"Yang Luput dari Penghargaan: Politik Penganugerahan Hadiah Nobel Sastra," oleh Benedict
Anderson. Diterjemahkan
oleh Ronny Agustinus dengan persetujuan dan penyeliaan penulis dari “The
Unrewarded: Notes on the Nobel Prize for Literature”, New Left Review 80, Maret-April 2013, hlm. 99-108. Tulisan ini merupakan perluasan dari Kata Pengantar buku
Nor Faridah Abdul Manaf dan Mohammad Quayum (eds.), Imagined Communities
Revisited: Critical Essays on Asia-Pacific Literatures and Cultures, Kuala
Lumpur 2011.
Keputusan untuk
menganugerahkan Hadiah Nobel Sastra 2012 kepada novelis Mo Yan dari Tiongkok sekali lagi menimbulkan
pertanyaan menggelitik tentang pola-pola pendistribusian hadiah ini pada
tataran global. Hampir di setiap negara, penganugerahan hadiah-hadiah sastra tentunya
tak lepas dari politik nasional, formasi klik-klik sastrawan, keyakinan
religius, prasangka rasial, standar ganda, dan ideologi-ideologi zaman ini dan
itu. Apakah ini alasannya, mengapa selama lebih dari 110 tahun pengumuman
pemenang Hadiah Nobel Sastra, penerimanya tak pernah ada yang berasal dari negara-negara
Asia Tenggara—padahal setiap kawasan besar lainnya sudah mendapat giliran?
Sejarah
pembagian Hadiah ini bisa dibagi tiga: era dominasi dunia oleh negara-negara kuat
di Eropa Barat, era Perang Dingin, dan era globalisasi kontemporer. Selama
periode pertama, antara 1901-1939, hampir semua hadiahnya dimenangkan oleh
penulis dari Eropa Barat, dengan urutan sebagai berikut: enam dari Perancis; lima
dari Jerman; dan masing-masing tiga untuk Swedia, Italia, Norwegia, dan AS. Inggris,
Spanyol, Polandia, Irlandia, dan Denmark masing-masing dapat dua, lalu para
perwakilan tunggal dari Belgia, Finlandia, Rusia, Swiss, dan India (lihat Tabel
1). Pilih kasih kedaerahan kentara jelas waktu itu—para penulis Skandinavia
menerima sepertiga dari total hadiah yang diberikan, padahal di antara mereka
hanya Knut Hamsun dari Norwegia yang bisa dibilang penulis kelas dunia. Rabindranath
Tagore dari India (kolonial) adalah keganjilan menarik. Ia satu-satunya pemenang
(pada 1913) yang pernah mewakili negara jajahan, dan tetap “bintang” tunggal Asia
hingga 1968, saat Yasunari Kawabata dari Jepang berhasil meraihnya. Para
penulis Amerika baru mulai menang pada masa 1930an yang penuh gejolak, dua di
antaranya sesudah Hitler berkuasa, dan mutu mereka sesungguhnya rada kacangan. Pada
saat yang sama, ada satu negara penting di Eropa yang secara blak-blakan
didiskriminasi, yakni Rusia/Uni
Soviet. Sebelum revolusi Lenin, diskriminasi
ini dikarenakan persaingan turun temurun dan ketidaksukaan Swedia terhadap
Rusia imperial; pasca 1919, komunisme yang jadi faktor penentunya. Tak syak
lagi, satu-satunya pemenang dari era itu yang orang Rusia, Ivan Bunin, hidup
dalam pengasingan di Paris. Pada tahun-tahun terakhir masa kekuasaan Tsar, si
begawan gaek Leo Tolstoy diabaikan, mungkin gara-gara pendirian politik
“anarkis”-nya yang radikal, begitu pula Anton Chekhov dan penyair Aleksandr
Blok. Nantinya, dramawan besar Mikhail Bulgakov, para penyair Vladimir Mayakovsky
dan Osip Mandelstam, serta para novelis Maxim Gorky, Leonid Andreev, dan Yevgeny
Zamyatin semuanya dilewati.
Era
Perang Dingin menunjukkan pola-pola yang cukup berbeda. Tak ada hadiah yang
diberikan selama 1940-1943, tahun-tahun genting Perang Dunia II. Namun sejak 1944
dst, Komite tak syak lagi dipengaruhi oleh runtuhnya imperialisme Eropa dan persaingan
perebutan pengaruh antara Uni Soviet dan Amerika Serikat di dunia, yang
membelah Eropa ke dalam dua blok yang saling berseteru. Negara-negara koloni
bisa diabaikan, namun negara-negara bangsa merdeka yang baru, yang duduk di
Majelis Umum PBB, tidak bisa diperlakukan begitu. Harga diri Eropa dalam hal superioritas
budaya yang mengungguli si “ndeso” Amerika
Serikat, dalam era baru kemunduran ekonomi-politiknya sendiri ini, mendorong
lonjakan hasrat —terutama di London dan Paris—akan penerjemahan dan penerbitan
karya-karya sastra penting dari luar Eropa. Sementara itu sikap dan pandangan Swedia
sendiri cukup berbeda dari masa sebelum Perang Dunia II. Negeri ini tetap
netral di antara kekuatan sekutu dan fasis, padahal Denmark dan Norwegia
diduduki oleh tentara Nazi, dan netralitas ini menuai cemooh dari negara-negara
Sekutu pemenang perang tahun 1945. Kengerian yang diperbuat rezim Hitler atas
nama rasisme dan superioritas Arya dengan telak merontokkan prestise
nasionalisme sayap kanan (termasuk sastra sayap kanan) di seluruh Eropa. Sepanjang
masa Perang Dingin, Swedia menata ulang netralitasnya dengan cara-cara baru
yang penting. Negara itu mengembangkan masyarakat sosial-demokrasi paling maju di
dunia dan mencoba menyajikan diri sebagai alternatif ketiga di antara
kapitalisme Amerika yang ganas dan sosialisme-negara Soviet yang menindas. Mendekati
negara-negara “Dunia Ketiga” adalah cara bagus buat Swedia untuk membangun
reputasi barunya sebagai negara kiri moderat yang cinta damai, yang produktif
dalam meraih jabatan-jabatan tinggi di PBB.
Antara 1944 hingga 1991, lima puluh Hadiah Nobel Sastra
diberikan dengan persebaran yang cukup berbeda dari era sebelumnya. Bila lima
belas negara yang memenangkan hadiah ini antara 1901 hingga 1939, dua puluh
delapan yang berhasil meraihnya semasa Perang Dingin. Perancis, dengan enam
pemenang (meski Sartre menolaknya) masih tetap nomor satu, tapi tipis. Berikutnya
AS dengan lima pemenang, Inggris dan Uni Soviet masing-masing empat; Swedia, Jerman,
dan Spanyol tiga; Italia, Cile, dan Yunani masing-masing dua. Yang cuma menang sekali
berasal dari Polandia, Denmark, Irlandia, Eslandia, Yugoslavia, Israel,
Guatemala, Jepang, Australia, Bulgaria, Kolombia, Cekoslowakia, Nigeria, Mesir,
Meksiko, dan Afrika Selatan. Dalam daftar ini bisa kita lihat bahwa blok
Skandinavia sebelum Perang Dunia II anjlok drastis.
Di sisi
lain, pandangan Stockholm kini meluas ke Asia Timur, Timur Tengah, Amerika
Tengah dan Selatan, Afrika, dan Australia—hanya Asia Tenggara yang masih tak dilirik.
Arah politik Komite telah berubah dalam beberapa hal penting. Hal pertama yang
bisa kita cermati adalah diskriminasi terhadap penulis-penulis sayap kanan,
misalnya: Louis-Ferdinand Céline dan André Malraux di Perancis, Jorge Luis Borges
di Argentina, Mario Vargas Llosa (diampuni baru pada 2010), Evelyn Waugh dan Anthony
Powell. Perkecualian yang konyol adalah Winston Churchill. Di sisi lain, kiri-kiri
independen macam Jean-Paul Sartre, atau bahkan komunis seperti Pablo Neruda
oke-oke saja, asalkan mereka tidak berasal dari Soviet atau RRT. Mikhail Sholokhov
kasus tersendiri, dihadiahi persis sesudah masa-masa Khrushchev yang relatif
melunak, sementara ketiga pemenang lainnya yang dari Rusia adalah pembangkang
dan/atau pelarian.
Perubahan
besar lainnya adalah status komparatif antar bahasa. Sebelum Perang Dunia II, Jerman,
Perancis, dan Inggris adalah bahasa-bahasa prestisius dalam kehidupan nyata
maupun dalam “sastra dunia”. Namun sesudah 1945, Jerman terbelah dua dan Jermanfobi
merebak di mana-mana. Wibawa linguistik Perancis merosot perlahan-lahan. “Inggris”
dalam berbagai bentuknya merajalela sebagai hegemon dunia. Sungguh berandang bahwa
meski Perancis tetap menjadi peraih hadiah terbanyak, tak satu pun pemenangnya
berasal dari bekas imperium Perancis di seberang lautan seperti Indocina, Afrika
Barat, Maghreb, atau Karibia. Di sisi lain, negara-negara dominion Inggris dan
bekas koloninya melaju mulus: Patrick White untuk Australia, Samuel Beckett dan
kemudian Seamus Heaney untuk Irlandia, Wole Soyinka untuk Nigeria, Nadine
Gordimer (dan kemudian J.M. Coetzee) untuk Afrika Selatan dan terakhir Derek
Walcott untuk Hindia Barat (Saint Lucia). Para penulis yang melarikan diri atau
bermigrasi ke AS dan Inggris juga menulis dalam bahasa Inggris—Czeław Miłosz, yang
sudah menyeberang ke Barat 30 tahun sebelum menerima Nobel; Joseph Brodsky; Elias
Canetti, yang meninggalkan Bulgaria menuju Inggris pada umur 6 tahun; dst. Namun
demikian, yang masih berlanjut dari era sebelumnya adalah dilupakannya atau
diabaikannya para penulis dari banyak negara yang sangat dikagumi oleh para
kritikus zaman sekarang, misalnya: Kobo Abe dari Jepang, Vladimir Nabokov dan Anna
Akhmatova dari Rusia, W.H. Auden yang Inggris-Amerika dan Graham Greene dari
Inggris.
Dalam
hampir seperempat abad sesudah era Perang Dingin, kita bisa melihat beberapa
kebaruan menarik. Pertama, tumbangnya otoritas Perancis (cuma satu hadiah), hegemoni
Amerika (satu hadiah), prestise Rusia (tanpa hadiah). Para juara adalah orang
Hindia Barat yang berbahasa Inggris, Amerika, Jepang, Polandia, Italia, Portugis,
Hungaria, Afrika Selatan, Austria, Turki, Irlandia, Perancis, Peru dan ...
Swedia. Perkecualiannya adalah Jerman bangkit lagi (dua hadiah: Günter Grass dan
Herta Müller, meski bukan Hans Magnus Enzensberger) serta Tiongkok (dua hadiah
juga: Mo Yan dan Gao Xingjian—meski Gao yang menang pada 2000 sudah menetap di
Perancis sejak akhir 1980an). Inggris unggul dengan tiga hadiah—tapi dari para
pemenang Inggris ini, hanya Harold Pinter yang asli Inggris, sementara V. S.
Naipaul berasal dari Hindia Barat dan Doris Lessing besar di Rhodesia.
Satu yang Lain Sendiri
Lalu Asia
Tenggara? Secara struktur, kawasan ini luar biasa beraneka—tak ada bahasa
dominan, tak ada kepaduan religius, tak ada hegemon politik. Pada era kolonial,
bagian-bagian Asia Tenggara dikuasai oleh imperialis Inggris, Perancis, Belanda,
Spanyol, Portugis, dan Amerika. Gabriel García Márquez bisa dianggap mewakili
Amerika Tengah dan Selatan yang Katolik dan berbahasa Spanyol, Walcott untuk
Karibia (bekas-Inggris), Tagore untuk Asia Selatan (bekas-Inggris), Naguib
Mahfouz untuk Timur Tengah Muslim, Soyinka untuk Afrika (di mana imperialisme
Inggris yang paling digdaya) dan barangkali Orhan Pamuk untuk Turki-yang-ngebet-masuk-Eropa.
Tapi tak ada penulis Asia Tenggara yang bisa menjadi simbol dari kawasan ini
secara keseluruhan. Selama Perang Dingin, Asia Tenggara tercabik-cabik dalam
pengertian ideologis dan militer. Hampir semua negara di sana mengalami periode
panjang konflik bersenjata antara kubu komunis dan anti-komunis—membuahkan
kediktatoran militer atau kediktatoran sayap kanan di Filipina, Thailand,
Indonesia, Singapura, dan Birma, serta tiga negara komunis yang berhasil di Indocina.
Terjadi
juga proses hilangnya “bahasa besar” secara mencolok di kawasan ini sepanjang
abad ke-20. AS memastikan agar bahasa Spanyol lenyap di sebagian besar Filipina,
Indonesia dengan lekas membuang bahasa Belanda, Birma di bawah rezim militer menyingkirkan
bahasa Inggris, dan Indocina meminggirkan bahasa Perancis selama dua generasi. Kontras
dengan Afrika sangat mencolok: sebagian besar bekas negara jajahan di benua itu
melanjutkan pemakaian bahasa kolonial sebagai bahasa negara, sekalipun bila
mereka menggencarkan bahasa-bahasa daerah sebagai lambang nasionalisme tertentu.
Atas alasan ini, para penulis Asia Tenggara jadi tidak bisa memiliki sekutu
yang energik di Eropa, di belahan bumi Barat, atau bahkan di dunia Islam. Satu
kejanggalan pamungkas yang perlu dicatat: Indonesia, negara-bangsa terbesar di
Asia Tenggara, dijajah oleh Belanda, kekuatan imperialis paling kecil dan
paling tak penting di Eropa, yang bahasanya hanya digunakan oleh warganya
sendiri. Lebih parah lagi, atau malah bagus, Belanda tak pernah sekalipun
menang Nobel, yang mendudukkan negeri itu sejajar dengan para pecundang akut
Eropa lainnya, Albania dan Rumania (kalau kita anggap Canetti mewakili Bulgaria).
Maka Den Haag juga tak berada dalam posisi untuk melobi kuat-kuat buat Indonesia,
bahkan sekalipun jika mereka mau begitu.
Kita bisa
menduga bahwa kuasa-kuasa kolonial besar akan mendukung para penulis dari bekas
wilayah kekuasaan mereka. Tapi Paris lebih tertarik pada negara-negara bekas
federasi Afrika Barat Perancis, Maghreb, serta Karibia yang masih berbahasa
Perancis ketimbang Vietnam nun jauh di sana yang telah mengalahkan Perancis
dalam perang pembebasan yang panjang dan mematikan. AS, selalu dengan perasaan
inferioritas budaya terhadap Eropa, lebih memilih mengklaim para pelarian
pemenang Nobel yang telah mengambil kewarganegaraan AS sebagai “penulis Amrik” (Miłosz
dari Polandia, Brodsky dari Rusia), meski kewibawaan sastra mereka sudah sangat
menjulang sebelum pindah ke sana. Dengan demikian Filipina sama sekali diabaikan
atau disepelekan, sekalipun bahasa dominannya adalah “Inggris versi Amerika”.
London punya banyak opsi lain akibat besaran dan jangkauan imperiumnya dulu—banyak
negara eks-dominion (Australia, Afrika Selatan, Kanada, Selandia Baru) begitu
pula tempat-tempat seperti Nigeria, Ghana, India, Karibia, Pakistan, dll.—sehingga
Malaysia dan Singapura, yang mempertahankan Inggris sebagai bahasa negara, tidak
dipandang penting.
Bagaimana dengan dampak nasionalisasi bahasa di Asia Tenggara? Sebagian
besar nasionalisasi ini dilaksanakan untuk mencapai solidaritas nasional, namun
keputusan bahasa manakah yang harus menjadi “bahasa nasional” hampir selalu berdampak
menguntungkan kelompok-kelompok linguistik-demografik-politik tertentu. Orang
Birma dan Vietnam punya banyak klaim —jumlah mereka, kepadatan geografis, pendidikan
yang lebih tinggi, kuasa politik—sehingga keputusan untuk menasionalkan bahasa
Birma dan bahasa Vietnam adalah “keniscayaan alamiah”, bahkan sekalipun itu
berarti memarjinalisasi banyak “kelompok minoritas”. Sementara Bangkok tak
punya dominasi “alamiah” macam itu, sehingga pemaksaan bahasa “Thai Bangkok” hanya
bisa dicapai lewat sarana yang otoriter. Pada akhir kolonisasi Amerika, kelompok
linguistik terbesar di Filipina mengucapkan pelbagai dialek Cebuano, tapi
bahasa Tagalog, yang dituturkan oleh orang-orang di ibukota atau wilayah
sekitarnya, harus dipaksakan lewat koersi, dengan hasil campur-campur. Penentangan
datang dari banyak pihak, baik yang mendukung Cebuano atau Inggris versi Amerika
sebagai lingua franca. Di Malaysia, bahasa Melayu juga harus diterapkan
paksa oleh orang-orang Melayu yang dominan secara politik, namun ditentang oleh
orang Tionghoa, India, dan orang-orang “Kalimantan Utara” yang bercakap entah
dalam bahasa aslinya sendiri yang asing (Tionghoa, India) atau lingua franca (Inggris).
Satu-satunya
negara yang mencapai sebuah bahasa nasional tanpa tentangan dan yang sekaligus
juga merupakan lingua
franca adalah Indonesia. Dalam
sastra, sulit untuk menemukan penulis penting Indonesia yang tidak secara
otomatis memakai bahasa Indonesia ini, sekalipun
dengan infleksi-infleksi lokal. Bahasa ini tidak menguntungkan kelompok
tertentu. Karena itulah dalam jajaran sastra nasional terdapat aneka ragam
etnis: Kwee Thiam Tjing (Tionghoa Hokkian), Iwan Simatupang (Batak Toba),
Chairil Anwar (Minang Medan), Amir Hamzah (Melayu), Pramoedya Ananta Toer (Jawa),
Eka Kurniawan (Sunda), Putu Wijaya (Bali) dst. Dari pengalaman saya yang
terbatas, saya yakin dalam hal sastra Indonesia adalah negeri paling kreatif di
Asia Tenggara persis karena ia telah membaurkan lingua franca dengan bahasa nasional dalam sebuah cara yang tidak memaksa. Sebaliknya,
pemaksaan koersif (oleh para politisi dan birokrat yang picik) justru mendorong
semacam neo-tradisionalisme yang bodoh serta penolakan mentah-mentah. Karenanya
kelompok-kelompok minoritas yang penting justru memilih menulis dalam bahasa
Inggris, dengan maksud menolak neo-tradisionalisme, namun juga untuk mencapai
pemirsa internasional yang barangkali mau menerimanya.
Tapi
nasionalisasi macam apapun berarti juga sejenis keterpencilan. Tak satu pun
bahasa nasional di Asia Tenggara punya aura transnasional. Sistem global membentuk
sebuah kepastian bahwa bahasa Birma, Vietnam, Lao, Thai, Khmer, Tagalog, bahkan
Melayu hanya diperuntukkan buat “penutur” lokal saja. Bahkan dalam kasus bahasa Indonesia dan bahasa
Melayu, yang masih sepupu
dekat, orang Indonesia jarang membaca sastra Melayu —yang mereka anggap udik dan
kuno, serta berbau “etnik”—sementara orang Melayu Malaysia cenderung menganggap
bahasa Indonesianya orang Indonesia sebagai gado-gado semrawut dari banyak
bahasa. Jadi sepertinya tak mungkin ada bahu-membahu dalam menghadapi Stockholm.
Keterpencilan juga berarti bahwa peluang memperoleh Hadiah Nobel membutuhkan
penerjemahan ke “bahasa besar” yang bisa dicerna orang-orang Swedia itu. Namun
elite-elite nasionalis picik yang berkuasa umumnya tidak membaca karya sastra
yang bagus, dan jarang berpikir untuk melatih penerjemah-penerjemah yang
benar-benar bagus. Penerjemahan bukan dipahami sebagai seni, namun semata-mata
teknik. Satu alasan mengapa penulis-penulis besar Amerika Latin bisa mendapat
Hadiah Nobel adalah adanya sekelompok penerjemah dwibahasa (Spanyol-Inggris)
profesional kelas wahid yang dihormati secara luas. Asia Tenggara, sebagai
sebuah kawasan, dan sebagai sekelompok negara yang berdiri sendiri-sendiri, tak
memiliki yang seperti ini.
Para Penantang
Pernahkah
ada kandidat yang mungkin meraih Nobel Sastra dari Asia Tenggara? Saya tak
kompeten untuk mengurai sampai tuntas persoalan ini. Pahlawan nasional Filipina,
José Rizal—jelas tokoh sastra terbesar yang dihasilkan negerinya—dihukum mati
oleh orang Spanyol pada 1896, lima tahun sebelum Hadiah Nobel mulai
dianugerahkan. Andai ia hidup sampai umur 60-an, akankah ia punya kesempatan? Saya
kira tidak, sekalipun ia menulis dalam salah satu bahasa “penting”, sebab tak
ada penulis anti-imperialis serius dari koloni manapun yang bisa diterima
sampai sesudah Perang Dunia II (Hadiah Nobel hanya diberikan kepada penulis
yang masih hidup). Puisi-puisi tasawuf Islam yang menakjubkan gubahan aristokrat
Melayu Medan Amir Hamzah pada 1930an tak bakal dianggap serius di Stockholm, dan
ia kelewat cepat “pergi”, dibunuh oleh begundal-begundal “revolusioner” setahun
sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Karyanya amat sulit diterjemahkan, tak
kurang karena kecondongan religiusnya, dan sejauh yang saya tahu, belum pernah
diterjemahkan secara profesional. Baik negara kolonial Belanda maupun Republik Indonesia
juga tidak begitu mengindahkannya. Namun masuk akal untuk mengangankan bahwa andai
diterjemahkan dengan jitu ke dalam bahasa Perancis atau Inggris, secara
prinsipil puisi-puisinya mungkin untuk jadi pemenang pada era pasca-Perang
Dingin—andai saja ia masih hidup.
“Kemungkinan”
terakhir jelas Pramoedya Ananta Toer, yang namanya mulai diajukan oleh para
pendukungnya di Eropa sejak 1980an. Tak ada yang bakal membantah fakta bahwa Pramoedya
jelas prosais terbesar dalam bahasa Indonesia, dengan curahan karya yang menakjubkan (novel, cerpen, drama,
dan esai-esai kritik sastra) selama lebih dari 40 tahun, kasarnya 1948–1988. Bila
kita mencoba mencari penjelasan mengapa ia berulang kali dilewati oleh Komite Stockholm,
ada sejumlah argumen yang bisa diajukan. Pertama dan terutama adalah sikap
politiknya sebagai aktivis revolusi kemerdekaan Indonesia, dan kemudian sebagai
aktivis kiri independen yang menulis terutama dalam alur realisme sosialis. Pada
awal 1960an, ia menyerang secara konstan sesama penulis dan cendekiawan
Indonesia yang berhaluan konservatif dan liberal atas arah politik mereka yang
reaksioner serta keterikatan mereka pada Barat. Sejumlah tulisannya dengan
lekas diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin, Rusia, serta beberapa bahasa yang
lebih sedikit penuturnya di Eropa Timur dan unsur-unsur non-Rusia dalam Uni
Soviet. Bahkan sekalipun bila saat itu ia telah diterjemahkan ke bahasa Inggris,
ia takkan pernah diterima oleh Stockholm, tak kurang karena Partai Komunis
Indonesia (yang Pramoedya sendiri sebenarnya bukan anggotanya) adalah partai
komunis terbesar di luar blok Komunis.
Kita bisa mengira peluang Pramoedya meningkat pada 1980, karena
ia menghabiskan tahun-tahun 1966 hingga 1979 di penjara-pulau bikinan
kediktatoran Soeharto sesudah pembantaian besar-besaran atas orang komunis dan
yang dituduh komunis pada 1965–1966. Terlebih lagi, bahwa ia berhasil menulis
novel-novel “tetralogi Buru” yang terkenal itu semasa berada di kamp
konsentrasi Pulau Buru yang terpencil. Malahan, semua karyanya dicekal selama 32
tahun pemerintahan Soeharto, dan sampai sekarang pun pelarangan ini belum
secara resmi dicabut, sekalipun juga sudah jarang ditegakkan. Sejauh yang saya
tahu, belum pernah ada pemenang Nobel yang menghabiskan waktu begitu lama di
penjara (tanpa pernah diadili). Kemungkinan juga Pramoedya tak direpresentasikan
dengan baik oleh kawan-kawan lamanya, yang memutuskan menerbitkan terjemahan
Inggris yang tergesa-gesa atas tetralogi Buru, terutama demi maksud-maksud
politik dan HAM, hasil kerja seorang aktivis Australia yang tak begitu mumpuni
untuk menggarap tugas itu. Gaya prosa Pramoedya tak seperti penulis Indonesia
manapun, dan humor gelapnya sangatlah sulit dialihkan ke bahasa Inggris. Terlebih
lagi, tulisan-tulisan terbaiknya —kumpulan cerpen-cerpen dahsyatnya dari tahun
1950an—masih banyak yang belum diterjemahkan. Sesudah berakhirnya Perang Dingin,
ia memenangkan Hadiah Magsaysay (1995) dan Hadiah Fukuoka (2000), namun kedua
penghargaan ini disambut dengan permusuhan sengit oleh kelas berkuasa Indonesia
serta banyak dari littérateurs
dan kaum intelektualnya yang
anti-komunis. Baru sesudah wafat ia diterima sebagai penulis modern terbesar di
negerinya. Telat sudah bagi Stockholm...
[1] Perasaan orang umum di Swedia
sendiri bertabrakan telak dengan Akademi, dan pada 1912
Strindberg dianugerahi hadiah yang nantinya dikenal sebagai Anti-Nobel Prize. Sejumlah
50.000 kronor berhasil digalang melalui sumbangan publik ala kadarnya untuk
menghormati sang dramawan, seorang anarkis bersemangat yang pada 1884 merancang
rencana untuk membunuh raja. Hadiah dipersembahkan oleh pemimpin Sosial
Demokrasi Swedia, Hjalmar Branting, dengan suatu arak-arakan buruh
besar-besaran sambil diterangi nyala obor untuk memperingati ulang tahun ke-60
Strindberg. (Baca Strindberg’s Letters, vol. 2, diedit dan diterjemahkan
oleh Michael Robinson, London 1992, hlm. 790.)
Tulisan yang sangat menggugah hati dan pikiran kita tentang apa yang terjadi dalam dunia pernobel-sastraan dunia. Bagi saya, Pramoedya Ananta Toer adalah Mas Pram yang mencintai Indonesia dengan caranya sendiri.
BalasHapusterima kasih atas terjemahannya. :)
BalasHapusTulisan yang bagus.
BalasHapusTrims terjemahannya..
"Kemungkinan juga Pramoedya tak direpresentasikan dengan baik oleh kawan-kawan lamanya, yang memutuskan menerbitkan terjemahan Inggris yang tergesa-gesa atas tetralogi Buru, terutama demi maksud-maksud politik dan HAM, hasil kerja seorang aktivis Australia yang tak begitu mumpuni untuk menggarap tugas itu."
BalasHapusWow! Emangnya Ben Anderson mampu ngimbangi mutu terjemahan bahasa Inggris dari Max Lane atas Tetralogi Novel Buru Pram?! Kalok Ben Anderson gak mampu ya mbok dia buktiin di mana ketergesa-gesaan terjemahan tsb dan di mana ketakmumpuni penerjemahnya, jadi jangan cumak bikin klaim asersif doang lah! Jugak, bagaimana dengan kontribusi Ben Anderson sendiri sebagai salah seorang "Indonesianis" senior di luar sana? Apa yang telah Ben Anderson upayakan dalam konteks kritiknya di atas, apalagi mengingat Ben Anderson adalah akademisi terkenal di Amerika Serikat?
Kemudian
"Baru sesudah wafat ia diterima sebagai penulis modern terbesar di negerinya."
Wow! Klaim besar lain yang jugak tak dibuktiin kebenarannya! Kalok aku gak silap, jauh sebelum meninggal dunia pun Pran sudah dikeramatkan di Sastra Indonesia! Bahkan sebelum terjadinya peristiwa 1965! Makanya beliau bisa memimpin lembar budaya penerbitan LEKRA, makanya beliau dibuang ke Pulau Buru dan dilarang karya-karyanya sampek hari ini!
Sayang sekali penulis terkenal macam Ben Anderson pun akhirnya terjerembab dalam kedangkalan klaim-klaim asersif seorang non spesialis Sastra Indonesia.