“Gabo dan saya sama-sama berada di Bogota pada hari yang
menyedihkan itu, tanggal 9 April 1948, saat Gaitán dibunuh. Usia kami sama, dua
puluh satu tahun; kami menjadi saksi peristiwa yang sama, kami juga mahasiswa
yang sedang menempuh pendidikan yang sama: Hukum. Tapi kesamaan itu toh cuma
ada di pikiran saja. Nyatanya, kami berdua sama sekali tak tahu apa-apa soal
satu sama lain. Tak ada yang saling kenal di antara kami, kami bahkan tidak
mengenal diri kami sendiri.”
“Hampir setengah abad sesudahnya, di malam sebelum perjalanan
menuju Birán di ujung timur Kuba, tempat saya dilahirkan pada pagi hari 13
Agustus 1926, Gabo dan saya sedang mengobrol. Pertemuan kami punya suasana
acara keluarga yang hangat, di mana kenangan-kenangan lama saling dibagi dan
kisah-kisah penuh warna diceritakan kembali, dalam ramah-tamah bersama beberapa
kawan Gabo dan kamerad-kamerad Revolusi lainnya.”[1]
Demikianlah awal dari tulisan paling sastrawi yang pernah dibuat
oleh Fidel Castro, dua bulan menjelang usianya ke-78 tahun. Tulisan itu adalah
artikel pendek tentang sahabat terbaiknya dan mungkin satu-satunya, Gabriel
García Márquez. Dua di antara tokoh-tokoh terpenting dalam sejarah Amerika
Latin abad ke-20 berada di kota yang sama pada salah satu hari paling buruk
yang pernah dialami ibukota Kolombia itu sejak didirikan pada 1538. Langkah mereka
mungkin bertemu, tak sengaja berpapasan di jalan di tengah-tengah kekacauan,
tidak tahu akan ke mana atau bahkan mengapa mereka berlarian. Barangkali mata
mereka bertatapan sejenak di sudut jalan, atau barangkali mereka tersandung
oleh perempuan yang sama yang tengah berjuang untuk berdiri sesudah ditubruk
oleh seorang bocah yang ngebut dengan sepeda. Putra si operator telegraf dari
Aracataca berusaha kembali ke kamar kosnya paling tidak untuk menyelamatkan
naskah-naskah cerpen yang telah ia karang seminggu sebelumnya. Si mahasiswa
dari Kuba menganggap sudah terlambat sekarang untuk bertemu lagi dengan Jorge
Gaitán, cahaya harapan Kolombia, tokoh politik zaman itu yang memberi perhatian
sungguh-sungguh pada persoalan-persoalan yang dihadapi mahasiswa Amerika Latin;
yang telah menemui perwakilan mahasiswa untuk mengemban satu sikap dalam menghadapi
relasi yang senantiasa sarat konflik antara Amerika “Utara” Serikat dengan
Amerika Selatan “yang-Tak-Pernah-Bisa-Berserikat.”
* * *
Gabo lahir di Aracataca, kota kecil di utara Kolombia, pada 6
Maret 1927, dengan tali pusar melilit leher, sementara ibunya mengalami pendarahan
hebat. Doña Luisa Márquez bukan hanya selamat dari persalinan ini, namun juga
akan menghadirkan sepuluh anak lainnya ke dunia. Saat anak berikutnya lahir,
Gabito dikirim tinggal bersama kakek-neneknya. Pengalaman ini terbukti sangat
menentukan dan bakal membentuk wataknya, saat calon penulis besar ini menumbuhkan
minat menggebu-gebu pada cerita-cerita soal dedengkot-dedengkot politik dan
jagoan-jagoan lokal, menghabiskan waktu berjam-jam bersama kakeknya, mendengar
kisah-kisah menakjubkan tentang orang-orang yang bertempur dalam perang saudara
di awal abad. Neneknya, yang menghabiskan kesehariannya bersenandung seorang
diri dalam kondisi mirip mengigau, selalu menjadi sasaran rentetan pertanyaan
cucunya, yang tak jemu-jemu menyimak kisah-kisah peperangan:
“Nek, siapa sih Mambru, dan dalam perang apa ia
terlibat?”
Karena sama sekali tak punya bayangan siapa yang
ditanya itu, namun punya imajinasi kelewat berlimpah, sang nenek pun dengan
kalem menjawab: “Ia orang yang bertempur bersama kakekmu dalam Perang 1.000
Hari.”
Kita sekarang tahu bahwa Mambru yang sering
disebut-sebut dalam lagu lama yang populer itu (lagu yang begitu gemar
dinyanyikan kakek Gabo) tak lain adalah Adipati Marlborough, namun ketika García
Márquez akhirnya memasukkannya sebagai karakter dalam novel dan
cerpen-cerpennya, ia lebih menyukai versi neneknya ketimbang fakta aktualnya. Itu
sebabnya Marlborough tampil menyamar sebagai seekor harimau, kalah dalam semua
perang saudara di Kolombia, di samping Kolonel Aureliano Buendia.[2]
Tatkala Gabo berusia tujuh tahun, Nicolas Márquez membawa cucunya
ke San Pedro Alejandrino No. 5, di Santa Marta, tempat wafatnya Simón Bolívar, sang
pembebas benua Amerika. Sang kakek sudah memberitahu cucunya tentang tokoh
terkenal ini berulang kali. Saat berumur enam tahun, Gabito melihat gambar
matinya Bolívar di sebuah kalender milik kakeknya. Jadi, sekalipun masih ingusan,
minat bocah ini pada Bolívar dan para pemimpin Amerika lainnya telah tumbuh, tokoh-tokoh
yang nanti akan tampil dalam novel-novelnya, memupuk minat khususnya pada kekuasaan.
Ia belajar baca-tulis di sekolah Montessori saat berusia delapan tahun, dan gurunya,
Rosa Elena Fergusson, akan menjadi dewi inspirasi Gabo yang pertama, karena ia
menganggap syair-syair yang dibacakan gurunya di depan kelas, yang “selamanya akan
tertanam dalam otakku,” adalah penubuhan langsung dari kecantikannya yang
memukau. Pada umur sembilan tahun, saat mengaduk-aduk salah satu peti kakeknya,
ia temukan buku tua buluk dengan halaman-halaman yang sudah menguning. Kala itu,
ia tidak tahu buku itu berjudul Seribu
Satu Malam, tapi ia mulai membacanya dan merasa terubah. Ia berkata:
Kubuka dan kubaca bahwa ada seseorang yang
membuka botol dan dari dalamnya terbang keluar sesosok jin dalam kepulan asap, dan
aku berkata, “Wah, ini luar biasa!” Hal ini lebih memukauku ketimbang apapun
lainnya yang terjadi dalam hidupku sampai saat itu: lebih dari bermain, lebih
dari melukis, lebih dari makan, lebih dari apa saja, dan aku tidak mengangkat
muka dari buku lagi.[3]
Selama beberapa tahun ke depan, karena harus menghidupi kian
banyak anak yang tumbuh besar, keluarga García Márquez kerap berpindah-pindah: dari
Aracataca, ke Barranquilla, ke Sucre. Pada 1940, García Márquez kembali ke Barranquilla
untuk masuk sekolah Yesuit San Jose, tempat ia menulis puisi-puisi dan
cerpen-cerpen pertamanya untuk majalah Juventud.[4] Tiga tahun kemudian, persis sebelum ulang
tahunnya ke-16, ia harus pergi dari rumah dan mencari kerja untuk membiayai
pendidikannya, karena orang tuanya, yang saat itu sudah punya delapan anak, tidak
mampu memberi makan semuanya sambil sekaligus harus membiayai sekolah. Ia pergi
ke Bogotá dan merasa putus asa berada di kota besar, dingin, nun jauh dari
rumah itu, di mana orang tak saling mengenal dan adat setempatnya sangat
berbeda. Ia menerima beasiswa dan mulai belajar di sekolah khusus anak
laki-laki di Zipaquira, di mana virus yang menyergapnya saat pertama kali
membuka Seribu Satu Malam dengan
cepat berbiak dalam dirinya, sampai virus itu pun menjadi kronis dan tak
terhentikan. Ia membaca dan menulis dengan tekun, mempelajari semua karya
klasik kesusastraan Spanyol. Ia reguk pengetahuan bijak guru-gurunya dan hidup
hampir seperti di biara, menghabiskan waktu berjam-jam di depan buku... atau
menatap lembaran kertas kosong, mencoba menggubah syair. Ia terjun total dalam
kegiatan sastra di sekolahnya, dan pada 1944 menulis cerpen pertamanya. Tiga
tahun kemudian, Gabo masuk sekolah hukum di Bogotá, kota dengan 700.000 penduduk,
berada di ketinggian hampir 2.000 meter di atas permukaan laut, yang dalam
banyak hal serupa dengan Spanyol, dengan kehidupan budaya yang semarak yang
berpusat di kafe-kafe tengah kota. Sang calon peraih Hadiah Nobel ini lebih
banyak menghabiskan waktu di kafe ketimbang di kelas, dan ia menjumpai
penulis-penulis terpenting zaman itu di sana. Ia juga menemukan beberapa
permata sastra: Metamorfosis-nya
Kafka, yang kian memperparah virus sastra itu dan mendorongnya menulis
cerita-ceritanya sendiri seperti sedang kalap; juga karya-karya klasik seperti Garcilaso,
Quevedo, Góngora, Lope de Vega, San Juan de la Cruz; serta anak-anak zamannya
sendiri seperti Generasi 1927 dan Neruda. Sebentar sesudahnya, minatnya
terfokus nyaris sepenuhnya pada novel, sampai ia percaya bahwa panggilan
sastranya begitu kuat sampai ia harus keluar dari sekolah hukum sepenuhnya ...
* * *
Fidel Castro besar dalam keluarga buruh pedesaan. Di kota kecil Birán,
dekat Santiago de Cuba di sisi paling tenggara negara pulau itu, teman main
masa kecilnya adalah para buruh perkebunan tebu di Mañacas. Dikitari oleh alam liar
dan fauna, Castro menjelajah hutan dengan berkuda, berenang di sungai, dan saat
berusia 5 tahun ia didaftarkan masuk ke sekolah desa setempat. Pada usia enam
setengah tahun ia dibawa ke ibukota provinsi, Santiago de Cuba, untuk
melanjutnya belajarnya di sekolah asrama paroki. Pandangan revolusionernya bisa
dilacak balik ke masa kanak-kanaknya itu; karena saat kembali ke perkebunan, ia
mengorganisir pemogokan buruh melawan ayahnya, yang ia tuduh melakukan
eksploitasi! Untuk tahun-tahun terakhirnya di sekolah menengah, karena nilainya
yang tinggi, orang tuanya memasukkannya ke sekolah Yesuit Belen di Havana, sekolah
terbaik di negeri itu, tempat aristokrat Kuba menyekolahkan anak-anak mereka. Afiliasi-afiliasi
politik konservatif di masa depan kerap dikukuhkan di sini pada saat masih
bersekolah.
Pada Oktober 1945, Castro masuk Universitas Havana untuk belajar
Ilmu Hukum. Hidupnya berubah. Ia berasal dari lingkungan yang permai dan
tenteram, di mana satu-satunya hal terpenting adalah bisa bersekolah dan
menjadi umat Kristen yang baik, dan kini ia mendapati diri berada di suatu
tempat di mana pergulatan untuk bertahan hidup menjadi hal yang paling penting.
Kampus terbagi menjadi dua kelompok politik yang saling bersaing, yang
dampaknya meluas ke kota itu secara keseluruhan melalui aksi-aksi kekerasan dan
pengaruh finansial: Gerakan Sosialis Revolusioner (Movimiento Socialista
Revolucionario atau MSR), dipimpin oleh eks-komunis Rolando Masferrer, dengan
Perserikatan Revolusioner Insureksionis (Unión Insurreccional Revolucionaria atau
UIR), dipimpin oleh eks-anarkis Emilio Tro. Fidel dengan lekas tercengkeram
oleh ambisi politik, dan tujuannya adalah memimpin Federasi Mahasiswa (Federación
Estudiantíl Universitaria atau FEU) –artinya, badan yang mewakili seluruh gerakan
mahasiswa—sebuah kedudukan yang sangat diidam-idamkan bagi anggota kedua faksi
yang saling bersaing. Ia mencoba menarik perhatian pucuk pimpinan MSR dan UIR, karena
sadar bahwa ia takkan bisa mencapai tujuannya tanpa dukungan kelompok
berpengaruh; namun sampai tahun ketiga kuliahnya, ia tak kunjung beranjak lebih
dari posisi Wakil Presiden Dewan Mahasiswa Fakultas Hukum itu saja. Untuk
pemilihan mendatang, ia memutuskan maju sebagai Presiden FEU, tak peduli dengan
afiliasinya pada pihak yang manapun. Dengan cermat ia garap basisnya. Ia
membaca banyak karya penulis sekaligus revolusioner besar Kuba José Martí dan
mengambil darinya sebuah filosofi yang sangat persuasif dan bertenaga, ditambah
dengan kumpulan fakta panjang lebar untuk menopang pidato-pidatonya yang ia
susun dengan apik. Ia juga mulai beraksi di luar lingkungan kampus, mengorganisir
demo menentang pemerintahan Ramón Grau San Martin. “Koran-koran pun membahas
soal dia,” catat penulis biografinya, Volker Skierka, “kadang dengan istilah
muluk-muluk. Pembicara berbakat yang memukau, muda, tinggi dan atletis, berpenampilan
rupawan dengan jas dan dasi, rambut hitamnya disisir licin, dengan profil
klasik Yunani, baru berusia 21 tahun namun sosoknya amat mengesankan, tipe dambaan
ibu-ibu yang punya anak gadis.” [5]
Namun ia bukan cuma bicara. Sesudah bertemu presiden, Castro mengusulkan
kepada sesama aktivis untuk beramai-ramai meringkus presiden dan melemparkannya
dari balkon buat membunuhnya, yang akan melambungkan revolusi mahasiswa dengan
cara yang sangat dramatis. Sekitaran waktu itu, Castro memang dituduh terlibat dalam
tiga percobaan pembunuhan: pertama pada Desember 1946, ketika seorang anggota UIR
ditembak di bagian dada; kedua pada Februari 1948, ketika Manolo Castro, Direktur
Nasional Bidang Olahraga, ditembak dan dibunuh di luar gedung bioskop; dan yang
ketiga sebentar sesudahnya: seorang opsir polisi, Oscar Fernandez, terluka
fatal oleh tembakan di luar rumahnya; sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia
mengidentifikasi si pemimpin mahasiswa itu sebagai penarik pelatuknya.[6]
Minat Castro pada politik Amerika Latin pun bertambah intens. Ia berpihak
pada gerakan pembebasan Puerto Rico; ia berangkat ke Republik Dominika dalam
upaya gagal untuk melengserkan diktator Rafael Trujillo; dan ia ekspresikan
solidaritas dengan gerakan-gerakan mahasiswa di Argentina,Venezuela, Kolombia, dan
Panama, yang tengah berjuang untuk mengakhiri kolonialisme dalam negeri mereka dan
menghentikan infiltrasi imperialisme AS. Demi tujuan tersebut, ia organisir
kongres dewan-dewan mahasiswa se-Amerika Latin pada awal 1948, untuk diselenggarakan
pada bulan April tahun itu juga di ibukota Kolombia, bertepatan dengan
Pertemuan Tinggi Menteri Luar Negeri Benua Amerika ke-9, yang nantinya bakal
memutuskan pembentukan Organisasi Negara-negara Benua Amerika (OAS), dan di
mana Washington bermaksud menggulung “ancaman komunis” di bawah pantauan ketat
Jenderal Marshall.
* * *
Main-main berakhir. Jalan hidup dua dewa kecil kita bertemu di Bogotá
pada hari berdarah 9 April 1948. Yang nantinya dikenal sebagai kerusuhan “Bogotazo”
akan memakan 3.500 nyawa pada hari-hari berikutnya dan lebih dari 300.000 lagi sepanjang
pertempuran lanjutan di tahun-tahun berikutnya.[7] Pada 7 April, Castro bertemu dengan Jorge Eliécer Gaitán, pemimpin
oposisi dari kubu liberal di Kolombia. Sekalipun masih muda, Gaitán sangat
populer dan berhasil mengkonsolidasi partai ketika negeri itu sangat
membutuhkan seorang negarawan untuk mengakhiri iklim oligarki yang penuh
kekerasan, dan tak ada yang menyangsikan bahwa ia akan merebut tampuk
kepresidenan dalam pemilu mendatang. Dalam pertemuannya dengan perwakilan
mahasiswa Kuba di kantornya di Jalan Ketujuh, keduanya saling suka. Gaitán berjanji
membantu Castro dan kawan-kawannya memperoleh lokasi yang terjamin untuk
menggelar konferensi anti-imperialisme mereka, dan menutup acara tersebut
dengan demonstrasi massa besar-besaran. Mereka berencana bertemu dua hari lagi,
pukul dua siang untuk memfinalisasi detail-detailnya. Sebentar sebelum pertemuan
kedua yang dijanjikan itu, saat Fidel dan kawan-kawannya sedang keluyuran di
wilayah sekitar sambil menunggu waktu, seorang jago tembak yang kurang waras, Juan
Roa Sierra, menembak si kandidat presiden dari jarak dekat. Saat Gaitán melangkah
keluar dari kantornya di Jalan Ketujuh 14-55, antara Jalan Jimenez de Quesada dan
Jalan Keempatbelas, ia ditembak tiga kali: di otak, paru-paru, dan liver. Tiga
butir peluru menghabisi harapan terbesar Kolombia, menandai awal dari salah
satu era terkelam sejarah negeri itu, dan menyulut perang saudara yang
berlangsung berkepanjangan selama sekian dasawarsa.
Persis pada waktu itu, di rumah indekos mahasiswa-mahasiswa gembel
di Jalan Kedelapan, dekat sekali dengan TKP, mahasiswa hukum tahun kedua Gabriel
García Márquez baru saja hendak makan siang. Arlojinya terbaca pukul satu lebih
lima. Ia langsung tahu apa yang terjadi. Gabo dan kawan-kawannya lari ke tempat
Gaitán roboh bersimbah darah di trotoar. Saat mereka tiba di sana, Gaitan sudah
dibawa ke Klinik Pusat, tempatnya meninggal dalam hitungan menit. Bingung oleh
suasana yang makin kacau, para mahasiswa itu berdiam sebentar di sana, mencoba
memahami kerusuhan di jalan-jalan yang meledak seputar mereka, juga suara pekik
dan teriakan yang makin kencang. Kota membara. Mereka putuskan balik ke rumah
kos mereka. Saat berbelok di pojokan dan menyeberangi jalan, mereka dapati hal
yang terburuk: rumah mereka ikut dibakar. Mereka tak bisa masuk menyelamatkan
barang-barang pribadi. Pakaian, perabot, buku-buku, segalanya musnah jadi abu.
Gabo mencoba lari menerobos api, tapi teman-temannya menahannya. Rasa putus
asanya bersumber dari kehilangan harta yang paling disayanginya: manuskrip
cerpen-cerpen yang sedang ia tulis, terutama “El cuento del fauno en el tranvía,” dan cerpen-cerpen yang sudah terbit di El Espectador.[8] Luis Villar Borda, seorang teman dari pergaulan
sastranya, berpapasan dengan Gabo sekitar pukul 4 sore itu di persimpangan
antara Jalan Jimenez de Quesada dengan Jalan Kedelapan. Dasso Saldivar menggambarkan
pertemuan itu:
Mendapati temannya dalam kondisi yang sedemikian
gundah, nyaris menangis, cukup membuat Villar Borda terpana, karena selama ini,
melihatnya di kampus dan ruang kuliah, Gabriel tak pernah menunjukkan hasrat
apapun untuk segala yang berbau politik, apalagi politik nasional bipartisan
... Jadi, mendapatinya begitu tak lumrah seperti ini, ia berkata kebingungan,
“Gabriel, aku tak tahu kau Gaitánis tulen!”
Lantas Gabriel pun menjawab dengan suara serak, “Apa
maksudmu? Itu cerpen-cerpenku terbakar!”[9]
Gabo melakukan satu upaya nekat terakhir: menyelamatkan mesin tik
yang harusnya masih ada di toko gadai. Belum lama lalu ia meninggalkannya di
pegadaian sebagai jaminan uang kontan untuk melunasi tagihan dan utang. Melihat
bagaimana Jalan Ketujuh dan seberangnya dilalap api, adiknya Luis Enrique dan
dirinya punya firasat yang sama. Gabo menulis dalam memoarnya:
Massa yang marah, bersenjata parang dan segala
jenis perkakas tajam yang dijarah dari toko bahan bangunan, menghancurkan
toko-toko di Jalan Ketujuh serta seberangnya dan membakarnya, dengan bantuan
polisi berkuda. Sekali pandang saja sudah cukup membuat kami yakin bahwa
situasinya sudah lepas kendali. Adikku membaca pikiranku saat ia berteriak:
“Sial, mesin tiknya!”
Kami lari ke toko gadai yang masih utuh, dengan
pagar besi terkunci rapat, tapi mesin ketik itu sudah tak berada di tempat
semestinya. Kami tak khawatir, dengan asumsi kami bisa memperolehnya kembali
setelah semua ini berakhir, tanpa sadar bahwa bencana mengerikan ini takkan
pernah berakhir.[10]
Fidel Castro, Alfredo Guevara, dan delegasi mahasiswa lainnya yang
telah meninggalkan hotel untuk bertemu dengan si pemimpin liberal melihat
orang-orang berlari-larian sambil berseru “Gaitán dibunuh!” Tiga puluh tiga
tahun sesudahnya, dalam wawancara dengan Arturo Alape, Fidel mengisahkan
hal-hal yang paling menyentaknya hari itu: gerombolan massa yang marah dan tak
mau tahu berlari-larian, melakukan tindakan kekerasan sesuka-sukanya. Mereka
jebol kaca-kaca jendela, menjarah toko-toko, menghancurkan properti negara dan
swasta. Massa mencapai alun-alun di depan Gedung Parlemen; ratusan orang berkerumun
di depan pintu, sementara seseorang mencoba mengajak mereka bicara dari balkon.
Polisi tak bisa menahan massa, yang mendobrak masuk ke gedung pemerintah dan
menghancurkan apa saja sepanjang jalan, melemparkan meja dan kursi keluar
jendela. Secara naluri Fidel langsung bergabung dengan massa di jalanan; ia
menerobos masuk ke markas polisi divisi ketiga, kabur membawa pistol, empat
belas butir peluru, sepatu bot, dan topi kapten polisi sebelum maju berperang.[11] Namun akhirnya Castro sampai pada simpulan
bahwa ini bukan revolusi, melainkan kerusuhan. Saat bergabung kembali dengan
kawan-kawannya, ia pun tahu bahwa polisi sedang mencari-cari dirinya karena
komunis-komunis Kubalah yang telah memprovokasi tewasnya Gaitán dan pergolakan.[12] Melihat situasinya, mereka memutuskan pergi ke
kedutaan besar Kuba dan menginap di sana, untuk menghindari kesulitan lebih
lanjut dalam kerusuhan yang kian kacau itu.
Beberapa tahun lalu, bersama teman dekatnya Gabriel García Márquez,
sang pemimpin Kuba ini mengisahkan ulang lika-liku dramatis dari masa-masa
menegangkan yang tak terlupakan itu. Dalam pelbagai kesempatan keduanya telah
menyatakan bahwa persahabatan mereka bermula atas alasan-alasan literer. Takdir
bertemu dengan sejarah pada 9 April 1948 itu: mesin ketik, sebuah piranti sederhana
dari logam dan plastik yang bisa melambungkan orang ke surga melalui
tulisan-tulisan penuh ilham, menjadi katalis persekutuan mereka—sekalipun bila
tidak secara aktual terjadi, paling tidak secara magis, imajinatif, dan
fantastis, sebagaimana realitas kerap berlangsung di Karibia. Fidel mengingat
percakapan ini dengan Gabo:
Saat saya cuma bisa berdiri melihat, takjub, massa
menyeret si pembunuh sepanjang jalan, membakari toko-toko, perkantoran, gedung
bioskop, dan apartemen. Beberapa orang mengangkuti piano dan lemari pakaian
beroda. Ada yang memecahkan kaca. Yang lain merusak tanda dan rambu-rambu. Yang
paling vokal melampiaskan kegeraman mereka dengan berteriak-teriak dari pojok
jalan, teras-teras, dan gedung-gedung yang berasap. Tapi ada seseorang yang
sangat aneh, ia lampiaskan kemarahannya dengan menghajar sebuah mesin ketik, memukulinya,
dan agar tak buang-buang tenaga percuma, ia melontarkannya ke udara, dan mesin
tik itu pun hancur berkeping-keping saat menghantam kakilima.
Saat saya bicara, Gabo cuma menyimak, barangkali
menegaskan kepastian ini dalam hati bahwa di Amerika Latin dan Karibia, penulis
tak harus banyak mengarang-ngarang, karena realitas lebih menarik daripada
apapun yang bisa Anda khayalkan, dan barangkali tantangannya adalah membuat
realitas yang sukar dipercaya itu menjadi bisa dipercaya. Saat saya selesai
bercerita, saya tahu Gabo juga ada di sana, dan kebetulan ini sangat
mengesankan, barangkali kami lari di jalan yang sama dan menyaksikan peristiwa
mengerikan yang sama, yang membuat saya cuma jadi salah satu tokoh saja dalam
kerumunan yang tiba-tiba bergolak itu. Saya pun bertanya dengan rasa ingin tahu
yang datar-datar saja:
“Dan apa yang kau perbuat selama Bogotazo?”
Dengan tenang, terbenam dalam imajinasinya yang
provokatif dan menyala-nyala itu, ia menjawab pendek sambil tersenyum, penuh
akal dengan pemakaian metafornya seperti biasa:
“Fidel, akulah orang dengan mesin tik itu.”[13]
---------------------
1. Fidel Castro, “La novela de sus recuerdos,” Cambio.com, 7 Oktober 2002, hlm. 1 (http://66.220.28.28/calle22/portada/artículos/79/)
2. Dasso Saldívar, García Márquez. El viaje a la semilla, Alfaguara, Madrid, 1997,
hlm. 98.
3. Ibid.,
hlm. 119-120.
4. Ibid.,
hlm. 121.
5. Volker Skierka, Fidel. La biografía definitiva del líder cubano, Martínez Roca,
Barcelona, 2002, hlm. 46.
6. Ibid.,
hlm. 47-48.
7. Saldivar, op.
cit., hlm. 195.
8. Ibid.,
hlm. 193.
9. Ibid.
10. Gabriel García Márquez, Vivir para contarla, Mondadori,
Barcelona, 2002, hlm. 342.
11. Arturo Alape, De los recuerdos de Fidel Castro: El Bogotazo y Hemingway, Editora
Política, La Habana, 1984, hlm. 32-40.
12. Ibid.,
hlm. 60.
13. Castro, “La novela de sus recuerdos,”
hlm. 1-2. Jelas, jawaban Gabo murni khayal, suatu cara untuk menunjukkan selera
humornya. Adegan itu tidak tampil dalam memoarnya, juga tidak sejalan dengan
evolusinya sebagai penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar