Senin, 07 November 2011

"Masa Depan Haruslah Sesuatu yang Baru": Wawancara Camila Vallejo dengan VOZ


“Van a ver que vale la pena”, wawancara Juan Pablo Montero dengan Camila Vallejo. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari artikel di Voz: La verdad de pueblo, surat kabar Partai Komunis Kolombia, 26 Oktober 2011.

Camila Vallejo Dowling (kelahiran 28 April 1988) adalah mahasiswi pascasarjana bidang Geografi dan anggota Pemuda Komunis Cile, selain menjabat ketua Federación de Estudiantes de la Universidad de Chile (Federasi Mahasiswa Universitas Cile) sejak 2010. Namanya mencuat ke seluruh dunia dalam setengah tahun terakhir sebagai tokoh pemimpin demonstrasi mahasiswa Cile menentang privatisasi dan komersialisasi pendidikan. “Comandante Camila” menjadi ikon gerakan kiri kontemporer Amerika Latin.


Di tengah hiruk pikuk perjuangan yang dilancarkan di jalan-jalan Cile, Camila Vallejo pindah dari satu rapat ke rapat lain memenuhi kewajibannya sebagai militan Pemuda Komunis Cile, ketua gerakan mahasiswa, serta pemimpin populer. Langsung di jalanan Santiago, VOZ berbincang eksklusif dengan Camila Vallejo, yang menjelaskan perjuangan mahasiswa Cile, perspektif gerakan, dan mengaku mengikuti perjuangan mahasiswa Kolombia dan mendorong mereka agar tidak melemah.

Apakah yang direpresentasikan oleh gerakan mahasiswa sekarang ini bagi Cile?
Ini bukan gerakan yang muncul dari spontanitas, ini gerakan yang telah berkembang selama bertahun-tahun dari tuntutan-tuntutan historis gerakan mahasiswa Cile, seperti pembiayaan pendidikan umum oleh Negara dan demokratisasi kelembagaan, yang tak lebih agar pemerintah membolehkan partisipasi tripartit –mahasiswa, pejabat, dan buruh—di mana siswa tidak hanya terlibat dalam pengelolaan kelembagaan melainkan mengelaborasi proyek pendidikan, di mana kami mengajukan proposal-proposal perihal cakupan akses pendidikan yang berlaku universal tanpa mekanisme pilih kasih. Semuanya didasarkan pada kriteria-kriteria kelas yang juga akan menghasilkan pengetahuan demi kepentingan mayoritas dan bukan hanya pengetahuan yang dijual di pasar serta perusahaan-perusahaan dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Kami memperjuangkan ketentuan yang diamanatkan oleh Negara bahwa lembaga-lembaga publik harus berbakti pada pembangunan negeri ini.

Di jalanan kota-kota Cile terlihat mobilisasi-mobilisasi mahasiswa, tapi disertai juga oleh iring-iringan kaum profesional yang berutang, beberapa orang tua yang berkeluarga dan turun bersama anak-anak mereka. Dari mana dukungan populer ini?
Apa yang saat ini diminta oleh gerakan mahasiswa adalah tuntutan-tuntutan yang telah digarap untuk jangka waktu yang lama. Parameter-parameter pasar sebagai bisnis pendidikan, penarikan laba, dan konsep kualitas sesuai target-target pasar, sedang sangat dipertanyakan oleh segenap masyarakat. Jadi, banyak di antara tuntutan ini telah diajukan sejak lama dan beberapa lainnya lebih baru; maka yang terjadi adalah tuntutan mobilisasi ini sama dengan demo-demo pada masa itu, yang jelas-jelas gagal, tidak mencapai sasarannya, dan pemerintahan Concertacion –aliansi partai-partai yang terbentuk sesudah kediktatoran—mengkhianati gerakan mahasiswa saat itu dan hingga hari ini tuntutan-tuntutan ini juga belum terselesaikan.

Kekecewaan-kekecewaan yang kau sebutkan, ikut dipikul oleh sektor-sektor lain. Maksudku, buruh, penambang, serikat-serikat pekerja, perempuan, dan pengangguran yang bergabung dengan tuntutan mahasiswa. Mengapa?
Sesudah mengangkat bendera perjuangan mahasiswa, kami berhadap-hadapan dengan seisi masyarakat yang bertanya: mengapa pendidikan tidak memberikan jaminan? Mereka juga mempertanyakan keseluruhan sistem, demokrasi yang tidak kami punya, tiadanya partisipasi riil, pemilu selalu diputuskan di balik empat dinding yang hasilnya selalu itu-itu juga. Kemudian, jadi penting mempertanyakan dari mana asal masalah ini, yang jawabannya jelas: kediktatoran militer. Dan di atas semua itu, maka perlu untuk memikirkan masa depan dan masa depan tersebut haruslah sesuatu yang baru karena model neoliberal ini kini tak masuk diakal dan bahwa sesuatu yang baru itu harus dibangun dengan tangan rakyat Cile sendiri.

Apa sasaran demonstrasi Cile?
Kami punya gerakan yang berhasil mendudukkan tema-tema yang kami bicarakan, yang mulai terwujud dalam demo-demo, bisa saja melalui kuantitas orang yang turun ke jalan-jalan dalam jumlah yang bersejarah, tetapi bisa juga secara kualitatif melalui keberagaman orang-orang yang turun ke jalan yang bukan cuma mahasiswa seperti yang kau bilang tadi, melainkan keluarga, kaum buruh, orang-orang desa, dan pelbagai organisasi dengan warna yang beraneka ragam, sehingga menunjukkan bahwa apa yang dimunculkan sebagai problem sektoral adalah problem sosial yang terkait dengan sistem perekonomian, sistem politik yang mendistribusikan kekuasaan secara timpang dalam kaidah ekonomi, namun juga secara politik dan yang paling terutama adalah menempatkan secara sentral hak azasi manusia serta lingkungan hidup. Ke situ kami menuju.

Kembali ke soal perjuangan mahasiswa: bagaimana sekarang?
Dalam situasi saat ini kami bersedia memasuki dialog baru dengan pemerintahan Piñera, namun ada beberapa kendala. Bahkan ketika kami pergi berunding dengan pemerintahan kanan, kekuatan yang kami punya untuk mendorong bidang-bidang tertentu reformasi struktural membuat kami merasa tenang. Bisa kami bilang ini langkah-langkah yang jelas ke jalan yang benar. Namun demikian, bila kami harus meninggalkan lagi meja perundingan, akan kami lakukan.

Perundingan dengan pemerintahan seperti Piñera bisa kubilang tidak bakal mudah. Apa kesulitan-kesulitan jangka pendek yang ada dalam negosiasi?
Tentunya kendala baru adalah serangan yang ia lancarkan terhadap gerakan. Ada RUU untuk menghukum pendudukan sekolah-sekolah menengah atas, sekolah-sekolah dasar, dan universitas, mengkriminalkannya. Mereka terapkan terorisme negara, menghukum siswa yang datang dengan tudung kepala, mensejajarkan mereka yang berbuat demikian di sekolah dengan mereka yang melakukan tindak kriminal seperti perampokan atau penjarahan pusat perbelanjaan. Dan itulah yang mengkhawatirkan, sebab kini pemerintahan Piñera sedang menampakkan parasnya yang paling reaksioner. Di sini kami dituding bahwa gerakan ini telah dikooptasi oleh sektor kiri paling radikal, dan kami pun membalas bahwa pemerintah sedang dikooptasi oleh sektor ultra-kanan paling radikal.

Di Kolombia kami sedang berada di tengah-tengah Mogok Nasional Mahasiswa, dalam perjuangan menentang UU 30 dan reformasi pemerintah, yang pertarungannya sangat mirip dengan yang kau punya di Cile. Camila, lewat VOZ kau bisa berkirim salam pada rekan-rekan mahasiswa yang sedang memajukan perjuangan untuk pendidikan di seluruh Kolombia.
Kepada semua rekan mahasiswa Kolombia aku ingin mengirim salam persaudaraan melalui VOZ dan berharap sukses selalu untuk semua. Di sana berlaku model yang cukup mirip dengan kami, sangat bisa diperbandingkan dalam realitas jenis pemerintahan dan orientasi politik kanannya. Maka dengan setulus hati aku ingin mengungkapkan solidaritas dan berkirim segenap kekuatan dalam perjuangan ini, karena sebenarnya segala petisi dan sumber daya yang dibutuhkan perlu kalian kerahkan sebab kalian akan melihat bahwa ini memang layak, dan dalam prosesnya kalian akan menghadapi banyak kesulitan. Perjuangan ini benar-benar tanpa imbalan tetapi perlu untuk dilakukan dan dilakukan oleh anak muda, tetapi bukan hanya anak muda, melainkan memanggil seluruh masyarakat bersama kalian.

Yang penting adalah agar ini tidak terbatas hanya pada lingkup mahasiswa, tapi melebar ke sekujur masyarakat Kolombia, agar semua paham bahwa perubahan itu perlu. Tetap kuat dan sukses selalu.

Kamis, 08 September 2011

Saat Maestro Membaca Maestro, Sebelum “Lo. Gue. End.”

García Márquez: historia de un ­deicido
Mario Vargas Llosa
Barcelona: Barral Editores, 1971


Gabriel García Márquez. Mario Vargas Llosa. Keduanya penulis besar Amerika Latin. Sama-sama dikagumi dan disegani dengan caranya masing-masing. Keduanya meraih Hadiah Nobel. Tanpa mereka sastra Amerika Latin, bahkan sastra dunia, takkan menjadi seperti adanya kini. Keduanya pernah berteman akrab, sangat akrab malah, sampai-sampai García Márquez menjadi bapak baptis anak Vargas Llosa. Tapi pada 1976, persahabatan itu bubar begitu saja setelah keduanya beradu jotos di sebuah bioskop di Mexico City. Kalau kata ungkapan populer sekarang ini: “Lo. Gue. End.”

Semenjak itu keduanya tak pernah lagi bertegur sapa. Seperti menjadi kesepakatan diam-diam antar penulis Kolombia dan penulis Peru itu untuk tidak mengomentari karya satu sama lain. Uniknya, dalam pengamatan saya, keduanya masih sering menyinggung topik-topik yang mirip, dengan gaya dan caranya masing-masing. García Márquez menelisik profil fisik dan psikologis seorang diktator dalam El otoño del patriarca. Tentu saja dengan realisme magisnya yang khas itu. Lalu Vargas Llosa seakan merealiskan karya tersebut melalui La fiesta del chivo, dengan memberi gambaran akurat yang sangat presisi tentang kediktatoran sambil menyiangi segala realisme magis García Márquez yang kadang lebay itu.

Permusuhan keduanya menjadi selegendaris persahabatan mereka sebelumnya. Koran Inggris The Independent menjulukinya “the longest feud in contemporary letters”—salah satu perseteruan terlama dalam kancah sastra (meski mungkin tak ada hubungannya dengan sastra atau paham sastra itu sendiri), sebagaimana permusuhan Salman Rushdie vs. John Le Carré atau Paul Theroux vs. V.S. Naipaul. Kritikus Ilan Stavans mencirikan keduanya sebagai “nemesis” atau musuh bebuyutan. Yang paling membuat penasaran adalah: keduanya sama-sama bungkam tentang pokok pangkal perkelahian mereka, baik kepada pers, teman-teman dekatnya, atau para penggemar. Orang hanya bisa menduga-duga.

Sebagian berteori ini ada kaitannya dengan paham politik mereka. García Márquez, yang menganggap diri “kiri”, bersetia pada Castro dan Revolusi Kuba sampai pada detik ini. Sementara Vargas Llosa, sesudah pengadilan atas para penyair dan penulis Kuba yang dicap kontrarevolusioner pada 1970an, menganggap Castro tak lebih dari diktator militer seperti lain-lainnya dan sosialisme tak hadir dalam Revolusi Kuba. Pandangan politiknya pun, terutama sesudah novel Historia de Mayta (1984), semakin liberal.

Pada 1997, Dasso Saldivar, penulis biografi García Márquez. El Viaje a la Semilla: La Biografía, membuat klaim menghebohkan bahwa pertikaian kedua penulis ini berpangkal dari soal asmara dan selingkuh. Konon, si tampan Mario Vargas Llosa jatuh cinta pada seorang pramugari Swedia dan bahkan sempat pindah ke Stockholm meninggalkan Patricia, istrinya. Patricia meminta nasehat ke García Márquez, dan ia pun menganjurkan agar Patricia menceraikan Mario. Dan konon pula, García Márquez juga memanfaatkan situasi kacau hati istri sahabatnya itu (kasarnya, “ngelaba”).

Sebuah karikatur menyebut inilah "boom"
sastra Amerika Latin sesungguhnya.
Klaim ini kontroversial tentunya karena buku Saldivar adalah satu-satunya yang memuat kisah ini (saya belum pernah membacanya dari buku-buku lain tentang hidup dan karya kedua penulis ini). Saya pribadi cenderung meragukan cerita Saldivar, antara lain karena sumber-sumbernya yang tak disebutkan jelas, hanya sebatas “algunas fuentes cercanas al colombiano” (beberapa sumber yang dekat dengan si penulis Kolombia itu) atau “las fuentes cercanas al peruano” (sumber-sumber yang dekat dengan si penulis Peru itu). Tentu saja Saldivar punya hak jurnalistik untuk merahasiakan sumbernya dalam perkara yang sensitif, tapi ini membuat bukunya memuat terlampau banyak konon dan jadi seperti gosip. Apalagi, biografi otoritatif García Márquez garapan Gerald Martin, García Márquez: A Life (hasil riset selama 17 tahun dan wawancara lebih dari 300 orang, yang aslinya memuat 2.000 hlm draft dan 6.000 lebih catatan kaki) tak sedikit pun menyinggung adanya kemungkinan motif “teman makan teman” di balik insiden ini. Martin lebih condong pada perspektif politik untuk melihatnya. Biografi Saldivar juga hanya terbit dalam bahasa Spanyol dan tak diterjemahkan ke dalam bahasa lain manapun, barangkali juga karena penerbit-penerbit asing menganggap ceritanya terlampau spekulatif. Namun demikian, baik García Márquez maupun Vargas Llosa juga tak memberikan bantahan terbuka terhadap cerita Saldivar, dan spekulasi ini pun tak pernah dijernihkan.

Entah motif mana yang benar, yang jelas terjadi dan disaksikan banyak orang adalah begitu Vargas Llosa bertemu García Márquez di sebuah bioskop di Meksiko pada 1976, dalam acara pemutaran perdana film karya René Cardona La Odisea de los Andes, ia langsung melayangkan tinjunya ke muka García Márquez. Wajah García Márquez berdarah, dan aneh bin ajaib bagai dalam novel-novel realis magisnya, seorang teman lari ke toko daging dekat situ, mengambil seiris daging, lalu menaruhnya di mata García Márquez yang lebam sebagai kompres!

Seorang fotografer sempat memotret García Márquez dengan mata kiri babak belur, namun foto itu sendiri baru dilansir 30 tahun sesudah peristiwa, dalam koran kiri Meksiko La Jornada edisi 6 Maret 2007, saat pers Amerika Latin sibuk memberitakan peringatan 80 tahun García Márquez.

La Jornada, 6 Maret 2007. García Márquez dengan mata lebam.
(foto: Mario Guzman/EFE)

Itulah kisah yang menjadi latar buku yang hendak saya ulas sesungguhnya, García Márquez: historia de un ­deicido (García Márquez: Sejarah Sang Pembunuh Allah). Buku ini aslinya ditulis Vargas Llosa pada awal 1970an sebagai disertasi doktoralnya di Universitas Complutense, Madrid, berjudul García Márquez: lengua y estructura de su obra narrativa (García Márquez: Bahasa dan Struktur Karya Sastranya), tentu saat keduanya masih akur. Vargas Llosa lulus dengan predikat cum laude sesudah persidangan 25 Juni 1971. Tahun itu pula disertasi ini dibukukan oleh penerbit Barral di Spanyol setebal hampir 700 hlm. Boleh jadi ini adalah analisa mendalam pertama pada kekaryaan García Márquez dan terutama Cien años de soledad (Seratus Tahun Kesunyian) yang menghebohkan khazanah sastra baru beberapa tahun sebelumnya.

Sesudah perkelahian mereka, Vargas Llosa tak pernah menyebut-nyebut sekali pun buku ini lagi dan menolaknya dicetak ulang. Itu yang menjadikan buku ini sangat langka. Beberapa toko buku bekas online bahkan membandrol harganya hingga AS$600. Pada 2008, untuk memperingati 80 tahun García Márquez dan 40 tahun Seratus Tahun Kesunyian, dicetaklah edisi khusus Seratus Tahun Kesunyian dengan pengantar dari Vargas Llosa. Koran-koran pun heboh mengabarkan bahwa keduanya telah rujuk. Agen mereka, Carmen Balcells, buru-buru merilis pernyataan pers bahwa Vargas Llosa tidak menulis pengantar baru, namun mengizinkan sebagian isi García Márquez: historia de un ­deicido dinukil sebagai pengantar edisi khusus ini. Hingga kini Vargas Llosa tetap tak mau menerbitkannya ulang sebagai buku utuh tersendiri, meski ia tak bisa menolak ketika semua karya lengkapnya hendak diformat dan dicetak ulang dalam kumpulan Obras completa.

Disertasi ini terbilang penting, karena di sini Vargas Llosa bukan cuma membedah García Márquez, namun mengembangkan rintisan teorinya sendiri tentang novel, yang nanti disebut sebagai “total novel”.

Novel adalah sebuah dunia yang utuh, dan kerja seorang novelis adalah membangun dunia itu, realitas itu, dengan dasar –sadar atau tidak—ketidakpuasan terhadap dunia yang dilakoninya sekarang. Karena itulah dalam dunia yang dibangunnya ia menggantikan kekuasaan Allah (dalam teologi, deicido merujuk pada tindakan membunuh Tuhan atau keilahian):

Escribir novelas es un acto de rebelión contra la realidad, contra Dios, contra la creación de Dios que es la realidad. Es una tentativa de corrección, cambio o abolición de la realidad real, de su sustitución por la realidad ficticia que el novelista crea. […] La raíz de su vocación es un sentimiento de insatisfacción contra la vida; cada novela es un deicidio secreto, un asesinato simbólico de la realidad.

“Menulis novel adalah sebuah tindakan pemberontakan terhadap realitas, terhadap Allah, terhadap ciptaan Allah yang adalah realitas. Inilah upaya korektif, mengubah atau menghapus realitas nyata, menggantikannya dengan realitas fiktif gubahan si novelis. […] Akar panggilannya adalah rasa tidak puas terhadap kehidupan; setiap novel adalah pembunuhan Tuhan secara diam-diam, pembunuhan simbolik atas realitas.”

Paparan Vargas Llosa separuh biografis dan separuh analisa tekstual. Pada halaman-halaman awal, Vargas Llosa membingkai realisme magis García Márquez ke dalam realitas sosialnya, yakni imajinasi komunal masyarakat tropis Amerika Latin yang cenderung melebih-lebihkan kisah sejarah dan gambaran-gambaran tertentu (“la imaginación colectiva —sobre todo la de una comunidad «tropical»— tiende a magnificar el pasado histórico y a fijarlo en ciertas imágenes”). Misalnya bagaimana pada masa boom karet di Amazon, para penyadap kulit putih konon menyalakan cerutu mereka dengan membakar uang kertas. Ini gambaran yang berlebihan namun melekat di benak masyarakat dan dituturkan dari generasi ke generasi justru karena berlebihan itu. Teknik inilah yang kemudian dipakai García Márquez dalam Seratus Tahun Kesunyian: berbohong dan menggombal dengan luar biasa sampai orang yakin. García Márquez sendiri selalu berkata bahwa butuh bertahun-tahun baginya mencari teknik bertutur yang tepat untuk Seratus Tahun Kesunyian. Ia selalu ingin meniru cara neneknya mendongeng. Ia tahu cerita neneknya tak ada yang benar secara realitas, namun bisa membuat pendengarnya percaya.

Karena itulah ketika Vargas Llosa meminta García Márquez menceritakan proses kreatifnya sejak karyanya yang pertama, García Márquez justru memulainya dari Seratus Tahun Kesunyian:

GM: Begini, aku mulai menulis Seratus Tahun Kesunyian ketika berusia enam belas tahun...
VLL: Mengapa kita tidak mulai dari buku pertamamu? Yang paling pertama.
GM: Yang pertama justru Seratus Tahun Kesunyian [...] Aku sendiri tidak percaya akan apa yang aku ceritakan, maka aku pun menyadari bahwa kesulitan itu semata-mata teknis, yakni aku tidak memiliki unsur-unsur teknis dan bahasa untuk membuatnya kredibel, bisa dipercaya. Aku pun pergi menggarap empat buku lain sementara waktu itu. Kesulitan besarku selalu adalah menemukan nada dan bahasa agar bisa dipercaya.

Menulis novel, bagi Vargas Llosa, merupakan ramuan antara momok-momok dalam hidup sang penulis dengan tema yang hendak diangkat dalam karyanya (los ‘demonios’ de su vida son los ‘temas’ de su obra). Momok itu bisa berupa sosok manusia, peristiwa, impian, kehilangan dlsb yang merongrong hidup si penulis, yang berusaha dienyahkannya melalui kata-kata dan imajinasi dengan membentuk sebuah realitas baru dalam novel.

Bagi Vargas Llosa –berbeda dengan kebanyakan kritikus—momok historis sesungguhnya yang menghantui karya-karya García Márquez adalah soal “kekerasan.” Tema-tema sosial politik, sekalipun sentral dalam karya-karyanya, justru tampak tersisih dari latar depan, muncul dengan cara yang berkelit.

Vargas Llosa juga tak terjebak dalam idiom-idiom pasaran untuk menyebut García Márquez itu “realis magis” dsb. Ia lebih tertarik membedah metode apa yang dipakai García Márquez untuk mencapai taraf realitas sedemikian (artinya: pembaca bisa memercayai sesuatu yang mustahil dipercayai)?

¿En qué consiste este método? En el dominio del lenguaje, en un estilo despojado al máximo de elementos subjetivos, y que, en las antípodas del de Faulkner, aspira a la transparencia total: su sencillez de vocabulario, su exactitud en la mención del objeto, la lógica de su sintaxis, el verismo de su diálogos, su carácter visual, tienden a ocultar su presencia, a disimular su función de creador y distribuidor de la materia narrativa, a hacer sentir al lector que esta materia le llega directamente, sin pasar por las palabras.

“Apakah isi metode ini? Penguasaan akan bahasa, melucuti gaya semaksimal mungkin dari elemen-elemen subyektifnya, dan berseberangan telak dengan Faulkner, bertujuan mencapai transparansi total: kesederhanaan kosakata, keeksakan dalam menyebut obyek, logika sintaksis, keriilan dialog-dialognya, karakter visualnya, yang cenderung menyembunyikan kehadirannya, menutupi perannya sebagai pencipta dan penyebar materi naratif, membuat pembaca merasa materi itu datang secara langsung tanpa melalui kata-kata.”

Memang, karena saya sudah membaca buku-buku Vargas Llosa lainnya yang “berteori” tentang genre novel, seperti La verdad de las mentiras (Benarnya Kebohongan), dan terutama seri kuliahnya, The Writer’s Reality –buku-buku yang ditulis jauh sesudah disertasi doktoralnya ini ketika Vargas Llosa sudah semakin matang dan mapan sebagai novelis—maka membaca membaca García Márquez: historia de un ­deicido ini terasa “rada mentah”. Namun bagai sushi, yang mentah itu justru menyegarkan: kita dapati di sini seorang maestro novel mengupas maestro novel lainnya, dengan cara pandangnya sebagai novelis, bukan kritikus sastra. Itu yang membuat buku ini berbeda dengan kajian-kajian akademis lainnya tentang García Márquez dan Seratus Tahun Kesunyian.

Senin, 22 Agustus 2011

Wawancara Gabriel García Márquez dengan Subcomandante Marcos

Kutipan wawancara antara Subcomandante Marcos dengan Gabriel García Márquez dan Roberto Pombo mewakili majalah Meksiko Revista Cambio. Wawancara utuh terbit pertama kali di Revista Cambio 26 Maret 2001. Subcomandante Marcos adalah juru bicara karismatis Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN) Meksiko yang mengangkat senjata pada 1 Januari 1994 untuk melawan terampasnya hak-hak masyarakat adat oleh proses globalisasi ekonomi neoliberal. Komunike-komunike EZLN dan tulisan-tulisan Marcos (1994-2004) serta artikel-artikel lain mengenai pemberontakan Zapatista telah saya terjemahkan dan terbit dalam tiga jilid buku: Bayang Tak Berwajah: Dokumen Perlawanan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (INSIST Press, 2003), Kata Adalah Senjata: Kumpulan Tulisan Terpilih 2001-2004 (Resist Book, 2005), Atas dan Bawah: Topeng dan Keheningan (Komunike-komunike Zapatista Melawan Neoliberalisme) (Resist Book, 2005).


GGM : Masih punya waktu membaca di sela-sela kekacauan ini?
Marcos : Ya, sebab kalau tidak… apalagi yang mau kami perbuat? Dalam tentara-tentara gerilya yang ada sebelum kami, para prajuritnya mengisi waktu luang dengan mengelap senapan dan menyetok amunisi. Di sini, senjata kami adalah kata-kata, jadi kami harus bergantung pada gudang amunisi kami setiap saat.

GGM : Segala yang Anda ucapkan –dalam arti bentuk dan isi—menampilkan latar belakang sastra yang mendalam dari hidup Anda. Dari mana ini berasal dan bagaimana Anda mencapainya?
Marcos : Ini terkait dengan masa kecil saya. Dalam keluarga saya, kata-kata punya nilai yang sangat khusus. Kami mengenal dunia lewat bahasa. Kami tidak belajar membaca di sekolahan melainkan dengan membaca koran. Ibu dan ayah saya menyuruh kami membaca buku-buku yang secara cepat memperkenalkan kami dengan hal-hal baru. Entah bagaimana, kami mencerap sebuah kesadaran berbahasa yang bukan diperuntukkan sebagai cara berkomunikasi satu sama lain, tapi sebagai cara untuk membangun sesuatu. Seakan ia lebih merupakan kenikmatan ketimbang kewajiban atau penugasan. Ketika masa perjuangan bawah tanah tiba, kata-kata tidaklah dinilai tinggi oleh kaum borjuis intelektual. Ia diturunkan ke tingkat sekunder. Saat masuk dalam komunitas-komunitas adatlah kata-kata menghantam kami seperti ketapel. Anda sadar bahwa kata-kata ternyata gagal untuk mengekspresikan soal-soal tertentu, dan ini mengharuskan Anda untuk melatih kemampuan berbahasa Anda, mengulang-ulangi kata tertentu demi mempersenjatai dan melucuti senjata mereka.

GGM : Bukannya sebaliknya? Bukannya kontrol atas bahasalah yang mengizinkan adanya tahap baru perjuangan ini?
Marcos : Ibarat blender. Anda tak tahu apa yang dimasukkan terlebih dulu ke sana, tapi hasil akhir yang Anda dapat adalah koktail.

GGM : Boleh kami tanya tentang keluarga ini?
Marcos : Keluarga kelas menengah. Ayah saya, sang kepala keluarga, adalah seorang guru desa pada masa Cardenas. Saat itu, menurut ceritanya, mereka memotongi telinga guru-guru karena menjadi komunis. Ibu saya, yang juga guru desa, akhirnya pindah dan kami menjadi keluarga kelas menengah, maksud saya, sebuah keluarga tanpa kesulitan-kesulitan yang berarti. Semua ini terjadi di daerah udik, di mana cakrawala budaya hanya sebatas lembar-lembar masyarakat surat kabar lokal. Dunia di luarnya, atau kota-kota besar, Mexico City, merupakan daya pikat menakjubkan karena toko-toko bukunya. Akhirnya, ada juga pasar buku yang terselenggara di udik itu, dan dari situ kami bisa mendapatkan buku-buku. García Márquez, Fuentes, Monsiváis, dan Vargas Llosa –terlepas dari cara berpikirnya—untuk menyebut beberapa. Mereka semua datang melalui orang tua saya. Mereka menyuruh kami membacanya. Seratus Tahun Kesunyian bermaksud menjelaskan bagaimana rupa pedalaman udik tersebut di masa-masa itu, dan Matinya Artemio Cruz bermaksud menjelaskan apa yang terjadi dengan Revolusi. Días de guardar menjelaskan apa yang terjadi dengan kelas menengah. Untuk beberapa tahap, meski telanjang, potret kami tergambar dalam Kota dan Sekawanan Anjing. Segala sesuatunya ada di situ. Kami tiba melihat dunia dengan cara yang sama kami tiba mengenal sastra. Dan menurut saya, hal inilah yang membentuk kami. Kami tidak mengenal dunia lewat siaran berita, tapi lewat sebuah novel, esai atau sepotong sajak. Ini membuat kami benar-benar berbeda. Inilah cermin yang diberikan kedua orang tua kami, tatkala orang lain menggunakan media massa sebagai cermin atau hanya sebagai kaca buram hingga tak seorang pun mengerti apa yang sedang terjadi.

GGM : Di mana letak Don Quixote di tengah semua bacaan ini?
Marcos : Mereka memberi saya sebuah buku indah, bersampul tebal. Don Quixote de la Mancha. Saya pernah membacanya sebelum itu, tapi dalam edisi bacaan anak. Buku itu mahal, hadiah sangat spesial yang saya nanti-nantikan. Shakespeare tiba setelahnya. Tapi kalau boleh saya urutkan tibanya buku-buku itu, pertamanya adalah “boom” sastra Amerika Latin, lalu Cervantes, lalu Garcia Lorca, lalu ada suatu masa yang semuanya serba puisi. Maka, Anda [menunjuk ke arah Márquez ] ikut bertanggungjawab atas ini semua.

GGM : Apakah eksistensialis dan Sartre ikut-ikutan dalam soal ini?
Marcos : Tidak. Kami tiba terlambat untuk itu. Khususnya eksistensialis, dan sebelumnya, sastra revolusioner, kami tiba saat sudah begitu “terbentuk”—seperti kata kaum ortodoks. Waktu kami tiba pada Marx dan Engels, kami telah begitu teracuni oleh sarkasme dan humor kesusastraan.

GGM : Tak ada bacaan teori politik?
Marcos : Pada tahap pertama, tidak. Dari mengeja ABC kami beranjak ke sastra dan setelahnya baru teks-teks politik dan teoritis saat kami mulai menjelang SMA.

GGM : Apakah teman-teman sekolah Anda mengira bahwa Anda adalah, atau bisa jadi, komunis?
Marcos : Tidak, saya kira tidak. Paling banter yang pernah mereka ucapkan soal saya adalah saya ini semu merah, merah di luar, putih di dalam.

GGM : Apa yang Anda baca sekarang?
Marcos : Don Quixote selalu ada di sisi ranjang saya, dan seperti biasa saya selalu menenteng-nenteng Romancero Gitano Garcia Lorca. Don Quixote adalah buku teori politik terbaik yang pernah ada, disusul Hamlet dan Macbeth. Tak ada cara yang lebih baik untuk memahami tragedi dan komedi sistem perpolitikan Meksiko selain lewat Hamlet, Macbeth, dan Don Quixote. Mereka jauh lebih baik ketimbang kolom analisa politik manapun.

GGM : Anda menulis tangan atau dengan komputer?
Marcos : Komputer. Hanya kalau sedang berbaris saya menulis dengan tangan karena saya tak punya waktu bekerja. Saya menulis sepotong draft kasar, disusul yang berikutnya dan berikutnya lagi. Anda anggap saya bergurau, tapi kurang lebih ada tujuh draft saat saya selesai.

GGM : Buku apa yang sedang Anda garap?
Marcos : Apa yang sedang saya coba tuliskan ini absurd, yaitu upaya untuk menjelaskan diri kami pada diri kami sendiri, yang hampir mustahil. Kami harus sadar bahwa kami ini sebuah paradoks, karena sepasukan tentara revolusioner tidak berupaya merebut kekuasaan, tentara revolusioner tidak berperang, kalau memang itu tugasnya… Semua paradoks telah kami jumpai: bahwa kami telah tumbuh dan menjadi kuat dalam sebuah sektor yang benar-benar terasing dari kanal-kanal kebudayaan.

GGM : Bila tiap orang tahu siapa Anda, kenapa pakai topeng ski?
Marcos : Sedikit sisa-sisa kegenitan. Mereka tak tahu siapa saya dan mereka tak peduli. Yang terjadi di sini adalah: apakah Subcomandante Marcos itu sekarang, bukan siapa ia dulunya.

Kamis, 07 Juli 2011

Ziarah Neruda pada Kesunyian

La rosa separada / The Separate Rose
Pablo Neruda
Copper Canyon Press, 2005

Di balik setiap aktivitas melancong senantiasa terdapat hasrat untuk menjelajah yang-belum-terjamah, hasrat untuk mencari yang-otentik, yang-asli, dan di balik hasrat tersebut senantiasa terdapat asumsi orientalis bahwa tempat kita bertolak telah rusak oleh peradaban, modernitas, dan “kemajuan”, sementara kemurnian diharapkan ada di tempat yang kita tuju. Karena itu kita merengut melihat tempat eksotis yang ternyata tak sesuai bayangan: alih-alih warga asli dengan kegiatan adatnya, berkerumunlah para penjual menjajakan pulsa hingga Coca Cola, jejak-jejak dari peradaban yang kita hindari itu. Padahal, justru kedatangan para pelancong inilah yang pertama kalinya membuat suatu daerah perawan bersentuhan dengan modernitas. Inilah ironi dan paradoks pelancongan:

“Ketika gelombang turis melewati kawasan yang tadinya tak tersentuh, perekonomian lokal akan merombak diri mengantisipasi pengunjung yang akan datang. Sikap antimaterialis yang awalnya membuat orang-orang mencari tempat-tempat eksotik malah membuat semakin banyak kawasan itu terserap ke dalam perekonomian global.”
(Joseph Heath dan Andrew Potter, Radikal Itu Menjual: Budaya Perlawanan atau Budaya Pemasaran? [Jakarta: Antipasti, 2009])

Asumsi seperti itu pulalah yang bisa kita baca dari La rosa separada, buku puisi Pablo Neruda yang mengisahkan pengalaman emosionalnya berkunjung ke Pulau Paskah pada Januari 1971. Saat itu kesehatan Neruda mulai memburuk, dan di Cile suasana tengah memanas ketika Presiden sosialis terpilih Salvador Allende melakukan konsolidasi politik untuk menghapus pelan-pelan rezim konservatif kapitalis yang dibeking Amerika Serikat. Neruda berharap bisa kabur dari riuh dan penat itu, menuju pulau paling barat dalam yurisdiksi Cile, dan mungkin juga pulau paling eksotis dan misterius dalam imajinasi umat manusia, dengan deretan batu-batu bergambar muka orang setinggi 7 sampai 9 meter yang belum diketahui pasti bagaimana cara mengukirnya atau menyeretnya dari sisi dalam pulau (sumber batu) ke pinggir pantai tempat batu-batu itu diberdirikan.

Neruda tiba bersama istri ketiganya, merasa diri sebagai “penziarah”, “ksatria asing, datang mengetuk pintu-pintu hening.” Tapi ia tahu ironi yang terkandung dalam tindakan melancong itu, ia tidak berpretensi sebagai penyair yang menyepi mencari ilham, melainkan “sama seperti guru dari Kolombia, pengusaha dari Philadephia, pedagang dari Paysandú, yang menabung peraknya untuk datang kemari.”

Llegamos de calle diferentes,
de idiomas desiguales, al Silencio
Kami semua datang lewat jalan yang berlainan,
dengan bahasa yang tak seimbang, pada Kesunyian

Dalam menulis buku ini Neruda memakai dua rujukan selain pengamatannya sendiri, yakni tulisan-tulisan “ilmiah” Romo Sebastian Englert yang selama puluhan tahun melakukan kerja misionaris di sana, serta hikayat-hikayat setempat yang dituturkan secara lisan tentang asal muasal pulau yang bernama asli Rapa Nui itu.


Alkisah, kepulauan Melanesia adalah “kepulauan angin kelamin, dicipta lantas dilipatgandakan oleh sang bayu.” Dewa Angin membuat tiga upaya membentuk patung-patung raksasa (moai) yang menghuni Rapa Nui.

Patung pertama terbuat dari pasir lembab,
ia membentuknya dan dengan riang merusaknya.
Patung kedua terbuat dari garam
dan laut yang garang merobohkannya sambil berdendang
Tapi patung ketiga buatan Dewa Angin
adalah moai dari granit, dan yang ini bersitahan

Namun bukan penuturan ulang hikayat setempat itu yang buat saya menarik dari buku Neruda ini, melainkan bagaimana ia memahami posisinya sebagai “turis”. (Tentang cara Neruda menafsirkan mitos-mitos Pulau Paskah, Luz Elena Zamudio telah membuat satu kajian utuh soal itu: Una interpretación mítica de La rosa separada de Pablo Neruda [Mexico City: Universidad Autónoma Metropolitana, 1988]). Neruda sadar ia bertolak ke Pulau Paskah, “ibu pertiwi tanpa suara”, untuk mencari sesuatu yang tak pernah ia hilangkan di sana—sesuatu yang sesungguhnya hilang di tempatnya bertolak, namun dicarinya di tempat yang ia tuju, sebab ia merasa es la verdad del prólogo (“kebenaran ada di dalam prolog”), kebenaran ada di asal yang paling awal.

A la Isla de Pascua y las presencias
salgo, saciado de puertas y calles,
a buscar algo gue allí no perdí
Ke Pulau Paskah dan kehadiran-kehadiran itu
aku bertolak, muak pada jendela-jendela dan jalanan
mencari sesuatu yang tak pernah kuhilangkan di sana

Dan apa yang dicarinya di sana?

sino un vacío oceánico, una pobre pregunta
con mil contestaciones de labios desdeñosos.
hanya kesuwungan seluas samudera, sebuah pertanyaan mengenaskan
dengan seribu jawaban di bibir yang mengejek

Namun Neruda sang turis akhirnya tahu, ziarah ini cuma sementara, menetap berlama-lama di Kesunyian juga bukan pilihan baginya, “cahya terlalu cerlang, terlalu banyak batu dan air”

como todos miré y abandoné asustado
la limpia claridad de la mitología,
las estatuas rodeadas por el silencio azul.
seperti semuanya melihat dan menyerah ketakutan
cahaya terang mitologi,
patung-patung terbungkus kesunyian biru.

Dan sang turis?

selalu ingin pergi lebih jauh, terus menerus
tidak tahu yang hendak diperbuatnya di pulau, apakah ia mau
atau tidak mau menetap atau kembali,
pergilah ia dengan kesedihannya ke tempat lain lagi,
kembali ke duka lara aslinya,
kebimbangannya antara musim dingin dan musim panas.

Sebagaimana karya Neruda sebelum ini, Aún (1969), buku ini awalnya juga dicetak luks dan terbatas di Paris (1972) sebanyak 99 eksemplar saja. Tak banyak yang mengetahui keberadaan karya ini dan itu sebabnya penerbit sebesar Seix Barral pun membuat kekeliruan dengan menyebutnya sebagai Obra postuma atau “karya anumerta” ketika menerbitkannya pasca wafatnya Neruda pada 1973.

Wajib baca untuk para penyuka puisi umumnya dan Pablo Neruda khususnya.

Senin, 20 Juni 2011

Meniru Inca dan Menjadi Llama: Tintin di Amerika Latin—atau, Amerika Latin dalam Tintin?

James Scorer, “Imitating Incas and Becoming Llamas: Tintin in Latin America—or the Latin America in Tintin?”, International Journal of Cultural Studies Vol. 11 (2), 2008, hlm. 139-156. James Scorer adalah dosen di Manchester Metropolitan University. Tesis doktoralnya mempersoalkan konstruksi budaya Buenos Aires sebagai kota nomaden dan ruang yang cair. Artikel ini diterjemahkan oleh Ronny Agustinus. [Catatan penerjemah: artikel jurnal ini aslinya tak berilustrasi. Ilustrasi saya tambahkan untuk memperjelas uraian. Atas alasan nostalgia saya pribadi sebagai seorang anak yang pertama kali terpukau oleh Tintin pada era 1980-an, terjemahan ini memakai nama-nama, judul, dan panel komik dari edisi Indira, bukan Gramedia].


Tintin banyak berpergian. Daerah-daerah yang pernah disambanginya meliputi Afrika, Amerika Serikat, Asia, kepulauan Karibia dan Pasifik, Timur Tengah, Eropa, dan jangan lupa: bulan. Sebagai petualang sejati, Tintin terus menerus melompat naik kereta, mengejar penerbangan terakhir, dan berlayar dengan kapal, belum lagi berenang di perairan penuh hiu, mengendarai tank, mendaki tebing curam, dan naik di punggung gajah.

Dari 23 petualangan lengkap Tintin karya Hergé, tiga menceritakan petualangan jurnalis tak ada matinya itu di Amerika Latin: Patung Kuping Belah (1935), Tawanan Dewa Matahari (1946), dan Tintin dan Picaros (1975).1 Satu karya lagi, Tujuh Bola Ajaib (1943-1944), berfungsi sebagai pendahuluan Tawanan Dewa Matahari sehingga membentuk cerita bersambung dua buku. Petualangan-petualangan di Amerika Latin ini muncul pada momen-momen yang jaraknya cukup renggang dalam karir Hergé, mencerminkan minat dan suasana hatinya yang  naik turun sebagai seorang Belgia yang tinggal di tengah paras Eropa yang sedang berubah pada abad ke-20.

Empat kisah petualangan Tintin terkait Amerika Latin

Karenanya, Amerika Latin bukan hal yang sambil lalu saja baginya, melainkan lebih merupakan motif kambuhan, kalau bukan obsesi diam-diam. Jadi apa yang dianggap begitu memukau oleh Hergé soal Amerika Latin dan apa, kalau ada, yang bisa diceritakan Tintin pada kita tentang Amerika Latin? Terutama, apakah yang bisa diceritakan oleh Amerika Latin tentang Tintin, serta tentang cairnya identitas secara umum?

Sebagian besar sukses Tintin bisa dipulangkan pada petualangan-petualangannya di tempat-tempat yang berjauhan dan tersebar secara global. Buku-buku Tintin telah diterjemahkan ke lebih dari 70 bahasa, bahkan melahirkan dua cerita “bajakan”: Breaking Free, kisah anarkis berlatar di Inggris, serta Tintin in Thailand, petualangan seksual yang memparodikan karakter-karakter di seri ini. Di bawah pantauan ketat Hergé dan Hergé Foundation sesudah ia wafat, beberapa cerita diadaptasi ke film, yang paling terkenal adalah dua seri animasi televisi. Yang pertama, Hergé’s Adventures of Tintin, ditayangkan antara 1958-1962, dan yang kedua yang lebih terkenal, The Adventures of Tintin, produksi bersama Perancis-Kanada, ditayangkan antara 1991-1992. Steven Spielberg dan Peter Jackson kini sedang menggarap dua dari tiga versi film digital tiga dimensinya.

Tintin dan Hergé barangkali juga sama-sama terkenal atas pandangan politik dan rasial mereka yang banyak dipertanyakan. Pada peringatan hari lahir Hergé ke-100 pada 2007, kontroversi merebak di Inggris ketika Komisi Kesetaraan Rasial memprotes Tintin di Kongo yang menurut mereka adalah “omong kosong kuno dan rasis.” Protes ini memaksa toko-toko buku memindahkan karya tersebut dari rak anak-anak ke rak novel grafis (BBC, 2007). Tintin di Kongo (1930-1931) jelas mengandung pandangan merendahkan tentang Kongo semasa penjajahan Belgia, yang bahkan membuat Egmont, penerbit Inggrisnya, mencetak sisipan pernyataan bahwa buku ini berisi “stereotip borjuis dan paternalistik—penafsiran yang bisa jadi menyinggung sebagian pembaca” (BBC, 2007). Pada versi aslinya (yang nyaris tak membaik oleh revisi Hergé), Tintin digambarkan mengajar anak-anak bermata belok tentang “manfaat” kolonialisme, meledakkan binatang-binatang liar, dan mengayomi orang-orang pribumi lugu di bawah kewenangan patriarkisnya.

Tintin di Kongo dimuat dalam lembar anak-anak Le Vingtième Siècle, surat kabat Katolik sayap kanan terbitan Brussels (Judah, 1999: 10). Surat kabar itu pulalah yang memuat petualangan pertama Tintin, Tintin di Soviet (1929-1930), propaganda kapitalis yang tanpa sungkan-sungkan mengolok-olok Soviet. Hergé nantinya berusaha menjarakkan diri dari dua karya awal yang ia sebut sebagai “dosa masa muda” dan “tindak pidana ringan” itu (dikutip dalam Judah, 1999: 13). Namun upayanya terasa kurang meyakinkan. Karya lengkap Hergé tak pernah sepenuhnya lepas dari tatapan seorang Eropa (Barat) yang sarat dengan asumsi-aumsi “superioritas” kolonial dalam memandang sang-liyan di luarnya.

Sebagian kritikus, misalnya, menyoroti dugaan kolaborasi Hergé selama pendudukan Nazi di Belgia saat Perang Dunia II. Tintin, yang lenyap dengan ditutupnya Le Petit Vingtième, dengan lekas terbit kembali di Le Soir yang pro-Nazi (Judah, 1999: 14). Bintang Jatuh (1941-1942), di mana Tintin dan pesaingnya adu cepat memperebutkan batu meteor berharga yang jatuh di Samudera Arktik, ternoda oleh anti-Semitisme: pada versi pertama, para pesaing itu didanai oleh Blumenstein, bankir Yahudi korup dari New York. Pasca Perang Dunia II, atas tudingan anti-Semit itu, Hergé mengubah nama tokohnya menjadi “Bohlwinkel dari Sao Rico.” Beberapa pihak mengklaim kealpaan ini amatlah naif, seakan-akan Hergé tak sadar akan silsilah Yahudi dari karakter di versi asli maupun dalam nama tokoh penggantinya.2 Karenanya, merangkum kecenderungan politik Hergé pada awalnya, Tom McCarthy menulis dengan jitu bahwa “asal muasal politik Tintin bertengger di kanan” (2006: 37), dan ada alasannya mengapa Hergé dan Tintin terus dituding perihal rasisme, stereotip, anti-Semitisme, dan politik syak wasangka.

Sebaliknya, para penggemar berat Tintin (terutama yang disebut Tintinofilia) memuji-muji sifat anti-otoritarianisme tokoh ini. Michael Farr, misalnya, menyebut Tongkat Raja Ottokar dan Lotus Biru sebagai karya “anti-fasis” (dikutip dalam Judah, 1999: 14). Pernyataan Tim Judah bahwa Hergé dan Tintin adalah “sahabat yang plin-plan” (1999: 13), yang beradaptasi pada kecenderungan zaman guna memuluskan penjualan, barangkali merupakan pendekatan yang membuahkan pemahaman paling komprehensif atas sikap politik Hergé yang selalu terombang-ambing sepanjang karyanya. Seperti kata McCarthy, “melalui serangkaian penghapusan dan penintaan ulang yang kompleks” (2006: 39), Hergé memungkinkan politiknya bergeser dari kanan ke kiri, sebelum datangnya Perang Dunia II “menghapus kecondongan politiknya yang spesifik” (2006: 40).

Dengannya absennya politik, tumbuhlah minat yang makin besar pada persahabatan, yang terkulminasi pada salah satu karya Hergé yang paling banyak dipuji, Tintin di Tibet: “Tintin boleh jadi memulai hidup sebagai agen politik, namun sesudah bertemu Chang, baik dirinya maupun karyanya secara umum kian menanggalkan politik demi persahabatan” (McCarthy, 2006: 48). Namun demikian, pada saat terbitnya Tintin dan Picaros, yang mengandung kritik politik paling sinis dari seluruh karya Hergé, bahkan persahabatan pun mulai kehilangan intinya yang ditakzimkan: “Dari fasisme yang sakral menuju persahabatan yang sakral menjadi versi yang profan dan dangkal dari keduanya: inilah jalan yang ditempuh Hergé melalui abad ke-20 yang terpiuh dalam buku-buku Tintin” (McCarthy, 2006: 58).

Karenanya, dalam artikel ini saya ingin mempelajari petualangan-petualangan Tintin di Amerika  Latin dalam kaitannya dengan pergeseran (a)politis, stereotip, serta representasi. Dalam sebagian besar kajian tentang Tintin, cuma sedikit yang secara serius memperhitungkan Amerika Latin (biasanya hanya menyoal rujukan sumber-sumber yang dipakai Hergé). Sedikit artikel yang mengupas Amerika Latin cenderung berfokus pada Tujuh Bola Ajaib dan Tawanan Dewa Matahari, menekankan bagaimana pandangan Eropa kolonial Hergé terus bertahan.3 Hugo Frey menganalisa penularan penyakit-penyakit kolonial, berpendapat bahwa karya-karya tersebut “memberi dukungan implisit pada mitos-mitos umum Eropa mengenai serangan balik invasi kolonial”(Frey, 2004: 177). Niall Binns membandingkan Tawanan Dewa Matahari dengan cerpen Augusto Monterroso, yang mensatirkan akhir dari cerita tersebut (Binns, 1997). Kedua artikel tersebut didasari oleh kritik kuat terhadap Tintin sebagai orang luar dengan pandangan baku Eropa yang bertualang dalam representasi stereotip yang merendahkan atas Amerika Latin dan orang Amerika Latin.

Simpulan Frey amat menohok:

Kemampuan Hergé untuk memberi lapisan pada ciri-ciri tertentu, menukar nama, potensi antikolonialismenya yang ironis, serta gambarnya yang memukau, barangkali membuat kedua buku ini tak bisa sepenuhnya diklaim oleh kaum rasis zaman sekarang. Di lain pihak, tafsiran Hergé atas fantasi-fantasi kolonial mengenai invasi biologis dan fobianya akan percampuran ras membuatnya sama-sama susah bagi pembaca yang lebih liberal untuk memperoleh kepuasan selain dari gaya gambarnya yang teliti. Inilah pencapaian yang jauh lebih paradoksal ketimbang yang hendak diakui oleh para pakar, jurnalis, dan Tintinofilia lainnya. (Frey, 2004: 186)

Saya tidak bermaksud membantah pokok utama argumen tersebut—kita harus senantiasa mawas diri terhadap dukungan tersurat dan tersirat Hergé terhadap kolonialisme, rasisme, anti-Semitisme, dan chauvinisme kejantanannya. Apalagi, berdasarkan kajian-kajian seperti How to Read Donald Duck (1975) karya Ariel Dorfman dan Armand Mattelart yang sangat berpengaruh, yang menggarisbawahi ideologi imperialis kartun-kartun Disney di Amerika Latin, tak perlu ditekankan lagi bahayanya komentar-komentar seperti yang diucapkan oleh Nick Rodwell, ketua Hergé Foundation ini: ‘Tintin mewakili kemenangan yang-baik atas yang-jahat, petualangan, gambar yang indah, pertemuan dengan negara-negara lain, dan ringkasan abad ke-20. Nikmati saja! Jangan kelewat banyak dianalisa. Ini toh buat anak-anak” (dikutip dalam Judah, 1999: 18).

Namun demikian, saya sekaligus juga ingin menyatakan bahwa argumen-argumen mengenai petualangan Tintin di Amerika Latin di atas luput memahami tegangan lain yang tak kalah penting dalam kisah-kisahnya. Alih-alih sekadar mempertanyakan cara Hergé merepresentasikan Amerika Latin, saya juga ingin menyatakan bahwa sebuah Amerika Latin yang tanpa dasar muncul secara tak terduga dalam diri Tintin sendiri: perjuangan itulah, pergulatan Tintin menjadi Latin, yang bersemayam di inti kisah-kisah petualangan ini.

Beberapa teoretikus yang bekerja “di bidang” Kajian Amerika Latin telah mempertanyakan watak geografis Amerika Latin dan disiplin ilmu itu sendiri sebagai cabang Kajian Wilayah. Maka, mengikuti Jon Beasley-Murray, saya nyatakan bahwa petualangan Tintin di Amerika Latin menyiratkan suatu latinidad yang “telah mengalami ‘deteritorialisasi’, melintasi batas nasional dan regional untuk lepas dari teritori geografis Amerika Latin itu sendiri” (2003: 223). Latinidad ini terumuskan “dari cara menyikapinya sebagaimana dari demografi, biologi, atau geografi” (2003: 224).

Bukan berarti bahwa latinidad yang mengalami deteritorialisasi ini menihilkan perbedaan. Sebagaimana diingatkan Beasley-Murray: “Sekalipun mungkin saja kita semua menjadi Amerika Latin, jangan kita lupa bahwa kita takkan menjadi Amerika Latin sepenuhnya dengan cara yang sama” (2003: 225). Maka Hergé (dan Tintin), sebagaimana kata Beasley-Murray perihal Lou Bega dan Bacardi, “[tidak] memberitahu kita semua yang ingin kita tahu mengenai identitas Latin” (2003: 225) — namun ada lebih banyak hal yang diceritakannya pada kita ketimbang yang ia niatkan sendiri.

Kolonialisme
Debat mengenai kecenderungan politik Hergé terangkum dalam petualangan pertama Tintin di Amerika Latin, Patung Kuping Belah. Hergé memparodikan apa yang ia pandang sebagai rapuhnya kekuasaan politik di Amerika Latin. Saat menunggu dihukum mati di negara fiktif San Theodoros sesudah dijebak sebagai mata-mata, Tintin berulang kali dibebaskan dan ditahan kembali hanya dalam rentang satu halaman cerita, seraya tarik ulur pergulatan kekuasaan antara Jenderal Alcazar dan Jenderal Tapioca membuahkan kudeta silih berganti satu sama lain.

Silih ganti rezim penguasa San Theodoros dalam 1 halaman cerita,
pekik pro-Alcazar berganti menjadi pekik pro-Tapioca hanya dengan selisih 7 panel
(Patung Kuping Belah, hlm. 20, panel 5 dan 13)

Sesudah revolusi orang salah kira Tintin sebagai pendukung Alcazar (untuk alasan-alasan yang akan dijabarkan nanti). Ia pun ditunjuk menjadi ajudan Sang Jenderal. Satir Hergé tentang demokrasi Amerika Latin yang tak stabil jelas merupakan pandangan merendahkan seorang kolonialis arogan atas orang-orang Amerika Latin yang dianggap korup dan inkompeten yang tidak memiliki prinsip-prinsip etik dan politik yang jelas (Binns, 1997: 53).

Meski demikian, Patung Kuping Belah bukan hanya menghadirkan pandangan stereotip mengenai perpolitikan Amerika Latin, namun secara simultan juga kritik keras terhadap eksploitasi kaum kapitalis asing. San Theodoros terus menerus berada di ambang perang dengan negeri jirannya, Nuevo Rico, dan dalam perannya sebagai ajudan sementara Presiden Alcazar, Tintin bertemu R.W. Trickler, perwakilan perusahaan minyak General American Oil. Trickler mengusulkan agar San Theodoros menginvasi Nuevo Rico untuk merebut cadangan minyak di kawasan Gran Chapo, yang masuk ke batas wilayah kedua negara. Sekalipun Tintin terperanjat dan mengusir pergi perwakilan itu, Alcazar –yang sepertinya tak menjunjung “kaidah moral” Tintin—nantinya menerima usulan Trickler.

Kepentingan perusahaan multinasional dalam konflik di Amerika Latin
(Patung Kuping Belah, hlm. 31, panel 9-11)

Hergé secara serentak menohok sinis kubu pedagang senjata yang disimbolkan oleh Basil Bazarov yang terlihat sedang menggolkan perjanjian baik dengan Alcazar maupun penguasa Nuevo Rico Jenderal Mogador, serta perusahaan-perusahaan multinasional General American Oil dan British South-American Petrol, yang keduanya ditampilkan punya kepentingan tersembunyi dalam konflik ini.

Pedagang senjata Basil Bazarov mengeruk untung dari dua kubu yang bertikai
(Patung Kuping Belah, hlm. 34, panel 7 dan 14)

Hergé melanjutkan kritik atas kolonialismenya pada petualangan Tintin berikutnya di Amerika Latin, yakni Tujuh Bola Ajaib dan Tawanan Dewa Matahari. Dimulai menjelang akhir Perang Dunia II dan rampung pada 1948, Hergé memilih memberi latar cerita ini di negara yang tak seberapa kontroversial, sesudah menunda penerbitan Negeri Emas Hitam yang berlatar Timur Tengah (saat itu sedang dilanda kecamuk politik).

Tujuh Bola Ajaib dimulai dengan kembalinya ekspedisi Sanders-Hardiman dari Peru dan berita tentang kuburan Inca yang mereka “temukan”. Namun entah bagaimana, satu per satu awak ekspedisi secara misterius terserang koma, akibat zat yang keluar dari bola kristal yang dipecahkan di dekat mereka oleh orang tak dikenal. Para keturunan Inca, yang turut menyebarkan penyakit koma ini sebagai balas dendam atas penodaan kesucian yang dilakukan ekspedisi itu, menculik Calculus karena lancang memakai gelang Inca. Tintin dan Haddock mengejar para penculik itu sampai ke Peru, kedatangan mereka menandai dimulainya Tawanan Dewa Matahari.

Mengetahui rencana orang Inca untuk menghukum mati Calculus, mereka menempuh perjalanan berat menuju Kuil Matahari, dan di sana mereka ditawan bersama Calculus hingga akhirnya dibebaskan (berkat bantuan gerhana matahari dan kecerdasan Tintin).

Sejak awal Tawanan Dewa Matahari, Inca dihadirkan sebagai “orang Indian” adat dan bukan “orang Peru” Hispanik. Tintin diceritakan menyelamatkan Zorrino si penjual jeruk dari sepasang begundal Hispanik, kritik terselubung atas warisan brutal kolonialisme “awal”, yakni  pendudukan Spanyol atas Amerika Latin. Seorang pendeta tinggi Dewa Matahari yang membuntuti Tintin memberinya jimat perlindungan sebagai pengakuan atas keberaniannya. Tatkala Pangeran Matahari melihat jimat itu, ia menuduh Tintin mencuri: “Seperti mereka, kau rampok kuburan nenek moyang kami, tak salah lagi!”

Memang, seluruh petualangan ini bermula dari bentuk lain “penemuan” dan penjarahan kolonial, yakni pembongkaran kuburan raja Inca Rascar Capac. Di awal Tujuh Bola Ajaib, Tintin sedang membaca berita koran tentang ekspedisi Sanders-Hardiman. Sesama penumpang, yang ikut membaca koran Tintin, berkata, “Ini akan mengarah pada kesukaran. Lihat saja nanti … Semua urusan mummi ini. Masih ingat peristiwa makam Tut-Ankh-Amen?” Menyitir apa yang dijuluki sebagai “Kutukan Firaun”, penumpang sebelah Tintin itu melanjutkan: “Tapi untuk apa mereka membongkar makam itu? Bagaimana kalau orang-orang Mesir dan Peru datang ke sini, dan menggali makam raja-raja kita? ... Apakah kita akan senang?”

Inca dan Mesir: dunia non-rasional bagi orang Eropa
(Tujuh Bola Ajaib, hlm. 17, panel 6-7)

Meskipun Hergé mengamini balas dendam orang Inca, kritiknya atas para penjelajah Eropa menjadi goyah oleh caranya menyikapi ancaman yang dihadirkan orang Inca pada bangsa Eropa dalam wujud penyakit misterius. Hal ini menampakkan kontradiksi dalam pandangannya tentang sang-liyan dari Amerika Latin.

Begitu berada di Eropa, Inca menjadi kekuatan yang mengancam, misterius, dan menakutkan, dilambangkan oleh mumi Rascar Capac. Frey menekankan kejang-kejang kesurupan yang menginterupsi kondisi koma para pasien (2004: 180) dan berpendapat bahwa infeksi misterius ini menyiratkan “pembacaan yang sangat ambigu atas kolonialisme Eropa” (2004: 178).

Kritik tersirat Hergé atas kolonialisme (dalam segala jenisnya) makin digerogoti oleh dukungannya terhadap kolonialisme “yang diperbolehkan”. Di penghujung Tawanan Dewa Matahari, Pangeran Matahari menjelaskan bahwa para peneliti itu dihukum karena membongkar makam Inca dan mencuri harta mereka. Tapi Tintin membela tindakan para peneliti: “Mereka datang tidak untuk merampok, Pangeran yang Mulia: melainkan untuk memperkenalkan adat kuno dan peradabanmu yang tinggi.” Seolah-olah Hergé mensahkan perlakuan atas subyeknya –“penjarahan” citra, katakanlah begitu—demi pengetahuan dan hiburan, bidikan dan pembingkaian visual yang didominasi oleh pandangan Eropa dan kekinian etnografisnya.

Tintin (dan Hergé) memberi dalih keilmuan bagi kolonialisme
(Tawanan Dewa Matahari, hlm. 60, panel 2-4)

Pandangan Eropa
Dua petualangan pertama Tintin di Amerika Latin diawali dengan menempatkan Amerika Latin sebagai pajangan untuk dilihat. Pada bagian awal Tawanan Dewa Matahari, Tintin dan Haddock keluyuran di jalan-jalan Callao sembari menunggu kedatangan Pachacamac, kapal tempat Calculus disekap. Haddock memberitahu Tintin agar jangan khawatir: “Tenang saja! Lihat sekelilingmu! Orang Indian berbaju aneka warna, dan llama itu.”

Dengan penekanan serupa dalam memandang sang-liyan, Patung Kuping Belah berpusat pada jimat yang diambil dari suku Arumbaya di Amazon, dan dipamerkan di Museum Etnografi di kota tempat tinggal Tintin. Jimat itu dicuri dari museum namun langsung dikembalikan, dan pencurian itu pun dianggap sebagai keisengan belaka. Penasaran oleh kasus ini, Tintin menengarai bahwa patung penggantinya tidak rompal di bagian kuping dan ia pun menyadari bahwa ini palsu. Ia kejar para penjahatnya sampai ke Amerika Selatan, di mana ia menemukan adanya berlian yang disembunyikan dalam patung. Saat memburu para penjahat itu dalam perjalanan balik ke Eropa, Tintin terlibat baku hantam dengan mereka di atas kapal pesiar di mana jimat tersebut jatuh, retak berantakan, dan membuat permatanya menggelinding masuk laut (bersama para penjahatnya). Jimat yang rusak itu ditambal dan dikembalikan ke Museum Etnografi.

Bagi Hergé, tempat Amerika Latin adalah di museum: lampau dan mandek
(Patung Kuping Belah, hlm. 1, panel 1 dan 5)

Museum menyediakan kerangka bagi Patung Kuping Belah. Panel paling pertama menggambarkan seseorang hendak memasuki pintunya, menggiring pembaca ke dalam dunia petualangan. Bahwa Amerika Latin dikonstruksi sebagai objek studi dilambangkan pada panel kedua, di mana Hergé melukiskan dirinya sebagai pengamat budaya dengan diam-diam menggambar dirinya sendiri berdiri di ruang penuh totem, dengan tangan memegang topi. Seperti totem-totem itu, jimat dalam kisah petualangan ini yang merupakan representasi Amerika Latin, adalah benda tak bergerak, diam terpaku di dudukannya, ditaruh di museum agar semua orang bisa melihatnya.4

Nilainya sebagai barang pameran mengindikasikan peralihan ironis dari benda magis suku Arumbaya menjadi objek yang disanjung-sanjung oleh orang Eropa. Tentunya, kunjungan Tintin ke suku Arumbaya guna mencari kebenaran di balik –atau tepatnya, di dalam—jimat tersebut menyiratkan bagaimana ia pun terobsesi oleh penyelamatannya, guna melestarikan sihir dan kekeramatan jimat yang asli.

Karenanya, kemenangan puncak Tintin pada akhir petualangan ini adalah bisa mengembalikan jimat tersebut ke museum. Panel terakhir menggambarkan jimat itu dikembalikan sepatutnya di dudukan/altarnya, ditambal dan siap disaksikan pengunjung berikutnya, kembali ke tempatnya yang “berhak”. Pandangan etnografis Eropa menempatkan (kembali) objek studi itu dengan kukuh ke dalam museum, tempat par excellence untuk kemandekan dan masa lalu. Tak terlintas sedikit pun ironi dalam pernyataan Tintin ke Tuan Goldbaar, pembeli jujur jimat tersebut, bahwa objek ini adalah “barang curian.” Begitu pula dalam permintaan Tuan Goldbaar ke Tintin agar “Tolong bawalah kalau anda kembali. Kembalikan ke museum tempatnya (cetak miring ditambahkan). Seperti kata McCarthy:

Yang jauh lebih dramatis [ketimbang penemuan permata] adalah penemuan awal Tintin bahwa patung yang dikembalikan ke museum adalah barang tiruan, serta klimaks di bagian akhir saat Tintin mendapati bahwa patung tersebut telah direplikasi massal. […] Bila jimat itu jadi semakin retak-retak di penghujung buku ketimbang pada awal cerita, ini barangkali karena jimat tersebut telah dikorbankan –secara harafiah dimuntahkan […]—bukan pada altar keserakahan melainkan kemiripan, mimesis, serta sisinya yang destruktif, simulakra. (2006: 156)

Penyalinan dan produksi massal yang dirujuk McCarthy itulah persisnya yang tak tersangkal oleh Tintin (dan Hergé): bukan hanya komersialisasi Amerika Latin namun juga reproduksinya yang tak senonoh, proses penjiplakan artistik yang merupakan profanitas puncak terhadap aura keramat dan unik jimat tersebut.

Yang otentik telah habis oleh profanitas reproduksi
(Patung Kuping Belah, hlm. 57, panel 12)

Dalam ulasannya mengenai kartun-kartun Disney, Jean Franco berpendapat bahwa gagasan untuk menganimasikan (animate) Amerika Latin itu sendiri “menyiratkan hembusan nafas kehidupan pada suatu benda mati (inanimate) serta daya-daya mendekati mitis yang dihadirkannya” (2002: 26). Bilamana reproduksi Hergé itu mitis dan keramat karena –laiknya sang jimat—ia yakini itu unik, maka ia menganggap reproduksi lainnya sebagai reproduksi yang tak senonoh. Kepedulian Hergé atas “profanitas” reproduksi ini rada ironis melihat betapa ngototnya ia menciptakan gambar yang “otentik”, dengan mengkliping bahan-bahan dari koran, majalah, dan pameran-pameran, serta banyak memakai dan menyalin foto-foto (foto itu sendiri tentunya adalah reproduksi mekanis yang mengancam “keunikan” seni). Dalam Patung Kuping Belah, misalnya, Hergé membuat Amerika Latinnnya terasa “otentik” dengan detail-detail seperti Jenderal Olivaro, rujukan terselubung pada Simon Bolívar, atau detail-detail jimat itu sendiri, yang merupakan reproduksi teliti atas patung Chimu dari masa pra Kolombus yang tersimpan di Royal Museum of Art and History di Brussels (Farr, 2001: 66-67).

Kritik tajam Hergé pada perusahaan-perusahaan multinasional dan perdagangan senjata juga dipenuhi rujukan-rujukan terselubung. Gran Chapo merujuk pada Perang Gran Chaco (1932-1935) antara Bolivia dengan Paraguay, yang juga melibatkan perusahaan-perusahaan minyak AS dan Inggris. General American Oil adalah rujukan pada Standard Oil dan Basil Bazarov pada Sir Basil Zaharoff, bawahan Vickers Armstrong selama Perang Dunia I (Farr, 2001: 62).

Sama halnya, sumber-sumber utama Tawanan Dewa Matahari adalah buku karya Charles Wiener Peru and Bolivia yang terbit pada 1880 serta artikel National Geographic tahun 1938 tulisan Philip Ainsworth Means (Means, 1938). Obsesi Hergé pada detail bahkan membuat para pegawainya “terpaksa berpose berjam-jam mengenakan ponco garis-garis sembari ia membikin sketsa lipatan-lipatan kainnya” (Thompson, 1991: 136). Hergé juga memasukkan beberapa guyonan lokal yang menggambarkan kedalaman risetnya, terutama pada hlm. 46 Tujuh Bola Ajaib, di mana sopir mobil coklat muda tempat Calculus diculik adalah Fernando Ramirez, eksportir guano asal Peru.5

Semangat Hergé untuk menghasilkan detail yang teliti dan “otentik” kerap melahirkan debat seputar “validitas” representasinya. Beberapa kritikus memberi perhatian pada “kelemahan” Patung Kuping Belah. Harry Thompson menulis: “Bahan mentahnya ada di situ … namun makin lama, kita bisa merasakan semangat untuk membuat detail yang teliti itu surut … Tumbuh-tumbuhannya (yang adalah spesialisasi Hergé) salah –pisang digambar tumbuh ke bawah bukan ke atas—atau malah tidak ada sama sekali” (Thompson, 1991: 70).

Kegandrungan Hergé akan detail:
Jenderal Olivaro, rujukan terselubung pada Simon Bolívar
(Patung Kuping Belah, hlm. 30, panel 3)

Namun ia juga bisa ngawur dalam soal detail:
pisang asli dan pisang Hergé yang tumbuh terbalik
(Patung Kuping Belah, hlm. 32, panel 8-10)

Karena itu, menurut Thompson, di Patung Kuping Belah “Amerika Selatannya Hergé tidak memiliki greget kebenaran yang sama sebagaimana Cinanya Hergé (Thompson, 1991: 70). Di sini Thompson merujuk kisah petualangan Tintin sebelumnya, Lotus Biru, yang disanjung sebagai karya yang menampar stereotip-stereotip tradisional Eropa atas orang Cina. Kawan baru Hergé, Chang Chong-Chen, mahasiswa seni dari Cina, meruntuhkan banyak mitos tentang Cina dan membantu Hergé menggambarkan adegan jalanan yang sangat rinci, poster-posternya, dan terutama, aksara serta grafis Cina.6

Karenanya, sejak Lotus Biru dan seterusnya, Hergé tersohor berkat perhatian cermatnya pada detail dengan mengumpulkan sumber-sumber primer, yang memukau pembacanya dan menghadirkan stempel otentisitas yang membuat antropolog paradigmatik Claude Lévi-Strauss berkata bahwa “Tintin était la bande dessinée la plus respectueuse des coutumes du monde” (Tintin adalah komik yang paling menghargai adat kebiasaan dunia) (dikutip dalam Screech, 2005: 25).

Tuntutan akan otentisitas, selain didorong oleh cara Hergé sendiri dalam mendekati petualangan-petualangan Tintin, juga merupakan indikasi bagaimana pandangan Eropa mendominasi pengharapan pembaca: pandangan yang berhasrat melihat seperti apa “sesungguhnya” sang-liyan itu. Dan tentunya, rubrik ‘Le Journal de Tintin’ di situs resmi Tintin menyuguhkan informasi yang kaya tentang cara membaca Tintin secara historis.7 Tintin dan Picaros, misalnya, menyediakan basis bagi analisa di situs itu mengenai “Coups de force et coups d’état”, termasuk menyitir soal Che Guevara, Idi Amin, dan kudeta September 2006 di Thailand, yang mengindikasikan seberapa kontemporer Tintin hendak dicitrakan oleh Hergé Foundation.

Tapi bila demikian, lantas mengapa Hergé kerap memilih melakukan penyamaran dan mengarang, misalnya, negeri fiktif tempat Patung Kuping Belah maupun Tintin dan Picaros berlangsung? Republik fiktif San Theodoros digambarkan sebagai salah satu negara Amerika Selatan di wilayah tengah yang berbatasan dengan Amazon, tapi Hergé memilih untuk tidak menyebut suatu negara yang spesifik, tidak seperti Peru dalam Tawanan Dewa Matahari.

Jawabannya bukanlah untuk membenahi segala inkonsistensi yang terkait dengan “dunia Tintin,” sebagaimana cenderung dikemukakan para penggemarnya.8 Malah salah satu alasan bagi keputusan untuk memberi rujukan samar atau disamarkan ini adalah untuk menekankan segi-segi arketipnya. San Theodoros bukanlah Peru atau Ekuador atau Bolivia atau manapun justru karena San Theodoros adalah kesemuanya sekaligus. Hergé bersikap sama dengan banyak kisah petualangan Tintin di Eropa. Polaritas dan ketegangan politik di Eropa pra dan pasca Perang Dunia II dilambangkan melalui pertarungan antara Borduria yang “fasis” dengan Syldavia yang “liberal”.

Tindakan Hergé untuk mengungkap sekaligus menyamarkan juga merupakan cerminan laku artistik itu sendiri: sang pencipta merajut fakta-fakta agar pembaca punya pijakan, hanya untuk menutupinya lagi di balik jubah pesulap. Dan aksi penyamaran ini tergambar paling bagus dalam pembukaan Tujuh Bola Ajaib, di mana 15 halaman pertamanya didominasi oleh aneka pentas di panggung hiburan: cenayang, pelempar pisau (tak lain adalah Alcazar sendiri yang bekerja dengan asisten orang Inca), konser menggetarkan Bianca Castafiore yang membawakan Jewel Song dari Faust, dan terakhir: seorang pesulap. Dan memang si pesulap itulah alasan Haddock dan Tintin datang menonton karena Haddock mati-matian ingin tahu trik si pesulap mengubah air jadi wiski. Cara Hergé menggambarkan dalam panel setengah halaman ulah memalukan Haddock yang tak sengaja merusak klimaks pertunjukan sulap itu merupakan momen kunci yang berkebalikan telak dengan “sulapan” Tintin sendiri di akhir petualangan ini, sebagaimana akan dibahas di bawah. Lebih dari itu, pada tirai yang berfungsi sebagai latar pertunjukan sulap tergambar tanda tanya besar, seolah mengisyaratkan pengelabuan lainnya dalam panel itu sendiri: Hergé menggambar dirinya sendiri, E.P. Jacobs, serta Michel Regnier di antara para hadirin.9 Dengan demikian panel ini berfungsi sebagai lapisan misteri dan teka-teki, petunjuk-petunjuk yang disebar sebagai lelucon dan rujukan-rujukan terselubung, yang merecoki semua pembacaan dan panel lainnya. Ia juga memberi pertanda akan akhir kisah petualangan ini, ketika Tintin memainkan “sulapannya” untuk lolos dari orang Inca. Pelapisan macam itu menggoyahkan gagasan tentang mana yang rujukan sebenarnya dan mana yang fiktif: keduanya saling berkelindan secara konstan, mobilitas inheren yang kentara dalam perlakuan Hergé atas waktu, yang akhirnya akan mengacau identitas Tintin sendiri yang tampak baku dan tetap.

Kekinian Etnografis
McCarthy menulis bahwa Patung Kuping Belah disusun seputar dua sejarah simultan yang bermula dari dua jenis pencurian yang berbeda, yakni pencurian jimat dari suku Arumbaya pada abad ke-19 dan pencurian jimat dari Museum Etnografi (2006: 18). Sekalipun jimat itu sendiri tampak konstan, tak berubah-ubah, reproduksinya mengindikasikan bahwa ia memang berubah—atau paling tidak ia berubah melalui multiplikasi, dengan menjadi dirinya sendiri berulang kali, kehilangan keunikannya di bengkel kerja pematung, sekalipun jimat asli –yang kembali menjadi unik gara-gara tambalan plester dan kawat—dipasang kembali di museum.

Di lain pihak, suku Arumbaya, yang secara implisit terancam oleh kekuatan yang sama yang memengaruhi jimat itu, awalnya tidak begitu gampang diubah. Mencapai wilayah yang dihuni suku tersebut sesudah berkano jauh ke dalam Amazon, Tintin bersua Ridgewell, peneliti Barat yang sudah tinggal di tengah-tengah suku itu selama bertahun-tahun. Ridgewell menjadi luar biasa mahir memakai sumpitan, senjata favorit suku Arumbaya, dan fasih berbahasa Arumbaya.

Bilamana Ridgewell mampu belajar dari suku lokal, ia mengeluh bahwa suku Arumbaya tak mampu belajar cara Barat: ia gagal mengajari mereka golf. Ketidakmampuan suku “primitif yang tak bisa diajari” ini untuk berubah dan beradaptasi mengindikasikan bagaimana Arumbaya terkurung dalam “kekinian etnografis.” Seperti kata Micaela di Leonardo: ‘Terperangkap dalam waktu ibarat lalat membeku dalam damar, obyek penelitian antropologis bagi para kritikus seakan-akan tak mengalami pergeseran, perubahan, dan agensi historis yang tak terpisahkan dari kehidupan ‘orang Barat,’ mereka yang menjalankan kajian atas sang-liyan itu” (1998: 13).

Dalam Tujuh Bola Ajaib dan Tawanan Dewa Matahari Hergé meneruskan pembekuan ini dalam jenisnya yang lain. Pada artikelnya tahun 1938 di National Geographic soal Peru, Philip Means menulis:

Setengah jam sesudah aku turun dari pesawat yang membawaku ke Cuzco, Peru, derunya yang modern dan membandel masih bergaung di telingaku. Alhasil, ketika aku berjalan-jalan di luasnya Plaza de San Francisco tempat digelarnya pasar orang Indian setiap hari, aku mengalami kebingungan kronologis. Di telingaku abad ke-20 mendesir, tapi di depan mataku terhampar pemandangan abad ke-16. (1938: 225)

Bukan cuma memetik ilham dari deskripsi artikel tersebut, Hergé sepertinya juga terinspirasi oleh “kebingungan kronologis” Means. Maka jadilah sebuah Peru yang tidak didominasi oleh puing-puing bersejarah, melainkan oleh sebuah kerajaan Inca yang masih terus menghadirkan pengaruh besar bagi penduduk lokal. Bahwa seorang kondektur kereta didesak untuk melepas sambungan gerbong Tintin dan Haddock dari kereta yang membawa mereka ke Jagua guna mengirim mereka ke alam baka menegaskan pengaruh “anakronistik” kerajaan Inca ini. Tintin sudah mencurigai adanya pengaruh Inca ini ketika kapal Pachacamac dikarantina akibat demam kuning oleh dokter pelabuhan: “Dokter itu orang Indian, Kapten … Suku Quichua … Belum mengerti juga?” Nantinya, ketika Tintin diberitahu tentang pembalasan Inca yang mengerikan, bahkan ia pun terperanjat: “Inca? … Kuil Dewa Matahari? … Inca, di zaman ini? … Tak mungkin!” Hergé terlihat mati-matian hendak menekankan kemungkinan imajinatif berpadunya zaman historis yang berbeda-beda ini guna memicu keterpukauan pembaca. Saat Haddock bertarung dengan orang-orang Inca yang mencoba memenjarakannya ia berteriak: “Minggir, Inca palsu!”

Inca di abad modern: kekinian etnografis dan anakronisme zaman
(Tawanan Dewa Matahari, hlm. 60, panel 3-4)

Binns mengikuti argumen Dorfman dan Mattelart mengenai “Aztecland” dan “Disneylandisasi”. Ia nyatakan bahwa “pandangan stereotipikal” yang terungkap dalam tiga petualangan Tintin di Amerika Latin serupa dengan penggambaran Disney akan “‘orang buas yang naif’, terperangkap dalam kekinian arkais tanpa masa depan” (1997: 53).10 Mengenai Patung Kuping Belah dan Tawanan Dewa Matahari, ia menulis:

[Amerika Latin] terus digambarkan sebagai benua yang dikutuk untuk mengalami silih ganti jenderal-jenderal tak bermoral dan haus darah, serta mengalami kemunduran hakiki, berkebalikan total dengan kemegahan masyarakat Inca sebelum Zaman Penaklukan. (1997: 58)

Binns menekankan bagaimana orang Inca terperangkap dalam kekinian etnografis mereka sendiri, sekalipun mereka jauh lebih sadar akan ancaman dunia “luar” ketimbang suku Arumbaya yang tak tahu menahu gejolak di San Theodoros: “Dekadensi kehidupan kota berkebalikan … dengan primitivisme ‘alamiah’ suku-suku adat di rimba” (Binns, 1997: 53).

Namun saat petualangan pamungkas Tintin dan Picaros, bahkan suku Arumbaya pun terancam oleh perubahan besar di negeri itu. Masih tinggal bersama puak tersebut, Ridgewell berkata bahwa suku Arumbaya terus bergulat dengan golf, tapi “maju pesat… dalam soal mabuk-mabukan”, menenggak wiski yang diterjunkan Jenderal Tapioca ke dalam hutan dengan maksud merusak pasukan gerilya Alcazar. Sebagaimana Calculus memperingatkan Haddock, “Pemabuk! ... Itulah pengaruh ‘peradaban’ bagi orang ‘tak beradab’ ini.” Karenanya pada saat Tintin dan Picaros, bahkan suku Arumbaya pun menjadi historis, tak mampu bertahan dalam kehidupan rimba mereka yang tak terjamah. Sekalipun terkejut dengan kekekalan bangsa Inca, Tintin sendiri bermaksud mempertahankan identitas seorang Eropa superior yang stabil tak berubah-ubah.

Menerjunkan alkohol ke dalam hutan: dalam perang antara rezim otoriter
dengan gerilyawan pemberontak, masyarakat adatlah yang kena imbasnya
(Tintin dan Picaros, hlm. 32, panel 4 dan 9)

Dengan itulah Hergé sepertinya tak sadar bahwa Amerika Latin bukan hanya akan menjadi modern, melalui kolonialisme “yang bisa diterima” atau lainnya, namun juga akan memberi perubahan pada diri mereka yang berusaha memaksakan kekinian etnografis. Ia tak sadar bahwa Amerika Latin juga akan menghadirkan perubahan pada Tintin. Maka dari itu, sekarang mari kita alihkan perhatian pada tokoh kita ini beserta kawan-kawannya.

Menjadi Pribumi
Tintin punya peran yang tak lazim dalam Patung Kuping Belah. Awalnya bermaksud menghabiskan cuma satu hari di San Theodoros sebelum kembali ke kapalnya, kapten kapal mengingatkannya agar jangan terlambat, yang dibalas oleh Tintin, “Jangan kuatir. Aku tidak mau lama-lama di tempat ini!”

Namun demikian, bukan hanya Tintin akhirnya berlama-lama di “tempat ini”, melainkan ia malah terlibat langsung dalam masa depan negeri itu. Tintin memang kerap diceritakan memberi pengaruh “baik” pada masalah dalam negeri negara lain, namun Patung Kuping Belah memang tak lazim. Di situ Tintin bekerja sebagai orang dalam pemerintahan Alcazar –pejabat militer—dan bukan menjalankan peran jurnalistik atau investigatifnya yang lebih tipikal sebagai penolong dari luar.

Dijebak sebagai mata-mata untuk kedua kalinya, Tintin diselamatkan oleh Pablo, yang sebelumnya ia maafkan sesudah si orang San Theodoros itu gagal membunuhnya. Tintin berhasil mencuri mobil tentara, dan melaju ke perbatasan Nuevo Rico hanya untuk ditembak oleh pasukan patroli. Pasukan Nuevo Rico menangkap Tintin yang tak sadarkan diri dan mengirim peringatan akan adanya serangan oleh mobil musuh bersenjata. Dicanangkannya perang oleh Jenderal Mogador dengan demikian bukan disebabkan oleh campur tangan perusahaan minyak, melainkan oleh Tintin dalam seragam “Amerika Latin”-nya.

Sebelumnya, dalam kekisruhan revolusi silih berganti, pimpinan regu tembak menawari Tintin “brendi lokal” sembari menunggu perbaikan senapan regu tembak yang telah disabotase. Tak dinyana, Tintin mabuk berat dan sambil limbung ia berseru-seru “Panjang umur Jenderal Alcazar!”

Cerita-cerita Tintin memang sarat dengan mabuk-mabukan, tapi biang kerok biasanya adalah Kapten Haddock. Kesukaan Haddock akan minuman keras tergambar dalam banyak kisah, dan alkohol kerap berperan penting dalam pengembangan plot cerita: Calculus, misalnya, mengganti pasokan wiski Haddock dengan kapal selam hiunya di Harta Karun Rackham Merah. Sebaliknya, Tintin adalah suri tauladan hidup berpantang. Ia nyaris tak pernah minum dan selalu menasehati Haddock untuk berhenti minum, yang membuat kesengajaannya untuk mabuk dalam Patung Kuping Belah jadi terasa kian mengejutkan (dan menguak sifat-sifat terdalamnya).

Hanya dalam petualangan di Amerika Latin Tintin mabuk-mabukan…
(Patung Kuping Belah, hlm. 21, panel 7, 8, dan 13)

… dan tingkah lakunya menyulut perang antar dua negara
(Patung Kuping Belah, hlm. 41, panel 5-6, hlm. 42, panel 5-6)

Dua aspek Tintin ini dalam Patung Kuping Belah –perannya sebagai pejabat militer dan mabuk-mabukannya—menandai titik berangkat bagi Tintin dalam hal petualangan-petualangannya di Amerika Latin. Selama bertualang, Amerika Latin mengguncang Tintin, menggoyahkannya, menguak satu segi wataknya yang dipendam dalam seri-seri petualangan lainnya. Ini mengingatkan kita pada Amerika Latin abad ke-19, di mana “bahkan administrator-administrator kolonial yang paling rasional sekali pun bisa terbawa nafsu kelewat jauh, meninggalkan kewarasan mereka untuk menunjukkan semacam solidaritas bawaan pada penduduk pribumi yang terasa asing namun juga terasa akrab” (Beasley-Murray, 2003: 232). Alih-alih menjadi penengah suatu krisis internasional, Tintin malah memicu perang antara dua negara Amerika Latin dan mabuk-mabukannya mengubahnya menjadi seorang periang ngelantur yang tak stabil—yang keduanya bisa dibilang bukanlah ciri-cirinya secara umum.

Serupa dengan itu, Tawanan Dewa Matahari menggambarkan bagaimana Tintin dkk tanpa disadari mampu menjadi orang Amerika Latin. Ketika Haddock akhirnya berhasil menyusul Tintin setelah dua kali terpisah dalam melacak Calculus, ia tak bisa mengenali Tintin dalam samaran topi dan ponconya, yang dengan ini menekankan kemampuan Tintin berbaur dengan lingkungannya.11 Dan hewan llama yang meludahi muka Haddock dengan lekas mengoyak garis pemisah antara turis dan pemandangan setempat. Terlepas dari percecokan lain lagi dengan si llama sepanjang jalan ke Kuil Matahari, hubungan Haddock dengan hewan itu mengambil putaran sebaliknya pada akhir petualangan. Sebelum naik kereta kembali ke pesisir, Haddock mendekati pancuran air di jalan, yang membuat Tintin bingung tak berkesudahan: “Air? Kapten minum air? Saya tak pernah menyangka ini akan terjadi.” Namun demikian Haddock malah berjalan ke seekor llama dekat situ dan menyemburkan air semulut penuh ke mukanya: “Saya tidak dendam padamu pribadi,” ucapnya, “hanya membayar hutang lama!” Bila Tujuh Bola Ajaib dibuka dengan kegagalan Haddock menjadi pesulap serta kegagalannya beradaptasi dengan harta dan gaya hidup bangsawan yang diwarisinya dalam Harta Karun Rackham Merah, pada akhir cerita ia justru berhasil terintegrasi ke dalam Amerika Latin: ia menjadi llama.

Puncak cerita Tawanan Dewa Matahari juga banyak menerima sorotan. Ditahan di Kuil Matahari dan dijatuhi hukuman bakar hidup-hidup, Tintin dan Haddock diberi kebebasan untuk memilih hari kematian mereka. Haddock menemukan sobekan kertas koran di sakunya yang ia simpan kalau-kalau perlu untuk menyulut api. Ironisnya, justru sobekan kertas itulah yang menyelamatkan mereka dari api: membaca berita tentang gerhana yang bakal tiba, Tintin memilih tanggal tersebut sebagai hari eksekusi mereka.

Berdiri di api pembakaran pada hari dimaksud, Tintin “memanggil” gerhana dan orang-orang Inca yang ketakutan membebaskan tahanan mereka, yakin bahwa Tintin adalah dewa yang bisa memengaruhi matahari. Bahwa Tintin sang jurnalis mendapati berita gerhana itu di koran adalah simbol betapa modernitas lanjut Eropa mampu meloloskan mereka dari suku Inca yang pra-modern (Binns, 1997: 60). Namun poin pentingnya adalah bahwa Hergé yang begitu mementingkan otentisitas dan kedalaman riset, telah membuat “kesalahan” tak termaafkan: “Sebagai penyembah matahari, [suku Inca] jelas akan sangat paham soal gerhana, kesilapan dalam akurasi yang selalu merecoki Hergé” (Thompson, 1991: 136).

Kesilapan Hergé bukan hanya menampakkan pandangannya yang merendahkan atas Amerika Latin, namun juga merusak gagasan tentang sang-liyan dari Amerika Latin, dan malah menguak kemampuan (tak sadar) Tintin untuk bertindak Latin. Melalui gerhana itu, Tintin menjadi lebih Inca daripada orang Inca, sama seperti Haddock menjadi llama. Serupa dengan itu, bahwa seorang pendeta Inca memberi Tintin jimatnya menggambarkan kerelaan si pendeta untuk memberi perlindungan pada seorang non-Inca dan mencakupkan Tintin ke dalam semesta simbolik orang Inca, sama halnya Dewa Matahari membawa Tintin, Haddock, dan Calculus ke gudang penyimpanan harta Inca di akhir cerita, menjadikan mereka bagian dari rahasia bangsa Inca. Pada akhirnya, bahkan Calculus pun diperlihatkan mengenakan chullo merah.12

Pada akhirnya semua menjadi Latin:
Calculus memakai chullo merah dan Haddock meniru llama
(Tawanan Dewa Matahari, hlm. 62, panel 8-9)

Karenanya, akhir yang sukses dari petualangan ini bukan berasal dari superioritas Eropa dalam diri Tintin, melainkan karena kediriannya masuk ke dalam dunia Inca: ia berhasil bertindak sebagai orang Latin. Kendati demikian, petualangan selanjutnya di Amerika Latin akan menunjukkan bagaimana seiring dengan makin surutnya ilham Hergé, Tintin akan semakin sulit untuk –mengikuti Beasley-Murray yang mengutip Slavoj Žižek—“menikmati gejalanya” (2003: 226).

Tintin dan Picaros: Revolusi dalam Revolusi?
Terlepas dari diterbitkannya secara paripurna Tintin dan Alph-Art yang tak rampung, Tintin dan Picaros, kisah petualangan terakhir Tintin yang dirampungkan Hergé, punya nuansa “seri penghabisan”, dihiasi dengan munculnya kembali banyak tokoh yang pernah tampil sepanjang seri petualangan itu dan diwarnai dengan nuansa permenungan yang mengolok-olok diri sendiri (Thompson, 1991: 195).

Penerbitannya yang tertunda sekitar 8 tahun sejak Penerbangan 714 mengindikasikan bahwa Hergé tengah berjuang mengumpulkan energi untuk menggambar Tintin. Ketika pada akhirnya ia jadi menggoreskan pena di atas kertas, inspirasinya berasal dari Amerika Latin: “Aku punya kerangka: Amerika Selatan. Ada kasus Régis Debray, gerilyawan Tupamaros, beberapa peristiwa yang terkait dengan kerangka yang samar-samar ini” (dikutip dalam Farr, 2001: 190). Kaum gerilyawan Picaros juga jelas-jelas diilhami oleh Fidel Castro dan Revolusi Kuba: Alcazar merokok cerutu Havana dan Hergé terkesima oleh ikrar Castro pada 1956 untuk tidak mencukur janggut sampai ia membebaskan Kuba (Farr, 2001: 189).

Dalam Tintin dan Picaros Jenderal Tapioca sekali lagi memimpin San Theodoros sesudah menggulingkan Jenderal Alcazar dengan bantuan orang-orang Borduria. Alcazar pun pergi klandestin dengan kelompok gerilya bernama Picaros. Sementara itu, Bianca Castafiore, penyanyi opera tersohor sedunia, dipenjara di San Theodoros sesudah dituding merancang plot melawan Tapioca. Tapioca lantas menuduh Tintin, Haddock, dan Calculus (sebagai kawan-kawan lama Castafiore maupun Alcazar) juga ikut terlibat. Haddock dan Calculus, lantas disusul oleh Tintin yang penasaran, pergi ke San Theodoros untuk membersihkan nama mereka dan menyelamatkan Castafiore. Lolos dari rencana pembunuhan, ketiganya bergabung dengan Alcazar dan gerilyawan Picaros di hutan. Sesudah menuntaskan masalah alkoholisme Picaros, yang mengganjal keberhasilan pelaksanaan kudeta, Tintin dan Haddock bergabung dengan pasukan gerilya dan menyamar sebagai rombongan karnaval Irama Indah. Selama pesta, kelompok Picaros mengalahkan penjaga istana dan menggulingkan Tapioca untuk menaikkan Jenderal Alcazar ke tampuk kepresidenan. Tintin dkk membebaskan Castafiore lalu terbang pulang.

Thompson menganggap karya ini sebagai “sebuah cerita yang tak bersemangat, kehilangan kemilau petualangan Tintin sejati” (1991: 195). Kendati demikian, hilangnya kemilau itu merupakan indikasi bahwa Hergé telah mulai membelokkan genrenya sendiri, menggarap proyek yang dalam istilah Farr disebut “perlucutan” (2001: 197). Seperti kata Tintin dengan senyum ironis sesudah Haddock membacakannya berita tentang penahanan Castafiore dan tuduhan mata-mata: “Seperti novel picisan saja!”

Hergé telah memain-mainkan ruang lingkup petualangan Tintin dalam Zamrud Castafiore, satu-satunya cerita Tintin yang berlangsung sepenuhnya di kediaman Haddock, Marlinspike Hall. Berkisar seputar pencurian permata, karya ini menyuguhkan banyak tersangka namun pelakunya ternyata hanya seekor burung murai. Serupa dengan itu, 10 halaman pertama Tintin dan Picaros berlangsung di Marlinspike, para tokoh kita akhirnya terseret ke dalam petualangan karena berharap bisa membela reputasi mereka. Seolah-olah Hergé memaksa mereka bertualang untuk membela kemasyhuran mereka sendiri dalam bertualang.

Hampir semua karakter “dilucuti” oleh Hergé dan diolok-olok. Nestor, pelayan setia Haddock, ketahuan menguping di balik pintu dan mencicipi diam-diam wiski Haddock. Nama depan Haddock ternyata rada konyol, “Archibald”, dan ia juga tak sanggup menenggak alkohol gara-gara Calculus diam-diam memberinya obat temuan terbarunya yang membuat minuman keras terasa sangat tidak enak. Jenderal Alcazar dan pasukannya yang pemabuk bukanlah gerilyawan yang andal, apalagi sebagai calon pemimpin negeri itu. Mendorong proyek “perlucutan”-nya lebih jauh, Hergé menimang-nimang ide untuk memberi wig pada Alcazar (Goddin, 1992: 270) dan akhirnya ia memilih nama Picaros sebab ia merasa kata tersebut bermakna anak nakal tapi menyenangkan (Goddin, 1992: 199). Maka di tengah-tengah revolusi, Alcazar digambarkan memakai celemek mengelap piring dan menulis surat kekanak-kanakan kepada istrinya yang galak. Chauvinisme kejantanan Hergé yang laten makin diperjelas oleh gambaran terakhir Alcazar pasca kudeta: didamprat istrinya karena “menyebarkan abu cerutu ke mana-mana”.

Namun “sang pahlawan” sendirilah yang menanggung pukulan terberat dari proyek perlucutan Hergé. Pada panel paling awal pun Tintin akhirnya mengganti celana komprang bawah lutut (celana plus fours) khasnya dengan jins coklat cutbrai dan memakai helm bergambar logo Kampanye Perlucutan Senjata Nuklir. Sekian halaman kemudian ia digambarkan berlatih yoga. Bila Haddock terbujuk untuk pergi ke San Theodoros, Tintin malah enggan memasuki petualangan ini, dan menerima cercaan dari sahabatnya: “Baik, tinggallah di sini, Pak Keledai! Tenang tentram di kamar tidur! Aku dan Cuthbert akan pergi ke sana untuk mempertahankan kehormatan kami, dan kehormatanmu juga dari sekawanan Zapotic!”

Tintin baru bergabung dengan kedua temannya (dan masuk ke cerita ini) sekitar 10 halaman kemudian. Lebih dari itu, Tintin tampak lebih undur ke belakang sepanjang petualangan ini: “Alain Chante mencatat bahwa Kapten Haddock mengambil alih pusat perhatian itu dari Tintin: ia muncul di 47,9% dari keseluruhan panel, Tintin hanya 41,7%” (Screech, 2005: 45).

Binns berpendapat bahwa Tintin dan Picaros adalah potret pedas lainnya tentang Amerika Latin, di mana politik didominasi oleh ambisi pribadi, “kekerasan, pengkhianatan dan kenaifan” (1997: 54). Tintin dkk jelas dipasang untuk dipertentangkan dengan orang-orang Amerika Latin yang kekanak-kanakan tapi haus darah, namun seperti karya-karya Amerika Latinnya yang lain, kritik Hergé menukik lebih dalam, menyerang pengaruh perusahaan-perusahaan multinasional AS di Amerika Latin: gerilyawan Alcazar didanai oleh Perusahaan Pisang Internasional dan San Theodoros memiliki gedung pencakar langit yang memampang logo TIT, alusi pada perusahaan telekomunikasi ITT (Farr, 2001: 197).

Barangkali kritik yang paling pedas adalah tiadanya perubahan yang dihadirkan oleh pergantian pemerintah: saat Haddock dan Calculus terbang ke Tapiocapolis, pesawat digambarkan sedang melewati sebuah kota modern yang merujuk pada Brasilia yang baru selesai dibangun pada saat itu.13 Panel berikutnya menggambarkan pesawat terbang melewati perkampungan kumuh dengan dua perwira militer yang sedang berpatroli serta baliho bertuliskan “Viva Tapioca”. Tepat di akhir petualangan, sesudah revolusi berhasil berjalan tanpa pertumpahan darah, pesawat terbang kembali ke Eropa melewati perkampungan kumuh serupa, hanya kali ini balihonya berbunyi “Viva Alcazar” dan pasukan patroli memakai seragam yang berbeda. Sekalipun petualangan ini terjadi, dan sekalipun Tintin hadir, tetap tak ada yang berubah.

Penguasa dan seragam tentara berganti, namun kemiskinan tetap sama
Tintin tidak lagi mampu menghadirkan perubahan
(Tintin dan Picaros, hlm. 11, panel 9, hlm. 62, panel 11)

Tintin dan Picaros, karenanya, menguak ketegangan dalam era historisnya sendiri. Di satu sisi, petualangan ini sangat terpengaruh perkembangan politik era 1960 dan 1970-an, khususnya gerilyawan Tupamaros, Revolusi Kuba, dan pengalaman Régis Debray. Hergé juga memilih “memutakhirkan” Tintin, membawanya “ke masa kini” dan mengindikasikan betapa Tintin sendiri telah menjadi historis sebagaimana Kisah Petualangan Tintin selama ini. Namun demikian, di lain pihak, kedua transformasi ini membuahkan stagnasi: Amerika Latin telah “dimutakhirkan” pada sebuah realitas kemiskinan kontemporer yang tidak bisa diubah; Tintin telah “dimutakhirkan” menjadi sebuah karakter yang tidak bisa lagi memengaruhi perubahan. Ia tidak lagi mendiktekan jalannya narasi namun “terpukul oleh nasib”, pasrah menerima bahwa “tak banyak yang bisa dilakukannya untuk mengubah [totalitarianisme]” (Farr, 2001: 193).

Tintin dan Picaros mengindikasikan redupnya antusiasme Hergé pada sosok pahlawan yang ia ciptakan sendiri: menggambar Tintin lari-lari, ujarnya, membuatnya merasa lelah (Thompson, 1991: 195).14 Philippe Goddin mencatat bahwa gambar-gambar Tintin dalam petualangan ini tidak digarap dengan baik dan kadang disproporsional (1992: 283). Antusiasme Hergé akan Tintin dan petualangan dalam arti tradisionalnya meredup. Tom McCarthy menyatakan bahwa yang membuat Tintin punya daya tarik sebagian besarnya adalah karena “tak peduli seberapa sering lawan-lawan berusaha menguncinya dalam pusara, mengikatnya, membebatnya dengan jaket pengaman, ia selalu lolos” (2006: 90-91). Namun demikian, dengan Tintin dan Picaros, Tintin terlihat capek meloloskan diri, yang memaksanya melakukan satu pelarian terakhir: kabur dari petualangannya sendiri. Tidak mengejutkan karenanya bila Tintin tidak lagi mampu bertingkah Latin sebagaimana pada petualangan-petualangannya sebelumnya di Amerika Latin: ia tidak lagi “menikmati gejalanya”.

Bilamana Tintin diajak menjadi bagian dari rahasia bangsa Inca dalam Tawanan Dewa Matahari, dalam Tintin dan Picaros ia lelah menjadi Latin, dan lebih memilih mempertahankan superioritas moralnya dengan menganjurkan kudeta tanpa kekerasan. Bahkan superioritas moral itu sendiri pada akhirnya tak terjangkau olehnya, karena ia menjadi terlibat dengan pasukan gerilya yang dibeking oleh perusahaan internasional yang menjalankan neokolonialisme ekonomi.

Tintin tahu Alcazar dibeking perusahaan multinasional,
namun membiarkannya. Mulai lelah dengan
kaidah moralnya sendiri?
(Tintin dan Picaros, hlm. 1, panel 7)

Tak lagi punya pengaruh yang bisa memperbaiki keadaan –gubuk-gubuk kumuhnya tetap sama—ucapan penutup Tintin semata-mata mengindikasikan hasratnya untuk pulang ke rumah, yang mengungkap bahwa Tintin, ibarat sang jimat, telah kehilangan aura keramatnya. Tapi tidak seperti Goddin, yang menyatakan bahwa garis bersih Hergé menjadi ruwet dan terperangkap dalam dan oleh rimba raya Amerika Latin (1992: 285), barangkali Tintin dan Picaros menjadi final yang sinis dan tak menggerakkan karena Hergé memang tidak lagi membolehkan Tintin tergerak oleh Amerika Latin.


Terima Kasih Penulis
Terima kasih kepada Jon Beasley-Murray dan Patience Schell, yang mengomentari rancangan awal naskah ini; kepada Ana dan Pablo Moro, sesama peminat; dan saudaraku Nicholas Scorer, dengan siapa saya berbagi buku-buku komik ini.

Catatan
1.       Tanggal-tanggal ini merujuk pada versi cerita bersambung aslinya.
2.      Baca http://www.tintinologist.org/articles/defence.html (diakses 29 Maret 2006). Diasumsikan, tentunya, sangat bisa diterima bila Hergé memakai nama sebuah negara Amerika Latin untuk musuh baru Tintin.
3.      Untuk analisa yang sedikit lebih rinci mengenai pengaruh Amerika Latin pada Tintin dan Picaros, baca Goddin (1992). Sekalipun analisa tersebut tetap lebih berfokus untuk menyoroti Amerika Latin America sebagai sumber primer “riil”.
4.      Jimat juga melambangkan pertikaian kapitalis di inti cerita ini: sama seperti jimat tersebut mengandung sebuah permata, begitu pula Amerika Latin mengandung minyak yang begitu ingin dieksploitir oleh perusahaan-perusahaan AS dan Inggris.
5.      Baca http://www.tintinologist.org/guides/books/13seven.html (diakses 29 Maret 2006).
6.      Baca, misalnya, artikel Tara Jacob, “Great Snakes! The Adventures of Tintin: The Blue Lotus: An Analytical Reading”. Penting dicatat bahwa pujian atas perlakuan Hergé terhadap Cina, termasuk dalam artikel Jacob, cenderung menafikan peran karikatural yang diberikan pada orang Jepang dalam petualangan tersebut.
7.      Baca versi Perancis situs Tintin http://www.tintin.com (diakses 26 Maret 2006).
8.      Baca, misalnya, forum di www.tintinologist.org atau manifesto pada situs Denmark “Tintinologisk Tidsskrift”, http://www.akira.ruc.dk/~rsj/tintin/manifest.htm (diakses 19 Oktober 2006).
9.      Baca http://www.free-tintin.net/english/details.htm (diakses 19 Oktober 2006). E.P. Jacobs membantu Hergé dalam gambar dan alur cerita beberapa kisah petualangan Tintin. Regnier adalah kartunis Belgia yang menciptakan komik strip Achille Talon.
10.     Semua terjemahan dari artikel Binns adalah terjemahan saya sendiri.
11.     Keberhasilan Tintin menyamar sebagai warga setempat berkebalikan telak dengan detektif kembar Thomson-Thompson, yang memakai samaran lokal secara ekstrem dan membuat mereka makin ketahuan karenanya. Lihat, misalnya, Lotus Biru, di mana mereka berpakaian gaya kekaisaran Cina untuk menyamar di Cina tahun 1930-an.
12.     Chullo adalah topi rajutan khas daerah dataran tinggi Peru.
13.     Rujukan tentang Brasilia terungkap dalam catatan persiapan Hergé dalam menyusun kisah petualangan itu (Goddin, 1992: 153).
14.     Buku Goddin (1992) menguak perkembangan Tintin dan Picaros yang berlarut-larut, mendokumentasikan pelbagai macam rancangan awal kisah ini yang dibatalkan oleh Hergé, pendekatan yang benar-benar baru dalam membuat sketsa awal guna menemukan inspirasi (1992: 81), serta upayanya untuk mencegah dirinya sendiri mengubah Tintin dari sosok penyelamat di zaman dulu menjadi korban yang pasif (1992: 62).

Daftar Pustaka
Beasley-Murray, Jon (2003) “Latin American Studies and the Global System”, dalam Philip Swanson (ed.) The Companion to Latin American Studies, hlm. 222-238. London: Arnold.
BBC (2007) “Bid to Ban ‘Racist’ Tintin Book”, http://news.bbc.co.uk/1/hi/entertainment/6294670.stm (diakses 24 November 2007).
Binns, Niall (1997) “Tintín en Hispanoamérica: Augusto Monterroso y los estereotipos del cómic”, Cuadernos hispanoamericanos 568: 51–66.
di Leonardo, Micaela (1998) Exotics at Home: Anthropologies, Others, American Modernity. Chicago, IL: University of Chicago Press.
Dorfman, Ariel and Armand Mattelart (1975) How to Read Donald Duck: Imperialist Ideology in the Disney Comic. New York: International General.
Farr, Michael (2001) Tintin: The Complete Companion. London: John Murray.
Franco, Jean (2002) The Decline and Fall of the Lettered City: Latin America in the Cold War. Cambridge, MA, and London: Harvard University Press.
Frey, Hugo (2004) “Contagious Colonial Diseases in Hergé’s The Adventures of Tintin”, Modern & Contemporary France 12: 177-188.
Goddin, Philippe (1992) Hergé y los Bigotudos: La novela de una aventura. Barcelona: Juventud.
Hergé [Georges Remi] (1962) The Seven Crystal Balls. London: Methuen / (1983 [1975]) Tujuh Bola Ajaib. Jakarta: Indira.
Hergé [Georges Remi] (1962) Prisoners of the Sun. London: Methuen / (1995 [1976]) Tawanan Dewa Matahari. Jakarta: Indira.
Hergé [Georges Remi] (1975) The Broken Ear. London: Methuen  / (1992 [1981]) Patung Kuping Belah. Jakarta: Indira.
Hergé [Georges Remi] (1976) Tintin and the Picaros. London: Methuen  / (1995 [1988]) Tintin dan Picaros. Jakarta: Indira.
Jacob, Tara “Great Snakes! The Adventures of Tintin: The Blue Lotus: An Analytical Reading”, http://www.tintinologist.org/articles/greatsnakes.html (diakses 29 Maret 2006).
Judah, Tim (1999) “Tintin in the Dock”, The Guardian. Sisipan akhir pekan 30 Januari, hlm. 8-18.
McCarthy, Tom (2006) Tintin and the Secret of Literature. London: Granta.
Means, Philip Ainsworth (1938) ‘The Incas: Empire Builders of the Andes’, The National Geographic Magazine 73 (2): 225-264.
Screech, Matthew (2005) Masters of the Ninth Art: Bandes Dessinées and Franco-Belgian Identity. Liverpool: Liverpool University Press.
Thompson, Harry (1991) Tintin: Hergé and his Creation. London: Hodder and Stoughton.