Perintah
Pertama: Disiplin
Buku tidak menulis dirinya sendiri. Juga
tidak digodok dalam komite. Menulis adalah aksi seorang diri yang kadang
menakutkan. Seperti memasuki terowongan tanpa tahu adakah cahaya di ujungnya,
atau bahkan apakah ujungnya itu memang ada.
Aku ingat sewaktu muda menghabiskan banyak
akhir pekan di Cuernavaca, sebuah kota tropis di Meksiko, bersama penulis
Alfonso Reyes, yang oleh Borges dijuluki sebagai prosais berbahasa Spanyol
terbaik sepanjang abad ke-20. Reyes berumur hampir tujuh puluh tahun, sementara
aku baru tujuh belas, dan kadang aku pulang dari pesta-pesta pukul lima pagi
dan melihat lampu di kamar kerja Reyes menyala dan Don Alfonso sendiri membungkuk
menghadap meja tulisnya bak kurcaci pembuat sepatu.
Ia meredakan ketakjubanku –katakanlah
rasa iriku, keinginanku untuk bisa menyamainya—dengan kalimat Goethe, yang
sama-sama tukang bangun pagi: “Penulis harus memakai bagian terbaik dari harinya.”
Jadi sesudah menulis dari pukul lima sampai delapan, Goethe bisa melanjutkan
harinya dengan mengumpulkan bebatuan, mengarang teori tentang cahaya, menjadi
penasehat takhta istana Weimar, dan mengejar-ngejar babu istana.
Alfonso Reyes mengajariku bahwa disiplin
adalah nama sehari-hari dari daya cipta, dan Oscar Wilde bahwa bakat sastrawi
adalah 10 persen inspirasi dan 90 persen memeras keringat.
Tapi bila ini adalah sisi logis kreasi
sastra, ada sisi lainnya, yang misterius dan tak terduga, yang tidak hendak
kukaitkan dengan remang-remangnya inspirasi, sebuah kata yang kerap dipakai
sebagai dalih untuk menunda-nunda kerja sembari menunggu Godot, sesuatu yang di
zaman lampau disebut Dewi Ilham.
Bagian misterius dari kreativitas itu
adalah bermimpi.
Aku bisa saja merencanakan, malam
sebelumnya, kerjaku esok pagi dan pergi tidur dengan tenang sekalipun tak sabar
untuk bangun dan meneruskan menulis. Tapi ketika aku duduk esok paginya, rencana
yang sudah dijabarkan oleh logika litererku melenceng jauh, menderita terlalu
banyak kebetulan, dan dihajar oleh yang sama sekali tak terperkirakan.
Apa yang terjadi?
Ternyata aku bermimpi. Dan ternyata mimpi-mimpi
yang kuingat itu repetitif, biasa saja, dan mubazir. Tidak bisa tidak aku
berpikir bahwa tangan kreatif yang membimbing tanganku sendiri esok paginya
adalah tangan mimpi-mimpi yang tidak kuingat, mimpi-mimpi yang melakukan kerja
mereka yang tak kasat mata: memindah, memadatkan, mengelaborasi ulang, dan mengantisipasi
–dalam kerja impian—kerja sastra.
Nah, masing-masing kita punya caranya
sendiri untuk mengusir lalat, dan caraku adalah bangun pukul enam pagi, menulis
dari pukul tujuh sampai dua belas, berolahraga satu jam, pergi keluar dan
membeli koran (apa yang mereka sampaikan selalu terlihat lebih kuno dibanding
imajinasiku), makan siang bersama istriku Silvia, membaca selama tiga jam di
sore hari –dari pukul tiga sampai enam—lalu
keluar ke bioskop, teater, opera, atau bercengkerama bersama teman-teman.
Harus segera kutambahkan bahwa hal itu
hanya mungkin di bentengku untuk menulis di London, sebuah kota yang tertata
rapi. Di Mexico City situasinya berbeda. Ada yang namanya “sarapan politik”
–ritual pialang kekuasaan, tukar-menukar informasi, merusak reputasi, memajukan
orang—dari pukul delapan sampai sepuluh tiga puluh. Lauknya berat, seolah-olah
tak ada politik tanpa pozole. Makan
siang dari pukul tiga sampai enam sore di bawah sorotan mata ironik dewi Aztec
Coatlicue, sebuah jaminan bahwa mencerna bakal jadi tugas berat. Dan lantas ada
makan malam dari pukul sepuluh malam sampai dua dini hari.
Kalau aku berhasil menulis kolom saja di
bawah kondisi macam itu, aku sudah merasa puas.
Tapi Meksiko adalah kawan-kawanku,
keluargaku, rakyatku yang hangat, ramah, menakjubkan, kotaku yang sesak
tercekik dengan udara yang tidak lagi jernih, kawasan kenanganku dan kehidupan
politik di mana realitas terus-menerus melampaui fiksi. Meksiko benar-benar
mengisi urat-urat nadi komunikasiku dan memperbarui letupan-letupan kreatifku
dengan asupan ganas tequila dan enchiladas.
Lalu aku bisa kembali ke London dan
bersyukur atas iklim yang buruk, makanan yang payah, dan basa-basi garing penduduknya,
tanpa kehilangan kangenku pada sembilan ratus varietas cabai dan tujuh jenis mole,
dan menyimpan dalam kupingku dua bunyi konstan dari Meksiko yang ibarat
tepuk tangan harian di negeriku: tangan para perempuan kami menumbuk tortilla jagung dan pelukan kaum pria
kami yang saling menepuk punggung satu sama lain.
Perintah
Kedua: Bacalah
Bacalah banyak-banyak, bacalah semuanya, dengan
lahap. Fernando Benítez, seorang kawan lama, penulis dahsyat kronik
kebudayaan-kebudayaan Indian di Meksiko, punya kartu nama yang cuma bertuliskan:
Fernando Benítez, Pembaca Novel.
Generasiku di Meksiko, dan seantero dunia
Latin (termasuk Italia, Perancis, Portugal, dan Spanyol) barangkali adalah
generasi terakhir yang menyuapi imajinasi dengan membaca buku-buku menakjubkan
yang memindahkan kami ke dunia lain, semesta impian masa kanak-kanak. Buku-buku
ini bermakna hakiki buat kami, tapi tidak dikenal di wilayah Anglo-Amerika:
Emilio Salgari dan dongeng-dongeng Sandokan, Harimau Malaysia; Paul Feval dan
si bungkuk Lagardere; kisah-kisah jagoan Les Pardaillan yang memungkinkan kami
membayangkan memakai jubah dan membawa pedang alih-alih celana monyet dan gundu;
atau buku sentimentil Cuore karya orang Italia Edmondo d'Amicis yang
membolehkan kami menangis tanpa sungkan-sungkan.
Inilah buku-buku pokok masa kanak-kanak
dunia Latin, dari Roma sampai Buenos Aires, dari Paris dan Madrid sampai Mexico
City. Lalu kami imbuhi dengan buku-buku yang sama-sama dibaca di dunia Anglo-Amerika,
terutama Dickens, Stevenson, dan Mark Twain, serta dua raksasa imajinasi universal,
Dumas dan Jules Verne. Kami tak tahu apa-apa soal Nancy Drew dan Hardy Boys seperti
bocah-bocah bule itu tak tahu menahu soal Salgari dan Bajak Hitam.
Apakah para penulis ini masih dibaca pada
zaman ini, atau anak-anak menghabiskan seluruh waktu mereka bermain Nintendo? Entahlah,
tapi kurasa tidak demikian. Penerbit edisi Inggrisku membawaku ke pojok
perpustakaannya di London dan dari jendelanya memperlihatkan padaku antrian
empat blok panjangnya dari anak-anak usia tujuh sampai sebelas tahun dengan
uang sepuluh pound dalam genggaman, yang hendak membeli judul terbaru Harry
Potter. Cetakan pertama: sejuta setengah eksemplar. Ekspektasi cetaknya: enam
juta eksemplar.
Dan sebuah versi modern dari puisi epik bangsa
Nordik abad ke-7, Beowulf, dalam
terjemahan cemerlang Seamus Heaney menjadi bestseller di sekujur jagat dunia berbahasa Inggris.
Di Amerika Latin, seumur hidupku, merupakan
penanda indentitas dan bukti pencapaian sosial dalam kelas menengah, kelas buruh,
dan mahasiswa untuk membaca Neruda dan Lorca, García Márquez dan Cortazar,
Rulfo dan Paz.
Penulis adalah perintis bacaan, pelindung
buku-buku, perongrong yang ngotot: harga buku mestinya tidak menjadi penghalang
bacaan di negara-negara yang lebih miskin atau kelas-kelas tak berpunya. Dirikan
perpustakaan-perpustakaan umum yang terbuka untuk semua. Biarkan anak muda tahu
bahwa bila mereka tak ada uang untuk membeli buku, ada
perpustakaan-perpustakaan umum tempat mereka bisa membaca buku.
Ini, setahuku, sudah menjadi pelajaran
yang dihayati di Amerika Serikat. Tapi masih harus diimplementasikan di Amerika
Latin.
Yang membawaku beralih ke pertimbangan
ketiga.
Perintah
Ketiga: Tradisi dan Kreasi
Keduanya kusatukan sebab aku yakin betul bahwa
tak ada ciptaan sastra baru tanpa topangan tradisi sastra sebelumnya, sebagaimana
halnya takkan ada tradisi yang bertahan tanpa kesegaran kreasi baru. Tak ada T.
S. Eliot tanpa John Donne—tapi mulai sekarang, tak ada pula John Donne tanpa T.
S. Eliot. Dengan begitu penulis di hari kemarin menjadi penulis di hari ini, dan
penulis hari ini menjadi penulis hari esok. Hal ini karena pembaca tahu sesuatu
yang diabaikan oleh penulis: pembaca tahu masa depan, dan pembaca Don Quixote
berikutnya adalah pembaca pertama Don
Quixote.
Jembatan antara kreasi dan tradisi
terbentang dalam ajuanku yang keempat.
Perintah
Keempat: Imajinasi
Imajinasi adalah perempuan gila dalam
rumahtangga, kata novelis Spanyol Perez Galdós. Perempuan gila yang bukan
dikurung di loteng seperti dalam fiksi zaman Victoria tapi membuka lebar-lebar
semua jendela, menghormat takzim pada vampir-vampir yang tidur di ruang bawah
tanah, tapi terbang keluar dan membikin onar di Madrid, Meksiko, atau Manhattan
untuk melihat apa yang sesungguhnya berlangsung di kamar-kamar tidur dan
ruang-ruang kenegaraan.
Imajinasi beterbangan dan sayap-sayapnya
adalah mata penulis. Imajinasi melihat, dan matanya adalah ingatan dan ramalan
dari penulis. Karena imajinasi adalah penyatuan perasaan-perasaan kita yang
terbebaskan, gepok yang membundel apa-apa yang terpencar, watak lambang-lambang
yang memungkinkan kita melintasi rimba –selva selvaggia-nya Dante—yang lebih buas
dewasa ini mungkin, di kota ketimbang di rimba raya itu sendiri.
Berimajinasi adalah melampaui –atau paling
tidak memberi pengertian pada— pengalaman.
Berimajinasi berarti mengubah pengalaman
menjadi nasib dan menyelamatkan nasib dari fatalisme belaka.
Tak ada alam –natura—tanpa
imajinasi pedesaan Daphnis and Chloe karya Longus, Diana-nya Montemayor, atau
Shepherd-nya Spenser,
kesemuanya adalah bentuk-bentuk
permai yang berkebalikan dengan alam mengerikan tak terjinakkan dari Moby
Dick-nya Melville
atau pemandangan gersang urban The Waste Land-nya Eliot.
Tapi watak dari alam sastrawi bukan hanya
mengingatkan kita bahwa dunia sekitar kita bisa menyenangkan atau kejam, ramah
atau tak ramah, tapi juga menciptakan, melalui imajinasi, realitas literer
kedua yang darinya realitas fisik pertama tadi tak lagi bisa memisahkan
dirinya.
Perintah
Kelima: Realitas Sastra
Yang artinya realitas sastra tidak
terbatas hanya sebagai cerminan patuh dari realitas objektif. Ia menambahkan
pada realitas objektif sesuatu yang sebelumnya tak ada di sana. Ia memperkaya
dan melambungkan realitas primer. Bayangkan – coba bayangkan dunia tanpa Hamlet
atau Don Quixote. Kita
takkan berlambat-lambat memahami bahwa Pangeran Denmark dan Ksatria Berparas
Duka itu kadar “realitasnya” sebanyak atau lebih tinggi daripada kebanyakan tetangga kita.
Maka sastra membentuk realitas yang tidak
bisa menceraikan dirinya dari lingkungan historis –secara fisik, kronologis,
geografis, imajinatif—tempatnya berlangsung. Itu sebabnya penting untuk
membedakan sastra dari sejarah dengan pertimbangan premis berikut ini: Sejarah
–meski terdengar janggal—masuk dalam jagat logika, artinya zona univokal: serbuan
Napoleon ke Rusia berlangsung pada 1812. Kreasi sastra, sebaliknya, masuk dalam
semesta puitis plurivokal: Apa hasrat-hasrat kontradiktif yang merisaukan batin
Natasha Rostova dan Andrei Volkinski dalam novel Tolstoy?
Karya sastra –puisi atau novel—melejit ke
banyak arah. Mereka tidak menuntut sebuah penjelasan singular, unik, apalagi kronologi
yang presisi.
Mari kita baca para sejarawan Rusia abad
ke-19 yang mengagumkan, tapi coba kita bayangkan abad yang sama itu tanpa Tolstoy
atau Dostoyevsky, tanpa Gogol atau Turgenev. Artinya, Perang dan Damai bukan cuma terjadi pada 1812. Ia terlahir kembali
di semua medan pertempuran dalam perang segala zaman; ia berlangsung di benak
pembaca dan di sana mengguratkan diri sebagai sebuah fakta imajinasi sastrawi, yang
pada gilirannya, menentukan hubungan karya itu dengan zamannya, melalui
peristiwa yang kita sebut bahasa.
Perintah
Keenam: Sastra dan Zaman
Sastra mengubah sejarah –apa yang
berlangsung di medan tempur Waterloo atau apa yang berlangsung di kamar
pengantin Natasha Rostova dan Pierre Bezhukov—ke dalam puisi dan fiksi.
Sastra melihat sejarah, dan sejarah
mensubordinasikan diri kepada sastra sebab sejarah tak mampu melihat dirinya
sendiri tanpa bahasa.
Iliad, menurut
filsuf Italia Benedetto Croce, adalah bukti identitas orisinil antara sastra dan
sejarah. Buku itu, tulisnya, adalah karya un popolo intero poetante, keseluruhan rakyat yang berpuisi.
Kesatuan macam itu telah hilang.
Modernitas terfragmentasi; ia individualistik. Ia tidak menolerir puisi (atau
lukisan atau arsitektur) kolektif anonim, sebab Montaigne berkata, “Dikenal
saja tidak cukup; kita kini juga harus terkenal.” Anonimitas puitis dan
kolektif Homer tidak membutuhkan itu. Victor Hugo tidak memerlukannya karena
menurut Jean Cocteau, Victor Hugo cuma orang gila yang mengira dirinya Victor
Hugo.
Semesta epik zaman antik itu sama seperti
Petersburg-nya Gogol, sesosok hewan raksasa yang pecah jadi ribuan keping. Kesatuan
bahasa Homerik telah lenyap. Hector dan Achilles, dalam Iliad, mengujarkan bahasa yang sama. Pasca Don
Quixote, kita hanya bisa
membicarakan bahasa secara majemuk. Cervantes mengatasi kesatuan yang
hilang itu dengan menemukan pluralitas. Don Quixote mengucapkan bahasa epik;
Sancho Panza, bahasa pikaresk—artinya, anti-epik. Ulysses dan Penelope bisa
saling memahami satu sama lain. Madam Bovary dan Anna Karenina tidak bisa
memahami atau dipahami oleh suami-suami mereka. Mereka menuturkan bahasa yang
berbeda.
Retaknya kesatuan ini dengan demikian
menjadi penyatuan retakan-retakan. Tak ada komunikasi tanpa keberagaman, dan
tak ada keberagaman tanpa mengakui keberadaan sang-Liyan—dia atau mereka yang
tidak seperti kau atau aku.
Bahasa pun lalu terterjemahkan ke dalam
tingkatan-tingkatan bahasa, dan sastra ke dalam sebuah reelaborasi bahasa
hibrida, migrasi, mestizo di mana penulis menggunakan bahasanya untuk
menyorotkan terang pada bahasa-bahasa lainnya. Maka demikianlah Juan Goytisolo di
Spanyol, mencemari kemurnian bahasa Spanyol dengan membangkitkan kembali
akar-akar Yahudi dan Arabnya, atau Günter Grass di Jerman, mengembalikan rasa
dan kebenaran pada sebuah bahasa yang telah direndahkan martabatnya oleh Reich
Ketiga, atau cengkok-cengkok multikultural dari bahasa Inggris di AS, sebagaimana
digunakan oleh Toni Morrison yang Afro-Amerika, Amy Tan yang Cina-Amerika,
Sandra Cisneros yang Meksiko-Amerika, Cristina García yang Kuba-Amerika,
Rosario Ferré yang Puerto Rico-Amerika, atau Louise Erdrich yang penduduk asli Amerika.
Tuhan sudah mengambil cuti panjang sebelum
Nietzsche mencanangkannya mati, dan di tempatnya –tempat Tuhan, bukan
Nietzsche—tampillah Don Quixote. Artinya, novel lahir, bukan lagi sebagai
sebuah ilustrasi dari kebenaran-kebenaran yang sudah diketahui, melainkan
sebagai pencarian akan kebenaran-kebenaran yang tidak diketahui. Bukan lagi
sebagai pengusung kekunoan masa lalu tapi kebaruan masa lalu.
Saya kembali ke gagasan bahwa pembaca Don Quixote berikutnya akan selalu menjadi
pembaca pertama Don Quixote. Masa
lalu sastra menjadi masa depan sastra. Tapi demikian juga bahasa abadi
kesusastraan.
Bahasa mitos orisinal yang mendaratkan
kita di tanah kelahiran. Bahasa epik yang mendorong kita keluar dari dunia yang
kita tahu menuju dunia yang kita abaikan.
Bahasa tragis kepulangan ke tanah asal
dan keluarga dengan terluka dan terbelah oleh renjana dan oleh sejarah.
Sastra, pada akhirnya, memulihkan
komunitas yang hilang; polis yang
menuntut ujaran dan tindakan politik kita; civitas yang membutuhkan suara kita sebagai tindak
peradaban agar kita mempelajari seni hidup bersama, lebih dekat, saling
mencintai, saling mendukung satu sama lain kendati ada kekejian, intoleransi, dan
pertumpahan darah yang tak pernah meninggalkan bayang-bayang pikiran manusia
yang –terlepas dari semua itu—diterangi oleh cahaya keadilan.
Sastra memberi pada kota bagian tak
tertuliskan dari dunia dan menjadi tempat persuaan –artinya, pijakan
bersama—bukan hanya dari karakter dan plot cerita, tapi juga peradaban (Thomas
Mann), bahasa (James Joyce), kelas-kelas sosial (Balzac), era-era historis (Hermann
Broch), atau era-era imajiner, seperti
dibilang penulis Kuba Lezama Lima.
Bahasa sastra, dalam pengertian ini, adalah
bahasa dari bahasa-bahasa. Ialah bahasa yang memperhitungkan dirinya sendiri sebab
ia sanggup memperhitungkan bahasa-bahasa pihak lain.
Perintah
Ketujuh: Kritik Sesungguhnya
Begitu terbit, karya sastra tak lagi
menjadi milik penulisnya untuk menjadi milik pembaca. Ia juga menjadi sasaran
kritik. Dan ketika kubilang “kritik,” yang aku maksud adalah sebuah
keterampilan yang tidak lebih unggul tidak lebih rendah dibanding karya yang
dibahas, tapi lebih bersifat setara. Kritik yang sama tinggi dengan karya yang
dikritik. Dialog antara karya dan kritik atasnya.
Atas sebab inilah, kritikus sastra
terbaik juga pencipta sastra terbaik. Ketimbalbalikan kritis antara,
katakanlah, Baudelaire dan Poe, Sartre dan Faulkner, Georges Bataille dan Emily
Brontë, mengubah kritik menjadi setara ciptaan sastra. Tapi kritikus
profesional adiluhung –berbeda dengan penulis yang menulis soal penulis
lainnya—mencapai hubungan ketimbalbalikan yang sama: Michel Foucault dan Borges,
Donald Fanger dan Gogol, Bakhtin dan Rabelais, Leavis dan Lawrence, Barthes dan
Proust, Van Wyck Brooks dan Hawthorne, adalah segelintir contoh dari
korespondensi yang penuh hikmah antara kritikus dan buku.
Jadi aku membedakan antara kritik yang
sesungguhnya dengan resensi semata-mata –sebagian besar opini yang kita baca di
media massa—atau bahkan dari kritik yang menyamar, yakni kritikus yang hanya
membaca sampul buku lalu dengan penuh otoritas menghancurkannya.
Kusarankan agar penulis muda tidak
menyibukkan atau menghiraukan diri berlebihan dengan resensi di media. Coba
jangan munafik dalam hal ini. Kita suka dipuja-puji. Kita tak suka pendapat
negatif, dan kita mengagumi Susan Sontag sebab ia tidak membaca resensi yang
menilai bagus atau buruk. Tapi tunduk pada salah satunya adalah sebuah
kekeliruan. Mereka sirna dalam sekejap mata. Atau seperti orang bilang di Meksiko,
“Le hacen lo que el aire a Juárez.” [kurang
lebih: anjing menggonggong kafilah berlalu — terjmh.]. Kalau gaya Amriknya, kira-kira berarti Washington tidak
bisa dibujuk untuk tidak menyeberangi Delaware.
Bolehlah penulis bersuka hati mengingat
bahwa di mana pun di dunia ini, tak ada patung yang didirikan untuk mengenang
kritikus sastra.
Terlebih lagi, sebuah aktivitas yang bisa
mulia dan perlu kadang dikerdilkan oleh mereka yang menggarapnya karena
tergerak oleh rasa iri atau frustrasi. Tapi paradoksnya –atau kalau kau suka,
dilemanya—tetap ada. Hanya dalam sastralah karya seni yang dimaksud identik
dengan instrumen yang dipakai untuk mengkritiknya: bahasa.
Baik seni rupa, atau musik, atau film tak
satu pun yang mengalami hubungan inses antara kata-penciptaan dan
kata-penilaian macam ini. Bahkan pula teater, yang merupakan seni representasi
langsung, namun berjarak.
Perintah
Kedelapan: Setia pada diri sendiri
Ini anjuranku untuk penulis muda. Jangan
biarkan dirimu dirayu oleh keberhasilan instan atau ilusi keabadian. Kebanyakan
buku yang laris musiman bisa dengan lekas tertelan ke dalam bulir-bulir pasir lupa,
dan yang penjualannya buruk di saat ini bisa jadi terus terjual di masa depan.
Stendhal contoh bagus untuk kedua kasus ini. Anthony Adverse, yang luar biasa laris pada 1933, adalah
contoh kasus pertama. Pada tahun itu juga Faulkner menerbitkan buku tak laris
yang terus dibaca orang sampai jauh ke depan: Light in August.
Yah, keabadian, kata William Blake, jatuh
cinta dengan karya-karya yang tak lekang zaman.
Karya-karya yang tak lekang zaman adalah Don
Quixote dan Seratus Tahun
Kesunyian, dan keabadian jatuh cinta pada mereka sejak mula. Tapi
karya Stendhal Charterhouse of Parma hanya memperoleh segelintir pembaca saat pertama kali terbit, dan
itu pun berkat pujian murah hati Balzac pada karya yang dianggap aneh dan sulit
pada zamannya. Yang awalnya ditujukan bagi “segelintir mereka yang bahagia”,
ini hari menikmati kemuliaan baru nan abadi bagi sekian generasi pembaca.
Hikmahnya: setia pada diri sendiri, dengarkan
suara terdalam panggilan hatimu, ambillah risiko untuk berlaku klasik sekaligus
eksperimental, dan ingatlah bahwa tak ada lagi dogma bagi untuk tradisi maupun
renovasi.
Tak ada lagi garda-depan karena seni yang
dipandang sebagai rekan kebaruan telah berhenti menjadi baru, sebab kebaruan
–pada gilirannya—adalah rekan kemajuan, dan kemajuan telah berhenti menjadi
maju. Abad ke-20 telah meninggalkan kita dengan rasa kemajuan yang terluka dan
cedera begitu dalam. Dewasa ini kita sadar bahwa pencapaian ilmiah dan teknis
tidak memastikan berhentinya barbarisme moral dan politik.
Respons artistik pada krisis politik dan
ekonomi era modern praktis adalah kebebasan gaya tak berbatas yang memungkinkan
si seniman menulis dalam gaya yang ia kehendaki. Tapi dengan satu syarat: bahwa
kebebasan tak pernah melupakan utangnya pada tradisi, dan bahwa tradisi tak
pernah melupakan utangnya pada kreasi.
Perintah
Kesembilan: Kesadaran akan Tradisi dan Kreasi
Aku kembali ke awal Sepuluh Perintah ini
dengan pasal ini: kesadaran bahwa penulis muda harus memiliki tradisi sekaligus
kreasi. T.S. Eliot, tentunya, telah menuliskan esai yang definitif tentang tema
ini.
Namun demikian izinkan aku membedakan dua
landaian. Yang satu adalah posisi sosial penulis di antara masa lalu dan masa
depan pada sebuah masa kini yang tidak mengizinkan kita lepas dari iklim
politik. Yang kumaksud dengan ini bukanlah keterlibatan wajib (engagement)
ala Sartre. Yang kumaksud
adalah atas nama pilihan bebas warga negara.
Penulis patuh pada kewajiban sosialnya
ini dengan menjaga agar imajinasi dan bahasa terus hidup dalam tulisannya. Bahkan
sekalipun bila si penulis tidak punya opini politik, ia menyumbang pada
kehidupan kota –polis—berkat pengembaraan imajinasi dan akar bahasa. Tak
ada masyarakat bebas tanpa penulis, dan bukan tanpa sebab rezim-rezim
totalitarian dengan sigap mencoba membungkam para penulis.
Namun, berdiri di alun-alun umum, sendiri
dengan buku notes dan pulpennya (dalam kasusku), atau dengan komputer mereka (seperti
kebanyakan penulis zaman ini), penulis memberi nyawa, situasi, daging, dan
suara pada pertanyaan besar abadi para laki-laki dan perempuan dalam kelebatan
selintas kita di muka bumi.
Apa hubungan antara kebebasan dan suratan
takdir? Dengan langkah apa kita dapat membentuk nasib kita sendiri?
Bagian mana dari hidup kita yang bisa beradaptasi
pada perubahan dan mana yang pada ketetapan? Dan terakhir, mengapa kita
mengidentifikasi diri berdasarkan ketidaktahuan atas apakah kita ini—persatuan
jiwa raga? Kita tidak bisa menjawabnya. Tapi kita justru terus menjadi apa yang
tidak kita pahami itu.
Jadi sastra adalah pendidikan rasa, sekolah
kecerdasan dan kepekaan yang harus ada melalui medium yang paling membedakan
kita dari dunia alam benda: kata-kata.
Perintah
Kesepuluh
Perintah kesepuluh, oleh karenanya, kuserahkan
pada tangan tiap-tiap dan semua kalian imajinasimu, kata-katamu, dan
kebebasanmu.
wah,,ini sangat inspiratif sekali artikelnya,, luar biasa..
BalasHapus7 Hal Yang Membuat Kita Jadi Pelupa
Terlalu banyak protein di usia pertengahan 'seburuk merokok'
Tricks Identifying People Lying
nice post...thanks for sharing
BalasHapusIni keren sekali.
BalasHapus