Selasa, 19 Oktober 2010

Lagi, Bukan Kiri Bukan Kanan

Latin America's Political Economy of the Possible: Beyond Good Revolutionaries and Free-Marketeers
Javier Santiso
Terjemahan Inggris oleh Cristina Sanmartin dan Elizabeth Murry dari
Amérique latine. Révolutionnaire, libérale, pragmatique (2005)
MIT Press, 2007


Kita telah mendengarnya berulang kali, dalam pelbagai versi, dari Soeharto sampai SBY, ajakan untuk bersikap pragmatis, untuk melampaui kiri dan kanan, untuk mengambil jalan tengah, untuk tidak terjebak pengkutuban ideologis dalam menerapkan kebijakan ekonomi-politik demi kemakmuran rakyat.


Tapi menurut saya, ajakan untuk mencari cara baru guna menghindari kelemahan-kelemahan dalam ortodoksi ekonomi-politik kiri dan kanan harus dibedakan dengan ajakan untuk tidak bersikap ideologis dalam berpolitik. Karena dalam jenisnya yang pertama itu, ideologi tetap ada dan tetap dijadikan pijakan yang kukuh. Contohnya yang jelas adalah Pancasila. Rumusan Pancasila punya warna sosialis yang sangat kental melihat penggagasnya yang sangat kiri, lalu mengapa pada zaman Orde Baru Pancasila dibilang "bukan kiri bukan kanan" sampai memunculkan guyonan soal "yang bukan-bukan" itu? Contoh lain adalah Jalan Ketiganya Anthony Giddens, atau paham kesejahteraan Svenska modellen ala Swedia yang sering disebut "ultra Keynesian"--semuanya memiliki pijakan ideologis yang kukuh yang bersumber pada cita-cita mencapai kesetaraan dan keadilan.

Sementara ajakan untuk bersikap pragmatis, yang seakan-akan tak hendak menganut ideologi secara kaku, justru seringkali menyembunyikan fakta bahwa ajakan ini sangat ideologis (dalam hal ini kapitalis sifatnya).* Kita ingat Daniel Bell dengan The End of Ideology yang terbit di penjelang akhir era 1960an. Bell menyatakan bahwa pragmatisme dalam bentuk teknokratisme akan merajai karena segala masalah sosial akan bisa dipecahkan secara teknologis. Kita ingat juga The End of History-nya Francis Fukuyama pada akhir 1990an yang menyatakan bahwa sejarah sudah berakhir sesudah blok Soviet runtuh, lagi-lagi pemecahan teknislah yang akan berkuasa.

Sepuluh tahun memasuki abad ke-21 kita tahu ramalan Bell dan Fukuyama tidak afdol. Masalah-masalah sosial tidak bisa dipecahkan secara teknis semata. Lagipula, pengalaman banyak negara terutama AS dan Inggris era 1980an menunjukkan dengan jelas bahwa apa yang disebut pragmatisme itu tak lain adalah samaran dari kapitalisme laissez-faire yang paling brutal.

Karenanya saya cukup heran masih ada ekonom di abad ke-21 ini yang lagi-lagi mengajurkan pragmatisme semacam itu sebagai metode ekonomi-politik terbaik. Javier Santiso ingin menunjukkan di buku ini bahwa perkembangan kontemporer Amerika Latin hanya bisa dijelaskan melalui semacam pragmatisme yang kini diistilahkannya sebagai "possibilism": meninggalkan ideologi-ideologi kaku baik dari kiri (sosialisme dan revolusi) maupun kanan (pasar bebas), dan menerapkan apapun yang bisa dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan.

Santiso tentunya tidak menjelaskan bagaimana pragmatisme ini sebenarnya justru terkait erat dengan ideologi ekonomi dominan zaman Reagan-Thatcher yang telah diulas tadi. Pemberontakan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista di Chiapas, Meksiko, pada 1994 menunjukkan bahwa suatu gerakan ideologis masih terus dibutuhkan. Demokratisasi di Meksiko takkan berjalan secepat yang terjadi sekarang bila tak ada dorongan dan efek gulir yang sangat kuat akibat pemberontakan Zapatista. Fakta inilah yang justru tak disinggung sama sekali oleh Santiso seolah-olah Zapatista tidak pernah berpengaruh dan bahkan tidak ada. Itu bisa dipahami, karena bila Santiso memberi kredit pada Zapatista atas perannya dalam demokratisasi Meksiko, maka runtuhlah bangunan tesisnya bahwa Amerika Latin sekarang sudah melampaui "good revolutionaries".

Seharusnya dari data-data ekonomi Peru Santiso bisa melihat bahwa politik bagaimanapun selalu butuh utopia, dan bukan pragmatisme belaka. Orang takkan puas dengan pencapaian-pencapaian ekonomi jangka pendek semata. Penerimaan masyarakat terhadap pemerintahan Alejandro Toledo di Peru anjlok terus mulai kuartal ke-3 tahun 2001 dan mencapai titik terendahnya pada kuartal 1 tahun 2004, padahal pada periode yang sama PDB Peru terus meningkat. Bagaimana Santiso akan menjelaskan ini lewat "possibilism"-nya?

Mengutip Flaubert, Santiso mengatakan bahwa ideologi-ideologi besar yang dianut negara-negara Amerika Latin selama ini mengidap "rage de vouloir conclure" (atau the rage to conclude, the impatience to reach results without proceeding step by step). Sayang sekali bahwa analisa buku ini tampaknya juga mengidap kecenderungan itu. Sayang karena sebenarnya Santiso adalah penulis yang piawai. Analisa ekonomi-politik setebal 272 halaman ini ditulis dengan cergas (witty) dan tidak membosankan, hanya bila ditelusuri lebih dalam, tesis dasarnya kurang meyakinkan.
____
*) Mengenai perbedaan antara "alternatif" dengan "jalan tengah" ini, saya ingin mengutip Prof. Robert Lawang dalam uraiannya tentang masalah agraria di Indonesia (yang meskipun berbeda, namun juga punya tautan dengan kebijakan ekonomi-politik yang lebih luas): "Karena itu, mencari jalan tengah, seperti yang menjadi kebiasaan sikap pada orang Indonesia, cenderung mereproduksi habitus lama kita." (Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, 2010, hlm. 130) Di sini, dengan memakai sosiologi Bourdieu, Lawang bicara tentang habitus kelas atas, habitus kota dan antidesa yang telah mengendap dalam struktur kepribadian Indonesia yang membuat kebijakan-kebijakan agraria tak pernah berpihak pada petani dan masyarakat bawah. Mencari jalan tengah justru akan mereproduksi habitus itu, mengekalkan status quo, bukan menyelesaikan masalah. Yang dibutuhkan adalah habitus alternatif. Sama halnya, ajakan untuk mencari jalan tengah dalam ideologi ekonomi-politik justru menopengi bahwa ajakan itu sendiri sesungguhnya ajakan untuk menerapkan ideologi dominan yang menjadi pangkal masalah.

2 komentar:

  1. saya sempat baca disebuah artikel yang isinya begini :

    In 1995, however, the number of international visitors to Chiapas was growing again, and hasn’t stopped growing ever since. Axel Kersten notes that a high percentage of these tourists are so called ‘alternative’ travellers from Europe and North America who, rather than sand and sun, are interested in ‘ethnic, cultural, adventure (…) and “politically correct” tourism’

    maksud dari politically correct tourism itu apa yah. mohon bantuan bpk untuk memahaminya.soalnya kemampuan bhs inggris saya terbatas, heheheh terima kasih sebelumnya dan maaf mengganggu

    BalasHapus
  2. Dear Andiey,

    maksudnya adalah "wisata yang bernuansa politik" sebagai alternatif dari wisata biasa yg cuma melihat-lihat keindahan alam, budaya dsb. Beberapa tempat konflik spt Chiapas (Meksiko) atau Palestina kini dijadikan tujuan wisata politik ini, dengan maksud agar para wisatawan mancanegara mendapat pemahaman mengenai konflik yg terjadi di sana dan sekembalinya ke negara asalnya bisa mengumpulkan simpati/menyebarkan cerita demi kepentingan perjuangan di sana.

    BalasHapus