La rosa separada / The Separate Rose
Pablo Neruda
Copper Canyon Press, 2005
Di balik setiap aktivitas melancong senantiasa terdapat hasrat untuk menjelajah yang-belum-terjamah, hasrat untuk mencari yang-otentik, yang-asli, dan di balik hasrat tersebut senantiasa terdapat asumsi orientalis bahwa tempat kita bertolak telah rusak oleh peradaban, modernitas, dan “kemajuan”, sementara kemurnian diharapkan ada di tempat yang kita tuju. Karena itu kita merengut melihat tempat eksotis yang ternyata tak sesuai bayangan: alih-alih warga asli dengan kegiatan adatnya, berkerumunlah para penjual menjajakan pulsa hingga Coca Cola, jejak-jejak dari peradaban yang kita hindari itu. Padahal, justru kedatangan para pelancong inilah yang pertama kalinya membuat suatu daerah perawan bersentuhan dengan modernitas. Inilah ironi dan paradoks pelancongan:
“Ketika gelombang turis melewati kawasan yang tadinya tak tersentuh, perekonomian lokal akan merombak diri mengantisipasi pengunjung yang akan datang. Sikap antimaterialis yang awalnya membuat orang-orang mencari tempat-tempat eksotik malah membuat semakin banyak kawasan itu terserap ke dalam perekonomian global.”
(Joseph Heath dan Andrew Potter, Radikal Itu Menjual: Budaya Perlawanan atau Budaya Pemasaran? [Jakarta: Antipasti, 2009])
Asumsi seperti itu pulalah yang bisa kita baca dari La rosa separada, buku puisi Pablo Neruda yang mengisahkan pengalaman emosionalnya berkunjung ke Pulau Paskah pada Januari 1971. Saat itu kesehatan Neruda mulai memburuk, dan di Cile suasana tengah memanas ketika Presiden sosialis terpilih Salvador Allende melakukan konsolidasi politik untuk menghapus pelan-pelan rezim konservatif kapitalis yang dibeking Amerika Serikat. Neruda berharap bisa kabur dari riuh dan penat itu, menuju pulau paling barat dalam yurisdiksi Cile, dan mungkin juga pulau paling eksotis dan misterius dalam imajinasi umat manusia, dengan deretan batu-batu bergambar muka orang setinggi 7 sampai 9 meter yang belum diketahui pasti bagaimana cara mengukirnya atau menyeretnya dari sisi dalam pulau (sumber batu) ke pinggir pantai tempat batu-batu itu diberdirikan.
Neruda tiba bersama istri ketiganya, merasa diri sebagai “penziarah”, “ksatria asing, datang mengetuk pintu-pintu hening.” Tapi ia tahu ironi yang terkandung dalam tindakan melancong itu, ia tidak berpretensi sebagai penyair yang menyepi mencari ilham, melainkan “sama seperti guru dari Kolombia, pengusaha dari Philadephia, pedagang dari Paysandú, yang menabung peraknya untuk datang kemari.”
Llegamos de calle diferentes,
de idiomas desiguales, al Silencio
Kami semua datang lewat jalan yang berlainan,
dengan bahasa yang tak seimbang, pada Kesunyian
Dalam menulis buku ini Neruda memakai dua rujukan selain pengamatannya sendiri, yakni tulisan-tulisan “ilmiah” Romo Sebastian Englert yang selama puluhan tahun melakukan kerja misionaris di sana, serta hikayat-hikayat setempat yang dituturkan secara lisan tentang asal muasal pulau yang bernama asli Rapa Nui itu.
Alkisah, kepulauan Melanesia adalah “kepulauan angin kelamin, dicipta lantas dilipatgandakan oleh sang bayu.” Dewa Angin membuat tiga upaya membentuk patung-patung raksasa (moai) yang menghuni Rapa Nui.
Patung pertama terbuat dari pasir lembab,
ia membentuknya dan dengan riang merusaknya.
Patung kedua terbuat dari garam
dan laut yang garang merobohkannya sambil berdendang
Tapi patung ketiga buatan Dewa Angin
adalah moai dari granit, dan yang ini bersitahan
Namun bukan penuturan ulang hikayat setempat itu yang buat saya menarik dari buku Neruda ini, melainkan bagaimana ia memahami posisinya sebagai “turis”. (Tentang cara Neruda menafsirkan mitos-mitos Pulau Paskah, Luz Elena Zamudio telah membuat satu kajian utuh soal itu: Una interpretación mítica de La rosa separada de Pablo Neruda [Mexico City: Universidad Autónoma Metropolitana, 1988]). Neruda sadar ia bertolak ke Pulau Paskah, “ibu pertiwi tanpa suara”, untuk mencari sesuatu yang tak pernah ia hilangkan di sana—sesuatu yang sesungguhnya hilang di tempatnya bertolak, namun dicarinya di tempat yang ia tuju, sebab ia merasa es la verdad del prólogo (“kebenaran ada di dalam prolog”), kebenaran ada di asal yang paling awal.
A la Isla de Pascua y las presencias
salgo, saciado de puertas y calles,
a buscar algo gue allí no perdí
Ke Pulau Paskah dan kehadiran-kehadiran itu
aku bertolak, muak pada jendela-jendela dan jalanan
mencari sesuatu yang tak pernah kuhilangkan di sana
Dan apa yang dicarinya di sana?
sino un vacío oceánico, una pobre pregunta
con mil contestaciones de labios desdeñosos.
hanya kesuwungan seluas samudera, sebuah pertanyaan mengenaskan
dengan seribu jawaban di bibir yang mengejek
Namun Neruda sang turis akhirnya tahu, ziarah ini cuma sementara, menetap berlama-lama di Kesunyian juga bukan pilihan baginya, “cahya terlalu cerlang, terlalu banyak batu dan air”
como todos miré y abandoné asustado
la limpia claridad de la mitología,
las estatuas rodeadas por el silencio azul.
seperti semuanya melihat dan menyerah ketakutan
cahaya terang mitologi,
patung-patung terbungkus kesunyian biru.
Dan sang turis?
selalu ingin pergi lebih jauh, terus menerus
tidak tahu yang hendak diperbuatnya di pulau, apakah ia mau
atau tidak mau menetap atau kembali,
…
pergilah ia dengan kesedihannya ke tempat lain lagi,
kembali ke duka lara aslinya,
kebimbangannya antara musim dingin dan musim panas.
Sebagaimana karya Neruda sebelum ini, Aún (1969), buku ini awalnya juga dicetak luks dan terbatas di Paris (1972) sebanyak 99 eksemplar saja. Tak banyak yang mengetahui keberadaan karya ini dan itu sebabnya penerbit sebesar Seix Barral pun membuat kekeliruan dengan menyebutnya sebagai Obra postuma atau “karya anumerta” ketika menerbitkannya pasca wafatnya Neruda pada 1973.
Wajib baca untuk para penyuka puisi umumnya dan Pablo Neruda khususnya.
Wajib baca untuk para penyuka puisi umumnya dan Pablo Neruda khususnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar