Ulasan atas Marjorie Agosín, Tapestries of Hope, Threads of Love: The
Arpillera Movement in Chile, terjmh. Celeste Kostopulos-Cooperman
(Rowman & Littlefield, 2007) dengan kata pengantar Isabel Allende; dan Marjorie Agosín, Scraps of Life: Chilean Arpilleras, terjmh. Cola Franzen (Zed Books, 1987). Gambar-gambar
diambil dari kedua buku tersebut.
Bagaimanakah ibu-ibu dengan kain
perca, jarum, dan benang bisa melawan sebuah rezim militer? Kisah ini bermula
pada 11 September 1973, sebuah tanggal historis dalam sejarah Amerika Latin dan
Cile khususnya, ketika pemerintahan sah presiden sosialis Salvador Allende yang
terpilih melalui pemilu demokratis digulingkan oleh kudeta militer Jenderal
Augusto Pinochet dengan dukungan CIA.
Mirip Indonesia? Memang. Pinochet
memetik inspirasinya dari kudeta terselubung Soeharto pada 1965, sampai-sampai
operasi sabotase ekonomi dan demonstrasi-demonstrasi rekayasa anti-Allende pun
dinamai “Plan Djakarta.” Sejak awal 1973, kata-kata “Ya viene Djakarta” (“Jakarta datang”) banyak dicoretkan dengan cat
hitam di tembok-tembok kota Santiago. Pelaksana utama “Plan Djakarta” adalah
Brigjen Hernan Hiriart Laval yang sebelumnya telah diberhentikan karena
terbukti bersekongkol dengan tuan tanah di Provinsi Valdivia dan memerintahkan
pembunuhan dua orang petani (baca Bab 3 buku The Murder of Allende and the End of the Chilean Way to Socialism karya
Róbinson Rojas).
Yang terjadi pascakudeta pun juga
mirip: pada akhir September 1973, dilaporkan 3.000 orang telah hilang, ribuan
aktivis pro Allende ditangkapi sebagai “tapol” dan sebagian besar dibunuh. Bila
Indonesia punya Pulau Buru sebagai tempat pembuangan, Cile punya Pulau Dawson
dekat Antartika, juga Pisagua, sebuah tambang nitrat terbengkalai di gurun
pasir sebelah utara.
Kehidupan berantakan, dan yang
terimbas paling dahsyat adalah kaum ibu, yang kehilangan suami atau anaknya
dengan paksa, seringkali ditembak atau dicokok begitu saja di depan mata mereka.
Persoalan desaparecidos (orang
hilang) menjadi persoalan yang menghantui masyarakat Cile sebagaimana juga
Indonesia. Di Amerika Latin, Amnesty International memperkirakan sebanyak
90.000 orang hilang selama pelbagai masa kediktatoran selama 20 tahun terakhir.
Saat mencari keterangan soal sanak
keluarganya yang hilang –di penjara, kantor polisi, pusat-pusat penahanan, dan
gereja—para ibu ini saling bertemu dan berbagi cerita satu sama lain. Dari
pencarian, derita, dan cerita para perempuan inilah Gereja Katolik mulai
menyadari besarnya represi yang terjadi. Komite Pro-Paz (Pro Perdamaian)
dibentuk untuk menampung laporan dan kesaksian tentang orang hilang, namun komite
ini hanya bertahan dua tahun karena diberangus oleh junta militer.
Atas inisiatif Kardinal Raúl Silva
Henriquez, uskup Santiago yang lantang menyerukan penentangannya atas
kediktatoran militer Pinochet, dibentuklah lembaga baru yang sepenuhnya berada
di bawah wewenang Gereja Katolik, bernama Vicaría de la Solidaridad (Vikariat Solidaritas). Meletakkannya di
bawah lembaga keuskupan dan dengan demikian tunduk pada hukum ekumenis Gereja
Katolik Roma adalah taktik agar lembaga ini tidak akan pernah bisa dibubarkan
oleh penguasa.
Vikariat Solidaritas pun menjadi
tempat berkumpulnya para aktivis HAM dan menjadi satu-satunya organisasi yang
berani dengan lantang menyerukan pelanggaran HAM di Cile semasa kediktatoran
militer. Selain itu, Vikariat juga berusaha mencari jalan keluar bagi kaum ibu
untuk memecahkan masalah finansial dan emosional mereka setelah mereka terpaksa
harus menjadi “kepala keluarga.”
Jahit-menjahit menjadi salah satu
pilihan utama kaum ibu untuk mencari sedikit uang. Vikariat pun membentuk
bengkel-bengkel kerja agar para ibu ini bisa bekerja sambil tetap mengasuh
anggota keluarga yang masih kecil, juga menjadi wadah untuk saling berbagi
cerita dan informasi tentang anggota keluarga mereka yang dihilangkan paksa.
Dari konteks sosial inilah, dari
penindasan dan kesusahan hidup, lahirlah sebuah seni sulam khas Amerika Latin
yang dipakai untuk melestarikan ingatan akan korban dan melawan militerisme: arpillera. Arti sesungguhnya adalah
“kain goni”, namun praktik pembuatan arpillera
di Cile telah mengubah artinya menjadi “kain perlawanan.”
Awalnya sebagai curahan perasaan, arpillera pun menjadi potongan kain yang
berkisah, memberi kesaksian tentang apa yang dialami para perempuan Cile.
Vikariat Solidaritas mulai menjual hasil karya ibu-ibu ini kepada orang-orang
asing yang menyelundupkannya ke luar negeri, dan cerita-cerita mereka pun
akhirnya beredar ke dunia internasional—cerita tentang penghilangan paksa,
kerinduan, cinta, perdamaian, dan harapan akan keadilan.
“Saya gambarkan gedung hancur, rumah
porak poranda, seperti rumah saya sendiri sejak hilangnya putra dan menantu
saya,” kata Irma Muller, salah satu pendiri bengkel arpillera pertama. Karyanya berikut ini dibuat pada 1976,
menggambarkan bagaimana putranya, Jorge, dan menantunya diciduk tentara saat
sedang berjalan-jalan. Perempuan dengan rok panjang yang dibuat dengan kain
hitam seperti sosok para tentara itu, yang menampakkan sikap seperti sedang
melaporkan Jorge dan istrinya, adalah Flaca Alejandra, yang menjelang akhir
1990an membuat pengakuan publik tentang kerjanya di polisi rahasia.
Karya Irma Muller tentang penangkapan anak dan menantunya |
Violeta Morales, salah seorang
anggota tertua bengkel kerja ini dan saudara perempuan dari salah seorang desaparecido, berkata, “Saya membuat arpillera karena ada kejahatan ganda
yang harus saya kecam: penculikan anak saya dan saudara saya. Saya bergabung di
sini untuk terus berjuang agar kebenaran bisa diketahui karena luka-luka saya
masih menganga.” Karya Violeta berikut ini yang dibuat pada 1970an memasang foto
saudaranya yang hilang, Newton Morales, langsung pada kain—sebuah teknik yang
banyak dipakai untuk mengenang seseorang yang dihilangkan:
Violeta Morales menjahitkan foto Newton Morales, saudara laki-lakinya yang hilang, dalam arpillera-nya. |
Ibunda Violeta Morales juga
membuat arpillera berikut ini yang
menggambarkan para perempuan menarikan la
cueca sola. La cueca adalah tarian populer rakyat Cile yang ditarikan
berpasang-pasangan, namun karena orang laki-laki mereka kini tiada, maka mereka
pun menarikannya sendirian (la cueca sola inilah yang mengilhami Sting menuliskan lagunya "They Dance Alone"). Bisa dilihat bagaimana si perempuan menyematkan foto pasangannya yang hilang di bajunya.
Pertanyaan dan gugatan “¿Dónde
están?” (“Di mana mereka?”) menjadi tema yang sering muncul dalam arpillera, seperti bisa kita lihat dalam
tiga karya berikut:
Gambaran demo pada Hari Perempuan Internasional 1984 |
Kini tak ada lagi bengkel-bengkel arpillera di Cile. Dipulihkannya
demokrasi pada 1989 membuat Vikariat Solidaritas menganggap kerjanya rampung.
Dan tanpa naungan Gereja, bengkel-bengkel ini pun tutup pada 1992. Tapi para
pembuat arpillera tetap melajutkan
kerja mereka secara independen, karena mereka tahu tugas belum selesai dan
sejarah tetap harus dituliskan.
Terbongkarnya kuburan-kuburan
massal di Cile pada 1991, disusul dengan penelitian yang mengungkapkan para
korban tewas itu telah disiksa dengan brutal, ternyata tak melahirkan suatu
keadilan bagi ibu-ibu ini. Para penyiksa masih bisa hidup merdeka dan
berkeliaran dengan bebas, tanpa pengadilan dan tanpa hukuman. Jenderal Pinochet
memang sempat diadili di Inggris, namun bebas dengan alasan kesehatan. Dan
sekembalinya ke Cile pada 2000, Kongres malah menghadiahinya status “mantan
presiden,” yang membuatnya kebal secara hukum dari tuntutan apapun.
Persis dengan kita di sini. Komnas
HAM telah membuat laporan rinci tentang pelanggaran HAM selama 1965, film The Act of Killing menyadarkan kita
bahwa para pembunuh dari masa-masa itu hidup bebas di sekitar kita, lalu Tempo menindaklanjutinya dengan
reportase atas para jagal lainnya. Namun kekuasaan mementahkan itu semua.
Kejaksaan Agung terang-terangan menolak menindaklanjuti laporan Komnas HAM.
Dengan dalih “rekonsiliasi”, pemerintah
kedua negara sepertinya ingin menciptakan citra negara yang telah damai tanpa
punya masa lalu yang begitu bersimbah darah. Namun para arpilleristas di Cile tahu rekonsiliasi tidak akan bisa terjadi
tanpa pengungkapan kebenaran dan pengadilan. Karena itulah mereka tak henti berkarya,
memadukan potongan-potongan kain perca dan menusukkan benang jahit mereka—untuk
berbagi kisah, untuk memberi kesaksian bagi generasi mendatang.
Arpillera yang menggambarkan hukuman mati sewenang- wenang di Stadion Nasional pada 1973 |
Ijin share ya, Om..
BalasHapus- Manshur Zikri
silakan Zik
BalasHapusFilm nya pernah diputar di Metro-TV. Dan lagu Sting "Dance Alone" dedikasikan untuk mereka
BalasHapushttps://www.youtube.com/watch?v=MS_bN5ECJTI
Why are these women here dancing on their own?
Why is there this sadness in their eyes?
Why are the soldiers here
Their faces fixed like stone?
I can't see what it is they despise
They're dancing with the missing
They're dancing with the dead
They dance with the invisible ones
Their anguish is unsaid
They're dancing with their fathers
They're dancing with their sons
They're dancing with their husbands
They dance alone
They dance alone
It's the only form of protest they're allowed
I've seen their silent faces scream so loud
If they were to speak these words
they'd go missing too
Another woman on the torture table
what else can they do
They're dancing with the missing
They're dancing with the dead
They dance with the invisible ones
Their anguish is unsaid
They're…