Minggu, 15 Januari 2012

Tembok dan Buku, oleh Jorge Luis Borges

“La muralla y los libros”, Jorge Luis Borges. Terbit pertama di harian La Nacion, Argentina, 22 Oktober 1950. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari Obras Completas 1923-1972 (Buenos Aires: Emecé Editores, 1974), hlm. 633-635.


Ia, yang tembok panjangnya mengitari Tartar pengelana...
Dunciad, ii, 76

Saya baca, beberapa hari berselang, bahwa orang yang memerintahkan pendirian tembok yang nyaris tak berhingga di Cina adalah kaisar pertama Shih Huang Ti, yang juga menitahkan agar semua buku yang ada sebelum dirinya dibakar. Bahwa dua kerja besar ini –lima hingga enam ribu hasta batu untuk menahan bangsa barbar, penghapusan cermat atas sejarah, yang artinya, masa silam—berasal dari satu orang yang sama dan dalam beberapa hal bisa menjelaskan sifat-sifatnya memuaskan dan pada saat yang sama menggundahkan saya. Guna menyelidiki sebab-musabab perasaan inilah maksud catatan berikut.

Secara historis, tak ada yang misterius dalam dua langkah itu. Sezaman dengan perang-perang Hannibal, Shih Huang Ti, raja Tsin, menundukkan Enam Kerajaan di bawah kekuasaannya dan menghapuskan sistem feodal: ia dirikan tembok, karena tembok adalah pertahanan; ia bakar buku-buku, sebab musuh menyitirnya untuk memuja kaisar-kaisar dari masa lalu. Membakar buku dan membangun benteng jamak dilakukan para pangeran; satu-satunya yang istimewa dalam Shih Huang Ti adalah skala kerja itu. Demikianlah anggapan beberapa Sinolog tertentu, tapi saya merasa bahwa fakta-fakta yang saya utarakan lebih dari suatu pelebih-lebihan atau hiperbola atas disposisi-disposisi yang sepele. Memagari kebun atau taman sudah biasa; tapi tidak memagari sebuah imperium. Juga bukan hal remeh untuk menyatakan agar ras yang paling tradisional meninggalkan kenangan akan masa lalunya, baik mitis ataupun nyata. Bangsa Cina sudah memiliki kronologi selama tiga ribu tahun (dan selama masa itu ada Kaisar Kuning and Zhuangzi dan Kong Hu-Cu dan Lao Tze) manakala Shih Huang Ti memerintahkan agar sejarah dimulai dari dirinya.

Shih Huang Ti telah mengusir ibunya yang berperilaku binal; dalam keputusannya yang keras itu, kaum kolot hanya melihat suatu sikap durhaka. Shih Huang Ti, barangkali, ingin menghapus kitab-kitab kanonik sebab mereka menuduhnya; Shih Huang Ti, barangkali, ingin menghapus seluruh masa silam guna menghapus satu kenangan tunggal saja: aib ibunya. (Tidak beda dengan seorang raja lainnya, di Yudea, yang membunuh semua bayi laki-laki hanya untuk menyasar satu bayi.) Dugaan ini layak dipertimbangkan, tapi tak memberitahu kita apapun mengenai tembok, paruh kedua dari mitos itu. Shih Huang Ti, menurut para sejarawan, melarang kematian disebut-sebut dan mencari ramuan keabadian serta memencilkan diri di istana kiasan, yang jumlah kamarnya sebanyak jumlah hari dalam setahun; fakta-fakta ini menyiratkan bahwa tembok dalam ruang dan api dalam waktu adalah rintangan-rintangan gaib yang dirancang untuk menunda kematian. Segala hal ingin bertahan dalam keberadaannya, tulis Baruch Spinoza; barangkali Sang Kaisar dan ahli-ahli sihirnya percaya bahwa keabadian itu bersifat intrinsik dan pembusukan tidak bisa memasuki bola yang kedap. Barangkali Sang Kaisar ingin mencipta ulang awal mula waktu dan menyebut dirinya Yang Pertama, agar jadi benar-benar yang pertama, dan memanggil dirinya Huang Ti, agar dengan suatu cara menjadi Huang Ti, kaisar legendaris yang menciptakan tulisan dan kompas. Yang terakhir ini, menurut Kitab Upacara, memberi nama yang sebenar-benarnya pada hal ihwal; dengan cara yang sama Shih Huang Ti sesumbar, dalam prasasti-prasasti yang masih tersisa, bahwa segala sesuatu di bawah kekuasaannya akan memiliki nama yang pantas untuk mereka. Ia bermimpi mendirikan sebuah dinasti abadi; ia perintahkan agar ahli warisnya dipanggil Kaisar Kedua, Kaisar Ketiga, Kaisar Keempat, dan seterusnya sampai tak terhingga .... Saya tadi telah menyinggung soal tujuan gaib; mungkin juga bisa diandaikan bahwa mendirikan dinding dan membakar buku bukanlah tindakan yang simultan. Ini (bergantung pada urutan yang kita pilih) akan memberi kita gambaran tentang seorang raja yang mulanya merusak dan lantas berpasrah diri untuk melestarikan, atau seorang raja yang kecewa, menghancurkan apa yang sebelumnya ia pertahankan. Kedua dugaan ini dramatis, tapi sejauh yang saya tahu tak punya pijakan dalam sejarah. Herbert Allen Giles menuturkan bahwa orang-orang yang menyembunyikan buku dicap dengan besi panas dan dihukum kerja paksa sampai hari kematian mereka untuk membangun tembok yang gila-gilaan itu. Kabar ini menyokong atau memungkinkan tafsiran lainnya. Barangkali tembok itu adalah majas, barangkali Shih Huang Ti menghukum mereka yang memuja masa lalu dengan sebuah tugas yang sebesar dan semubazir masa lalu itu sendiri. Barangkali tembok itu adalah tantangan dan Shih Huang Ti berpikir: “Orang-orang mencintai masa lalu dan baik aku maupun para algojoku tidak bisa berbuat apa-apa terhadap cinta itu, tapi suatu hari nanti akan ada orang yang merasa seperti aku dan ia akan menghapus ingatan akan diriku dan menjadi cerminanku tanpa menyadarinya.” Barangkali Shih Huang Ti menemboki kekaisarannya karena tahu itu rapuh dan menghancurkan buku-buku karena paham bahwa buku-buku itu keramat, dengan kata lain, buku-buku mengajarkan apa yang diajarkan oleh seisi semesta dan benak setiap orang. Barangkali pembakaran perpustakaan dan pendirian tembok adalah dua kerja yang dengan suatu cara yang misterius justru saling membatalkan.

Dinding tangguh yang pada saat ini, dan setiap saat, menurapkan pada tanah-tanah yang takkan pernah saya lihat, sebuah sistem bayang-bayang, yakni bayang-bayang seorang Kaisar yang memerintahkan negeri paling terhormat ini untuk membakar masa lalunya; ada kemungkinan ide ini bersemayam di dalam dirinya sendiri, di luar spekulasi-spekulasi yang dimungkinkan olehnya. (Nilainya mungkin terletak pada pertentangan antara membangun dan merusak, dalam skala raksasa.) Menggeneralisir kasus di atas, bisa kita simpulkan bahwa segala bentuk punya nilai di dalam dirinya sendiri dan bukan dalam “kandungannya” yang diduga. Hal ini sejalan dengan tesis Benedetto Croce; yang sudah menjadi Pater pada 1877, saat menegaskan bahwa segala seni mencita-citakan kondisi musik, yang adalah bentuk murni. Musik, situasi bahagia, mitologi, wajah diterpa waktu, senja tertentu dan tempat-tempat tertentu mencoba mengatakan sesuatu pada kita, atau telah mengatakan sesuatu yang kita lewatkan, atau hendak mengatakan sesuatu; nyarisnya wahyu yang urung terjadi inilah, barangkali, yang menghasilkan fenomena estetik.

Buenos Aires, 1950

Jumat, 13 Januari 2012

Membela Sekte-sekte, oleh Mario Vargas Llosa

“Defensa de la sectas”, Mario Vargas Llosa. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari artikel dalam rubrikOpinión”, El País, 23 Februari 1997.

Pada 1983 di Cartagena, Kolombia, saya menghadiri kongres mengenai media komunikasi yang diketuai oleh dua cendekiawan terpandang (Ger­mán Arciniegas dan Jacques Soustelle), di mana hadir pula di situ, selain jurnalis dari seluruh dunia, beberapa anak muda tak kenal lelah yang diberkahi tatapan mata tajam dan berapi-api dari orang-orang yang meyakini diri telah memegang kebenaran. Pada waktunya, sambil diiringi sorak-sorai anak-anak muda tadi, datanglah di acara tersebut Pendeta Sun Myung Moon, kepala Gereja Unifikasi, yang ikut mensponsori kongres itu melalui sebuah organisasi perantara. Sebentar kemudian saya ketahui bahwa kelompok progresif telah menambah daftar dosa saya, yakni saya dianggap telah menjual diri pada sebuah sekte  jahat, kaum Moonies. Karena sejak kehilangan iman saya terus berusaha mencari gantinya, maka saya pun dengan penuh semangat bergegas melihat apakah iman yang ditawarkan oleh orang Korea bulat dan suka senyum dengan bahasa Inggris yang belepotan itu bisa memberi jalan keluar. Saya pun membaca buku bagus tentang Gereja Unifikasi karya profesor di London School of Economics, Eileen Barker (saya menemuinya pada kongres di Cartagena itu),  yang barangkali telah mempelajari secara lebih serius dan bertanggungjawab dibanding siapapun fenomena merebaknya sekte-sekte keagamaan pada akhir alaf ini. Darinya saya tahu, antara lain, bahwa Pendeta Moon bukan hanya mengaku telah diberi tanggung jawab oleh Sang Pencipta untuk mempersatukan Yudaisme, Kristen, dan Buddhisme dalam suatu aliran tunggal, namun juga meyakini dirinya sebagai hipostasis Sang Buddha dan Yesus Kristus. Hal ini, lumrah saja, langsung mendiskualifikasi saya untuk ikut dalam barisan mereka; bila dengan mandat dahsyat yang diberikan oleh dua ribu tahun sejarah saja saya sama sekali tidak mampu mempercayai keilahian Yesus dari Nazaret, sulit buat saya untuk menerimanya dalam wujud seorang penginjil Korea Utara yang bahkan tak mampu mengalahkan Dinas Pajak AS (yang menjebloskannya setahun ke penjara karena penggelapan pajak).

Namun demikian, bila sekte Moonies (serta 1.600 ratus kelompok dan sempalan keagamaan lainnya yang tercatat oleh Inform, organisasi yang diketuai oleh Profesor Barker) membuat saya skeptis, saya juga merasakan hal yang sama pada mereka yang dari waktu ke waktu menindas kelompok-kelompok ini dan mendesak pemerintah untuk melarang mereka, dengan alasan bahwa mereka merusak kaum muda, mengguncang tatanan keluarga, merampok anggota mereka sendiri, dan menyusupi lembaga-lembaga negara. Yang terjadi belakangan ini di Jerman pada Gereja Saintologi memberi tema ini aktualitas yang menggelisahkan. Pihak berwenang beberapa negara bagian Republik Federal Jerman –Bavaria, terutama—bermaksud menyingkirkan para penganut Saintologi dari jabatan-jabatan administratif, dan mereka memboikot film-film yang diperankan oleh John Travolta dan Tom Cruise karena keduanya pemeluk Saintologi dan mencekal konser Chick Corea di Baden­Württemberg atas alasan yang sama.

Sekalipun absurd dan terlampau melebih-lebihkan membandingkan pencekalan ini dengan siksaan yang diderita oleh orang Yahudi di bawah Nazi, sebagaimana dilakukan oleh deklarasi yang ditandatangani oleh 34 tokoh Hollywood untuk memprotes tindakan Jerman terhadap Saintologi dalam iklan di The New York Times, larangan dan pencekalan tersebut memang merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap prinsip-prinisp demokratis toleransi dan pluralisme dan memberi preseden yang berbahaya. Tom Cruise dan istrinya yang cantik Nicole Kidman bolehlah kita tuding telah memiskinkan cita rasa dan selera sastra bila mereka lebih suka membaca buku-buku saintifik-teologis karya L. Ron Hubbard, pendiri Gereja Saintologi empat dekade lalu, dibanding Alkitab. Tapi di sebuah negara yang konstitusinya menjamin hak warga untuk meyakini apapun yang mereka yakini, atau tidak meyakini apa-apa sama sekali, mengapa pihak berwenang merasa bisa turut campur dalam urusan ini?

Satu-satunya argumen serius untuk melarang atau mendiskriminasi “sekte-sekte” terletak di luar jangkauan rezim-rezim demokratis; yakni dalam masyarakat-masyarakat di mana kuasa agama dan politik adalah tunggal, seperti di Arab Saudi atau Su­dan, negara memutuskan mana agama yang benar, dan karenanya merasa punya hak untuk melarang yang dianggap palsu dan menghukum kaum kafir, bida’ah, nista, dan musuh-musuh iman. Dalam sebuah masyarakat terbuka, ini tak mungkin: negara harus melindungi kepercayaan individual, segila apapun kelihatannya, dan tidak boleh memihak aliran manapun, sebab bila tidak ujung-ujungnya ia akan menindas keyakinan (atau tiadanya keyakinan) sejumlah besar warga. Kita sudah melihatnya baru-baru ini di Cile, salah satu masyarakat paling modern di Amerika Latin, yang toh dalam hal-hal tertentu tetap tak jauh dari Zaman Batu, sebab mereka belum meloloskan undang-undang perceraian, akibat tentangan Gereja Katolik yang berpengaruh.

Keberatan-keberatan yang dikemukakan terhadap sekte-sekte ini memang ada benarnya. Para penganutnya seringkali fanatik, metode penyebaran agama mereka menjengkelkan (seorang Saksi Yehova mendempet saya selama setahun penuh di Paris, berusaha meyakinkan saya untuk menjalani pertobatan, dan membuat saya sesak oleh mimpi buruk), dan banyak di antara mereka secara harafiah menguras kantong anggotanya. Tapi tidak bisakah kita mengatakan hal yang sama perihal banyak kecenderungan agama-agama tradisional? Para Yahudi ultra-ortodoks Mea Shearim di Yerusalem, yang keluar rumah pada hari Sabtu untuk menimpuki mobil-mobil yang lewat daerah mereka dengan batu, apakah itu teladan tenggang rasa? Apakah Opus Dei kurang keras dalam hal komitmen yang dimintanya dari para anggotanya ketimbang operasi-operasi Evangelis yang paling tak kenal kompromi? Ini hanyalah contoh-contoh acak, dari banyak lainnya, yang membuktikan berulang kali bahwa semua agama –mulai dari yang bisa divalidasi melalui patina yang telah berabad-abad bahkan beralaf umurnya, dengan kepustakaan yang kaya serta darah para syuhada, sampai yang paling flamboyan, yang bermarkas di Brooklyn, Salt Lake City, atau Tokyo dan dipromosikan di internet—sama-sama berpotensi intoleran, dengan kecenderungan monopolistik yang sama, dan dengan demikian, justifikasi untuk membatasi atau melarang beroperasinya yang satu sama absahnya untuk diberlakukan pada yang lain. Dengan kata lain, kita cuma punya dua opsi: entah semuanya dilarang tanpa kecuali, seperti yang telah dicoba secara naif oleh Revolusi Perancis, Lenin, Mao, Castro, atau semuanya diperbolehkan, dengan satu syarat bahwa mereka tunduk pada hukum.

Tak perlu dibilang bahwa saya pendukung penuh opsi yang kedua ini. Dan bukan hanya karena merupakan hak azasi manusia yang mendasar untuk bisa mempraktikkan iman pilihannya tanpa didiskriminasi dan dianiaya. Namun juga karena bagi mayoritas terbesar umat manusia, agama adalah satu-satunya jalan yang membimbing ke hidup spiritual dan kesadaran etis, yang tanpanya tak bakal ada masyarakat manusia, penghormatan pada hukum, atau sokongan pada konsensus dasar kehidupan yang beradab. Satu kesalahan besar, yang diulangi berkali-kali sepanjang sejarah, adalah keyakinan bahwa ilmu pengetahuan, sains, dan kebudayaan pada akhirnya akan membebaskan manusia dari “tahayul” agama, bahwa kemajuan akan membuat agama jadi basi. Sekularisasi tidak menggantikan tuhan-tuhan kita dengan gagasan, pengetahuan, atau keyakinan yang bakal mengisi tempatnya. Ia justru telah meninggalkan kehampaan spiritual yang diisi oleh manusia sebisa mungkin, kadang dengan penggantinya yang aneh-aneh, dengan berbagai bentuk neurosis, atau dengan mendengarkan panggilan “sekte-sekte” itu yang justru karena wataknya yang menyambut dan eksklusif, dengan perencanaan rincinya atas semua momen kehidupan jasmani dan rohani, menawarkan keseimbangan dan keteraturan pada mereka yang merasa bingung, sepi, atau tersesat di dunia masa sekarang.

Dalam pengertian ini mereka ada gunanya dan bukan cuma harus dihargai namun juga didorong. Namun jelas bukan dengan subsidi atau dana pembayar pajak. Negara demokratis, yang harus dan hanya bisa bersikap sekuler atau netral dalam urusan agama, akan meninggalkan netralitasnya bila dengan alasan bahwa mayoritas atau sebagian besar warganya memeluk agama tertentu, rumah ibadahnya lalu dibebaskan dari pajak sementara hak istimewa itu tidak diberikan pada agama-agama minoritas. Kebijakan ini berbahaya, sebab mendiskriminasi ranah subyektif kepercayaan dan menyokong korupsi institusional.

Tempat peribadatan sekte "Lembah Fajar" di Brasilia (foto: Victor de Castro)

Paling banter yang bisa dicapai dalam hal ini adalah meniru apa yang dilakukan Brasil ketika membangun Brasilia, ibukotanya yang baru: memberikan sebidang tanah di jalan yang khusus dibangun untuk itu dan membolehkan semua aliran keagamaan di dunia membangun rumah ibadahnya di atasnya bila mau. Ada puluhan, kalau saya tak salah ingat: gedung besar-besar yang mencolok, arsitekturnya aneka macam dan saling tak nyambung, di mana katedral Ordo Salib Mawar berdiri di antara petir, megah penuh kubah dan lambang-lambang yang tak terpahami.