Senin, 10 Desember 2012

“Arpillera”: Kain Perca Perlawanan


Ulasan atas Marjorie Agosín, Tapestries of Hope, Threads of Love: The Arpillera Movement in Chile, terjmh. Celeste Kostopulos-Cooperman (Rowman & Littlefield, 2007) dengan kata pengantar Isabel Allende; dan Marjorie Agosín, Scraps of Life: Chilean Arpilleras, terjmh. Cola Franzen (Zed Books, 1987). Gambar-gambar diambil dari kedua buku tersebut.


Bagaimanakah ibu-ibu dengan kain perca, jarum, dan benang bisa melawan sebuah rezim militer? Kisah ini bermula pada 11 September 1973, sebuah tanggal historis dalam sejarah Amerika Latin dan Cile khususnya, ketika pemerintahan sah presiden sosialis Salvador Allende yang terpilih melalui pemilu demokratis digulingkan oleh kudeta militer Jenderal Augusto Pinochet dengan dukungan CIA.

Mirip Indonesia? Memang. Pinochet memetik inspirasinya dari kudeta terselubung Soeharto pada 1965, sampai-sampai operasi sabotase ekonomi dan demonstrasi-demonstrasi rekayasa anti-Allende pun dinamai “Plan Djakarta.” Sejak awal 1973, kata-kata “Ya viene Djakarta” (“Jakarta datang”) banyak dicoretkan dengan cat hitam di tembok-tembok kota Santiago. Pelaksana utama “Plan Djakarta” adalah Brigjen Hernan Hiriart Laval yang sebelumnya telah diberhentikan karena terbukti bersekongkol dengan tuan tanah di Provinsi Valdivia dan memerintahkan pembunuhan dua orang petani (baca Bab 3 buku The Murder of Allende and the End of the Chilean Way to Socialism karya Róbinson Rojas).

Yang terjadi pascakudeta pun juga mirip: pada akhir September 1973, dilaporkan 3.000 orang telah hilang, ribuan aktivis pro Allende ditangkapi sebagai “tapol” dan sebagian besar dibunuh. Bila Indonesia punya Pulau Buru sebagai tempat pembuangan, Cile punya Pulau Dawson dekat Antartika, juga Pisagua, sebuah tambang nitrat terbengkalai di gurun pasir sebelah utara.

Kehidupan berantakan, dan yang terimbas paling dahsyat adalah kaum ibu, yang kehilangan suami atau anaknya dengan paksa, seringkali ditembak atau dicokok begitu saja di depan mata mereka. Persoalan desaparecidos (orang hilang) menjadi persoalan yang menghantui masyarakat Cile sebagaimana juga Indonesia. Di Amerika Latin, Amnesty International memperkirakan sebanyak 90.000 orang hilang selama pelbagai masa kediktatoran selama 20 tahun terakhir.

Saat mencari keterangan soal sanak keluarganya yang hilang –di penjara, kantor polisi, pusat-pusat penahanan, dan gereja—para ibu ini saling bertemu dan berbagi cerita satu sama lain. Dari pencarian, derita, dan cerita para perempuan inilah Gereja Katolik mulai menyadari besarnya represi yang terjadi. Komite Pro-Paz (Pro Perdamaian) dibentuk untuk menampung laporan dan kesaksian tentang orang hilang, namun komite ini hanya bertahan dua tahun karena diberangus oleh junta militer.

Atas inisiatif Kardinal Raúl Silva Henriquez, uskup Santiago yang lantang menyerukan penentangannya atas kediktatoran militer Pinochet, dibentuklah lembaga baru yang sepenuhnya berada di bawah wewenang Gereja Katolik, bernama Vicaría de la Solidaridad (Vikariat Solidaritas). Meletakkannya di bawah lembaga keuskupan dan dengan demikian tunduk pada hukum ekumenis Gereja Katolik Roma adalah taktik agar lembaga ini tidak akan pernah bisa dibubarkan oleh penguasa.

Vikariat Solidaritas pun menjadi tempat berkumpulnya para aktivis HAM dan menjadi satu-satunya organisasi yang berani dengan lantang menyerukan pelanggaran HAM di Cile semasa kediktatoran militer. Selain itu, Vikariat juga berusaha mencari jalan keluar bagi kaum ibu untuk memecahkan masalah finansial dan emosional mereka setelah mereka terpaksa harus menjadi “kepala keluarga.”

Jahit-menjahit menjadi salah satu pilihan utama kaum ibu untuk mencari sedikit uang. Vikariat pun membentuk bengkel-bengkel kerja agar para ibu ini bisa bekerja sambil tetap mengasuh anggota keluarga yang masih kecil, juga menjadi wadah untuk saling berbagi cerita dan informasi tentang anggota keluarga mereka yang dihilangkan paksa.

Dari konteks sosial inilah, dari penindasan dan kesusahan hidup, lahirlah sebuah seni sulam khas Amerika Latin yang dipakai untuk melestarikan ingatan akan korban dan melawan militerisme: arpillera. Arti sesungguhnya adalah “kain goni”, namun praktik pembuatan arpillera di Cile telah mengubah artinya menjadi “kain perlawanan.”

Awalnya sebagai curahan perasaan, arpillera pun menjadi potongan kain yang berkisah, memberi kesaksian tentang apa yang dialami para perempuan Cile. Vikariat Solidaritas mulai menjual hasil karya ibu-ibu ini kepada orang-orang asing yang menyelundupkannya ke luar negeri, dan cerita-cerita mereka pun akhirnya beredar ke dunia internasional—cerita tentang penghilangan paksa, kerinduan, cinta, perdamaian, dan harapan akan keadilan.

“Saya gambarkan gedung hancur, rumah porak poranda, seperti rumah saya sendiri sejak hilangnya putra dan menantu saya,” kata Irma Muller, salah satu pendiri bengkel arpillera pertama. Karyanya berikut ini dibuat pada 1976, menggambarkan bagaimana putranya, Jorge, dan menantunya diciduk tentara saat sedang berjalan-jalan. Perempuan dengan rok panjang yang dibuat dengan kain hitam seperti sosok para tentara itu, yang menampakkan sikap seperti sedang melaporkan Jorge dan istrinya, adalah Flaca Alejandra, yang menjelang akhir 1990an membuat pengakuan publik tentang kerjanya di polisi rahasia.

Karya Irma Muller tentang penangkapan anak dan menantunya

Violeta Morales, salah seorang anggota tertua bengkel kerja ini dan saudara perempuan dari salah seorang desaparecido, berkata, “Saya membuat arpillera karena ada kejahatan ganda yang harus saya kecam: penculikan anak saya dan saudara saya. Saya bergabung di sini untuk terus berjuang agar kebenaran bisa diketahui karena luka-luka saya masih menganga.” Karya Violeta berikut ini yang dibuat pada 1970an memasang foto saudaranya yang hilang, Newton Morales, langsung pada kain—sebuah teknik yang banyak dipakai untuk mengenang seseorang yang dihilangkan:

Violeta Morales menjahitkan foto Newton Morales, saudara
laki-lakinya yang hilang, dalam arpillera-nya.

Ibunda Violeta Morales juga membuat arpillera berikut ini yang menggambarkan para perempuan menarikan la cueca sola. La cueca adalah tarian populer rakyat Cile yang ditarikan berpasang-pasangan, namun karena orang laki-laki mereka kini tiada, maka mereka pun menarikannya sendirian (la cueca sola inilah yang mengilhami Sting menuliskan lagunya "They Dance Alone"). Bisa dilihat bagaimana si perempuan menyematkan foto pasangannya yang hilang di bajunya. 



Pertanyaan dan gugatan “¿Dónde están?(“Di mana mereka?”) menjadi tema yang sering muncul dalam arpillera, seperti bisa kita lihat dalam tiga karya berikut:



Gambaran demo pada Hari Perempuan Internasional 1984

Kini tak ada lagi bengkel-bengkel arpillera di Cile. Dipulihkannya demokrasi pada 1989 membuat Vikariat Solidaritas menganggap kerjanya rampung. Dan tanpa naungan Gereja, bengkel-bengkel ini pun tutup pada 1992. Tapi para pembuat arpillera tetap melajutkan kerja mereka secara independen, karena mereka tahu tugas belum selesai dan sejarah tetap harus dituliskan.

Terbongkarnya kuburan-kuburan massal di Cile pada 1991, disusul dengan penelitian yang mengungkapkan para korban tewas itu telah disiksa dengan brutal, ternyata tak melahirkan suatu keadilan bagi ibu-ibu ini. Para penyiksa masih bisa hidup merdeka dan berkeliaran dengan bebas, tanpa pengadilan dan tanpa hukuman. Jenderal Pinochet memang sempat diadili di Inggris, namun bebas dengan alasan kesehatan. Dan sekembalinya ke Cile pada 2000, Kongres malah menghadiahinya status “mantan presiden,” yang membuatnya kebal secara hukum dari tuntutan apapun.

Persis dengan kita di sini. Komnas HAM telah membuat laporan rinci tentang pelanggaran HAM selama 1965, film The Act of Killing menyadarkan kita bahwa para pembunuh dari masa-masa itu hidup bebas di sekitar kita, lalu Tempo menindaklanjutinya dengan reportase atas para jagal lainnya. Namun kekuasaan mementahkan itu semua. Kejaksaan Agung terang-terangan menolak menindaklanjuti laporan Komnas HAM.

Dengan dalih “rekonsiliasi”, pemerintah kedua negara sepertinya ingin menciptakan citra negara yang telah damai tanpa punya masa lalu yang begitu bersimbah darah. Namun para arpilleristas di Cile tahu rekonsiliasi tidak akan bisa terjadi tanpa pengungkapan kebenaran dan pengadilan. Karena itulah mereka tak henti berkarya, memadukan potongan-potongan kain perca dan menusukkan benang jahit mereka—untuk berbagi kisah, untuk memberi kesaksian bagi generasi mendatang.

Arpillera yang menggambarkan hukuman mati sewenang-
wenang di Stadion Nasional pada 1973