Rabu, 09 Maret 2011

Shakira, oleh Gabriel García Márquez

“Shakira”, Gabriel García Márquez. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari artikel dalam rubrikEn primera persona”, Revista Cambio, Juni 1999. Artikel ini menampakkan kekaguman García Márquez pada fenomena Shakira yang waktu itu baru berusia 20 tahunan. Artikel ini pula yang kemudian mengakrabkan keduanya yang berasal dari satu kampung di Barranquilla, Kolombia. Ketika Love in the Time of Cholera difilmkan, García Márquez secara khusus meminta Shakira menyumbangkan lagu untuk film itu, dan Shakira pun menyanyikan tiga lagu: "Hay Amores", "Despedida", dan "Pienso en Ti".


Shakira terbang dari Miami ke Buenos Aires pada 1 Februari, dikejar-kejar oleh seorang wartawan yang ingin menanyakan satu pertanyaan saja di telepon untuk suatu program radio. Atas sejumlah alasan, si wartawan gagal menemuinya dalam 27 hari ke depan, lantas kehilangan jejak Shakira di Spanyol pada minggu pertama Maret. Satu-satunya yang dimiliki wartawan itu cuma argumen dan judul untuk reportasenya: “¿Qué está haciendo Shakira cuando nadie la encuentra?” (“Apa yang diperbuat Shakira saat tak ada orang yang bisa menemukannya?”). Shakira tertawa terbahak-bahak, menjelaskan dengan buku agenda di tangan, “Aku ya menjalani hidup.”

Ia tiba di Buenos Aires pada petang 1 Februari, dan hari berikutnya bekerja sampai tengah malam; itu hari ulang tahunnya, tapi tak ada waktu buat merayakan usia 22 tahunnya. Pada hari Rabu ia mengarah balik ke Miami, berpose untuk kepentingan publikasi dan menghabiskan beberapa jam merekam versi Inggris album terbarunya. Pada hari Jumat ia rekaman sejak pukul 2 siang hingga Sabtu pagi, tidur tiga jam, lantas kembali ke studio, di mana ia bekerja hingga pukul 3 sore. Malam itu ia tidur beberapa jam dan terbang ke Lima dini hari Minggu. Senin tengah hari ia tampil dalam program siaran langsung, syuting untuk iklan teve pada pukul 4, dan begadang hingga subuh untuk pesta promosi. Esoknya, 9 Februari, ia memberi wawancara sebelas jam untuk radio, televisi, dan koran, dari pukul 10 pagi sampai 5 sore, dengan rehat sejam buat makan siang. Ia perlu kembali ke Miami, namun pada menit terakhir menyempatkan mampir di Bogotá untuk menghibur korban gempa di Armenia. Malam itu juga ia berhasil mendapat penerbangan terakhir ke Miami, dan di sana ia menghabiskan empat hari gladi resik untuk konser di Spanyol dan Paris. Ia bekerja dengan Gloria Estefan pada versi Inggris album-albumnya, sejak Sabtu jam makan siang hingga pukul 4.30 subuh hari Minggu. Ia pulang saat pagi merekah, minum secangkir kopi dan makan sepotong roti, lantas jatuh tertidur dengan berpakaian lengkap. Satu setengah jam kemudian, ia harus bangun untuk serangkaian wawancara radio. Pada hari Selasa tanggal 16, ia tampil pada siaran teve langsung di Costa Rica. Pada hari Kamis ia terbang ke Miami lalu ke Caracas, tampil dalam acara “Sábado Sensacional”. Ia nyaris tak tidur, pada tanggal 21 harus terbang dari Venezuela ke Los Angeles untuk menghadiri penganugerahan Grammy, dengan harapan menjadi salah satu yang terpilih, tapi pesohor-pesohor Amerika memborong semua penghargaan utama. Itu pun tak menyurutkannya: pada tanggal 25 ia terbang ke Spanyol, bekerja pada 27 dan 28 Februari. Persis tanggal 1 Maret, ketika akhirnya ia bisa tidur semalam suntuk di sebuah hotel di Madrid, ia sudah terbang sebanyak pramugari profesional: lebih dari 40.000 km dalam sebulan.

Komitmen Shakira di daratan tak kurang beratnya. Para pemusik, penata lampu, penata panggung, penata suara, tim yang ikut pergi dengannya menyerupai pasukan tempur. Ia pantau sendiri semuanya. Ia tidak membaca partitur, tapi jangkauan suara yang sempurna serta fokus yang utuh memungkinkannya memastikan bahwa ia dan para pemusiknya mencapai tiap not dengan tepat. Bukan cuma bekerja dengan mereka di panggung, ia punya perhatian personal pada setiap anggota timnya. Sangat jarang ia bolehkan rasa lelahnya terlihat, tapi jangan tertipu. Dalam rangkaian 40 konser di Argentina ia tidak menunjukkan kelelahan, tapi belakangan para asisten menunggu di pinggir siap memapahnya menuju bis tur. Pada beberapa kesempatan ia juga terkena takikardia, peradangan usus besar, dan alergi kulit.

Situasi ini diperparah oleh persiapan mati-matiannya menggarap versi Inggris Dónde Están Los Ladrones? untuk pasar AS, sebuah kolaborasi bersama Emilio Estefan dan istrinya, Gloria, yang akan memproduksi rekamannya. Di sini Shakira mengalami sebagian tekanan terberat dalam hidupnya. Ia bicara bahasa Inggris sehari-hari, namun harus mengikuti latihan melelahkan untuk menyempurnakan aksennya, menjadi begitu terobsesi sampai kadang ia mengigau berbahasa Inggris saat sedang tidur. Malam sebelum peluncurannya, ia demam dan tak bisa tidur lebih dari satu jam. “Itu salah satu momen paling melelahkan dalam hidupku,” ujarnya. “Aku menangis hampir sepanjang malam, berpikir aku tak bakal sanggup.”

Apa yang aneh? Shakira sepertinya lupa bahwa ia lahir dengan vertigo tak terpupuskan dan bahwa Tuhan telah bersamanya sejak usia sangat muda. Putri semata wayang seorang pedagang permata di Barranquilla, don William Mebarak, dan istrinya, doña Nydia Ripoll, Shakira lahir dalam keluarga keturunan Arab yang dinaungi oleh malaikat-malaikat seni dan sastra. Bakatnya yang luar biasa, kejeniusan kreatifnya, tekad baja dan kecondongannya berkarya seni hanya bisa dihasilkan oleh bibit-bibit dari takdir yang langka. Pada usia dini ia sudah melakukan apa yang oleh orang lain perlu waktu berdekade-dekade. Pada usia 17 bulan ia sudah mengeja aksara; pada usia 3 tahun ia belajar berhitung; pada usia 4 tahun ia menari perut tanpa ada yang mengajari di sekolah asrama Barranquilla, di mana pada tahun 1930-an salah seorang petugas sekolah ingin mendirikan monumen pemujaan terhadap Shirley Temple. Pada usia 7 tahun Shakira mengarang lagu pertamanya. Saat 8 tahun puisi pertamanya, dan pada usia 10 tahun menggubah lagu dengan syair dan musik sungguhan. Kisaran saat yang sama, ia meneken kontrak pertamanya, menghibur buruh-buruh di tambang batu bara El Cerrejón di dataran tinggi Guajira. Ia bahkan belum menginjak SMP saat perusahaan rekaman mengontraknya. “Aku selalu menyadari kemahiranku melantunkan puisi-puisi cinta, aku mulai menulis cerpen dan mendapat nilai bagus untuk tiap mata pelajaran, kecuali matematika.” Ia tak tahan bila teman-teman orang tuanya memintanya bernyanyi saat mereka bertamu ke rumah. “Mending ditonton 30.000 orang ketimbang lima orang tua mendengarkanku menyanyi dan menggenjreng gitar.” Dengan paras gadisnya yang sempurna serta kerapuhannya yang mengecoh, ia selalu yakin bahwa ia akan terkenal mendunia. Ia tak tahu bagaimana atau untuk apa, tapi mengenai hal ini ia tak punya kesangsian sedikit pun, seakan-akan dikutuk menjalani fatalisme sebuah nubuat.

Sekarang, mimpinya bukan cuma menjadi kenyataan. Musik Shakira tidak terdengar serupa dengan musik siapapun, dan ia telah mencipta sensualitas khasnya sendiri. Gampang memang mengatakan: “Kalau tidak menyanyi, aku mati.” Tapi dalam kasus Shakira ini kenyataan: saat tak menyanyi, ia hampir tidak hidup. Kedamaian batinnya berasal dari kemampuan untuk merasa sendirian di tengah-tengah orang ramai. Ia tak pernah demam panggung, sebaliknya: ia cuma demam kalau tak ada di panggung. “Aku merasa,” ujarnya, “seperti singa di tengah hutan.” Itulah tempat ia bisa menjadi dirinya yang sebenarnya.

Banyak penyanyi memandangi terang lampu dari atas panggung guna menghindari momok tatapan langsung kerumunan orang. Shakira memilih sebaliknya, memerintahkan teknisinya mengarahkan sorotan yang paling terang ke arah penonton, agar ia bisa melihat mereka. “Komunikasi total,” ucapnya. Ia bisa membentuk penonton anonim yang tak tertebak itu sesuka hati dan inspirasinya. "Aku suka melihat mata orang-orang waktu aku bernyanyi buat mereka." Kadang, saat menatap ke penonton, ia melihat wajah-wajah yang tak pernah ia lihat sebelumnya, namun mengingat mereka sebagai kawan lama. Pernah sekali ia mengenali seseorang yang sudah meninggal bertahun-tahun sebelumnya. Kala lainnya, ia merasa ada orang yang menatap turun padanya dari alam kehidupan lain. “Aku bernyanyi sepanjang malam buatnya,” katanya. Mujizat-mujizat macam ini telah menjadi ilham –dan kerap kehancuran—banyak seniman besar.

Yang paling menakjubkan soal fenomena Shakira ini adalah demam yang melanda anak-anak kecil. Saat album Pies Descalzos dirilis [pada 1996], divisi iklannya memutuskan mempromosikannya di sela-sela festival rakyat di Karibia. Mereka harus berubah pikiran ketika anak-anak mulai turun mengikuti irama musik, berjoget dan bernyanyi, menuntut Shakira dan dia seorang saja semalaman penuh. Sekarang, fenomena ini sudah layak dijadikan bahan disertasi doktoral. Anak-anak perempuan SD dari semua kelas sosial telah menjadi klon Shakira—berdandan, berbicara, dan bernyanyi seperti dirinya. Anak-anak perempuan umur enam tahun adalah penggemarnya yang paling setia. Album bajakan dipertukarkan saat istirahat dan dijual murah. Tiruan kalung dan anting dan asesoris rambutnya ludes terjual begitu sampai di toko. Pasar menjual cat rambut grosiran agar gadis-gadis bisa berganti tampilan mereka sesuai gaya terbaru Shakira. Gadis pertama yang mempunyai album terbarunya menjadi gadis paling populer di sekolah. Kelompok belajar yang paling disukai adalah yang diadakan di rumah pribadi: pelajaran cuma ditengok sekilas, selebihnya jingkrak-jingkrak. Pesta ulang tahun menjadi acara kumpul Shakira-shakira kecil, anak-anak cewek yang menari dan bernyanyi mengikuti musiknya. Dalam lingkaran-lingkaran yang paling puris –dan jumlahnya banyak—anak cowok tak diajak.

Terlepas dari bakat musiknya yang fenomenal dan kecerdikan pemasarannya, Shakira takkan menjadi seperti apa ia sekarang tanpa kedewasaannya yang luar biasa. Sukar dipahami bagaimana energi kreatif yang sedemikian bisa berjalan seiring dengan warna rambut yang terus berganti, kemarin hitam, sekarang merah, besok hijau. Tahun depan bakal jadi miliknya: rekamannya dijadwalkan keluar dan memasuki pasar luar Eropa, Amerika, Asia, dan Afrika, di mana jutaan penggemar berharap bisa menyanyikan lagu-lagunya dalam banyak bahasa. Ia sudah mengumpulkan lebih banyak anugerah, penghargaan, dan diploma ketimbang banyak pemain veteran. Kita lihat memang begitulah yang ia inginkan: cerdas, peresah, sopan, manis, sukar dipahami, intens. Ia orang Barranquilla sejati sampai ke sumsum tulang, dari dunia dan awan tinggi Olimpus ia tetap merindukan ikan belanak dan ubi kayu, serta sebuah rumah berlangit-langit tinggi yang belum sanggup ia beli, menghadap pantai dengan dua ekor kuda dan ketenangan. Ia gemar buku, membelinya, membelainya, namun tak punya banyak waktu untuk membacanya seperti yang ia mau. Ia rindu kawan-kawan yang ia tinggalkan sesudah berpamitan terburu-buru di bandara, namun ia tahu tidak mudah menjumpai mereka lagi.

Tentang uang yang ia peroleh, ia berkata: “Lebih dari yang aku akui dan kurang dari yang orang sangka.” Tempat kesukaannya untuk mendengarkan musik adalah di mobil, sekencang-kencangnya, dengan kaca jendela tertutup agar tidak mengganggu orang lain. “Ini tempat ideal untuk mengobrol dengan Tuhan, bicara dengan diri sendiri, mencoba memahami.” Ia benci televisi. Ia bilang kontradiksi terbesar dalam dirinya adalah kepercayaannya pada kehidupan abadi dan rasa takutnya yang tak terperikan akan kematian.

Ia pernah memberi 40 wawancara sehari tanpa mengulang-ulang apa yang ia ucapkan. Ia punya ide-idenya sendiri soal seni, kehidupan ini dan kehidupan nanti, keberadaan Tuhan, cinta dan kematian. Namun pewawancara dan divisi iklannya kadang terlampau memintanya menjelaskan pandangannya, sampai-sampai ia menjadi jago ngeles, memberi jawaban yang lebih berguna untuk menutupi sesuatu ketimbang menjernihkannya. Ia tampik omongan bahwa ketenarannya cuma sesaat dan gemas dengan pendapat bahwa suaranya bisa rusak bila terlampau ia forsir. “Saat tengah hari bolong,” sergahnya, “aku tak mau berpikir soal matahari tenggelam.” Bagaimana pun, para spesialis menganggap itu tak mungkin terjadi, sebab suaranya punya jangkauan alami yang akan bertahan dari ekses-ekses pemakaiannya. Ia pernah harus menyanyi saat sedang demam, dan pingsan kecapekan, namun suaranya tak berubah sedikit pun. “Yang paling bikin frustrasi seorang penyanyi,” ujarnya tak sabar pada penghujung wawancara kami, “adalah memilih karir untuk bermusik lantas tidak bisa bermusik karena harus selalu menjawab wawancara.”

Tema yang paling licin adalah soal cinta. Ia menyanjungnya, mengidealisirnya, dan cinta menjadi jiwa dan akal lagu-lagunya, namun dengan humor ia mengelak dari topik ini dalam percakapan personal. “Sebenarnya sih,” ujarnya tertawa, “aku lebih takut menikah daripada mati.” Ia dikenal punya empat pacar, dan dengan usil mengakui punya tiga lagi yang tak seorang pun tahu. Perlu dicatat bahwa semua sepantarannya, tapi tak ada yang sedewasa dirinya. Penyanyi Puerto Rico Osvaldo Ríos, yang tertua di antara semuanya, sepertinya justru yang paling tidak dewasa. Shakira menyebutkan itu dengan rasa sayang dan tanpa getir, dan sepertinya menganggap mereka sebagai bayangan-bayangan singkat yang ia gantung di lemarinya satu per satu. Untungnya, tak ada alasan buat kecewa: pada 2 Februari lalu, di bawah rasi Aquarius, Shakira mengakhiri usianya yang (baru) ke-21.

Sabtu, 05 Maret 2011

Mati Satu Mati Semua

A Funny Dirty Little War
Osvaldo Soriano
Terjemahan Inggris oleh Nick Caistor dari No habrá más penas ni olvido (1980)
Readers International, 1986


Persoalan kecil melebar ke mana-mana, dan sebelum tindakan bisa dilakukan, ia sudah berbiak kelewat besar untuk bisa ditangani dengan cara-cara normal. Banyak komedi diformat dengan rumusan demikian. Beberapa episode serial teve Mr. Bean misalnya, berawal dari hal-hal sesepele kehilangan karcis kereta sehingga si tokoh kesulitan untuk keluar dari stasiun tanpa kena denda, dan berakhir dengan terjebaknya si tokoh dalam kereta barang yang meluncur hingga ke Rusia.

Begitu pula novelet Osvaldo Soriano yang kocak dan tragis ini. Awalnya cuma politiking kelas teri di sebuah kota kecil fiktif bernama Colonial Vela, di sebuah provinsi Buenos Aires, Argentina: ketua Dewan Kota Ignacio Fuentes bersama wakilnya Mateo Guastavino hendak didongkel dari kedudukannya oleh konspirasi beberapa orang: Sekjen Partai Peronis setempat, Inspektur polisi, Walikota. Mereka menyebarkan desas desus bahwa kedua tokoh itu berpikiran Marxis, meskipun semua warga tahu bahwa Ignacio adalah Peronis sejati.

Ignacio pun tak main-main dalam mengamankan kedudukannya. Ia keluarkan semua senjata miliknya, “merekrut” dua opsir polisi yang terus menerus ia naikkan pangkatnya (dalam rentang sehari menjadi Sersan), seorang tukang sapu taman kota, seorang napi, lalu menduduki Balai Kota dan memakainya sebagai basis pertahanan “kubu Peronis” dalam melawan “kudeta Fasis”. Dari intrik politik kampungan persoalan meruncing menjadi persoalan “ideologis”: mana dari kedua kubu ini yang lebih Peronis? Kelompok Pemuda Peronis menyatakan dukungannya pada Ignacio. Sedangkan Ketua Serikat Buruh yang terima suap bekerja untuk Sekjen Partai.

Persoalan makin ruwet dengan datangnya wartawan serta warga sipil bersenjata. Meledaklah perang saudara skala kota yang berujung pada tewasnya hampir semua tokoh di novel ini, termasuk para biang kerok yang –ketika melihat persoalan ini sudah menjadi terlalu besar untuk bisa mereka tangani sendiri—mencoba cuci tangan darinya. Konyolnya, satu-satunya pihak yang diuntungkan dari semua ini barangkali adalah Peron sendiri, yang namanya makin menjulang oleh “kelompok-kelompok” yang berani mati membelanya ini.

Tak salah bila Nick Caistor menerjemahkan judul novel ini menjadi A Funny Dirty Little War walaupun judul sesungguhnya lebih “puitis dan tragis” dari itu: No habrá más penas ni olvido (Tak Ada Lagi Duka atau Lupa). Di satu pihak buku ini memang lucu dan bisa membuat kita tertawa terpingkal-pingkal, namun di sisi lain juga memberi wawasan tentang bagaimana konflik sosial bisa membesar skalanya sampai menjadi perang yang sungguh kotor. Soriano menuliskan novelet ini selama masa pelariannya di Eropa sesudah Argentina mengalami kudeta militer pada 1976. Terbit pertama di Spanyol dan Italia pada 1980, buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis, Belanda, Cek, Portugis, Polandia, dan Hungaria, sebelum akhirnya terbit di Argentina pada 1983 sesudah usainya rezim militer di negeri itu dan Soriano pulang ke kampung halamannya.

Versi film buku ini, arahan sutradara Héctor Olivera, juga mendapat banyak pujian kritikus dan meraih Silver Bear Award pada Festival Film Berlin 1984.