Terjemahan ini pertama kali
dimuat di Subcomandante Marcos, Bayang Tak Berwajah: Dokumen Perlawanan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista, terjmh. dan kompilasi
Ronny Agustinus (Yogyakarta: Insist
Press, 2003), hlm. 255-261.
Selang tahun keduabelas EZLN, puluhan kilometer, dan jarak maha jauh
dari Peking, 12 orang perempuan berkumpul tanggal 8 Maret dengan wajah-wajah
terhapus…
1. Kemarin…
Seraut wajah terbalut hitam masih menyisakan mata dan beberapa helai
rambut yang terjuntai dari kepala. Dalam tatapan itu terbersitlah seorang yang
mencari. Karaben M-1 digenggam di depan, dalam kuda-kuda yang dinamakan
“penyerangan”, dan sepucuk pistol tersarung di pinggang. Di sisi kiri dada
perempuan itu, tempat harapan dan keyakinan bersemayam, tersematlah pangkat
Mayor Infantri pasukan tentara pemberontak, yang pada subuh 1 Januari 1994
menamai diri mereka Tentara Pembebasan Nasional Zapatista. Di bawah komandonya,
berdiri sepasukan pemberontak yang menduduki San Cristóbal de las Casas, bekas
ibukota negara bagian Chiapas, Meksiko Tenggara. Alun-alun San Cristóbal
senyap. Hanya lelaki dan perempuan pribumi yang dikomandoinyalah yang jadi
saksi saat Mayor itu, seorang perempuan pemberontak suku Tzotzil, merebut
bendera nasional dan memberikannya kepada komandan-komandan pergerakan, mereka
yang disebut “Komite Klandestin Revolusioner Adat”. Di radio, sang Mayor
berucap: “Bendera telah kami selamatkan. 10-23 ganti.” 1 Januari 1994, pukul
02.00 waktu tenggara, atau pukul 01.00 tahun baru di belahan dunia lainnya, dan
ia telah menunggu 10 tahun lamanya untuk bisa mengucapkan kalimat tersebut. Ia
tiba di pegunungan rimba raya Lacandon bulan Desember 1984. Belum genap 20
tahun usianya, namun sekujur tubuhnya telah membawa bekas-bekas riwayat penindasan
penduduk adat. Bulan Desember 1984, perempuan coklat ini berkata “Cukup
sudah!”, namun ia mengucapkannya begitu lirih sampai cuma ia seorang yang
mendengar. Bulan Januari 1994, perempuan ini beserta sekian ribu penduduk adat
bukan cuma mengucapkan, namun meneriakkan lantang-lantang “Cukup sudah!”,
sampai seluruh dunia mendengar mereka…
Di luar San Cristóbal, sekelompok
pemberontak lainnya yang dikomandoi seorang pria –satu-satunya yang berkulit
terang dan berhidung besar di antara penduduk pribumi yang menyerbu kota—baru
saja rampung mengambil alih markas besar kepolisian. Dari penjara yang
tersembunyi itu dibebaskanlah orang-orang pribumi yang menghabiskan malam tahun
baru di bui akibat kejahatan terberat di wilayah tenggara Chiapas: jadi orang
miskin. Eugenio Asparuk, suku Tzetzal, adalah nama Kapten pemberontak yang
bersama-sama si hidung besar mengawasi penggeledahan dan penyitaan markas besar
tersebut. Saat pesan sang Mayor tiba, Kapten pemberontak Pedro, suku Chol,
telah selesai mengambil alih markas besar Polantas Federal dan mengamankan
jalan raya yang menghubungkan San Cristóbal dengan Tuxtla Gutierrez. Kapten
pemberontak Ubilio, suku Tzeltal, telah menguasai jalan masuk sisi utara kota
berikut simbol uluran tangan pemerintah pada masyarakat adat, Institut Adat
Nasional. Kapten pemberontak Guillermo, suku Chol, mengambil posisi di titik
tertinggi kota. Dari situ ia memberi aba-aba dengan tatapannya. Rasa kaget yang
tercekat mengintip dari balik jendela rumah-rumah dan gedung-gedung. Kapten pemberontak
Gilberto dan Noe, masing-masing suku Tzotzil dan Tzeltal, tapi sama-sama
pembangkang, mengakhiri pendudukan markas besar kepolisian hukum negara bagian
lantas membakarnya sebelum berbaris mengamankan sisi kota yang mengarah menuju
barak-barak Zona Militer ke-31 di Rancho Nuevo.
Pukul 02.00 waktu tenggara, 1 Januari
1994, lima petinggi pemberontak, lelaki-lelaki pribumi, mendengar di radio
suara pimpinan mereka, seorang perempuan pribumi pemberontak yang berucap,
“Bendera telah kami selamatkan. 10-23 ganti.” Mereka mengulanginya pada pasukan
mereka, semua lelaki perempuan pribumi pemberontak, lantas menerjemahkan ucapan
berikut “Kita telah mulai…”
Di istana kotapraja, sang Mayor
mengorganisir posisi pertahanan guna melindungi orang-orang yang kini memerintah
kota—kota yang sekarang ada dalam kekuasaan pemberontak pribumi. Seorang
perempuan bersenjatalah yang melindungi mereka.
Di antara para komandan pemberontak ada
seorang perempuan imut, bahkan lebih imut ketimbang mereka yang di sekitarnya.
Seraut wajah terbalut hitam masih menyisakan mata dan beberapa helai rambut
yang terjuntai dari kepala. Dalam tatapan itu terbersitlah seorang yang
mencari. Senapan laras pendek kaliber 12 tergantung di punggungnya. Mengenakan
gaun tradisional perempuan San Andrés, Ramona turun gunung bersama seratus
lebih perempuan lainnya, menuju San Cristóbal di malam terakhir tahun 1993 itu.
Bersama Susana dan lelaki-lelaki adat lainnya ia adalah bagian dari komando
perang Indian yang pada tahun 1994 melahirkan Komite Klandestin Revolusioner
Adat - Komando Jenderal EZLN. Nantinya, Comandanta Ramona dengan imut tubuhnya
dan kecerdasannya akan mengejutkan pers internasional saat ia muncul di sela
Dialog Perdamaian pertama yang diselenggarakan di Katedral. Ia keluarkan dari
tas ranselnya, bendera nasional yang direbut sang Mayor tanggal 1 Januari itu.
Ramona tak tahu kapan, begitu pula kita, tapi dalam tubuhnya berdiam penyakit
yang menggerogoti dirinya dalam gigitan-gigitan lebar, yang meredupkan suara
dan tatapan matanya. Ramona dan sang Mayor, perempuan satu-satunya dalam
delegasi Zapatista yang tampil di hadapan dunia, untuk pertama kalinya
mencanangkan: “Demi segala niat dan tujuan kami telah mati, kami tak berarti
apa-apa.” Dengan ini mereka belum memperhitungkan segala jenis pelecehan dan
keterbelakangan. Sang Mayor menerjemahkan untuk Ramona pertanyaan para
wartawan. Ramona mengangguk dan mengerti, seakan-akan jawaban yang diminta
darinya telah ada di sana, dalam tubuh imut yang menertawakan bahasa Spanyol
dan perilaku wanita kota. Ramona tertawa seakan tidak tahu dirinya sedang
sekarat. Andaipun tahu, ia tetap tertawa. Sebelum ini ia tidak eksis bagi
siapapun, sekarang ia eksis, sebagai seorang perempuan, sebagai seorang
perempuan adat, sebagai seorang perempuan pemberontak. Sekarang Ramona hidup,
perempuan dari ras yang harus mati terlebih dulu untuk bisa hidup…
Sang Mayor mengawasi cahaya memenuhi
jalan-jalan San Cristóbal. Para prajuritnya mengorganisir pertahanan kota tua
Jovel dan perlindungan bagi para penduduknya yang sedang lelap tertidur,
orang-orang pribumi dan mestizo, yang sama-sama terkejut. Sang Mayor, perempuan
pribumi pemberontak ini telah menduduki kota mereka. Ratusan penduduk pribumi
bersenjata mengepung kota tua. Seorang perempuan bersenjatalah yang memimpin
mereka…
Sekian menit kemudian para pemberontak
menduduki Las Margaritas, sekian jam setelahnya pasukan pemerintah yang
mempertahankan Ocosingo, Altamirano, dan Chanal menyerah. Huixtan dan Oxchuc
direbut oleh sekelompok prajurit yang menuju ke arah penjara utama San
Cristóbal. Tujuh kota sekarang ada dalam genggaman kelompok pemberontak yang
tunduk pada 7 kata sang Mayor:
Perang demi kata-kata sekarang telah
dimulai…
Di tempat berbeda, para perempuan lainnya
yang sama-sama pribumi dan sama-sama pembangkang, telah menyusun ulang potongan
sejarah yang diberikan pada mereka. Potongan yang sampai tanggal 1 Januari 1994
itu selalu dibopong dalam kebisuan. Tak juga nama ataupun rupa mereka punya:
IRMA. Kapten Infantri Pemberontak. Irma, perempuan suku
Chol, membawahi sepasukan gerilya yang merebut alun-alun Ocosingo tanggal 1
Januari 1994 itu. Dari salah satu sisi taman kota, bersama tentara-tentara yang
dikomandoinya, ia menyerang garnisun yang terletak dalam istana kotapraja
sampai mereka menyerah. Lantas Irma menggerai kepang rambutnya. Rambut itu
terjatuh ke pinggang seakan berkata “inilah aku, yang baru dan merdeka”. Rambut
Kapten Irma bersinar, dan terus bersinar walau malam telah menyelimuti Ocosingo
yang ada dalam genggaman kaum pemberontak…
LAURA. Kapten Infantri Pemberontak. Suku Tzotzil. Gigih
dalam perang dan gigih dalam belajar-mengajar. Laura menjadi kapten dalam unit
yang beranggotakan lelaki semua. Bukan cuma itu, merekapun semuanya anggota
baru. Dengan sabar, sesabar gunung yang melihatnya tumbuh dewasa, Laura
mengajar dan memberi perintah. Kalau lelaki-lelaki yang dibawahinya itu ragu,
ia memberi contoh dengan mengerjakannya sendiri. Tak ada yang menggotong beban
dan berjalan kaki sebanyak dia. Setelah penyerbuan Ocosingo, ia memerintahkan
unitnya mundur. Begitu teratur dan beres. Wanita berkulit terang ini jarang
bicara, tapi ia menggenggam di tangannya sepucuk karaben yang direbutnya dari
seorang polisi yang memandang seorang wanita dusun tak lebih dari sosok untuk
dihina atau diperkosa. Setelah menyerah, polisi itu kabur dalam celana
kolornya, persis mereka lainnya yang sampai hari itu percaya bahwa wanita cuma
berguna di dapur atau untuk dihamili…
ELISA. Kapten Infantri Pemberontak. Ibarat piala perang, ia
membawa dalam tubuhnya pecahan-pecahan mortir yang tertanam selamanya di situ.
Ia sedang mengatur pasukannya tatkala barisan pemberontak terputus dan sebuah
bola api menggulung pasar Ocosingo dengan darah. Kapten Benito terluka dan
kehilangan matanya. Sebelum pingsan, ia sempat memberi penjelasan dan aba-aba:
“Aku kena, Kapten Elisa ambil alih”. Kapten Elisa sendiri telah terluka saat ia
berhasil membawa segerombolan prajurit keluar dari pasar itu. Kalau Kapten
Elisa, perempuan suku Tzeltal itu memberi perintah, suaranya cuma menggumam
lirih… tapi tiap orang patuh…
SILVIA. Kapten Infantri Pemberontak. Ia terperangkap 10
hari di Ocosingo yang telah jadi sarang tikus sejak tanggal 2 Januari itu.
Menyamar sebagai warga negara biasa, ia berlari tergesa-gesa sepanjang kota
yang penuh berisi tentara federal, tank, dan meriam. Di satu pos penjagaan
militer ia diberhentikan. Tapi segera saja mereka membolehkannya lewat. “Tak
mungkin wanita semuda dan selembut itu anggota pemberontak”, kata
tentara-tentara itu saat melihatnya pergi. Sesudah bergabung kembali bersama
unitnya di pegunungan, perempuan suku Chol ini tampak murung. Dengan
hati-hati, aku tanya kenapa gelak tawanya berkurang. “Di Ocosingo situ,”
jawabnya dengan kepala tertunduk, “di Ocosingo kutinggalkan ranselku berisi
semua kaset lagu yang telah kukoleksi, kini kita tak punya apa-apa.” Senyap,
kepedihannya tergolek di tangannya. Aku tak berkata apa-apa, kusampaikan
belasungkawaku dan kulihat dalam perang tiap-tap orang kehilangan apa yang
paling ia cintai…
MARIBEL. Kapten Infantri Pemberontak. Ia
mengambil alih stasiun radio Las Margaritas saat unitnya menyerbu kotapraja itu
tanggal 1 Januari 1994. Sembilan tahun penuh ia hidup di pegunungan untuk bisa
duduk di depan mikrofon dan mengucapkan: “Kami ini hasil dari 500 tahun
perjuangan; pertama kami berjuang melawan perbudakan…” Transmisinya tak
berjalan baik karena alasan-alasan teknis, dan Maribel pindah posisi untuk
melindungi sisi belakang unitnya yang bergerak menuju Comitan. Berhari-hari
sesudahnya ia bertugas sebagai penjaga tawanan perang, Jenderal Absalon
Castellanos Dominguez. Maribel suku Tzeltal dan umurnya belum genap 15 tahun
saat ia tiba di pegunungan Meksiko Tenggara. “Masa terberat dalam 9 tahun itu
adalah saat aku harus mendaki bukit pertama yang dijuluki ‘bukit akhirat’,
sesudah itu semuanya gampang,” kata perwira pemberontak ini. Tatkala Jenderal
Castellanos Dominguez dikembalikan ke pemerintah, Kapten Maribel adalah
pemberontak pertama yang melakukan kontak dengan pemerintah. Komisaris Manuel
Camacho Solis mengulurkan tangan padanya dan bertanya berapa umurnya. “502,”
jawab Maribel, yang menghitung tahun keseluruhan sejak pemberontakan dimulai…
ISIDORA. Infantri Pemberontak. Isidora pergi ke
Ocosingo sebagai tamtama di hari pertama bulan Januari itu. Dan sebagai tamtama
Isidora meninggalkan Ocosingo yang bermandi api, setelah berjam-jam lamanya
berjuang menyelamatkan unitnya, sekitar 40 orang lelaki yang terluka. Dia juga
menyimpan pecahan-pecahan mortir di lengan dan kakinya. Saat Isidora tiba di
unit perawatan untuk menyerahkan mereka yang terluka, ia meminta sedikit air
dan bangkit berdiri lagi. “Mau ke mana kau?” tanya mereka sambil mencoba
mengobati luka-luka yang merobek-melukisi wajahnya serta memerahkan seragamnya.
“Menjemput yang lain,” jawab Isidora sambil mengokang lagi. Mereka mencoba
menghentikannya tapi tak mampu. Tamtama Isidora bersikukuh ia harus kembali ke
Ocosingo menyelamatkan compañeros lainnya dari nada-nada kematian yang
dialunkan oleh mortir dan granat. Mereka sampai harus memenjarakannya untuk
menghentikannya. “Paling tidak saat aku dihukum aku tidak turun pangkat,” kata
Isidora sembari menunggu dalam kamar yang baginya tampak seperti kurungan.
Berbulan-bulan kemudian, saat mereka menganugerahinya bintang jasa yang
menaikkannya jadi perwira infantri, Isidora, seorang Tzeltal dan Zapatista,
menatap bintang itu terlebih dahulu lalu menatap komandannya, dan bertanya
seakan-akan ia sedang dihina “Kenapa?”… Tapi ia tidak menunggu jawabannya…
AMALIA. Letnan satu di unit rumah sakit. Amalia punya gelak
tawa tercepat di seluruh wilayah Tenggara Meksiko. Saat ia menjumpai Kapten
Benito tergeletak tak sadar bergenang darah, ia menyeretnya ke tempat yang
lebih aman. Ia menggendongnya di punggung dan membawanya keluar dari lingkaran
kematian yang mengitari pasar. Tatkala seseorang mengusulkan untuk menyerah,
Amalia, taklid akan darah Chol yang mengalir di nadinya, naik pitam dan mulai
membantah. Tiap orang menyimak, sekalipun di atas mereka ledakan-ledakan begitu
bengis dan peluru-peluru berdesingan. Tak seorang pun menyerah…
ELENA. Letnan di unit rumah sakit. Saat bergabung dengan
EZLN ia buta huruf. Di sana ia belajar membaca, menulis, serta apa yang disebut
obat-obatan. Dari mengobati diare dan menyuntikkan vaksin, ia kini menangani
mereka yang terluka di rumah sakit kecil yang sekaligus jadi rumah, gudang, dan
farmasi. Dengan jerih payah ia mengeluarkan cuilan-cuilan mortir yang dibawa
orang-orang Zapatista di tubuh mereka. “Ada yang bisa aku buang, ada yang
tidak,” kata Elena, suku Chol pemberontak, seolah-olah ia sedang membicarakan
kenangan dan bukan potongan-potongan logam…
Di San Cristóbal, pagi hari 1 Januari
1994 itu, ia bercakap dengan si hidung putih besar: “Seseorang baru saja ke
mari bertanya-tanya tapi aku tak paham bahasanya, barangkali Inggris. Entah
fotografer atau bukan tapi ia bawa kamera.”
“Aku segera ke sana,” kata si hidung
besar sambil merapikan topeng skinya.
Ke dalam kendaraan dibawa pulalah
senjata-senjata yang direbut dari markas polisi dan ia meluncur menuju pusat
kota. Mereka mengeluarkan senjata-senjata itu dan membagikannya kepada
penduduk-penduduk adat yang berjaga di seputar istana kotapraja. Orang asing
itu turis yang bertanya apakah ia bisa meninggalkan kota. “Tidak,” jawab si
topeng ski yang kelebihan hidung itu, “lebih baik kau kembali ke hotelmu. Kami
tak tahu apa yang bakal terjadi.” Turis itu pergi setelah meminta izin merekam
dengan kamera videonya. Seraya pagi datang, datang pulalah orang-orang yang
ingin tahu, wartawan-wartawan dan pertanyaan-pertanyaan. Si hidung besar
menjawab dan menjelaskannya pada penduduk setempat, turis, dan wartawan. Mayor
ada di belakangnya. Si topeng ski menjawab dan bercanda. Perempuan bersenjata
itu mengawasi di baliknya.
Seorang wartawan, dari balik kamera
televisi bertanya: “Dan siapa Anda?” “Siapa aku,” jawab si topeng ski ragu-ragu
seakan sedang melawan kantuk setelah malam berkepanjangan. “Ya,” desak si
jurnalis, “siapakah Anda ini, ‘Komandan Macan’ atau “Komandan Singa’?” “Bukan,”
jawab si topeng ski sambil mengucek matanya yang kini penuh berisi kejemuan.
“Jadi, siapa nama Anda?” tanya si wartawan sambil menyorongkan kamera dan
mikrofonnya. Si topeng ski berhidung besar itu menjawab “Marcos. Subcomandante
Marcos”… Di atas kepala kapal-kapal Pontius Pilatus mulai berdengung…
Sejak itulah, kisah tertibnya aksi
militer dalam pendudukan San Cristóbal mulai meremang. Terhapuslah fakta bahwa
seorang perempuan, seorang perempuan dusun pemberontaklah yang mengkomandoi
seluruh operasi. Peran serta semua perempuan dalam aksi-aksi lain tanggal 1
Januari itu, serta sepanjang 10 tahun jalan berliku lahirnya EZLN, jadi
dinomorduakan. Wajah-wajah di balik topeng-topeng ski jadi makin anonim saat
semua cahaya mengarah ke Marcos. Sang Mayor diam saja, ia terus menjagai sisi
belakang si hidung besar yang namanya sekarang tersohor ke seluruh dunia. Tak
seorang pun bertanya siapa namanya…
Subuh 2 Januari 1994, masih perempuan
yang sama itu jugalah yang memimpin penarikan mundur dari San Cristóbal untuk
berbalik ke pegunungan. Ia kembali ke San Cristóbal 50 hari setelahnya sebagai
bagian dari rombongan pengawal yang menjaga keamanan delegasi CCRI-CG dari EZLN
dalam Dialog di Katedral. Beberapa jurnalis perempuan mewawancarainya dan
menanyakan namanya. “Ana Maria, Mayor Pemberontak Ana Maria,” jawabnya dengan
tatapan matanya yang gelap. Ia tinggalkan Katedral dan menghilang sepanjang
sisa tahun 1994 itu. Seperti compañera-compañera lainnya, ia mesti
menunggu, ia mesti diam…
Tiba bulan Desember 1994, 10 tahun sejak
ia menjadi tentara, Ana Maria menerima tugas menyiapkan penerobosan blokade
militer yang dipasang pemerintah di sekeliling rimba raya Lacandon. Subuh 19
Desember, EZLN mengambil posisi di 38 kotapraja. Ana Maria mengkomandoi aksi di
kotapraja-kotapraja Altos di Chiapas. Duabelas perwira perempuan bersamanya
dalam aksi itu: Monica, Isabela, Yuri, Patricia, Juana, Ofelia, Celina, Maria,
Gabriela, Alicia, Zenaida, dan Maria Luisa. Ana Maria sendiri menangani
kotapraja Bochil.
Setelah penyebaran pasukan Zapatista,
perwira-perwira tinggi tentara federal memerintahkan diam seribu bahasa atas
bobolnya blokade, dan media massa menuliskannya sebagai aksi “propagandis” EZLN
belaka. Harga diri kaum federal sangat terluka: Zapatista sanggup lolos dari
blokade dan yang lebih menghina lagi, seorang perempuanlah yang mengkomandoi
unit yang menduduki pelbagai wilayah kotapraja. Jelas hal ini tidak bisa
diterima dan sejumlah besar uang harus dikucurkan agar kejadian ini tertutupi
selamanya.
Karena aksi-aksi tak sengaja para compañeros
bersenjatanya, serta aksi-aksi sengaja pemerintah, peran Ana Maria dan kaum
perempuan Zaptista memudar dan jadi tak terlihat…
2. Hari Ini
Aku hampir rampung menuliskan ini saat
seseorang lainnya tiba…
Doña Juanita. Setelah wafatnya Pak Tua Antonio, doña
Juanita membiarkan ritme hidupnya melambat selambat saat ia menjerang kopi.
Meski kuat secara fisik, doña Juanita mengabarkan bahwa ia akan mati. “Jangan
konyol, nek,” kataku, segan menatap matanya. “Kau ini…,” jawabnya, “kalau untuk
hidup kita mesti mati, maka tak satupun bisa menghalangiku mati, apalagi bocah
kurang ajar sepertimu,” berkata dan mengumpatlah doña Juanita, istri Pak Tua
Antonio, seorang perempuan pemberontak seumur hidupnya, dan seperti terlihat,
seorang pemberontak bahkan dalam menjawab panggilan mautnya…
Dari simpang lain blokade terlihatlah…
Ia. Ia tak punya pangkat militer, seragam, ataupun
senjata. Ia seorang Zapatista meski hanya ia seorang yang tahu. Ia tak punya
wajah ataupun nama, seperti layaknya Zapatista. Ia berjuang demi demokrasi,
kebebasan, dan keadilan, sama seperti Zapatista. Ia bagian dari apa yang
dinamakan EZLN “masyarakat sipil”. Ia orang tanpa partai, orang yang tak jadi
milik “masyarakat politik” yang tersusun atas aturan-aturan dan
pimpinan-pimpinan partai politik. Ia sebagian dari kerumitan itu, tapi bagian
sesungguhnya dari suatu masyarakat yang, hari demi hari, mengucapkan sendiri
“Sudah, cukup!”
Pertama ia kaget mendengar ucapannya
sendiri, tapi kemudian, berazaskan kekuatan yang timbul dari
mengulang-ulangnya, dan terlebih-lebih, menghidupinya, ia tak lagi gentar akan
mereka, tak lagi gentar akan dirinya sendiri. Ia kini seorang Zapatista. Ia
telah menggabungkan nasibnya dengan nasib orang-orang Zapatista dalam igauan
baru yang begitu menakutkan partai-partai politik dan kaum intelektual Kekuasaan:
Tentara Pembebasan Nasional Zapatista. Ia telah berjuang melawan tiap orang,
melawan suaminya, kekasihnya, pacarnya, anak-anaknya, temannya, saudara
lelakinya, ayahnya, kakeknya. “Kau sinting,” begitulah penilaian yang lazim. Ia
tinggalkan banyak hal di belakangnya. Apa yang ia tinggalkan jauh lebih besar
ketimbang apa yang ditinggalkan para pemberontak lain yang memang sudah tak
punya apa-apa untuk dipertaruhkan. Segala sesuatunya, dunianya, menghendaki ia
melupakan “orang-orang Zapatista gila itu”, dan kompromi memintanya duduk dalam
ketidakacuhan nyaman yang hidup dan kuatir hanya tentang dirinya sendiri. Ia
tinggalkan semuanya. Ia tak mengucapkan apa-apa. Suatu pagi buta ia
meruncingkan sisi tumpul harapannya dan mulai berusaha menyamai 1 Januari milik
saudari-saudari Zapatistanya berulang-ulang dalam satu hari, setidaknya 364
kali dalam setahun, yang tak ada hubungannya dengan sebuah tanggal satu Januari
saja.
Ia tersenyum karena ia pernah mengagumi
Zapatista dan kini tidak lagi. Ia mengakhiri kekagumannya saat ia tahu bahwa
mereka hanyalah pantulan pemberontakannya sendiri, harapannya sendiri.
Ia menemukan dirinya terlahir tanggal 1
Januari 1994. Sejak itulah ia merasa hidupnya, yang selalu dikatakan sebagai
mimpi dan utopi, ternyata bisa diwujudkan.
Ia mulai merajut dalam diam dan tanpa
bayaran, berdampingan dengan lelaki dan perempuan lainnya, impian ruwet yang
oleh beberapa orang disebut harapan: segala sesuatu untuk semua orang, tak ada
yang untuk diri kami sendiri.
Ia bertemu tanggal 8 Maret dengan wajah
yang terhapus dan nama yang sembunyi. Dengannya datang pula ribuan perempuan.
Banyak dan kian banyak. Lusinan, ratusan, ribuan, dan jutaan perempuan seluruh
dunia yang ingat ada banyak soal yang harus digarap dan masih banyak lagi yang
harus diperjuangkan. Tampaknya apa yang disebut ‘martabat’ itu bisa menular dan
kaum perempuanlah yang rentan terjangkiti penyakit meresahkan ini…
Tanggal 8 Maret adalah saat yang tepat
untuk mengenang dan memberikan tempat yang semestinya bagi orang-orang
Zapatista pemberontak itu, bagi kaum Zapatista, bagi para perempuan bersenjata
maupun tak bersenjata. Bagi para pembangkang dan para perempuan Meksiko yang
gelisah ditekuk-tekuk sebagai bawahan. Sejarah, tanpa mereka, tak lebih dari
sekadar fabel yang dikarang secara buruk…
2. Hari Esok
Bila ada hari esok, maka ia akan disusun
bersama kaum perempuan, dan terlebih lagi, oleh kaum perempuan…
Dari pegunungan Meksiko Tenggara
Subcomandante Insurgente Marcos
Meksiko, Maret 1996