauh sesudahnya.

Nine Miles pasti tidak berubah banyak sejak itu. Ia masih sebuah desa kecil di puncak pegunungan terjal yang dicapai dengan menyusuri jalan yang luar biasa panjang, curam, dan berkelok-kelok. Gubuk kayu tempat Bob Marley dilahirkan sudah tidak ada lagi. Para pengikut membangunnnya kembali dengan semen, dan menanam serumpun ganja di ambang pintu. Makamnya terletak lebih tinggi lagi, di pucuk lain yang harus didaki dengan berjalan kaki, yang darinya, saya diberitahu, pada hari pemakamannya yang suram bisa terlihat deretan pelayat menyemut berkilometer-kilometer panjangnya. Ini batu tempatnya duduk bermeditasi dan menggubah lagu, dan di sana itu, gitarnya. Sebuah permadani yang dianyam oleh orang Etiopia menghiasi altar itu, yang harus dimasuki dengan telanjang kaki. Di sana, ibarat nazar-nazar permohonan, bergantungan foto-foto, kliping koran, bendera kecil-kecil, dan bahkan emblem lambang mobilnya, sebuah BMW, merk kesukaannya hanya karena singkatannya sama dengan namanya dan kelompok musik yang membuatnya melambung: The Wailers.

Si Rasta yang bertindak sebagai pemandu kami sedang menghisap komuni, begitu pula sepasang orang Amerika yang ikut menumpang di mobil van kami. Kunjungan ini termasuk jalan-jalan menyusuri ladang luas tanaman kudus tersebut. Karena secara teori ganja dilarang di Jamaika, saya bertanya pada si komunikan pernahkah ia bermasalah dengan polisi. Ia angkat bahu: “Kadang mereka datang dan mencabuti tanaman ini. Lalu kenapa? Toh akan tumbuh lagi. Alami, bukan?” Pelarangan cuma formalitas belaka. Sekian hari sebelumnya, di sebuah reggae bashi atau konser outdoor di Ocho Rios, ganja dijual dalam bentuk serabut atau lintingan dengan terang-terangan, dan pedagang asongan menjajakannya seperti soda atau bir. Saya rasa saya belum pernah berada di tempat umum di Jamaika tanpa ditawari atau melihat seseorang –dan bukan cuma Rasta—menghisapnya.

Tapi bukan di Nine Miles, atau di vila di Hope Road di Kingston, yang dibelikan sang produser pada puncak karirnya dan kini menjadi musem yang diabadikan untuk mengenangnya, tempat untuk melacak petunjuk-petunjuk mengenai Bob Marley. Melainkan di sekitar perkampungan kumuh Trench Town, di sisi barat ibukota Ja­maika, sebab di jalan-jalan yang penuh kekerasan sekaligus spiritual itulah ia habiskan masa kanak-kanak dan remajanya, di mana ia menjadi seorang Rasta dan seniman, yang sampai sekarang pun fermentasi sosial dari filosofi dan musiknya masih bisa dihirup. Lalat dan gunungan sampah, campur aduk barang buangan yang dipakai kaum miskin untuk membangun rumah reyot mereka, identik dengan kampung kumuh mana saja di Dunia Ketiga.

Bedanya adalah di sini, selain kotoran, kelaparan, dan kekerasan, kita juga menangkap di mana-mana hembusan nafas “agama di alam liar” yang dilihat Claudel dalam puisi Rim­baud. Ia berhembus dari paras berjanggut Singa Yudea dan dari warna warni Abyssinia yang muncul dalam plang-plang, gerbang-gerbang pagar, dan seng berombak serta di topi-topi Merovingia tempat Rasta menjejalkan rambut gimbal mereka saat bermain bola. Waktu masih kecil, sebelum sang guru Mortimer Planner mengubahnya dan mengirimnya menyusuri jalur mistik yang akan ia tempuh tanpa pernah berpaling, Bob Marley yang membuat dirinya dikenal di jalanan ini sebagai anggota geng, pemain bola, dan preman pastilah serupa Rimbaud: malaikat dan iblis, tampan dan berandalan, kasar dan cemerlang.

Laiknya kultus Rastafari, reggae ditempa oleh keringat dan darah Trench Town: bercampur di sana irama atavistik suku-suku tempat para leluhur mereka tumbang dan dibawa ke pasar budak, sebagaimana dikenang dalam gambar tembok di seputar perkampungan, akumulasi derita dan amarah dari berabad-abad perbudakan dan penindasan, harapan mesianistik yang lahir dari pembacaan naif atas Injil, nostalgia akan suatu Afrika yang mitis berbungkus fantasi-fantasi meluap tentang Firdaus, serta  hasrat nekat dan narsistik untuk bertemu dan terhanyut dalam musik.

Bob Marley tidak mencipta reggae. Pada saat The Wailers merekam album pertama mereka pada 1960an di Studio One di Kingston yang bergaya pedesaan, musik ini sudah diusung oleh The Skatalites dan band-band Jamaika lainnya meskipun ada keberatan dari pihak berwenang –yang melihat dalam lirik lagu-lagu tersebut hasutan untuk berontak dan berbuat kriminal—dan telah memapankan diri sebagai musik paling populer negeri itu. Namun Marley memberi musik tersebut warnanya yang sungguh personal serta martabat dari suatu ritus keagamaan dan khotbah politik. Puisi yang dihembuskannya ke dalam musik itu menggugah sanak sebangsanya karena di situ mereka mengenali azab sengsara mereka, seribu satu ketidakadilan hidup di Babilon, seraya juga mendapati di dalamnya alasan-alasan optimis dan persuasif untuk berjuang melawan azab sengsara, untuk melihat diri mereka sebagai orang-orang pilihan Yah, bangsa yang tengah menjalani ujian panjang dan mencapai tanah terjanji, bangsa yang penebusannya sudah dekat.

Musik ini memabukkan mereka sebab ini musik tradisional mereka sendiri, diperkaya oleh ritme-ritme modern dari Amerika: rock, jazz, kalipso Trinidad, serta himne-himne dan tarian gereja. Bahasa yang diucapkan Bob Marley pada mereka adalah patois Jamaika, yang tak terpahami oleh telinga yang belum terbiasa, dan tema-temanya adalah perselisihan mereka, hasrat mereka, pertikaian mereka, terbungkus kelembutan, mistisisme, dan belas kasihan. Kata “otentik” punya dering bahaya bila diterapkan pada karya seorang seniman: adakah yang disebut otentisitas itu? Bukankah ini cuma sekadar masalah teknis bagi pencipta mana saja yang paham akan keahliannya? Bagi Bob Marley ini tak pernah sekadar persoalan teknis, setidaknya sejak 1968, ketika sebagai hasil percakapannya dengan Mor­timer Planner ia beralih sepenuhnya ke agama Rastafari, mencurahkan imannya yang luas dan canaille mistiknya, mimpi mesianistik dan pengetahuan musiknya, semangat religiusnya yang berkobar-kobar serta erangan hutan lebat suaranya ke dalam lagu-lagu yang ia gubah.

Karena itulah dari semua pemusik dan seniman berbakat pada zamannya –era enam puluhan dan tujuh puluhan—ialah satu-satunya yang bukan hanya penuh ilham dan orisinil namun juga sepenuhnya otentik. Ia menolak segala godaan, termasuk yang paling menawan yang disebut hidup, lebih memilih mati pada usia tiga enam ketimbang membolehkan amputasi ibujari kakinya yang kena kanker, sebab agamanya melarangnya. Memang benar bahwa ia meninggal kaya raya –peninggalannya tiga puluh juta dolar—namun sedikit sekali dari hartanya yang ia nikmati. Bila kita kunjungi vila di Hope Road, satu-satunya kemewahan yang ia relakan untuk dirinya sendiri manakala ketenaran mendadak membuatnya kaya, bisa kita lihat betapa sahaja kemewahan tersebut dibanding dengan apa yang bisa dicapai oleh penyanyi tak seberapa sukses pada zaman sekarang.


Dalam kejayaan tahun-tahun penghabisan hidupnya sebagaimana kemiskinan di masa-masa awal, satu-satunya suka citanya adalah debu dan puing-puing Trench Town: menendang-nendang bola, tenggelam dalam introspeksi misterius lalu kembali ke dunia entah penuh suka cita atau berlinang tangis, mencoret-coret lagu dalam buku tulis anak sekolah, menggali sebuah melodi sembari menggenjreng gitar, atau menghirup asap asam manis rokok ganjanya. Ia murah hati bahkan royal kepada kawan dan lawan-lawannya, dan hari paling menggembirakan dalam hidupnya adalah saat ia bisa memakai uangnya untuk membantu kerabat Haile Selassie yang digulingkan, seorang despot yang ia yakini adalah Tuhan. Saat mengunjungi Afrika, ia dapati bahwa benua tersebut sama sekali bukan tanah keselamatan kulit hitam sebagaimana yang ia angankan dalam kredo dan lagu-lagunya, dan sejak itu ia kurang peduli dengan gerakan “negristas”, menjadi lebih ekumenis, dan karenanya, makin intenslah khotbah cinta damai serta seruan spiritualnya.

Orang tak perlu beragama untuk menyadari bahwa tanpa agama hidup akan jauh lebih hampa dan suram bagi kaum miskin dan sengsara, dan bahwa masyarakat memiliki agama yang mereka butuhkan. Saya membenci sinkretisme teologis kaum Rasta, komuni ganjanya, peraturan makannya yang mengerikan, serta rambut gimbalnya, manakala saya mendapati putra saya sendiri serta sekelompok teman sekolahnya menjadi penganut keyakinan tersebut. Tapi iman yang bagi putra saya dan kawan-kawannya tak pelak lagi merupakan tren sesaat, kemeriahan sepintas bagi anak muda berpunya, di jalan-jalan menyedihkan Trench Town atau di tengah-tengah kemiskinan dan telantarnya dukuh-dukuh St. Ann, terlihat oleh saya sebagai iman yang sangat menggetarkan untuk sebuah kehidupan spiritual, untuk melawan kerusakan moral dan ketidakadilan manusia. Saya minta maaf kepada para Rasta atas apa yang pernah saya duga dan tulis tentang mereka, dan seiring kekaguman saya pada musiknya, saya nyatakan rasa hormat saya atas gagasan-gagasan dan keyakinan Bob Marley.