Selasa, 08 Oktober 2013

Superbarrio Gómez: "Superhero" Dunia Nyata dari Meksiko


Superbarrio Gómez © 2011 Italo Rondinella

Lebih cepat dari kereta bayi! Lebih kuat dari nenek-nenek! Itulah Superbarrio Gómez, “superhero” sungguhan dari ibukota Meksiko. Mirip dengan superhero yang kita kenal selama ini dalam komik, ia tampil lengkap dengan kostum ketat warna merah yang menonjolkan bentuk tubuhnya yang jauh dari atletis, jubah, logo di dada, kancut kuning di luar, dan tentunya topeng untuk menutupi identitasnya. Topengnya bergaya luchador atau pegulat gaya bebas khas Meksiko. Namun tak seperti superhero di komik, yang diperanginya bukan para penjahat super atau alien dari luar angkasa, melainkan para pejabat dan polisi korup, tuan tanah dan juragan-juragan real estate yang suka menggusur rakyat kecil Meksiko. Superbarrio –barrio berarti kampung—memimpin demonstrasi-demonstrasi kaum miskin kota, berorasi dan hadir dalam perundingan-perundingan dengan para politisi, aktif dalam gerakan buruh, menggalang petisi menolak penggusuran, serta memperjuangkan tata kota yang lebih bersahabat bagi kepentingan kelas bawah.

Eduardo Galeano menulis: “Superbarrio berperut buncit dan kakinya bengkok. Memakai topeng merah dan jubah kuning. Bukan mumi, hantu, dan vampir yang diperanginya. Di satu titik kota ia hadapi polisi dan membantu korban penggusuran yang kelaparan; di titik lain ikut dalam demo memperjuangkan hak-hak perempuan atau memprotes pencemaran udara; dan di tengah-tengahnya, menerabas ke gedung Kongres dan berpidato mengecam busuknya pemerintah.”

Beraksi pertama kali pada Juni 1987, Superbarrio bisa dibilang muncul jauh lebih dulu sebelum “pahlawan bertopeng” Meksiko lainnya: Subcomandante Marcos dari Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (dan juga jauh lebih dulu sebelum film dan komik Kick-Ass membayangkan superhero dunia nyata). Bersama kemunculan setiap superhero, selalu ada mitologi yang mengiringinya: planet yang meledak; orang tua yang dibunuh; radiasi sinar gamma dll. Demikian pula Superbarrio. Konon, seorang pedagang kaki lima yang mantan pegulat mendengar keluh kesah seorang ibu yang rumahnya akan digusur, “Kita perlu Superman untuk menyelamatkan kita.” Seolah mendapat wangsit dari keluhan itu (bagai Bruce Wayne melihat kelelawar menerobos masuk ke jendela rumahnya), ia pun mencari kostum dan tampil sebagai Superbarrio.

Tentu saja kenyataannya tidak “sekomik” itu. Superbarrio lahir dari suatu langkah politik konkret yang dilakukan oleh Asamblea de Barrios (Dewan Kampung) untuk menghadapi penggusuran. Perlu diingat, pada tahun 1987 itu Partido Revolucionario Institucional (Golkar-nya Meksiko) masih berkuasa nyaris mutlak di negeri itu. Belum pernah ada partai oposisi yang menang pemilu selama PRI memegang kekuasaan lebih dari 70 tahun. Pemberontakan Zapatista di Chiapas juga belum terjadi dan agenda demokratisasi masih diredam kuat-kuat pasca pembantaian Tlatelolco 1968 yang menelan korban ratusan demonstran mahasiswa maupun warga sipil. Dengan menerapkan strategi pembangunan kapitalis yang abai pada kaum miskin, Meksiko digadang-gadang oleh dunia Barat sebagai “teladan” pertumbuhan ekonomi dan contoh bagaimana negara Dunia Ketiga bisa sejajar dengan Dunia Pertama melalui strategi tersebut. Dalam konteks menggenjot pembangunan dan pertumbuhan ekonomi itulah marak terjadi penggusuran kampung-kampung urban demi pembangunan gedung-gedung metropolis modern.

Pada 9 Juni 1987, Asamblea beramai-ramai mendatangi rumah seorang nyonya yang hendak digusur oleh pihak yang mengklaim sebagai pemilik tanahnya. Kedatangan mereka ternyata berhasil mencegah rencana penggusuran. Sejak itu diputuskan bahwa gerakan ini harus mempunyai simbol bagi aksi-aksinya di masa depan. Dan entah ide dari mana, Superbarrio muncul sebagai simbol itu.

Dengan dukungan Asamblea dan kekuatan-kekuatan politik kiri lainnya, Superbarrio maju ke pengadilan untuk mengajukan keberatan hukum atas penggusuran. Gugatan ini ternyata dianggap cukup kuat dan beralasan oleh pengadilan tinggi sehingga berhasil menangguhkan 1.500 rencana penggusuran hingga lima tahun sesudahnya. Dari sini aksi-aksi politik Superbarrio berkembang. Ia mendorong warga untuk membentuk kelompok-kelompok solidaritas dalam mempertahankan hak mereka atas kota. Ia juga terlibat aktif dalam Konvensi Gerakan Rakyat Urban dan pengajuan berbagai petisi menyangkut hak-hak publik atas kesehatan, perumahan, dll.

Bukan hanya para politisi dalam negeri yang diprotesnya, tetapi juga Amerika Serikat. Menurut Superbarrio, politik luar negeri AS (terutama terhadap Amerika Latin) berpengaruh besar terhadap kondisi rakyat Meksiko. Pada 1990, misalnya, di depan kedutaan besar AS ia melakukan demo masak tamale (sejenis lemper ukuran besar dari tepung maizena yang diisi daging dan sayuran) untuk memprotes invasi AS ke Panama. Atas dasar tuduhan sebagai gembong narkoba, Presiden Panama waktu itu Manuel Noriega didongkel dan ditangkap paksa oleh militer AS dengan “barang bukti 50 kg kantong kokain” yang kemudian didapati hanyalah kantung-kantung berisi tamale.

Pada 1996 Superbarrio “mencalonkan diri” sebagai kandidat Presiden AS dan berkampanye sepanjang kota-kota di perbatasan Meksiko-AS. Dibalut humor (misalnya dengan mengklaim bahwa dirinya mendapat dukungan dari Superman, Batman, dan Spider-Man), Superbarrio sesungguhnya sedang menggelar rangkaian kampanye serius tentang politik imigrasi dan ketenagakerjaan antara kedua negara. Ia menguak data-data penting yang bisa digolongkan sebagai korban pelanggaran HAM, misalnya sebanyak 3.200 pekerja yang tewas hanya karena berusaha melintasi Sungai Río Bravo dalam kurun waktu 1984-1994. (Camnitzer 2007: 258)

Berbagai aksi Superbarrio

Respons kelas penguasa Meksiko terhadap Superbarrio tentu bisa ditebak. Mereka mencemoohnya sebagai pelawak dan pencari sensasi belaka (respons yang sama yang juga diterima oleh SubMarcos beberapa tahun sesudahnya). Namun di balik aksi Superbarrio yang tampak melawak itu terdapat filosofi politik yang berbau-bau Guy Debord. Dalam sebuah wawancara ia mengatakan: “Kami mengubah demonstrasi menjadi keriuhan pesta ... Kami harus membuka saluran-saluran kreativitas, kepolosan rakyat, ingatan kolektif ... Kami harus mencipta kembali bentuk-bentuk aksi di mana orang bukan cuma menjadi penonton, melainkan pelaku.” (Camnitzer 2007: 257) Akibat aspek performance dan spectacle dalam aksi-aksinya itulah Superbarrio telah ditelaah dalam beberapa kajian yang mengulas bentuk-bentuk protes urban serta kaitan antara performance art dan politik. (Cadena-Roa dalam Johnston dan Noakes 2005: 69-86)

Menurut Berta Jottar (2008), Superbarrio menjalankan “politik kemungkinan,” sebuah imajinasi politik alternatif yang terbentuk melalui budaya pop dan pembangunan suatu gerakan sosial nasional dan transnasional. Lebih lanjut menurut Jottar, “Superbarrio membuat runtuhnya batas antara politik dan performance menjadi kentara jelas; ia memaksa kita berpikir melampaui performance dari politik guna memahami politik dari performance.

Superbarrio juga dipandang oleh sebagian pengamat lain sebagai “keajaiban” atau “absurditas” khas Amerika Latin yang menautkan realitas kasar kehidupan urban modern dengan mitologi-mitologi kuno (keajaiban yang sama yang konon memunculkan genre realisme magis dalam kesusastraan anak benua itu).

Superbarrio dan seorang prajurit Tentara Pembebasan Nasional
Zapatista di Chiapas, Agustus 1994 © Gerardo Magallon 

Terlepas dari pelbagai tafsiran itu, keberadaan Superbarrio mempunyai agenda dan dampak politik yang konkret. Dengan memilih wakil perundingan seseorang yang sengaja tampil dengan kostum sangat komikal, masyarakat membuat para pejabat yang terlibat perundingan merasa tertohok dan dilecehkan. Politisi merasa diolok-olok bila harus berunding dengan Superbarrio. (Levi 2008: 132)

Selain itu, aspek terpenting Superbarrio adalah topengnya. Topeng, kata penyair Meksiko Octavio Paz, “di satu sisi adalah tameng, tembok. Dan sebaliknya juga kumpulan tanda.” Topeng menyembunyikan wajah pemakainya, tetapi sekaligus mengungkap perwajahan macam apakah yang ingin dihadirkannya pada orang-orang lain. Dan wajah yang tampil melalui topeng Superbarrio adalah sebuah pernyataan bahwa “kami tidak bisa dikooptasi.”

Selama ini, taktik PRI –dan taktik penguasa di mana pun pada umumnya—adalah merangkul dan mengkooptasi para oposannya untuk masuk ke dalam sistem atau lingkar kekuasaannya. Praktik semacam ini membutuhkan nama dan eksistensi riil. Tanpa keduanya, seperti yang ada dalam sosok Superbarrio, ia menjadi mustahil dikooptasi. Anonimitas membuat transaksi politik jadi tak bermakna.

Secara logis, permasalahan topeng dan anonimitas ini pun membawa kita ke pertanyaan krusial selanjutnya: siapa sesungguhnya Superbarrio Gómez? Selama bertahun-tahun terbangun mitos bahwa ia adalah seorang jebolan SMA yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang asongan. Kemudian diyakini bahwa pria di balik topeng itu adalah Marco Rascón Córdova, seorang aktivis kiri dan pentolan Asamblea de Barrios yang memang mengonsep Superbarrio sejak awal dan menjadi semacam juru bicara baginya. Namun demikian, perlu dicatat pernyataan menarik Mauricio-José Schwarz, penulis buku Todos somos Superbarrio (atau Kita Semua Superbarrio [1994]), yang bisa dibilang sebagai satu-satunya biografi atas tokoh satu ini. Schwarz menulis dalam pengantar edisi tahun 2011 buku tersebut bahwa ia tidak percaya bahwa Marco Rascón Córdova adalah Superbarrio. Pasalnya, ia pernah menemui kedua orang itu dalam waktu bersamaan (“sama muskilnya seperti melihat Superman dan Clark Kent bersamaan,” tulisnya) dan yang lebih penting lagi, ia pernah melihat Superbarrio tanpa topeng. (Schwarz 2011: 2)

Luis Camnitzer (2007: 257) menyebut bahwa Superbarrio adalah “tim yang terdiri dari beberapa orang yang menyatu di bawah nama itu.” Meski tidak diketahui pasti berapa banyak orang yang ada di balik Superbarrio, Camnitzer menengarai  ada tiga. Bisa jadi Marco Rascón memang adalah Superbarrio. Namun tidak bisa disangkal juga bahwa pada beberapa kesempatan Marco Rascón dan Superbarrio terlihat muncul berbarengan. Siapa orang-orang lain yang pernah berada di balik topeng itu masih belum diketahui hingga kini.

Marco Rascón Córdova, Noam Chomsky, dan Superbarrio. Bila Marco Rascón adalah
Superbarrio, maka foto ini akan "sama muskilnya seperti melihat Superman
dan Clark Kent bersamaan."  

Menjelang pergantian milenium, Superbarrio semakin jarang beraksi di jalanan. Hal ini dikarenakan pada paruh kedua dekade 1990-an, kekuatan politik kiri Meksiko semakin melembaga dan mengerucut ke dalam Partido de la Revolución Democrática (PRD) di bawah kepemimpinan Cuauhtémoc Cárdenas. Cárdenas sendiri, menurut Rascón, telah bersama-sama Asamblea de Barrios sejak awal menggulirkan pelbagai inisiatif gerakan rakyat urban. (Rascón 2007) Meski kalah dalam pemilu nasional 1994, PRD dan Cárdenas berhasil memenangkan pemilu walikota México City pada 1997 (pemilihan walikota yang pertama kalinya berlangsung secara terbuka setelah selama ini ditunjuk langsung oleh Presiden). Kemenangan elektoral kelompok kiri-demokratik ini tentunya tak lepas dari kampanye-kampanye urban yang ikut digalakkan oleh Superbarrio selama ini, tetapi kemenangan tersebut juga membuat peran dan signifikansi Superbarrio menjadi berkurang. (Schwarz 2011: 1) Dalam wawancaranya dengan novelis Kolombia Laura Restrepo, Superbarrio mengaku lelah dengan kegiatan-kegiatan yang kian lama kian seremonial pasca kemenangan kubu kiri-demokratik. Dan pada 2001 ia pun memutuskan gantung kostum. (Restrepo 2008; Gayà 2011)

Marco Rascón mundur dari politik dan
menjadi koki terkenal
Mungkin juga ada sebab lain. Pada 2007 Marco Rascón –yang pasca pensiunnya Superbarrio beralih menjadi koki terkenal dan membuka restoran—menulis semacam kenangan akan “superhero” itu di koran kiri Meksiko, La Jornada. Salah satu paragraf penutupnya berbunyi: “Superbarrio adalah pelopor bentuk-bentuk baru partisipasi dan aksi di Meksiko dan dunia. Menggugat kekuasaan melalui parodi, lelucon, dan karnaval. Humor dan ironi adalah senjata luar biasa. Kekuatannya berasal dari kemampuannya untuk menjalin persekutuan dan mendorong semangat akan kemampuan mengorganisir diri sendiri, saling meyakini dan mempercayai satu sama lain antar para peserta, dan bukan syak wasangka bahwa setiap kritik adalah pengkhianatan.” (Rascón 2007)

Ada nada getir dalam kalimat terakhir itu, seperti menyiratkan kesebalan Rascón pada kawan-kawannya dulu di politik kiri. Memang setelah Cárdenas menjabat, PRD menjadi tak ubahnya partai-partai pada umumnya. Korupsi kaum kiri merebak di pemerintahan kota México City. Dalam upaya memperluas kekuasaan yang sudah didapat ini, PRD sendiri bergerak kian ke kanan. Cárdenas berusaha meraih simpati kaum kapitalis dan sektor swasta Meksiko dengan mencoba menanggalkan apa yang ia kampanyekan pada pemilu 1994. Menurutnya, keliru kiranya untuk melekatkan label kiri pada PRD. (Ramírez 2010) Pergeseran ke kanan ini mengguncang basis militan partai. Subcomandante Marcos berkomentar perihal arah politik PRD: “Kemarin mereka kiri, sekarang tengah, besok di mana ya?” Alih-alih memperluas perolehan suara, PRD justru berantakan dan pemilu nasional tahun 2000 dan 2006 pun dimenangkan oleh partai kanan Partido Acción Nacional (PAN).

Mungkin kekecewaan inilah yang mendorong Marco Rascón mundur dari politik untuk bekerja di balik kompor-kompor dapur. Dan sungguh teramat kebetulan apabila surutnya aktivitas politik Marco Rascón berlangsung bersamaan dengan absennya Superbarrio dari kehidupan publik. Barangkali Rascón-atau-Superbarrio tetap bersetia pada ideal-ideal politik jalanannya dan karenanya berbenturan dengan politisi-politisi kiri yang memilih jalur kekuasaan.

Dalam salah satu wawancara terbarunya, kepada jurnalis El Periódico Superbarrio mengatakan: “Ini sudah busuk. Harus dimulai dari nol.” (Gayà 2011) Apakah ini berarti Marco Rascón atau siapa pun dia akan kembali aktif dengan kostumnya untuk turun ke jalan-jalan? Kita tunggu saja.


Daftar Pustaka
Berta Jottar. 2008. “Superbarrio Gómez for US President:
 Global Citizenship and the ‘Politics of the Possible’.”
 Esai foto di jurnal e-misferica, terbitan Hemispheric Institute of Performance and Politics.
Catalina Gayà. 2011. “Superbarrio, en la Barceloneta”El Periódico. 2 Mei.
Jorge Cadena-Roa. 2005. “Strategic Framing, Emotions, and Superbarrio—Mexico City’s Masked Crusader.” Dalam Hank Johnston & ‎John A. Noakes (eds.), Frames of Protest: Social Movements and the Framing Perspective. Lanham: Rowman & Littlefield.
Laura Restrepo. 2008. El poder de la máscara”El País. 6 September.
Luis Camnitzer. 2007. Conceptualism in Latin American Art: Didactics of Liberation. Terutama Bab 22 “From Politics into Spectacle and Beyond.” Austin: The University of Texas Press.
Heather Levi. 2008. The World of Lucha Libre: Secrets, Revelations, and Mexican National Identity. Terutama Bab 4 “The Wrestling Mask.” Durham: Duke University Press.
Marco Rascón. 2007. Veinte años de Superbarrio”. La Jornada. 19 Juni.
Mauricio-José Schwarz. 2011 [1994]. Todos somos Superbarrio. México: Planeta.
Vladimir Escalante Ramírez. 2010. “Why does the PRD lose?Documents on Mexican Politics https://cs.uwaterloo.ca/~alopez-o/politics/prdlose.html