Catatan:
Diterjemahkan
oleh Ronny Agustinus dari “Cine,” bab 7 dalam
buku Carlos Fuentes, En esto creo (2002).
Secara harafiah judul buku ini berarti “Inilah yang kupercayai”. Di sini,
novelis terbesar Meksiko ini mendaftar dari A sampai Z hal-hal yang ia yakini
secara politik dan estetik. Pada abjad “C”, ia menulis “Cine”. Fuentes memang
dekat dengan dunia film dan banyak menulis skenario. Salah satunya, bersama
Gabriel García Márquez, ia menggarap skenario Tiempo de morir (1966)
yang disutradarai oleh Arturo Ripstein. Beberapa novel Fuentes sendiri
juga telah diangkat ke layar lebar. Istri pertama Fuentes (1959-1973) adalah
aktris Rita Macedo. Ia juga menjalin hubungan asmara dengan aktris Jeanne
Moreau and Jean Seberg. Eksperimen seksualnya dengan Seberg –pemeran perempuan
dalam À bout de souffle-nya Godard—dituangkannya
dalam novel Diana o la cazadora
solitaria (1994).
Dari semua bentuk seni abad ke-20, tak ada yang kebaruannya
sedemikian mencerminkan zamannya selain sinema. Lukisan, arsitektur, patung,
dan musik: semuanya diturunkan dari masa lalu, memberi penghargaan padanya,
memperbaharuinya. Hanya film yang lahir dan besar bersama abad ke-20.
Hutang-hutang estetik dan literernya memang banyak. Tapi kehadiran imaji
sinematik itu sendiri, ciptaan yang diilhaminya dan mitologinya yang
dijalinnya barangkali memberikan
pengaruh paling dalam pada identitas zaman kita.
Saya
selalu berpikir bahwa beberapa penulis besar bisa saja lahir di zaman lain
tanpa kehilangan kebesaran dan keabadiannya. Marcel Proust terlintas sebagai
contoh utama. Ditempatkan pada abad ke-17 atau ke-18, novelis dari Combray ini
bakal tak kurang pentingnya. Dan Laclos, dari abad ke-18, akan tetap menjadi
penulis besar di abad ke-20. Di lain pihak, ada penulis-penulis yang tanpanya
kita takkan bakal memahami “zaman kita”. Mereka sungguh tak terpisahkan dari
zaman mereka hidup, universal, dan akan selalu dibaca, namun membawa-bawa
markah zaman bagaikan cap yang tak terhapuskan. Dickens dan Balzac hanya bisa
ada di abad ke-19. Dan Kafka penulis yang tak terceraikan dari abad ke-20. Kita
takkan bisa memahami zaman kita tanpa Die
Verwandlung, Der Process, Das Schloß, Amerika.
Film, karena kebaruannya itu, mengalami transformasi terus
menerus yang dengan lekas mengusangkan apa yang kemarin masih baru. Luis Buñuel
kerap mengeluhkan ketergantungan teknis dalam film. Kemajuan yang begitu cepat
membuat sebagian besar film lama menjadi kuno. Menaklukkan waktu yang serba
sekejap dengan gambar-gambar yang awet bertahan lama adalah tantangan seorang
sineas, dan karena saya menyinggung Buñuel, saya pun mulai membangkitkan gambaran-gambaran
dari Un Chien andalou dan L’Age d’or yang terus hidup sekalipun
tekniknya telah lama dilampaui.
Saya menyebut di atas film-film bisu karena antara film bisu dan
bersuara ada jurang yang sangat dalam. Perkembangan sinematografi tanpa kata
telah mencapai keindahan dan kefasihan yang belum berhasil disamai oleh film
bersuara. Membuat Anda ingin bersepakat dengan pemikiran Montaigne: “Tandis que tu as gardé silence, tu as paru
quelque grande chose.” (Saat kau diam, kau utarakan sesuatu yang besar).
Sebagian besar film komedi –Chaplin,
Keaton, Harold Lloyd, Laurel dan Hardy—bergantung pada visual murni untuk
membuat lawakannya efektif. Suara merusak, merendahkan, atau mengubahnya.
Keaton dan Lloyd rusak. Laurel dan Hardy menurun. Namun Chaplin terubah, ia
memberi dunia dua mahakarya komedi bersuara: The Great Dictator dan Monsieur
Verdoux.
Narasi
plastis film-film seperti La passion de
Jeanne d'Arc karya Dreyer, Battleship
Potemkin karya Eisenstein, Pandora’s
Box karya Pabst, The Wind karya
Sjöström, Broken Blossoms karya Griffith,
The Crowd karya Vidor, dan terakhir, Sunrise karya Murnau, barangkali film
paling indah dari era film bisu, disela dengan brutal oleh kebaruan (hambar) Al
Jolson menyanyi “Mammy” dan silih-ganti melodrama teatrikal statis tanpa nilai
apapun selain kebaruan bunyi percakapan. Meski Hollywood banyak memberi
sumbangan bernilai pada “film genre” –film-film koboi, gangster, protes sosial,
belum lagi screwball comedy (comedia
loca) dan erotisme sublim dalam ritualisasi tari Rogers dan
Astaire—pencapaian ini belum bisa menandingi revolusi teknis, naratif, dan
visual yang dihadirkan oleh Citizen Kane karya
Orson Welles. Dalam Kane, untuk
pertama kalinya, langit-langit kelihatan, fokus di latar depan dan latar tengah
sama-sama tajam, suara dan gambar berpadu, waktu dan ruang berwujud, biografi
dan sinematografi berbaur.
Eksperimentasi
suara Rouben Mamoulian mengembalikan mobilitas balik ke kamera. Lalu ada
ekstravaganza musikal yang paling bebas dari Busby Berkeley. Penggunaan yang
mengesankan atas film untuk dokumenter oleh Flaherty. Penyutradaraan terukur
atas aktor-aktor film, bukan teater, oleh George Cukor. Atau sebaliknya,
teatrikalitas disengaja oleh Carné dalam Les
Enfants du paradis, seiring sejalan dengan kesengsaraan urban yang menubuh
dalam tokoh-tokoh semacam Jean Gabin, Arletty atau Michel Simón, memperluas
cakupan dan memberi pengesahan atas aneka ragam genre dalam ranah sinematik.
Dan sekalipun komedi bersuara boleh jadi tidak sefasih komedi bisu (Cantinflas
bukanlah Chaplin; Abbott dan Costello bukanlah Laurel dan Hardy), dialog dalam
film berhasil membedakan dirinya dari dialog teater, terutama dalam perkawinan
gemerlap antara lisan dan tindakan dalam komedi-komedi Lubitsch dan Kawks,
penampilan bersuara yang sungguh sinematik dari aktor-aktor seperti Cary Grant
dan James Cagney, Bette Davis dan Barbara Stanwyck: semua yang terhebat.
Mencipta suatu gaya pribadi tanpa mengindahkan kaidah-kaidah
umum, terlepas dari nama besar “bintang-bintang” dan tuntutan komersial
“studio”—itulah yang menghadirkan superioritas pada diri segelintir pencipta
sejati karya-karya sinematik.
Orson Welles, dalam sebuah mujizat instan, berhasil
mempersatukan, melalui gayanya sendiri, kemungkinan-kemungkinan sinema
bersuara, biografi seseorang, dan dinamika masyarakat di mana memiliki semuanya
sama dengan kehilangan semuanya. Citizen
Kane, barangkali, adalah film terbesar abad ke-20. Namun buat saya ia juga
tak terpisahkan dari film-film lainnya yang sama-sama membangun dan merontokkan
apa yang disebut “the American Dream.”
Singin’ in the Rain dari Stanley Donen dan Gene Kelly barangkali adalah
karya paling murni dan nikmat dari optimisme Amerika. Gene Kelly dan Cyd
Charisse yang indah dan menggemaskan menegaskan neo-Cartesianisme Amerika
Serikat: “Aku menari, karena itu aku ada.” Sementara Taxi Driver karya Martin Scorsese adalah mimpi buruk Amerika,
kekerasan murni sesuka-sesukanya tanpa alasan, karena segala ada dan segalanya
bukan apa-apa. Orson Welles berambisi. Gene Kelly merayakan. Robert de Niro
menghancurkan.
Versi-versi personal lainnya dari keindahan sinematografis
tampil dari kebudayaan-kebudayaan yang tak begitu narsis dalam merayakan
dirinya sendiri dibanding Amerika Serikat. Jean Renoir barangkali adalah
teladan dari semangat Perancis: di mana ironi menerangi dan menyelamatkan kita
dari ilusi-ilusi nalar dan disilusi fatalitas. Sebuah kecerdasan insani,
komprehensif, menyeluruh, jernih, yang membawa kita melampaui Manikheisme
gampangan. Pierre Fresnay dan Erich von Stroheim memahami satu sama lain karena
mereka begitu mirip, sementara Jean Gabin dan Marcel Dalio memahami satu sama
lain justru karena perbedaan mereka.
La Grande Illusion adalah film Eropa abad ke-20 yang bisa
bersaing memperebutkan gelar yang disandang Citizen
Kane (meski banyak orang akan lebih mendukung mahakarya Renoir lainnya, La Règle du jeu). Namun tidak jauh di
belakang mereka kita mendapati sineas-sineas yang –melampaui imajinasi politik
dahsyat Welles dan Renoir— mampu memberikan gambaran jernih akan masalah-masalah
spiritual, yang terformulasikan barangkali sebagai perangai religius tanpa
suatu iman religius: Katolik versinya sendiri, Luis Buñuel; dan Protestan versinya
sendiri, Ingmar Bergman; belum lagi Jansenis tulen, Robert Bresson. Dan apakah
kita mengerdilkan Alfred Hitchcock bila kita bertanya benarkah rasa takut –tema
besar sutradara kawakan Inggris ini—sesungguhnya adalah dramatisasi modern dari
Kejatuhan Manusia, yang memisahkan manusia dari Tuhan? Inilah ketegangan yang
sebenar-benarnya dari Hitchcock: di mana Tuhan, mengapa meninggalkan kita
begitu saja dalam dunia penuh tipu muslihat yang tak terduga? Alangkah
mengerikan!
Film juga memiliki kemampuan luar biasa untuk menjadi puisi,
seperti L’Atalante karya Vigo dan The Night of the Hunter karya Laughton.
Dengan penuh konsistensi, film terus menerus memadukan komentar sosial dengan
narasi dramatik. Inilah sumbangan besar sineas-sineas Italia Rosellini, De
Sica, dan Visconti. Film sungguh piawai dalam kemampuannya menciptakan suasana,
dari yang gelap (sinema noir Amerika)
sampai yang terang (adakah film dengan cahaya lebih banyak, baik internal
maupun eksternal, dibanding The Wizard of
Oz?). Dan bila pengertian “genre” telah membebani bahkan
sutradara-sutradara besar seperti Ford dan Kurosawa, dua sutradara Asia harus
disebut karena telah mengembalikan kepada film kebebasan kreatif tertingginya
di hadapan tirani genre: Kenji Mizoguchi dari Jepang dalam salah satu film
favorit saya, Ugetsu monogatari, dan
Satyajit Ray dari India dalam trilogi Apu-nya. Mizoguchi mencapai keajaibannya
dengan menunjukkan emosi di balik yang remang-reang. Ray, dengan menunjukkan
belas kasihan dari tatapan.
Pada akhirnya, ada sesuatu yang tak bisa dipisahkan dari
kecintaan akan film, yakni cinta dan keterpukauan yang kita rasakan pada
paras-paras sinematik. Dulu, sewaktu saya bersama Buñuel menonton La passion de
Jeanne d'Arc karya Dreyer,
sutradara besar dari Aragón itu mengaku pada saya keterpukauannya pada facies, wajah sinematik. Jelas cuma bisa
hanya ada satu Falconetti, dan barangkali itu sebabnya Pucelle-nya Dreyer itu
cuma membintangi satu film sepanjang hidupnya.
Berulang
namun unik, butiran debu yang penuh pukau, apalah hidup kita ini sebagai
manusia-manusia abad ke-20 tanpa keindahan, ilusi, dan hasrat yang dihibahkan
pada kita oleh wajah-wajah Greta Garbo dan Marlene Dietrich, Louise Brooks dan Audrey
Hepburn, Gene Tierney dan Ava Gardner? Atas alasan inilah, saya suka sekali menemukan
rujukan-rujukan filmis mengenai tatapan di dalam tatapan.
Bogart
kepada Bergman dalam Casablanca: “Di
sini memandangimu, nak.”
Gabin
kepada Morgan dalam Le Quai des brumes:
“Matamu indah, kau tahu itu?”
Inilah
keajaiban besar sinema: ia mengalahkan kematian. Wajah Garbo dalam adegan
pamungkas Queen Christina, wajah dan
profil Louise Brooks dengan gaya rambut bak gagak dalam Pandora’s Box, wajah Marlene di antara sifon dan kain-kain barok
dalam Shanghai Express dan The Scarlet Empress, María Félix
mengelamun sambil disenandungkan serenade di Enamorada, atau Dolores del Rio melihat kematiannya sendiri dalam
kematian Pedro Armendáriz di Flor
Silvestre, atau wajah Marylin saat menuruni tangga berlapis berlian atau
saat ia bergulat dengan uap musim panas New York yang mengangkat rok putihnya
dan menyingkap paha putih itu dalam The
Seven Year Itch. Wajah-wajah ini, pada akhirnya, adalah realitas final dan
absolut dari film: tak satupun dari mereka bisa bertambah tua, tak satupun dari
mereka bisa mati. Film menjadikan mereka abadi, inilah kemenangan sinema atas
usia dan kematian.
Tak
ada teori, tak ada pencapaian artistik yang bisa menutupi atau menghapus
kenyataan sederhana tersebut. Itulah realitas kita, percintaan kita yang paling
intim namun yang paling banyak diumbar bersama yang lain, dan itu berkat sinema.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar