Catatan:
Tulisan ini adalah esai pengantar saya
untuk Program Kuratorial Amerika Selatan dalam ARKIPEL Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival 2014 yang diselenggarakan
di Jakarta, September 2014.
Tak jarang, ada gaya-gaya estetika atau
mazhab-mazhab gagasan yang begitu dominan di suatu rentang waktu atau rentang
geografis tertentu sampai-sampai ia seperti menjadi penanda identik bagi rentang
waktu atau rentang geografis itu. Katakanlah: pop art dengan 1960an, atau strukturalisme dengan Perancis.
Identifikasi demikian tentu tak salah, sebab ia lahir dari pendasaran
historis-filosofis yang beralasan, tapi juga kadang tak sepenuhnya tepat.
Di Amerika Latin misalnya. Genre realisme
magis begitu lekat dengan boom sastra
Amerika Latin era 1960an, tapi mengidentikkan sastra Amerika Latin dengan “realisme
magis” jelas tak tepat, karena itu berarti menafikan sumbangsih para penulis penting
dengan gaya lain seperti Julio Cortázar
atau Guillermo Cabrera Infante yang pada era yang sama telah ikut memajukan dan
memperkaya sastra Amerika Latin.[1]
Realitas kesusastraan Amerika Latin lebih luas daripada sekadar realisme magis.
Demikian pula, pendekatan
dan konsepsi film dokumenter di Amerika Latin pernah sangat didominasi oleh apa
yang disebut sebagai gerakan Sinema Ketiga (Tercer Cine) yang dimotori oleh
Grupo Cine Liberación (Argentina), Cinema
Nôvo (Brasil), Grupo Cine de la Base (Argentina), para sineas Kuba,
sutradara Glauber Rocha (Brasil), dan sutradara Jorge Sanjinés (Bolivia). Dari
istilah-istilah yang dipakainya (“ketiga,” “pembebasan”) kita tentu bisa
menengarai arah gerakan ini yang memang melekatkan diri dengan gerakan
pembebasan Amerika Latin (atau Dunia Ketiga umumnya) pasca Revolusi Kuba 1959.
Pada Oktober
1969, majalah Kuba Tricontinental menerbitkan
–dalam bahasa Inggris—artikel Fernando Solanas dan Octavio Getino dari Grupo
Cine Liberación berjudul “Toward a Third Cinema” yang menjadi semacam manifesto
gerakan ini.[2] Mengutip
Che Guevara, Ketua Mao, dan Juan José Hernández Arregui di sana-sini, Solanas
dan Getino menggariskan apa yang mereka maksud sebagai Sinema Ketiga. Bagi
keduanya, estetika Hollywood adalah Sinema (Dunia) Pertama, yang mengabdi semata-mata
pada komersialisme dan ideologi borjuis. Ideologi ini merasuk ke dalam segala
pranata perfilman AS bahkan sampai hal-hal teknis seperti penggunaan kamera 35
mm dengan kecepatan 24 fps (bukan sebagai wahana transmisi ideologi secara
langsung, melainkan sebagai wahana untuk memuaskan suatu pandangan-dunia
tertentu, yakni pandangan-dunia kapital finansial AS). Sebagai penangkalnya,
ada Sinema (Dunia) Kedua, yakni “author’s
cinema,” “expression cinema,” “nouvelle vague” dari Eropa yang memungkinkan
para sineas di sana mengekspresikan individualitas mereka melalui bahasa yang
non-standar. Tapi menurut Solanas dan Getino, Sinema Kedua ini telah mencapai
batas terluarnya, yakni kemampuan berbicaranya kepada publik sangatlah sempit
dan hal ini membuat para sutradara Eropa “terperangkap.” Maka dalam konteks
negara-negara Dunia Ketiga dan perjuangan pembebasan dari neokolonialisme,
mereka pun mengajukan Sinema Ketiga, yakni “membuat film-film yang tidak bisa
diasimilasi oleh Sistem, atau membuat film-film yang secara langsung atau
eksplisit melawan Sistem.”[3]
Manifesto Sinema
Ketiga ini terbaca sangat heroik, dan memang setahun sebelum itu, pada 1968,
Solanas dan Getino merilis kolaborasi mereka, La Hora de los hornos, dokumenter sepanjang 4 jam yang menangkap
dengan sangat cemerlang realitas imperialisme Barat di Amerika Latin. Kini,
sekitar setengah abad sesudahnya kita tentu bisa bertanya dan meneliti dengan
kritis benarkah ada film-film yang “tidak bisa diasimilasi oleh Sistem”? Tapi
terlepas dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ada, tidak bisa disangkal
bahwa ide tentang Sinema Ketiga begitu mengharu-biru Amerika Latin saat itu dan
bahkan menyebar hingga ke Afrika. Barang beberapa lama, film-film politik Amerika
Latin, baik dokumenter maupun fiksi, seperti identik dengan Sinema Ketiga.
Karya-karya dokumenter legendaris seperti Ya es tiempo de violencia
(1969) oleh Enrique Juárez dan tiga seri La Batalla de Chile (1975-1979)
mahakarya Patricio Guzmán, bahkan juga film fiksi seperti Memorias del
Subdesarrollo (1968) karya Tomás Gutiérrez Alea, banyak dikaitkan dengan
gagasan ini.
Melihat konteks
situasi sosial-politik di Indonesia belakangan, yang diperjelas oleh tema besar
Arkipel 2014 “Electoral Risk”, memang terbersit godaan untuk memilih film-film
bernafaskan Sinema Ketiga dalam program kuratorial Amerika Latin ini
(katakanlah demi relevansi, demi pembelajaran politik, atau apapun). Tapi pada
akhirnya, kurasi ini justru memilih yang di luar itu. Bukan apa-apa. Pilihan
ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa tidak hanya ada satu cara tunggal dalam
berkesenian, berpolitik, atau berkesenian yang politis. Sama seperti “realisme
magis”, apabila Sinema Ketiga telah menjadi wacana dominan, kita perlu menengok
keluar darinya untuk melihat realitas yang lebih luas. Bukan sekadar “ingin tampil
beda” atau keangkuhan-keangkuhan hipster lainnya
yang semacam itu, tapi ini krusial: di luar Sinema Ketiga, sebelum dan
sesudahnya, ada banyak karya dokumenter Amerika Latin yang sungguh perlu
ditengok secara estetis dan politis.
Dua film
pilihan dalam program kuratorial ini mengandung perbedaan-perbedaan mencolok: Araya (1959, sebelum Sinema Ketiga)
karya Margot Benacerraf difilmkan dalam hitam-putih, dengan suara narator
layaknya dokumenter umumnya, sementara Suite
Habana (2003, jauh sesudah Sinema Ketiga) karya Fernando Pérez difilmkan
dalam warna, tanpa narasi atau dialog apapun. Tapi keduanya juga punya kesamaan
tematik penting: bercerita tentang satu hari dalam kehidupan orang-orang dalam
kelompok masyarakat tertentu—dalam Araya:
masyarakat pesisir ladang garam di semenanjung terpencil Venezuela; dalam Suite Habana: warga kota Havana pasca
runtuhnya Uni Soviet dan komunisme. Dalam beberapa hal keduanya bisa dibilang
serupa. Di Araya, kehidupan nyaris tak berubah selama hampir 5 abad. Di Havana,
saat Kuba harus mandiri di tengah embargo AS yang tak masuk akal, penduduk kota
itu sepertinya bertahan dengan apa yang ada. Tak maju dan tak mundur. Laut
dengan segenap hempasan ombaknya, yang di mana pun adalah sarana bagi datangnya
progresi maupun destruksi, di Araya dan di Havana justru tampak bagaikan tameng
yang mengucilkan dan mengebalkan mereka dari perubahan.
Ada satu kesamaan lain dari keduanya yang jelas merupakan poin terpenting dari kurasi ini: kedua film ini adalah puisi. Puisi menjadi puisi karena ia tidak bisa dibahasakan dengan cara lainnya. Dalam prosa, seseorang bergerak dari gagasan, lalu mengisinya dengan gambaran-gambaran, adegan-adegan, yang dirasa pas untuk menebalkan, mengisi, dan memberi daging bagi gagasan itu. Tapi puisi bermula dari gambaran –konkret maupun kelebatan—lalu bergerak sebaliknya. Atau seperti kata sutradara Cile, Raúl Ruiz, dalam konsepsinya mengenai “puitika sinema”: “Dalam semua film naratif –dan sampai taraf tertentu dalam semua film—gambarlah yang menentukan tipe narasi dan bukan sebaliknya.”[4] Saya kira ini berlaku untuk Araya dan Suite Habana. Tak terbayang rasanya, dengan materi gambar yang diambilnya, Benacerraf atau Pérez bisa membuat karya lain selain apa yang mereka buat ini. Dan inilah simpul kuratorial untuk kategori Amerika Latin kali ini: memberikan kemungkinan lain dalam mengaitkan estetika film dengan komitmen sosial-politik, di luar apa yang sudah lazim dikenal selama ini sebagai Sinema Ketiga.
[1] Saya pernah
membahas ini dalam “Sastra Amerika Latin: Tak Sekadar Macondo vs. McOndo,” Kompas, Minggu, 23 April 2006.
[2] Octavio Getino dan Fernando Solanas, “Toward
a Third Cinema,” Tricontinental No.
14, Oktober 1969, hlm. 107-132 (Havana: Organización de Solidaridad de
los Pueblos de África, Asia y América Latina).
[3] Ibid., hlm. 120
[4] Raúl Ruiz, Poética del cine (Buenos Aires:
Editorial Sudamericana, 2000). Bukan kebetulan Raúl Ruiz yang dikutip di sini.
Meski menentang keras kediktatoran Pinochet, Ruiz berbeda dengan
sutradara-sutradara segenerasinya seperti Patricio Guzmán atau Miguel Littín
yang sangat bernafaskan Sinema Ketiga. Karya-karya Ruiz jauh lebih eksperimental.
Terimakasih atas karyanya
BalasHapus