Kamis, 08 September 2011

Saat Maestro Membaca Maestro, Sebelum “Lo. Gue. End.”

García Márquez: historia de un ­deicido
Mario Vargas Llosa
Barcelona: Barral Editores, 1971


Gabriel García Márquez. Mario Vargas Llosa. Keduanya penulis besar Amerika Latin. Sama-sama dikagumi dan disegani dengan caranya masing-masing. Keduanya meraih Hadiah Nobel. Tanpa mereka sastra Amerika Latin, bahkan sastra dunia, takkan menjadi seperti adanya kini. Keduanya pernah berteman akrab, sangat akrab malah, sampai-sampai García Márquez menjadi bapak baptis anak Vargas Llosa. Tapi pada 1976, persahabatan itu bubar begitu saja setelah keduanya beradu jotos di sebuah bioskop di Mexico City. Kalau kata ungkapan populer sekarang ini: “Lo. Gue. End.”

Semenjak itu keduanya tak pernah lagi bertegur sapa. Seperti menjadi kesepakatan diam-diam antar penulis Kolombia dan penulis Peru itu untuk tidak mengomentari karya satu sama lain. Uniknya, dalam pengamatan saya, keduanya masih sering menyinggung topik-topik yang mirip, dengan gaya dan caranya masing-masing. García Márquez menelisik profil fisik dan psikologis seorang diktator dalam El otoño del patriarca. Tentu saja dengan realisme magisnya yang khas itu. Lalu Vargas Llosa seakan merealiskan karya tersebut melalui La fiesta del chivo, dengan memberi gambaran akurat yang sangat presisi tentang kediktatoran sambil menyiangi segala realisme magis García Márquez yang kadang lebay itu.

Permusuhan keduanya menjadi selegendaris persahabatan mereka sebelumnya. Koran Inggris The Independent menjulukinya “the longest feud in contemporary letters”—salah satu perseteruan terlama dalam kancah sastra (meski mungkin tak ada hubungannya dengan sastra atau paham sastra itu sendiri), sebagaimana permusuhan Salman Rushdie vs. John Le Carré atau Paul Theroux vs. V.S. Naipaul. Kritikus Ilan Stavans mencirikan keduanya sebagai “nemesis” atau musuh bebuyutan. Yang paling membuat penasaran adalah: keduanya sama-sama bungkam tentang pokok pangkal perkelahian mereka, baik kepada pers, teman-teman dekatnya, atau para penggemar. Orang hanya bisa menduga-duga.

Sebagian berteori ini ada kaitannya dengan paham politik mereka. García Márquez, yang menganggap diri “kiri”, bersetia pada Castro dan Revolusi Kuba sampai pada detik ini. Sementara Vargas Llosa, sesudah pengadilan atas para penyair dan penulis Kuba yang dicap kontrarevolusioner pada 1970an, menganggap Castro tak lebih dari diktator militer seperti lain-lainnya dan sosialisme tak hadir dalam Revolusi Kuba. Pandangan politiknya pun, terutama sesudah novel Historia de Mayta (1984), semakin liberal.

Pada 1997, Dasso Saldivar, penulis biografi García Márquez. El Viaje a la Semilla: La Biografía, membuat klaim menghebohkan bahwa pertikaian kedua penulis ini berpangkal dari soal asmara dan selingkuh. Konon, si tampan Mario Vargas Llosa jatuh cinta pada seorang pramugari Swedia dan bahkan sempat pindah ke Stockholm meninggalkan Patricia, istrinya. Patricia meminta nasehat ke García Márquez, dan ia pun menganjurkan agar Patricia menceraikan Mario. Dan konon pula, García Márquez juga memanfaatkan situasi kacau hati istri sahabatnya itu (kasarnya, “ngelaba”).

Sebuah karikatur menyebut inilah "boom"
sastra Amerika Latin sesungguhnya.
Klaim ini kontroversial tentunya karena buku Saldivar adalah satu-satunya yang memuat kisah ini (saya belum pernah membacanya dari buku-buku lain tentang hidup dan karya kedua penulis ini). Saya pribadi cenderung meragukan cerita Saldivar, antara lain karena sumber-sumbernya yang tak disebutkan jelas, hanya sebatas “algunas fuentes cercanas al colombiano” (beberapa sumber yang dekat dengan si penulis Kolombia itu) atau “las fuentes cercanas al peruano” (sumber-sumber yang dekat dengan si penulis Peru itu). Tentu saja Saldivar punya hak jurnalistik untuk merahasiakan sumbernya dalam perkara yang sensitif, tapi ini membuat bukunya memuat terlampau banyak konon dan jadi seperti gosip. Apalagi, biografi otoritatif García Márquez garapan Gerald Martin, García Márquez: A Life (hasil riset selama 17 tahun dan wawancara lebih dari 300 orang, yang aslinya memuat 2.000 hlm draft dan 6.000 lebih catatan kaki) tak sedikit pun menyinggung adanya kemungkinan motif “teman makan teman” di balik insiden ini. Martin lebih condong pada perspektif politik untuk melihatnya. Biografi Saldivar juga hanya terbit dalam bahasa Spanyol dan tak diterjemahkan ke dalam bahasa lain manapun, barangkali juga karena penerbit-penerbit asing menganggap ceritanya terlampau spekulatif. Namun demikian, baik García Márquez maupun Vargas Llosa juga tak memberikan bantahan terbuka terhadap cerita Saldivar, dan spekulasi ini pun tak pernah dijernihkan.

Entah motif mana yang benar, yang jelas terjadi dan disaksikan banyak orang adalah begitu Vargas Llosa bertemu García Márquez di sebuah bioskop di Meksiko pada 1976, dalam acara pemutaran perdana film karya René Cardona La Odisea de los Andes, ia langsung melayangkan tinjunya ke muka García Márquez. Wajah García Márquez berdarah, dan aneh bin ajaib bagai dalam novel-novel realis magisnya, seorang teman lari ke toko daging dekat situ, mengambil seiris daging, lalu menaruhnya di mata García Márquez yang lebam sebagai kompres!

Seorang fotografer sempat memotret García Márquez dengan mata kiri babak belur, namun foto itu sendiri baru dilansir 30 tahun sesudah peristiwa, dalam koran kiri Meksiko La Jornada edisi 6 Maret 2007, saat pers Amerika Latin sibuk memberitakan peringatan 80 tahun García Márquez.

La Jornada, 6 Maret 2007. García Márquez dengan mata lebam.
(foto: Mario Guzman/EFE)

Itulah kisah yang menjadi latar buku yang hendak saya ulas sesungguhnya, García Márquez: historia de un ­deicido (García Márquez: Sejarah Sang Pembunuh Allah). Buku ini aslinya ditulis Vargas Llosa pada awal 1970an sebagai disertasi doktoralnya di Universitas Complutense, Madrid, berjudul García Márquez: lengua y estructura de su obra narrativa (García Márquez: Bahasa dan Struktur Karya Sastranya), tentu saat keduanya masih akur. Vargas Llosa lulus dengan predikat cum laude sesudah persidangan 25 Juni 1971. Tahun itu pula disertasi ini dibukukan oleh penerbit Barral di Spanyol setebal hampir 700 hlm. Boleh jadi ini adalah analisa mendalam pertama pada kekaryaan García Márquez dan terutama Cien años de soledad (Seratus Tahun Kesunyian) yang menghebohkan khazanah sastra baru beberapa tahun sebelumnya.

Sesudah perkelahian mereka, Vargas Llosa tak pernah menyebut-nyebut sekali pun buku ini lagi dan menolaknya dicetak ulang. Itu yang menjadikan buku ini sangat langka. Beberapa toko buku bekas online bahkan membandrol harganya hingga AS$600. Pada 2008, untuk memperingati 80 tahun García Márquez dan 40 tahun Seratus Tahun Kesunyian, dicetaklah edisi khusus Seratus Tahun Kesunyian dengan pengantar dari Vargas Llosa. Koran-koran pun heboh mengabarkan bahwa keduanya telah rujuk. Agen mereka, Carmen Balcells, buru-buru merilis pernyataan pers bahwa Vargas Llosa tidak menulis pengantar baru, namun mengizinkan sebagian isi García Márquez: historia de un ­deicido dinukil sebagai pengantar edisi khusus ini. Hingga kini Vargas Llosa tetap tak mau menerbitkannya ulang sebagai buku utuh tersendiri, meski ia tak bisa menolak ketika semua karya lengkapnya hendak diformat dan dicetak ulang dalam kumpulan Obras completa.

Disertasi ini terbilang penting, karena di sini Vargas Llosa bukan cuma membedah García Márquez, namun mengembangkan rintisan teorinya sendiri tentang novel, yang nanti disebut sebagai “total novel”.

Novel adalah sebuah dunia yang utuh, dan kerja seorang novelis adalah membangun dunia itu, realitas itu, dengan dasar –sadar atau tidak—ketidakpuasan terhadap dunia yang dilakoninya sekarang. Karena itulah dalam dunia yang dibangunnya ia menggantikan kekuasaan Allah (dalam teologi, deicido merujuk pada tindakan membunuh Tuhan atau keilahian):

Escribir novelas es un acto de rebelión contra la realidad, contra Dios, contra la creación de Dios que es la realidad. Es una tentativa de corrección, cambio o abolición de la realidad real, de su sustitución por la realidad ficticia que el novelista crea. […] La raíz de su vocación es un sentimiento de insatisfacción contra la vida; cada novela es un deicidio secreto, un asesinato simbólico de la realidad.

“Menulis novel adalah sebuah tindakan pemberontakan terhadap realitas, terhadap Allah, terhadap ciptaan Allah yang adalah realitas. Inilah upaya korektif, mengubah atau menghapus realitas nyata, menggantikannya dengan realitas fiktif gubahan si novelis. […] Akar panggilannya adalah rasa tidak puas terhadap kehidupan; setiap novel adalah pembunuhan Tuhan secara diam-diam, pembunuhan simbolik atas realitas.”

Paparan Vargas Llosa separuh biografis dan separuh analisa tekstual. Pada halaman-halaman awal, Vargas Llosa membingkai realisme magis García Márquez ke dalam realitas sosialnya, yakni imajinasi komunal masyarakat tropis Amerika Latin yang cenderung melebih-lebihkan kisah sejarah dan gambaran-gambaran tertentu (“la imaginación colectiva —sobre todo la de una comunidad «tropical»— tiende a magnificar el pasado histórico y a fijarlo en ciertas imágenes”). Misalnya bagaimana pada masa boom karet di Amazon, para penyadap kulit putih konon menyalakan cerutu mereka dengan membakar uang kertas. Ini gambaran yang berlebihan namun melekat di benak masyarakat dan dituturkan dari generasi ke generasi justru karena berlebihan itu. Teknik inilah yang kemudian dipakai García Márquez dalam Seratus Tahun Kesunyian: berbohong dan menggombal dengan luar biasa sampai orang yakin. García Márquez sendiri selalu berkata bahwa butuh bertahun-tahun baginya mencari teknik bertutur yang tepat untuk Seratus Tahun Kesunyian. Ia selalu ingin meniru cara neneknya mendongeng. Ia tahu cerita neneknya tak ada yang benar secara realitas, namun bisa membuat pendengarnya percaya.

Karena itulah ketika Vargas Llosa meminta García Márquez menceritakan proses kreatifnya sejak karyanya yang pertama, García Márquez justru memulainya dari Seratus Tahun Kesunyian:

GM: Begini, aku mulai menulis Seratus Tahun Kesunyian ketika berusia enam belas tahun...
VLL: Mengapa kita tidak mulai dari buku pertamamu? Yang paling pertama.
GM: Yang pertama justru Seratus Tahun Kesunyian [...] Aku sendiri tidak percaya akan apa yang aku ceritakan, maka aku pun menyadari bahwa kesulitan itu semata-mata teknis, yakni aku tidak memiliki unsur-unsur teknis dan bahasa untuk membuatnya kredibel, bisa dipercaya. Aku pun pergi menggarap empat buku lain sementara waktu itu. Kesulitan besarku selalu adalah menemukan nada dan bahasa agar bisa dipercaya.

Menulis novel, bagi Vargas Llosa, merupakan ramuan antara momok-momok dalam hidup sang penulis dengan tema yang hendak diangkat dalam karyanya (los ‘demonios’ de su vida son los ‘temas’ de su obra). Momok itu bisa berupa sosok manusia, peristiwa, impian, kehilangan dlsb yang merongrong hidup si penulis, yang berusaha dienyahkannya melalui kata-kata dan imajinasi dengan membentuk sebuah realitas baru dalam novel.

Bagi Vargas Llosa –berbeda dengan kebanyakan kritikus—momok historis sesungguhnya yang menghantui karya-karya García Márquez adalah soal “kekerasan.” Tema-tema sosial politik, sekalipun sentral dalam karya-karyanya, justru tampak tersisih dari latar depan, muncul dengan cara yang berkelit.

Vargas Llosa juga tak terjebak dalam idiom-idiom pasaran untuk menyebut García Márquez itu “realis magis” dsb. Ia lebih tertarik membedah metode apa yang dipakai García Márquez untuk mencapai taraf realitas sedemikian (artinya: pembaca bisa memercayai sesuatu yang mustahil dipercayai)?

¿En qué consiste este método? En el dominio del lenguaje, en un estilo despojado al máximo de elementos subjetivos, y que, en las antípodas del de Faulkner, aspira a la transparencia total: su sencillez de vocabulario, su exactitud en la mención del objeto, la lógica de su sintaxis, el verismo de su diálogos, su carácter visual, tienden a ocultar su presencia, a disimular su función de creador y distribuidor de la materia narrativa, a hacer sentir al lector que esta materia le llega directamente, sin pasar por las palabras.

“Apakah isi metode ini? Penguasaan akan bahasa, melucuti gaya semaksimal mungkin dari elemen-elemen subyektifnya, dan berseberangan telak dengan Faulkner, bertujuan mencapai transparansi total: kesederhanaan kosakata, keeksakan dalam menyebut obyek, logika sintaksis, keriilan dialog-dialognya, karakter visualnya, yang cenderung menyembunyikan kehadirannya, menutupi perannya sebagai pencipta dan penyebar materi naratif, membuat pembaca merasa materi itu datang secara langsung tanpa melalui kata-kata.”

Memang, karena saya sudah membaca buku-buku Vargas Llosa lainnya yang “berteori” tentang genre novel, seperti La verdad de las mentiras (Benarnya Kebohongan), dan terutama seri kuliahnya, The Writer’s Reality –buku-buku yang ditulis jauh sesudah disertasi doktoralnya ini ketika Vargas Llosa sudah semakin matang dan mapan sebagai novelis—maka membaca membaca García Márquez: historia de un ­deicido ini terasa “rada mentah”. Namun bagai sushi, yang mentah itu justru menyegarkan: kita dapati di sini seorang maestro novel mengupas maestro novel lainnya, dengan cara pandangnya sebagai novelis, bukan kritikus sastra. Itu yang membuat buku ini berbeda dengan kajian-kajian akademis lainnya tentang García Márquez dan Seratus Tahun Kesunyian.