Selasa, 26 November 2013

"Utopia Tanpa Senjata Melissa Sepúlveda: Kredo Kaum Anarkis Zaman Ini," oleh Bastián Fernández


Catatan penerjemah: Perpolitikan Cile sepertinya bergerak ke arah yang makin radikal. Pada bulan ini kandidat sosialis Michele Bachelet menang dalam putaran pertama pemilu Cile. Kemenangan ini memastikan bahwa Camila Vallejo, mantan ketua Federasi Mahasiwa Cile (FECh), serta Karol Cariola, sekjen Pemuda Komunis, yang keduanya memimpin demonstrasi besar-besaran pada 2011 lalu menuntut perubahan sistem pendidikan, naik menjadi anggota Kongres di majelis rendah. Pasca Camila, FECh sendiri dipimpin berturut-turut oleh Gabriel Boric (2011-2012) dan Andrés Fielbaum (2012-2013) dari kubu Kiri Otonom. Pada malam 12 November lalu, dominasi komunis dari Kiri Otonom patah oleh Melissa Sepúlveda, seorang anarkis. Ini pertama kalinya setelah 90 tahun, Federasi Mahasiswa dipimpin lagi oleh seorang anarkis. Berikut wawancara dengan Melissa Sepúlveda yang diterjemahkan oleh Ronny Agustinus dari “La utopía desarmada de Melissa Sepúlveda”, oleh Bastián Fernández, El Mostrador, 25 November 2013.



Hanya tiga orang perempuan yang pernah memimpin Federasi Mahasiswa Cile (FECh) dalam 107 tahun sejarahnya, dan perempuan yang ketiga itu adalah seorang libertarian. Melissa Sepúlveda mempelajari kedokteran, meski belum tahu apa yang akan menjadi spesialisasinya, ia seorang feminis, dengan tato kumbang kuning di lengan kanannya yang tidak punya arti apa-apa, menurutnya, dan yang tidak ingin ia bicarakan.

Namun saat membahas soal negara, kapitalisme, dan gerakan sosial, mata coklatnya yang gelap itu berbinar. Melissa menjawab tanpa terburu-buru dan kerap memakai kata ganti jamak. Bibirnya tebal, menawan, dan paras mukanya agak mirip Penélope Cruz. Awalnya beberapa pertanyaan menyulut selintas senyum ironik, seakan-akan jawabannya sudah sangat jelas atau pertanyaannya terlampau bodoh. Pertanyaan lainnya menyulut ekspresi nostalgia, tatapan menunduk dan mencari-cari jawaban yang tepat. Mencipta sebuah utopia, mengatasi segala bentuk otoritarianisme untuk mencapai sebuah masyarakat bebas yang ditata di bawah pemerintahan swakelola.

Dalam kata-kata Buenaventura Durruti, apa kau membawa dunia baru dalam hatimu?
– Ya ... (tersenyum). Kurasa begitu. Dan demikianlah kami berharap bisa mulai menggulingkan dan menjadi alternatif riil. Inilah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi kaum kiri revolusioner di Cile, yakni tampil sebagai sebuah alternatif yang serius dan peluang bagi rakyat.

Saat malam bertambah larut pada hari Selasa 12 November 2013, Melissa dinyatakan menang atas lawannya dari kubu Kiri Otonom (Izquierda Autónoma atau IA), Sebastián Aylwin. Di jalan sempit Arturo Burhle, di depan Serikat Nasional Pekerja Bangunan (Sindicato Nacional de Trabajadores de la Construcción atau Sintec), lebih dari 150 mahasiswa dari Front Mahasiswa Libertarian (FEL) dan Persatuan Mahasiswa Nasional (UNE) berkumpul di bawah bendera-bendera merah hitam. Dari sana mereka berarak-arakan ke markas FECh, yang setelah 90 tahun akan diketuai oleh anarkis.

Sejak akhir abad ke-19 anarkisme telah meretas jalannya dalam sejarah politik, dengan menentang Negara, partai-partai politik, kekuasaan faktual dan kekuasaan ekonomi.

Anarkisme mutualis, individualis, insurreksionis, feminis, dan environmentalis adalah beberapa aliran yang pernah lahir dari anarkisme. Dalam rentang itu ada komunisme libertarian (atau anarko-komunisme), sebuah paham yang paling dirasa dekat oleh Melissa. Berikut sebagian poin-poin pokok ideologi politik ini.

Anarkisme dan Libertarian
Mengenai libertarian, Melissa berkata bahwa paham ini menganut tradisi anarkisme, tetapi memberi perhatian khusus pada praktik-praktik politik organisasi atau gerakan. Praktik-praktik itu antara lain: demokrasi langsung, horisontalitas, aksi massa langsung, dan federativisme. “Yang terakhir ini adalah sebentuk pengorganisasian di mana keputusan-keputusan diambil di basis-basis, tetapi memiliki organisasi yang kompleks di mana federasi-federasi ada dari bawah ke atas.”

Utopia dan Ideal Sosial
“Yang kami tuju sekarang adalah menanggulangi kondisi material yang bisa kita lihat dan konkret. Kondisi itu ada di rumah-rumah sakit, pendidikan, kondisi kaum buruh,” kata Melissa. Yang menyebabkan pembedaan ini, menurutnya, adalah sistem ekonomi, politik, dan struktur makro yang menghasilkan pengelompokan-pengelompokan hidup orang-orang. “Tujuan akhirnya adalah mencapai sebuah masyarakat yang melampaui masyarakat kelas. Pemberlakukan pemerintahan swakelola rakyat dan pemerataan kekayaan. Dan itulah yang kami sebut komunisme libertarian,” ujarnya.

Kebebasan
Inilah konsep yang selalu ada dalam aliran anarkis. “Aku tidak bisa merumuskan apa terjemahan kebebasan ini,” katanya. Ia juga menyadari bahwa subjek-subjek yang dibangun dalam kapitalisme “tidak tahu bagaimana menerjemahkan masyarakat tanpa kelas, kurasa itu tidak bisa kita bayangkan.” Namun ia percaya kita bisa membayangkan masa depan, dan mulai membangun pilar-pilar masyarakat ini. “Ada prinsip-prinsip solidaritas, kerjasama, di mana kita memahami bahwa setiap manusia memiliki kedudukan yang setara dalam masyarakat. Itu yang bisa kita bangun hari ini, sambil membayangkan, suatu hari nanti, membangun masyarakat bebas.”

Hubungan dengan Negara
Anarkisme selalu mengedepankan pembubaran negara, baik negara kapitalis maupun Marxis, karena melihat pelbagai bentuk represi dan dominasi di dalamnya. Mengenai hal ini Melissa mengklarifikasi bahwa ada sejumlah kajian baru mengenai cara memahami negara dan hubungan dengannya. “Negara pada akhirnya berujung sebagi relasi sosial. Bukan cuma pemerintahan, atau sistem politik, juga tidak serta merta merupakan penubuhan neoliberalisme. Tapi Negara yang kita kenal saat ini dan perkembangannya secara historis telah menjadi instrumen yang menguntungkan kelas-kelas dominan. Relasi itulah yang hendak kita habisi,” ujarnya.

Hubungan dengan Kekuasaan
Melissa membedakan dua konsep kekuasaan. Kekuasaan dengan kapasitas koersif, dan kekuasaan dengan kapasitas kreatif. “Komunisme libertarian Cile mengambil topik kekuasaan rakyat, yang diperkenalkan oleh Marxisme-Leninisme.” Dalamnya bentuk konstruksi inilah yang akan mengarah menuju komunisme libertarian. “Kemampuan kita untuk menberdayakan hidup kita sendiri. Dari kolektivitas itu, yang didasarkan pada horisontalitas, timbul pemahaman apa yang bisa didapat oleh mekanisme-mekanisme representasi kami. Bahwa penataan masyarakat yang kami inginkan merupakan kerja kolektif, oleh semua orang.”

Media Komunikasi
Oleh media kaum anarkis secara turun temurun terus digambarkan sebagai orang-orang bertudung yang melemparkan molotov atau memasang bom di bank-bank. Menurut Melissa, masalahnya bukan sekadar penggambaran anarkisme secara karikatural ini. “Media zaman ini punya fungsi yang tidak memihak rakyat Cile, karena ia membuat banyak perjuangan lainnya jadi tak terlihat. Buruh harus bermalam di Mapocho dan baru bisa muncul [di media] sebagai pemogokan. Dan selalu soal sensasinya belaka dan bukan apa yang membuat serikat terpaksa mogok,” ucapnya.

Anarkisme di Cile
Melissa mengakui makna penting yang dimiliki ideologi politik ini dalam sejarah Cile. Sejak dulu, menurutnya, paham ini terkait erat dengan gerakan buruh dan pendirian FECh. “Kaum muda pemberontak” dari era 1920an, dengan tokoh-tokoh seperti José Domingo Gómez Rojas dan Juan Gandulfo, berasal dari elite intelektual. “Mereka paham bahwa kondisi mengenaskan yang dihidupi kaum buruh saat itu membutuhkan sikap proaktif dari pihak mahasiswa yang memiliki akses pada pengetahuan dan perkakas yang tidak dimiliki buruh.”

Ideologi Front Mahasiswa Libertarian (FEL)
Di titik ini presiden baru FECh ini menegaskan bahwa FEL bukanlah organisasi dengan suatu kesatuan ideologis, “melainkan yang bertemu di bawah praktik demokrasi langsung, horisontalitas, massa aksi langsung.”

Tantangan-tantangan di FECh
Sadar akan “momen bersejarah” ini, Melissa mengatakan bahwa FECh menerimanya “sepenuh tanggung jawab.” Menurut pendapatmu apa peluang-peluang kunci yang terbuka dari federasi, selain menang pemilihan? “Mampu memanfaatkan federasi sebagai alat bagi gerakan mahasiswa, gerakan sosial, dan gerakan buruh. Juga meningkatkan taraf partisipasi dalam universitas, merangkul kawan-kawan yang lain. Dan itu harus punya penerjemahan konkret, yakni dalam program Luchar (Berjuang) dan harapan untuk melaksanakannya,” ia memungkas.

Selasa, 08 Oktober 2013

Superbarrio Gómez: "Superhero" Dunia Nyata dari Meksiko


Superbarrio Gómez © 2011 Italo Rondinella

Lebih cepat dari kereta bayi! Lebih kuat dari nenek-nenek! Itulah Superbarrio Gómez, “superhero” sungguhan dari ibukota Meksiko. Mirip dengan superhero yang kita kenal selama ini dalam komik, ia tampil lengkap dengan kostum ketat warna merah yang menonjolkan bentuk tubuhnya yang jauh dari atletis, jubah, logo di dada, kancut kuning di luar, dan tentunya topeng untuk menutupi identitasnya. Topengnya bergaya luchador atau pegulat gaya bebas khas Meksiko. Namun tak seperti superhero di komik, yang diperanginya bukan para penjahat super atau alien dari luar angkasa, melainkan para pejabat dan polisi korup, tuan tanah dan juragan-juragan real estate yang suka menggusur rakyat kecil Meksiko. Superbarrio –barrio berarti kampung—memimpin demonstrasi-demonstrasi kaum miskin kota, berorasi dan hadir dalam perundingan-perundingan dengan para politisi, aktif dalam gerakan buruh, menggalang petisi menolak penggusuran, serta memperjuangkan tata kota yang lebih bersahabat bagi kepentingan kelas bawah.

Eduardo Galeano menulis: “Superbarrio berperut buncit dan kakinya bengkok. Memakai topeng merah dan jubah kuning. Bukan mumi, hantu, dan vampir yang diperanginya. Di satu titik kota ia hadapi polisi dan membantu korban penggusuran yang kelaparan; di titik lain ikut dalam demo memperjuangkan hak-hak perempuan atau memprotes pencemaran udara; dan di tengah-tengahnya, menerabas ke gedung Kongres dan berpidato mengecam busuknya pemerintah.”

Beraksi pertama kali pada Juni 1987, Superbarrio bisa dibilang muncul jauh lebih dulu sebelum “pahlawan bertopeng” Meksiko lainnya: Subcomandante Marcos dari Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (dan juga jauh lebih dulu sebelum film dan komik Kick-Ass membayangkan superhero dunia nyata). Bersama kemunculan setiap superhero, selalu ada mitologi yang mengiringinya: planet yang meledak; orang tua yang dibunuh; radiasi sinar gamma dll. Demikian pula Superbarrio. Konon, seorang pedagang kaki lima yang mantan pegulat mendengar keluh kesah seorang ibu yang rumahnya akan digusur, “Kita perlu Superman untuk menyelamatkan kita.” Seolah mendapat wangsit dari keluhan itu (bagai Bruce Wayne melihat kelelawar menerobos masuk ke jendela rumahnya), ia pun mencari kostum dan tampil sebagai Superbarrio.

Tentu saja kenyataannya tidak “sekomik” itu. Superbarrio lahir dari suatu langkah politik konkret yang dilakukan oleh Asamblea de Barrios (Dewan Kampung) untuk menghadapi penggusuran. Perlu diingat, pada tahun 1987 itu Partido Revolucionario Institucional (Golkar-nya Meksiko) masih berkuasa nyaris mutlak di negeri itu. Belum pernah ada partai oposisi yang menang pemilu selama PRI memegang kekuasaan lebih dari 70 tahun. Pemberontakan Zapatista di Chiapas juga belum terjadi dan agenda demokratisasi masih diredam kuat-kuat pasca pembantaian Tlatelolco 1968 yang menelan korban ratusan demonstran mahasiswa maupun warga sipil. Dengan menerapkan strategi pembangunan kapitalis yang abai pada kaum miskin, Meksiko digadang-gadang oleh dunia Barat sebagai “teladan” pertumbuhan ekonomi dan contoh bagaimana negara Dunia Ketiga bisa sejajar dengan Dunia Pertama melalui strategi tersebut. Dalam konteks menggenjot pembangunan dan pertumbuhan ekonomi itulah marak terjadi penggusuran kampung-kampung urban demi pembangunan gedung-gedung metropolis modern.

Pada 9 Juni 1987, Asamblea beramai-ramai mendatangi rumah seorang nyonya yang hendak digusur oleh pihak yang mengklaim sebagai pemilik tanahnya. Kedatangan mereka ternyata berhasil mencegah rencana penggusuran. Sejak itu diputuskan bahwa gerakan ini harus mempunyai simbol bagi aksi-aksinya di masa depan. Dan entah ide dari mana, Superbarrio muncul sebagai simbol itu.

Dengan dukungan Asamblea dan kekuatan-kekuatan politik kiri lainnya, Superbarrio maju ke pengadilan untuk mengajukan keberatan hukum atas penggusuran. Gugatan ini ternyata dianggap cukup kuat dan beralasan oleh pengadilan tinggi sehingga berhasil menangguhkan 1.500 rencana penggusuran hingga lima tahun sesudahnya. Dari sini aksi-aksi politik Superbarrio berkembang. Ia mendorong warga untuk membentuk kelompok-kelompok solidaritas dalam mempertahankan hak mereka atas kota. Ia juga terlibat aktif dalam Konvensi Gerakan Rakyat Urban dan pengajuan berbagai petisi menyangkut hak-hak publik atas kesehatan, perumahan, dll.

Bukan hanya para politisi dalam negeri yang diprotesnya, tetapi juga Amerika Serikat. Menurut Superbarrio, politik luar negeri AS (terutama terhadap Amerika Latin) berpengaruh besar terhadap kondisi rakyat Meksiko. Pada 1990, misalnya, di depan kedutaan besar AS ia melakukan demo masak tamale (sejenis lemper ukuran besar dari tepung maizena yang diisi daging dan sayuran) untuk memprotes invasi AS ke Panama. Atas dasar tuduhan sebagai gembong narkoba, Presiden Panama waktu itu Manuel Noriega didongkel dan ditangkap paksa oleh militer AS dengan “barang bukti 50 kg kantong kokain” yang kemudian didapati hanyalah kantung-kantung berisi tamale.

Pada 1996 Superbarrio “mencalonkan diri” sebagai kandidat Presiden AS dan berkampanye sepanjang kota-kota di perbatasan Meksiko-AS. Dibalut humor (misalnya dengan mengklaim bahwa dirinya mendapat dukungan dari Superman, Batman, dan Spider-Man), Superbarrio sesungguhnya sedang menggelar rangkaian kampanye serius tentang politik imigrasi dan ketenagakerjaan antara kedua negara. Ia menguak data-data penting yang bisa digolongkan sebagai korban pelanggaran HAM, misalnya sebanyak 3.200 pekerja yang tewas hanya karena berusaha melintasi Sungai Río Bravo dalam kurun waktu 1984-1994. (Camnitzer 2007: 258)

Berbagai aksi Superbarrio

Respons kelas penguasa Meksiko terhadap Superbarrio tentu bisa ditebak. Mereka mencemoohnya sebagai pelawak dan pencari sensasi belaka (respons yang sama yang juga diterima oleh SubMarcos beberapa tahun sesudahnya). Namun di balik aksi Superbarrio yang tampak melawak itu terdapat filosofi politik yang berbau-bau Guy Debord. Dalam sebuah wawancara ia mengatakan: “Kami mengubah demonstrasi menjadi keriuhan pesta ... Kami harus membuka saluran-saluran kreativitas, kepolosan rakyat, ingatan kolektif ... Kami harus mencipta kembali bentuk-bentuk aksi di mana orang bukan cuma menjadi penonton, melainkan pelaku.” (Camnitzer 2007: 257) Akibat aspek performance dan spectacle dalam aksi-aksinya itulah Superbarrio telah ditelaah dalam beberapa kajian yang mengulas bentuk-bentuk protes urban serta kaitan antara performance art dan politik. (Cadena-Roa dalam Johnston dan Noakes 2005: 69-86)

Menurut Berta Jottar (2008), Superbarrio menjalankan “politik kemungkinan,” sebuah imajinasi politik alternatif yang terbentuk melalui budaya pop dan pembangunan suatu gerakan sosial nasional dan transnasional. Lebih lanjut menurut Jottar, “Superbarrio membuat runtuhnya batas antara politik dan performance menjadi kentara jelas; ia memaksa kita berpikir melampaui performance dari politik guna memahami politik dari performance.

Superbarrio juga dipandang oleh sebagian pengamat lain sebagai “keajaiban” atau “absurditas” khas Amerika Latin yang menautkan realitas kasar kehidupan urban modern dengan mitologi-mitologi kuno (keajaiban yang sama yang konon memunculkan genre realisme magis dalam kesusastraan anak benua itu).

Superbarrio dan seorang prajurit Tentara Pembebasan Nasional
Zapatista di Chiapas, Agustus 1994 © Gerardo Magallon 

Terlepas dari pelbagai tafsiran itu, keberadaan Superbarrio mempunyai agenda dan dampak politik yang konkret. Dengan memilih wakil perundingan seseorang yang sengaja tampil dengan kostum sangat komikal, masyarakat membuat para pejabat yang terlibat perundingan merasa tertohok dan dilecehkan. Politisi merasa diolok-olok bila harus berunding dengan Superbarrio. (Levi 2008: 132)

Selain itu, aspek terpenting Superbarrio adalah topengnya. Topeng, kata penyair Meksiko Octavio Paz, “di satu sisi adalah tameng, tembok. Dan sebaliknya juga kumpulan tanda.” Topeng menyembunyikan wajah pemakainya, tetapi sekaligus mengungkap perwajahan macam apakah yang ingin dihadirkannya pada orang-orang lain. Dan wajah yang tampil melalui topeng Superbarrio adalah sebuah pernyataan bahwa “kami tidak bisa dikooptasi.”

Selama ini, taktik PRI –dan taktik penguasa di mana pun pada umumnya—adalah merangkul dan mengkooptasi para oposannya untuk masuk ke dalam sistem atau lingkar kekuasaannya. Praktik semacam ini membutuhkan nama dan eksistensi riil. Tanpa keduanya, seperti yang ada dalam sosok Superbarrio, ia menjadi mustahil dikooptasi. Anonimitas membuat transaksi politik jadi tak bermakna.

Secara logis, permasalahan topeng dan anonimitas ini pun membawa kita ke pertanyaan krusial selanjutnya: siapa sesungguhnya Superbarrio Gómez? Selama bertahun-tahun terbangun mitos bahwa ia adalah seorang jebolan SMA yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang asongan. Kemudian diyakini bahwa pria di balik topeng itu adalah Marco Rascón Córdova, seorang aktivis kiri dan pentolan Asamblea de Barrios yang memang mengonsep Superbarrio sejak awal dan menjadi semacam juru bicara baginya. Namun demikian, perlu dicatat pernyataan menarik Mauricio-José Schwarz, penulis buku Todos somos Superbarrio (atau Kita Semua Superbarrio [1994]), yang bisa dibilang sebagai satu-satunya biografi atas tokoh satu ini. Schwarz menulis dalam pengantar edisi tahun 2011 buku tersebut bahwa ia tidak percaya bahwa Marco Rascón Córdova adalah Superbarrio. Pasalnya, ia pernah menemui kedua orang itu dalam waktu bersamaan (“sama muskilnya seperti melihat Superman dan Clark Kent bersamaan,” tulisnya) dan yang lebih penting lagi, ia pernah melihat Superbarrio tanpa topeng. (Schwarz 2011: 2)

Luis Camnitzer (2007: 257) menyebut bahwa Superbarrio adalah “tim yang terdiri dari beberapa orang yang menyatu di bawah nama itu.” Meski tidak diketahui pasti berapa banyak orang yang ada di balik Superbarrio, Camnitzer menengarai  ada tiga. Bisa jadi Marco Rascón memang adalah Superbarrio. Namun tidak bisa disangkal juga bahwa pada beberapa kesempatan Marco Rascón dan Superbarrio terlihat muncul berbarengan. Siapa orang-orang lain yang pernah berada di balik topeng itu masih belum diketahui hingga kini.

Marco Rascón Córdova, Noam Chomsky, dan Superbarrio. Bila Marco Rascón adalah
Superbarrio, maka foto ini akan "sama muskilnya seperti melihat Superman
dan Clark Kent bersamaan."  

Menjelang pergantian milenium, Superbarrio semakin jarang beraksi di jalanan. Hal ini dikarenakan pada paruh kedua dekade 1990-an, kekuatan politik kiri Meksiko semakin melembaga dan mengerucut ke dalam Partido de la Revolución Democrática (PRD) di bawah kepemimpinan Cuauhtémoc Cárdenas. Cárdenas sendiri, menurut Rascón, telah bersama-sama Asamblea de Barrios sejak awal menggulirkan pelbagai inisiatif gerakan rakyat urban. (Rascón 2007) Meski kalah dalam pemilu nasional 1994, PRD dan Cárdenas berhasil memenangkan pemilu walikota México City pada 1997 (pemilihan walikota yang pertama kalinya berlangsung secara terbuka setelah selama ini ditunjuk langsung oleh Presiden). Kemenangan elektoral kelompok kiri-demokratik ini tentunya tak lepas dari kampanye-kampanye urban yang ikut digalakkan oleh Superbarrio selama ini, tetapi kemenangan tersebut juga membuat peran dan signifikansi Superbarrio menjadi berkurang. (Schwarz 2011: 1) Dalam wawancaranya dengan novelis Kolombia Laura Restrepo, Superbarrio mengaku lelah dengan kegiatan-kegiatan yang kian lama kian seremonial pasca kemenangan kubu kiri-demokratik. Dan pada 2001 ia pun memutuskan gantung kostum. (Restrepo 2008; Gayà 2011)

Marco Rascón mundur dari politik dan
menjadi koki terkenal
Mungkin juga ada sebab lain. Pada 2007 Marco Rascón –yang pasca pensiunnya Superbarrio beralih menjadi koki terkenal dan membuka restoran—menulis semacam kenangan akan “superhero” itu di koran kiri Meksiko, La Jornada. Salah satu paragraf penutupnya berbunyi: “Superbarrio adalah pelopor bentuk-bentuk baru partisipasi dan aksi di Meksiko dan dunia. Menggugat kekuasaan melalui parodi, lelucon, dan karnaval. Humor dan ironi adalah senjata luar biasa. Kekuatannya berasal dari kemampuannya untuk menjalin persekutuan dan mendorong semangat akan kemampuan mengorganisir diri sendiri, saling meyakini dan mempercayai satu sama lain antar para peserta, dan bukan syak wasangka bahwa setiap kritik adalah pengkhianatan.” (Rascón 2007)

Ada nada getir dalam kalimat terakhir itu, seperti menyiratkan kesebalan Rascón pada kawan-kawannya dulu di politik kiri. Memang setelah Cárdenas menjabat, PRD menjadi tak ubahnya partai-partai pada umumnya. Korupsi kaum kiri merebak di pemerintahan kota México City. Dalam upaya memperluas kekuasaan yang sudah didapat ini, PRD sendiri bergerak kian ke kanan. Cárdenas berusaha meraih simpati kaum kapitalis dan sektor swasta Meksiko dengan mencoba menanggalkan apa yang ia kampanyekan pada pemilu 1994. Menurutnya, keliru kiranya untuk melekatkan label kiri pada PRD. (Ramírez 2010) Pergeseran ke kanan ini mengguncang basis militan partai. Subcomandante Marcos berkomentar perihal arah politik PRD: “Kemarin mereka kiri, sekarang tengah, besok di mana ya?” Alih-alih memperluas perolehan suara, PRD justru berantakan dan pemilu nasional tahun 2000 dan 2006 pun dimenangkan oleh partai kanan Partido Acción Nacional (PAN).

Mungkin kekecewaan inilah yang mendorong Marco Rascón mundur dari politik untuk bekerja di balik kompor-kompor dapur. Dan sungguh teramat kebetulan apabila surutnya aktivitas politik Marco Rascón berlangsung bersamaan dengan absennya Superbarrio dari kehidupan publik. Barangkali Rascón-atau-Superbarrio tetap bersetia pada ideal-ideal politik jalanannya dan karenanya berbenturan dengan politisi-politisi kiri yang memilih jalur kekuasaan.

Dalam salah satu wawancara terbarunya, kepada jurnalis El Periódico Superbarrio mengatakan: “Ini sudah busuk. Harus dimulai dari nol.” (Gayà 2011) Apakah ini berarti Marco Rascón atau siapa pun dia akan kembali aktif dengan kostumnya untuk turun ke jalan-jalan? Kita tunggu saja.


Daftar Pustaka
Berta Jottar. 2008. “Superbarrio Gómez for US President:
 Global Citizenship and the ‘Politics of the Possible’.”
 Esai foto di jurnal e-misferica, terbitan Hemispheric Institute of Performance and Politics.
Catalina Gayà. 2011. “Superbarrio, en la Barceloneta”El Periódico. 2 Mei.
Jorge Cadena-Roa. 2005. “Strategic Framing, Emotions, and Superbarrio—Mexico City’s Masked Crusader.” Dalam Hank Johnston & ‎John A. Noakes (eds.), Frames of Protest: Social Movements and the Framing Perspective. Lanham: Rowman & Littlefield.
Laura Restrepo. 2008. El poder de la máscara”El País. 6 September.
Luis Camnitzer. 2007. Conceptualism in Latin American Art: Didactics of Liberation. Terutama Bab 22 “From Politics into Spectacle and Beyond.” Austin: The University of Texas Press.
Heather Levi. 2008. The World of Lucha Libre: Secrets, Revelations, and Mexican National Identity. Terutama Bab 4 “The Wrestling Mask.” Durham: Duke University Press.
Marco Rascón. 2007. Veinte años de Superbarrio”. La Jornada. 19 Juni.
Mauricio-José Schwarz. 2011 [1994]. Todos somos Superbarrio. México: Planeta.
Vladimir Escalante Ramírez. 2010. “Why does the PRD lose?Documents on Mexican Politics https://cs.uwaterloo.ca/~alopez-o/politics/prdlose.html

Kamis, 26 September 2013

Dekadensi Kebudayaan? Atau Sekadar Gerundelan Penulis Tua?


La civilización del espectáculo, Mario Vargas Llosa. Meksiko: Alfaguara, Februari 2012. ISBN 978-607-11-1766-3. 228 hlm.


Buku esai terbaru Mario Vargas Llosa, La civilización del espectáculo (Peradaban Hiburan atau bisa juga Peradaban Tontonan) ini memukau, tetapi juga menggundahkan. Impresif, tetapi cukup bikin depresif. Membacanya memang terasa bagai gerundelan orang tua yang tidak lagi memahami budaya anak muda kontemporer, dan masih mengangankan “kebudayaan tinggi” sebagai ideal atas dekadensi kultural saat ini. 

Pada pembukaannya (hlm. 13) tertulis: “Belum pernah sebelumnya sepanjang sejarah begitu banyak risalah, esai, teori, dan analisa ditulis mengenai kebudayaan sebanyak di zaman kita. Dan hal ini kian mengejutkan karena kebudayaan, dalam pengertian tradisional kata tersebut, justru pada zaman sekarang ini berada di ambang menghilang. Dan mungkin sudah menghilang…”

Vargas Llosa meratapi bagaimana produk-produk kebudayaan telah menjadi hiburan semata, karya seni menjadi banal, erotisisme menjadi pornografi, jurnalisme menjadi pencarian sensasi, yang semuanya bertumpu pada kelarisan. Peradaban hiburan adalah peradaban “di mana kenikmatan, untuk lari dari kebosanan, menjadi hasrat universal” (hlm. 33). Ketika kebudayaan tak lagi independen (dipatok dengan kelarisan dan ukuran komersial, bukan mutu), maka masyarakat akan kehilangan pijakannya dalam mempertahankan kebebasannya dan politik jadi kehilangan makna.

Ini poin menarik dari seorang penulis yang sebelumnya dikenal sangat liberal secara politik. Bisa dibilang inilah kritik tajam Vargas Llosa pada perkembangan (kultural) terkini kapitalisme-liberal, ideologi yang justru ia junjung tinggi dan gencarkan selama hampir seluruh masa kepenulisannya. Bila dulu ia berpendapat hanya dengan inilah masyarakat bisa memperoleh basis kebebasannya (bukan melalui komunisme, fasisme, atau lainnya), kini ia mengakui ekses-ekses kapitalisme bisa menggerogoti kebebasan masyarakat dengan membelokkan pengertian “kebudayaan” sebagai semata-mata “cara menyenangkan untuk menghabiskan waktu,” bukan lagi penggalian dan pencarian eksistensi kemanusiaan yang mendalam.

Yang menarik, antitesis keadaan ini bagi Vargas Llosa adalah agama. Bukan berarti ia menganjurkan untuk kembali pada negara agama dan fundamentalisme lainnya, tetapi ia mengakui bahwa ada kedalaman, pencarian, atau tambatan spiritual tertentu yang didapat dalam agama, yang besar pengaruhnya bagi tinggi rendahnya kesenian. Semua peradaban dunia menjunjung pencarian transendensi ini. Di sini Vargas Llosa seperti menggaungkan esai Walter Benjamin berpuluh tahun sebelumnya tentang bagaimana kemajuan teknologi reproduksi telah melenyapkan aura yang terpancar dalam ikon-ikon dan karya seni religius.

Mungkin Vargas Llosa benar, tapi buat saya ia terlampau pesimistis. Ambillah sastra. Apa betul kita tengah digempur oleh bacaan ringan yang sepintas lalu dan tak memiliki kedalaman? Betul, tapi bukan berarti tidak ada penulis bagus yang tetap tekun menempuh jalan sastrawi. Tiap generasi pasti melahirkan penulis bagusnya sendiri-sendiri. Vargas Llosa sendiri mengakui itu: “Saya tidak bermaksud mengecam para penulis sastra hiburan ini karena terlepas dari entengnya tulisan mereka, di antaranya ada yang benar-benar berbakat. Bila di zaman kita jarang didapati avontur-avontur sastrawi seperti Joyce, Virginia Woolf, Rilke, atau Borges, itu bukan hanya karena penulisnya; tapi karena budaya tempat kita tinggal menghambat dan bukan mendorong upaya-upaya berani yang melahirkan karya-karya yang menuntut dari pembaca konsentrasi intelektual yang sama intensnya dengan yang memungkinkan karya-karya itu ada.” (hlm. 36)

Saya agak meragukan pernyataan di atas. Pernahkah ada masa ketika sastra tinggi benar-benar populer dan dibaca orang banyak? Saya kira tidak. Jujur saja, berapa banyak penutur bahasa Inggris pernah membaca Finnegans Wake, pada saatnya ia terbit maupun sekarang? Pada tiap zaman “benturan kebudayaan” macam ini pasti terjadi. Pernah ada masanya ketika musik jazz dianggap sebagai perlawanan dari budaya tinggi, dan ada masanya ketika jazz menjadi budaya tinggi itu sendiri.

Bisa jadi Vargas Llosa hanya tengah menua dan terbata-bata memahami dunia zaman ini yang tak lagi seperti dunia yang dijalaninya dulu. Karena itu ia pesimistis. Bisa jadi pula ia sedang beralih dari satu konservatisme ke konservatisme lain. Maka makin tepatlah sinyalemen Alberto Manguel bertahun-tahun lalu yang mengibaratkan Vargas Llosa sebagai “fotografer buta”, yang tak bisa melihat apa yang ditangkap dengan begitu jitu oleh lensanya. Lensanya adalah sastranya, dan matanya adalah pandangan politiknya. Bagaimana bisa seseorang dengan karya-karya yang demikian radikal (baik secara bentuk maupun isi) bisa sedemikian konservatif dalam pandangan sosial-politiknya?