“Defensa de la sectas”, Mario Vargas Llosa. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari artikel dalam rubrik “Opinión”, El País, 23 Februari 1997.
Pada 1983 di Cartagena, Kolombia, saya menghadiri kongres mengenai media komunikasi yang diketuai oleh dua cendekiawan terpandang (Germán Arciniegas dan Jacques Soustelle), di mana hadir pula di situ, selain jurnalis dari seluruh dunia, beberapa anak muda tak kenal lelah yang diberkahi tatapan mata tajam dan berapi-api dari orang-orang yang meyakini diri telah memegang kebenaran. Pada waktunya, sambil diiringi sorak-sorai anak-anak muda tadi, datanglah di acara tersebut Pendeta Sun Myung Moon, kepala Gereja Unifikasi, yang ikut mensponsori kongres itu melalui sebuah organisasi perantara. Sebentar kemudian saya ketahui bahwa kelompok progresif telah menambah daftar dosa saya, yakni saya dianggap telah menjual diri pada sebuah sekte jahat, kaum Moonies. Karena sejak kehilangan iman saya terus berusaha mencari gantinya, maka saya pun dengan penuh semangat bergegas melihat apakah iman yang ditawarkan oleh orang Korea bulat dan suka senyum dengan bahasa Inggris yang belepotan itu bisa memberi jalan keluar. Saya pun membaca buku bagus tentang Gereja Unifikasi karya profesor di London School of Economics, Eileen Barker (saya menemuinya pada kongres di Cartagena itu), yang barangkali telah mempelajari secara lebih serius dan bertanggungjawab dibanding siapapun fenomena merebaknya sekte-sekte keagamaan pada akhir alaf ini. Darinya saya tahu, antara lain, bahwa Pendeta Moon bukan hanya mengaku telah diberi tanggung jawab oleh Sang Pencipta untuk mempersatukan Yudaisme, Kristen, dan Buddhisme dalam suatu aliran tunggal, namun juga meyakini dirinya sebagai hipostasis Sang Buddha dan Yesus Kristus. Hal ini, lumrah saja, langsung mendiskualifikasi saya untuk ikut dalam barisan mereka; bila dengan mandat dahsyat yang diberikan oleh dua ribu tahun sejarah saja saya sama sekali tidak mampu mempercayai keilahian Yesus dari Nazaret, sulit buat saya untuk menerimanya dalam wujud seorang penginjil Korea Utara yang bahkan tak mampu mengalahkan Dinas Pajak AS (yang menjebloskannya setahun ke penjara karena penggelapan pajak).
Namun demikian, bila sekte Moonies (serta 1.600 ratus kelompok dan sempalan keagamaan lainnya yang tercatat oleh Inform, organisasi yang diketuai oleh Profesor Barker) membuat saya skeptis, saya juga merasakan hal yang sama pada mereka yang dari waktu ke waktu menindas kelompok-kelompok ini dan mendesak pemerintah untuk melarang mereka, dengan alasan bahwa mereka merusak kaum muda, mengguncang tatanan keluarga, merampok anggota mereka sendiri, dan menyusupi lembaga-lembaga negara. Yang terjadi belakangan ini di Jerman pada Gereja Saintologi memberi tema ini aktualitas yang menggelisahkan. Pihak berwenang beberapa negara bagian Republik Federal Jerman –Bavaria, terutama—bermaksud menyingkirkan para penganut Saintologi dari jabatan-jabatan administratif, dan mereka memboikot film-film yang diperankan oleh John Travolta dan Tom Cruise karena keduanya pemeluk Saintologi dan mencekal konser Chick Corea di BadenWürttemberg atas alasan yang sama.
Sekalipun absurd dan terlampau melebih-lebihkan membandingkan pencekalan ini dengan siksaan yang diderita oleh orang Yahudi di bawah Nazi, sebagaimana dilakukan oleh deklarasi yang ditandatangani oleh 34 tokoh Hollywood untuk memprotes tindakan Jerman terhadap Saintologi dalam iklan di The New York Times, larangan dan pencekalan tersebut memang merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap prinsip-prinisp demokratis toleransi dan pluralisme dan memberi preseden yang berbahaya. Tom Cruise dan istrinya yang cantik Nicole Kidman bolehlah kita tuding telah memiskinkan cita rasa dan selera sastra bila mereka lebih suka membaca buku-buku saintifik-teologis karya L. Ron Hubbard, pendiri Gereja Saintologi empat dekade lalu, dibanding Alkitab. Tapi di sebuah negara yang konstitusinya menjamin hak warga untuk meyakini apapun yang mereka yakini, atau tidak meyakini apa-apa sama sekali, mengapa pihak berwenang merasa bisa turut campur dalam urusan ini?
Satu-satunya argumen serius untuk melarang atau mendiskriminasi “sekte-sekte” terletak di luar jangkauan rezim-rezim demokratis; yakni dalam masyarakat-masyarakat di mana kuasa agama dan politik adalah tunggal, seperti di Arab Saudi atau Sudan, negara memutuskan mana agama yang benar, dan karenanya merasa punya hak untuk melarang yang dianggap palsu dan menghukum kaum kafir, bida’ah, nista, dan musuh-musuh iman. Dalam sebuah masyarakat terbuka, ini tak mungkin: negara harus melindungi kepercayaan individual, segila apapun kelihatannya, dan tidak boleh memihak aliran manapun, sebab bila tidak ujung-ujungnya ia akan menindas keyakinan (atau tiadanya keyakinan) sejumlah besar warga. Kita sudah melihatnya baru-baru ini di Cile, salah satu masyarakat paling modern di Amerika Latin, yang toh dalam hal-hal tertentu tetap tak jauh dari Zaman Batu, sebab mereka belum meloloskan undang-undang perceraian, akibat tentangan Gereja Katolik yang berpengaruh.
Keberatan-keberatan yang dikemukakan terhadap sekte-sekte ini memang ada benarnya. Para penganutnya seringkali fanatik, metode penyebaran agama mereka menjengkelkan (seorang Saksi Yehova mendempet saya selama setahun penuh di Paris, berusaha meyakinkan saya untuk menjalani pertobatan, dan membuat saya sesak oleh mimpi buruk), dan banyak di antara mereka secara harafiah menguras kantong anggotanya. Tapi tidak bisakah kita mengatakan hal yang sama perihal banyak kecenderungan agama-agama tradisional? Para Yahudi ultra-ortodoks Mea Shearim di Yerusalem, yang keluar rumah pada hari Sabtu untuk menimpuki mobil-mobil yang lewat daerah mereka dengan batu, apakah itu teladan tenggang rasa? Apakah Opus Dei kurang keras dalam hal komitmen yang dimintanya dari para anggotanya ketimbang operasi-operasi Evangelis yang paling tak kenal kompromi? Ini hanyalah contoh-contoh acak, dari banyak lainnya, yang membuktikan berulang kali bahwa semua agama –mulai dari yang bisa divalidasi melalui patina yang telah berabad-abad bahkan beralaf umurnya, dengan kepustakaan yang kaya serta darah para syuhada, sampai yang paling flamboyan, yang bermarkas di Brooklyn, Salt Lake City, atau Tokyo dan dipromosikan di internet—sama-sama berpotensi intoleran, dengan kecenderungan monopolistik yang sama, dan dengan demikian, justifikasi untuk membatasi atau melarang beroperasinya yang satu sama absahnya untuk diberlakukan pada yang lain. Dengan kata lain, kita cuma punya dua opsi: entah semuanya dilarang tanpa kecuali, seperti yang telah dicoba secara naif oleh Revolusi Perancis, Lenin, Mao, Castro, atau semuanya diperbolehkan, dengan satu syarat bahwa mereka tunduk pada hukum.
Tak perlu dibilang bahwa saya pendukung penuh opsi yang kedua ini. Dan bukan hanya karena merupakan hak azasi manusia yang mendasar untuk bisa mempraktikkan iman pilihannya tanpa didiskriminasi dan dianiaya. Namun juga karena bagi mayoritas terbesar umat manusia, agama adalah satu-satunya jalan yang membimbing ke hidup spiritual dan kesadaran etis, yang tanpanya tak bakal ada masyarakat manusia, penghormatan pada hukum, atau sokongan pada konsensus dasar kehidupan yang beradab. Satu kesalahan besar, yang diulangi berkali-kali sepanjang sejarah, adalah keyakinan bahwa ilmu pengetahuan, sains, dan kebudayaan pada akhirnya akan membebaskan manusia dari “tahayul” agama, bahwa kemajuan akan membuat agama jadi basi. Sekularisasi tidak menggantikan tuhan-tuhan kita dengan gagasan, pengetahuan, atau keyakinan yang bakal mengisi tempatnya. Ia justru telah meninggalkan kehampaan spiritual yang diisi oleh manusia sebisa mungkin, kadang dengan penggantinya yang aneh-aneh, dengan berbagai bentuk neurosis, atau dengan mendengarkan panggilan “sekte-sekte” itu yang justru karena wataknya yang menyambut dan eksklusif, dengan perencanaan rincinya atas semua momen kehidupan jasmani dan rohani, menawarkan keseimbangan dan keteraturan pada mereka yang merasa bingung, sepi, atau tersesat di dunia masa sekarang.
Dalam pengertian ini mereka ada gunanya dan bukan cuma harus dihargai namun juga didorong. Namun jelas bukan dengan subsidi atau dana pembayar pajak. Negara demokratis, yang harus dan hanya bisa bersikap sekuler atau netral dalam urusan agama, akan meninggalkan netralitasnya bila dengan alasan bahwa mayoritas atau sebagian besar warganya memeluk agama tertentu, rumah ibadahnya lalu dibebaskan dari pajak sementara hak istimewa itu tidak diberikan pada agama-agama minoritas. Kebijakan ini berbahaya, sebab mendiskriminasi ranah subyektif kepercayaan dan menyokong korupsi institusional.
Tempat peribadatan sekte "Lembah Fajar" di Brasilia (foto: Victor de Castro) |
Paling banter yang bisa dicapai dalam hal ini adalah meniru apa yang dilakukan Brasil ketika membangun Brasilia, ibukotanya yang baru: memberikan sebidang tanah di jalan yang khusus dibangun untuk itu dan membolehkan semua aliran keagamaan di dunia membangun rumah ibadahnya di atasnya bila mau. Ada puluhan, kalau saya tak salah ingat: gedung besar-besar yang mencolok, arsitekturnya aneka macam dan saling tak nyambung, di mana katedral Ordo Salib Mawar berdiri di antara petir, megah penuh kubah dan lambang-lambang yang tak terpahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar