Rabu, 03 November 2010

Penggunaan dan Penyalahgunaan Payung, oleh Gabriel García Márquez

“Usos y abusos del paraguas,” Gabriel García Márquez. Terbit pertama kali di El Espectador, Juni 1955. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari Gabriel García Márquez: Obra periodística vol. III, yang dikompilasi dan dipengantari oleh Jacques Gilard (Barcelona: Editorial Bruguera, 1982), hlm. 984.

Catatan penerjemah: satir pendek ini merupakan salah satu kolom Gabriel García Márquez muda saat menjadi jurnalis El Espectador, yang menyindir perilaku sosial kelas menengah atas di Kolombia. Gaya García Márquez di sini mengingatkan kita akan vinyet-vinyet Julio Cortázar di Historia de cronopios y famas (1962). Namun perlu diingat kolom ini terbit bertahun-tahun sebelum García Márquez mengenal Cortázar.


Jika kita membuat tabulasi statistik yang teliti tentang orang laki-laki yang memakai payung, akan kita temukan bahwa ketika hujan mulai turun payung justru menghilang. Lumrah saja: payung terlampau indah, terlalu halus dan cantik untuk boleh rusak kena guyuran air.

Sekalipun kita diminta mempercayai yang sebaliknya, payung tidaklah dicipta untuk menahan hujan. Ia dicipta untuk dibawa-bawa di lengan seperti hiasan panjang, dan memungkinkan seseorang memasang raut Inggris kala kondisi cuaca menuntut untuk itu. Bila kita meriset sejarah payung, akan kita dapati bahwa payung dibikin dengan tujuan yang jauh berbeda dengan tujuan yang diberlakukan oleh para pemayung formal—orang-orang yang dengan keliru membawa payung mereka keluar saat hari tampak akan hujan, tanpa sadar bahwa alat yang berharga itu tengah mereka papar pada siraman yang tak pernah direncanakan untuk itu.

Topi rimba dan koran yang lebih dari delapan halaman tebalnya dicipta untuk menahan hujan. Lebih lanjut, sebelum ada topi rimba dan koran yang lebih dari delapan halaman tebalnya, hujan dicipta demi maksud ini: menyirami para pejalan kaki yang sama sekali tak punya alasan untuk tidak menikmati guyuran air murni dari langit, yang masih merupakan penangkal kebotakan termujarab yang pernah ada.

Berkurangnya payung selama musim hujan menunjukkan bahwa masih ada banyak orang yang tahu apa kegunaan pohon hitam dengan ranting-ranting logam yang bisa ditekuk itu, alat yang dirancang oleh seseorang yang putus asa menghadapi kenyataan gamblang bahwa rimbunan semak tak bisa dilipat dan digelantungkan di lengannya untuk dibawa berjalan-jalan. Seorang perempuan yang cerdas pernah berkata: “Payung adalah barang yang cocok untuk meja tulis.” Maka begitulah, dan baguslah karena begitu, sebab diasumsikan bahwa di samping setiap meja tulis harus ada gantungan mantel, dan tergantung di gantungan mantel itu, sebuah payung. Yang kering tentunya. Karena payung basah adalah musibah, kebiadaban, kesalahan mencolok yang harus dibentang di pojokan sampai kapok dan kembali menjadi payung yang sebenar-benarnya lagi. Barang untuk dibawa ke jalanan, dipakai untuk membuat teman terheran-heran, dan dalam kasus terburuk, untuk mengusir para penagih utang.

"Ketika hujan mulai turun payung justru menghilang" (foto: www.sandgate-kent.org.uk)

1 komentar:

  1. hahaha.. artikel GGM ini lucu sekali sekaligus tepat menyindir. Ada istilah yang lucu "pemayung formal" hehehe. Sepertinya justru tepat disandang oleh para ojek payung yah, atau mereka pantas disebut "pemayung profesional" yang setara dan pantas mendapatkan gaji sebesar umbrella girl di sirkuit2 balap.

    BalasHapus