Jumat, 23 November 2012

Don Kisot atau Don Kihote?


Sebagai karya klasik, bisa dipastikan banyak pembaca di Indonesia tahu mengenai (meski belum tentu membaca) El ingenioso hidalgo don Quixote de la Mancha atau sering disingkat Don Quxiote, novel karangan Miguel de Cervantes Saavedra yang terbit pertama kali pada 1605. Dalam survei yang disebar di kalangan para penulis dunia tahun 2002, Don Quixote bahkan menduduki peringkat pertama “karya sastra terbaik sepanjang masa.” Namun, yang tidak banyak diketahui orang adalah pelafalannya yang benar. Don Quxiote seringkali dibaca “don Kisot”, padahal semestinya adalah “don Kihote” (dengan e seperti pada “tempe”). Bagaimana salah kaprah ini terjadi?

Saya kira ada dua penyebabnya: Pertama, dalam bahasa Indonesia “x” memang dibaca “ks” dan bukan “h”, sehingga otomatis orang mengidentikkan “x” pada Quixote sebagai “s”. Kedua, Abdul Moeis ikut “bertanggungjawab” mempopulerkan salah kaprah ini melalui terjemahannya Don Kisot de la Mancha, yang terbit pertama kali pada 1933.

Don Kisot terjemahan Abdul Moeis
(cetakan ketiga, 1955)
Meski bukan versi utuh (hanya 359 halaman, sementara lengkapnya bisa dua setengah kali lipat itu), terjemahan Abdul Moeis terbitan Perpustakaan Perguruan Kem. P.P. dan K. ini adalah terjemahan asyik yang mampu menangkap kekocakan dan greget novel ini dengan baik. Namun memang gaya bahasa dan kosakata arkaisnya tentu akan membuat generasi masa kini mengernyitkan dahi saat membacanya. Sayangnya buku ini tak pernah dicetak lagi sejak 1960an.

Pertanyaannya: mengapa Abdul Moeis menerjemahkannya sebagai Kisot dan bukan Kihote? Apakah ia tidak tahu pelafalannya yang benar? Sepertinya kok mustahil, melihat luasnya pengetahuan dan bacaannya akan sastra dunia. Saya lebih menduga Kisot dipilih Abdul Moeis secara sengaja, dengan dipengaruhi oleh rujukan yang dipakainya saat menerjemahkan.

Tidak ada keterangan pasti dari bahasa manakah Abdul Moeis menerjemahkan Don Kisot. Dugaan awal saya dari bahasa Belanda, sesuai dengan konteks kolonial saat itu, namun ilustrasi yang menghiasi halaman-halaman isi buku edisi Indonesia itu adalah grafis karya H. Pisan berdasarkan gambar Gustave Doré. Ilustrasi ini berasal dari edisi Perancis tahun 1863, L'ingénieux hidalgo don Quichotte de la Manche, terjemahan Louis Viardot. Jadi, agak bisa dipastikan terjemahan Abdul Moeis memakai terjemahan Perancis tersebut sebagai landasan kerjanya. Padahal, Viardot memperanciskan “don Quixote” sebagai “don Quichotte”, yang dibaca “don Ki-syot”.

Pelafalan dengan s juga dipakai dalam penerjemahan ke bahasa Italia, “Don Chisciotte”, yang dibaca “Don Ki-syot-te”. Persoalan agak lebih pelik untuk bahasa Inggris. Saking terkenalnya tokoh ini, pada 1718 don Quixote masuk dalam kosakata bahasa Inggris sebagai kata sifat quixotic (“foolishly impractical especially in the pursuit of ideals,” menurut definisi Merriam-Webster), serta quixotical dan quixotically. Namun, sekalipun penutur Inggris melafalkan “don Quixote” sesuai pelafalan Spanyolnya “don Ki-ho-te”, “quixotic” justru mereka lafalkan “kwik-so-tik” dan bukan “ki-ho-tik”.

Itulah sebagian dari keragaman cara melafalkan don Quixote. Dan saya kira ini jugalah yang menjadi pertimbangan Abdul Moeis untuk tak segan-segan mengindonesiakannya menjadi Don Kisot. Dan itulah yang terwariskan ke kita hingga kini.