Rabu, 20 Oktober 2010

Epitaf untuk Sebuah Perpustakaan, oleh Mario Vargas Llosa

"Epitafio para una biblioteca", Mario Vargas Llosa. Terbit pertama kali di El País (Madrid, 29 Juni 1997). Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari El Lenguaje de la pasión (Madrid: Punto de lectura, 2007 [2001]), hlm. 198-204.


Kemarin saya mendapat bukti kuat bahwa tempat persembunyian tercinta nan nyaman saya di London akan dirampas tanpa ampun. Saya masuki Ruang Baca Perpustakaan di jantung British Museum, dan bukan suasana hangat seperti biasa yang menyambut saya, melainkan pemandangan menyedihkan: separuh rak-rak tak terhitung jumlahnya yang melingkari ruang itu telah dikosongkan, dan di tempat ribuan buku berderet-deret apik menjulur bentangan-bentangan kayu memudar, dinodai belentong-belentong yang terlihat seperti sawang laba-laba. Belum pernah saya mengalami perasaan dikhianati dan kesepian macam ini sejak berumur 5 tahun, ketika ibu membawa saya ke Sekolah La Salle di Cochabamba dan meninggalkan saya di kelas Bruder Justiniano.

Saya pertama kali datang ke tempat ini 32 tahun lalu, saat baru saja tiba di London, untuk membaca buku-buku Edmund Wilson, yang esainya tentang evolusi gagasan sosialisme –To the Finland Station—sangat memukau saya. Bahkan sebelum menyadari kekayaan koleksinya –sekitar sembilan juta judul—saya terpana oleh keindahan Ruang Baca utama, dikitari rak-rak berbau samak dan kertas dan bermandi cahaya kebiruan yang diam-diam turun ke atasnya dari kubah menakjubkan yang dibangun oleh Sydney Smirke pada 1857, terbesar di dunia setelah Pantheon di Roma, yang mengunggulinya hanya sekitar dua meter dalam diameter. Biasa bekerja di perpustakaan yang tak nyaman dan tak ramah, seperti di Paris, yang selalu penuh sesak saat musim ujian sampai harus mengantri di Place de la Bourse sejam sebelum buka untuk bisa masuk, saya tidak bisa mempercayai perpustakaan satu ini, yang selain sangat indah juga sangat nyaman, begitu hening dan ramah, dengan bangku-bangku empuk dan meja-meja panjang di mana kau bisa membeber buku catatan, kartu-kartu indeks, dan menumpuk tinggi buku-buku tanpa merecoki sebelahmu. Marx tua menghabiskan sebagian besar hidupnya di sini, menurut Edmund Wilson, dan mejanya masih disimpan pada tahun 1960an, terlihat di sisi kanan pintu masuk, yang pada pertengahan 1980an lenyap dengan bangku-bangku sebarisnya karena diperuntukkan buat komputer.

Tanpa melebih-lebihkan bisa saya katakan bahwa saya habiskan empat atau lima sore seminggu sepanjang seluruh waktu saya di London yang lebih dari tiga dekade itu dalam Ruang Baca British Library, dan di sini saya luar biasa bahagia, lebih bahagia ketimbang tempat manapun di dunia. Di sini, dibuai bisik kereta dorong kecil yang berkeliling dari satu pembaca ke pembaca lain mengantarkan pesanan, serta ditenangkan oleh kepastian mutlak bahwa tak bakal ada telepon berdering, bel berbunyi, serta tamu berkunjung, saya siapkan kuliah-kuliah sastra saya saat mengajar di Queen Mary’s College dan King’s College. Di sini saya menulis surat, artikel, esai, drama, dan setengah lusin novel. Dan di sini saya baca ratusan buku, yang berkatnya saya pelajari hampir segala sesuatu yang saya tahu. Tapi terutama di ruang inilah saya berkhayal dan bermimpi bersama penyair-penyair besar, para penganyam mantra yang hebat, serta begawan-begawan fiksi.

Saya terbiasa bekerja di perpustakaan sejak kuliah, dan di manapun saya berada saya mencoba melanjutkan praktik ini, sampai-sampai kenangan saya akan negara dan kota-kota sebagiannya ditentukan oleh gambaran dan anekdot-anekdot yang saya dapatkan tentang perpustakaannya. Perpustakaan di gedung kuno San Marcos di Lima suasananya pekat dan kolonial, dan buku-bukunya menebar debu tipis yang membuatmu bersin. Di Perpustakaan Nasional di Abancay Avenue, para mahasiswa berisiknya luar biasa dan lebih ribut lagi penjaga yang menyuruh mereka diam (meniru mereka, sebenarnya) dengan peluit melengking. Di perpustakaan Klub Nasional tempat saya bekerja, saya baca koleksi erotika lengkap Les maîtres de l'amour, yang diedit, dikatapengantari, dan diterjemahkan oleh Guillaume Apollinaire. Di Perpustakaan Nasional Madrid yang menggigilkan, pada akhir 1950-an, orang harus pakai mantel agar tidak pilek, tapi saya pergi ke sana tiap sore untuk membaca novel-novel keksatriaan. Ketidaknyamanan perpustakaan Paris mengalahkan semuanya: bila kau tidak sadar menggerakkan lengan, sikutmu akan mengenai rusuk sebelahmu. Suatu sore di sana, saya angkat mata dari buku edan tentang orang-orang edan karya Raymond Queneau, Les enfants du limon, dan mendapati diri berhadap-hadapan muka dengan Simone de Beauvoir, yang duduk di seberang saya dan menulis membabi buta.

Kekagetan terbesar saya soal ilmu perpustakaan berasal dari seorang Cile terpelajar yang ditugasi membeli buku-buku Amerika Latin untuk Library of Congress, Washington. Ketika saya tanya pada 1965 apa kriteria pilihan yang mesti ia beli, jawabnya: “Gampang saja. Kami beli tiap buku yang terbit.” Kebijakan jutawan ini juga dipakai oleh Perpustakaan Harvard yang masyhur, di mana kau harus mencari buku-bukumu sendiri dengan mengikuti jalur rumit yang ditunjukkan oleh komputer yang bertugas sebagai resepsionis. Dalam enam bulan yang saya habiskan di sana, saya tak pernah berhasil menelusuri dengan benar labirin itu, yang artinya saya tidak pernah bisa membaca apa yang ingin saya baca, melainkan hanya apa yang tak sengaja saya temukan ketika mengembara dalam perut paus bibliografis itu. Toh saya tak bisa mengeluh, karena saya dapati penemuan-penemuan menakjubkan seperti memoar Aleksandr Herzen –seorang liberal Rusia, tak lain!— dan The Octopus karya Frank Norris.

Di Perpustakaan Princeton suatu sore yang bersalju, memanfaatkan kelengahan orang sebelah saya, saya mencuri-curi lihat buku yang sedang ia baca dan kebetulan bertemu kutipan mengenai kultus Dionysus di Yunani kuno yang membuat saya mengubah seluruhnya novel yang sedang saya garap, dan menjajal menciptakan ulang secara modern mitos klasik Andes tentang kekuatan-kekuatan irasional dan kerasukan ilahi. Perpustakaan New York yang paling efisien dari semuanya –tak perlu kartu pendaftaran, dan buku-buku yang kau minta dikeluarkan dalam hitungan menit—tapi tempat duduknya juga yang paling keras, jadi mustahil bekerja di sana lebih dari sekian jam kecuali bila bawa bantal untuk melindungi tulang sulbi dan tulang ekor.

Dari semua perpustakaan ini dan lain-lainnya saya punya kenangan manis, tapi tak ada satu pun baik secara terpisah maupun bersama-sama yang telah membantu, merangsang, atau mendukung saya begitu rupa seperti Ruang Baca ini. Dari episode tak terbilang banyaknya yang bisa saya pakai untuk menggambarkan hal tersebut, saya pilih yang terakhir: menemukan dalam katalognya majalah tipis yang diterbitkan di Amazon setengah abad lalu oleh romo-romo Dominikan yang bertugas di kawasan terpencil itu, berisi salah satu dari sedikit testimonial tentang suku Machiguenga beserta mitos, legenda, adat, dan kebiasaan mereka. Dengan putus asa saya minta teman-teman di Lima untuk mencari dan memfotokopinya –saya perlu bahan itu untuk novel—dan ternyata koleksi lengkapnya ada di sini, di British Library, di hadapan saya.

Ketika, pada 1978, pemerintahan Partai Buruh mengumumkan bahwa karena kurangnya ruang, perpustakaan baru akan dibangun dan Ruang Baca akan dikembalikan ke British Museum, tengkuk saya merinding. Tapi melihat suramnya kondisi perekonomian Inggris waktu itu, saya hitung-hitung bahwa untuk merampungkan proyek mahal ini bisa jadi makan waktu lebih banyak ketimbang sisa umur saya. Namun demikian, setelah 1980-an, keadaan mulai membaik di Inggris, dan gedung baru itu, yang didirikan di daerah yang tersohor atas mucikari dan pelacurnya, St. Pancras, mulai tumbuh membesar dan menampakkan parasnya yang mengerikan penuh batu bata dan jeruji besi penjara. Sejarawan Hugh Thomas membentuk komite yang mencoba meyakinkan pihak berwenang bahwa meskipun British Li­brary pindah ke lokasi baru, Ruang Baca di British Museum harus dilestarikan. Saya anggota komite, saya tulis surat dan meneken petisi, tapi percuma, karena British Museum bertekad memulihkan apa yang menurut hukum menjadi haknya dan pengaruh serta argumennya mengalahkan argumen kami.

Kini segalanya lenyap. Buku-bukunya sudah diboyong ke St. Pancras, dan meski secara teori Ruang Baca akan dibuka sampai pertengahan Oktober dan sebulan sesudahnya Ruang Humaniora penggantinya akan dibuka, ia sudah mulai mati sedikit demi sedikit, karena buku-bukunya, yang menjadi jiwanya, dicabik keluar dan tinggal cangkang yang melompong. Segelintir dari kami para sentimentalis akan terus datang sampai hari penghabisan, seperti saat kita temani orang-orang tersayang dalam penderitaan terakhir mereka agar bisa berada di sampingnya saat menarik nafas penghabisan, tapi suasananya takkan sama pada bulan-bulan ini, tidak pula kesibukan sunyi yang dulu atau perasaan nyaman untuk membaca, meneliti, mencatat, dan menulis di sana, tercebur dalam kondisi yang ganjil, seakan lolos dari roda waktu, menjamah dalam ruang cekung kebiruan itu atemporalitas hidup yang seolah-olah dilakoni melalui buku-buku dan ide-ide serta fantasi-fantasi mengagumkan yang terwujud di dalamnya.

Tentu saja, dalam hampir 20 tahun berlalu sejak pembangunan dimulai, perpustakaan St. Pancras sudah jadi kekecilan dan takkan muat menampung semua stoknya, yang bakal berpencaran di gudang-gudang penyimpanan seputar London. Cacat dan kesemrawutan yang menimpanya ini telah membuat Times Literary Supplement menggambarkannya sebagai “British Library atau Bencana Besar.” Saya, tentunya, belum pernah masuk ke sana, dan manakala lewat yang saya pandangi adalah para pelacur pekerja keras di trotoarnya, bukan tembok batunya yang merah darah, yang membuat orang membayangkan bank, barak, atau pembangkit listrik, dan bukan kerja intelektual. Saya jelas takkan menginjakkan kaki ke sana sampai tidak punya pilihan lain, dan akan terus saya canangkan sampai mati bahwa dengan mengganti tempat kesayangan banyak orang itu dengan horor ini, sebuah kejahatan memalukan telah diperbuat, dan kejahatan ini gampang dijelaskan, karena bukankah mereka ini orang-orang yang sama yang menjebloskan si malang Oscar Wilde ke penjara dan melarang Ulysses-nya Joyce serta Lady Chatterley’s Lover-nya Lawrence?

London, Juni 1997

1 komentar:

  1. oh, disana tokh dia bangun cosmopolitics-nya machiguenga...trims, ron!

    BalasHapus