Senin, 20 Juni 2011

Meniru Inca dan Menjadi Llama: Tintin di Amerika Latin—atau, Amerika Latin dalam Tintin?

James Scorer, “Imitating Incas and Becoming Llamas: Tintin in Latin America—or the Latin America in Tintin?”, International Journal of Cultural Studies Vol. 11 (2), 2008, hlm. 139-156. James Scorer adalah dosen di Manchester Metropolitan University. Tesis doktoralnya mempersoalkan konstruksi budaya Buenos Aires sebagai kota nomaden dan ruang yang cair. Artikel ini diterjemahkan oleh Ronny Agustinus. [Catatan penerjemah: artikel jurnal ini aslinya tak berilustrasi. Ilustrasi saya tambahkan untuk memperjelas uraian. Atas alasan nostalgia saya pribadi sebagai seorang anak yang pertama kali terpukau oleh Tintin pada era 1980-an, terjemahan ini memakai nama-nama, judul, dan panel komik dari edisi Indira, bukan Gramedia].


Tintin banyak berpergian. Daerah-daerah yang pernah disambanginya meliputi Afrika, Amerika Serikat, Asia, kepulauan Karibia dan Pasifik, Timur Tengah, Eropa, dan jangan lupa: bulan. Sebagai petualang sejati, Tintin terus menerus melompat naik kereta, mengejar penerbangan terakhir, dan berlayar dengan kapal, belum lagi berenang di perairan penuh hiu, mengendarai tank, mendaki tebing curam, dan naik di punggung gajah.

Dari 23 petualangan lengkap Tintin karya Hergé, tiga menceritakan petualangan jurnalis tak ada matinya itu di Amerika Latin: Patung Kuping Belah (1935), Tawanan Dewa Matahari (1946), dan Tintin dan Picaros (1975).1 Satu karya lagi, Tujuh Bola Ajaib (1943-1944), berfungsi sebagai pendahuluan Tawanan Dewa Matahari sehingga membentuk cerita bersambung dua buku. Petualangan-petualangan di Amerika Latin ini muncul pada momen-momen yang jaraknya cukup renggang dalam karir Hergé, mencerminkan minat dan suasana hatinya yang  naik turun sebagai seorang Belgia yang tinggal di tengah paras Eropa yang sedang berubah pada abad ke-20.

Empat kisah petualangan Tintin terkait Amerika Latin

Karenanya, Amerika Latin bukan hal yang sambil lalu saja baginya, melainkan lebih merupakan motif kambuhan, kalau bukan obsesi diam-diam. Jadi apa yang dianggap begitu memukau oleh Hergé soal Amerika Latin dan apa, kalau ada, yang bisa diceritakan Tintin pada kita tentang Amerika Latin? Terutama, apakah yang bisa diceritakan oleh Amerika Latin tentang Tintin, serta tentang cairnya identitas secara umum?

Sebagian besar sukses Tintin bisa dipulangkan pada petualangan-petualangannya di tempat-tempat yang berjauhan dan tersebar secara global. Buku-buku Tintin telah diterjemahkan ke lebih dari 70 bahasa, bahkan melahirkan dua cerita “bajakan”: Breaking Free, kisah anarkis berlatar di Inggris, serta Tintin in Thailand, petualangan seksual yang memparodikan karakter-karakter di seri ini. Di bawah pantauan ketat Hergé dan Hergé Foundation sesudah ia wafat, beberapa cerita diadaptasi ke film, yang paling terkenal adalah dua seri animasi televisi. Yang pertama, Hergé’s Adventures of Tintin, ditayangkan antara 1958-1962, dan yang kedua yang lebih terkenal, The Adventures of Tintin, produksi bersama Perancis-Kanada, ditayangkan antara 1991-1992. Steven Spielberg dan Peter Jackson kini sedang menggarap dua dari tiga versi film digital tiga dimensinya.

Tintin dan Hergé barangkali juga sama-sama terkenal atas pandangan politik dan rasial mereka yang banyak dipertanyakan. Pada peringatan hari lahir Hergé ke-100 pada 2007, kontroversi merebak di Inggris ketika Komisi Kesetaraan Rasial memprotes Tintin di Kongo yang menurut mereka adalah “omong kosong kuno dan rasis.” Protes ini memaksa toko-toko buku memindahkan karya tersebut dari rak anak-anak ke rak novel grafis (BBC, 2007). Tintin di Kongo (1930-1931) jelas mengandung pandangan merendahkan tentang Kongo semasa penjajahan Belgia, yang bahkan membuat Egmont, penerbit Inggrisnya, mencetak sisipan pernyataan bahwa buku ini berisi “stereotip borjuis dan paternalistik—penafsiran yang bisa jadi menyinggung sebagian pembaca” (BBC, 2007). Pada versi aslinya (yang nyaris tak membaik oleh revisi Hergé), Tintin digambarkan mengajar anak-anak bermata belok tentang “manfaat” kolonialisme, meledakkan binatang-binatang liar, dan mengayomi orang-orang pribumi lugu di bawah kewenangan patriarkisnya.

Tintin di Kongo dimuat dalam lembar anak-anak Le Vingtième Siècle, surat kabat Katolik sayap kanan terbitan Brussels (Judah, 1999: 10). Surat kabar itu pulalah yang memuat petualangan pertama Tintin, Tintin di Soviet (1929-1930), propaganda kapitalis yang tanpa sungkan-sungkan mengolok-olok Soviet. Hergé nantinya berusaha menjarakkan diri dari dua karya awal yang ia sebut sebagai “dosa masa muda” dan “tindak pidana ringan” itu (dikutip dalam Judah, 1999: 13). Namun upayanya terasa kurang meyakinkan. Karya lengkap Hergé tak pernah sepenuhnya lepas dari tatapan seorang Eropa (Barat) yang sarat dengan asumsi-aumsi “superioritas” kolonial dalam memandang sang-liyan di luarnya.

Sebagian kritikus, misalnya, menyoroti dugaan kolaborasi Hergé selama pendudukan Nazi di Belgia saat Perang Dunia II. Tintin, yang lenyap dengan ditutupnya Le Petit Vingtième, dengan lekas terbit kembali di Le Soir yang pro-Nazi (Judah, 1999: 14). Bintang Jatuh (1941-1942), di mana Tintin dan pesaingnya adu cepat memperebutkan batu meteor berharga yang jatuh di Samudera Arktik, ternoda oleh anti-Semitisme: pada versi pertama, para pesaing itu didanai oleh Blumenstein, bankir Yahudi korup dari New York. Pasca Perang Dunia II, atas tudingan anti-Semit itu, Hergé mengubah nama tokohnya menjadi “Bohlwinkel dari Sao Rico.” Beberapa pihak mengklaim kealpaan ini amatlah naif, seakan-akan Hergé tak sadar akan silsilah Yahudi dari karakter di versi asli maupun dalam nama tokoh penggantinya.2 Karenanya, merangkum kecenderungan politik Hergé pada awalnya, Tom McCarthy menulis dengan jitu bahwa “asal muasal politik Tintin bertengger di kanan” (2006: 37), dan ada alasannya mengapa Hergé dan Tintin terus dituding perihal rasisme, stereotip, anti-Semitisme, dan politik syak wasangka.

Sebaliknya, para penggemar berat Tintin (terutama yang disebut Tintinofilia) memuji-muji sifat anti-otoritarianisme tokoh ini. Michael Farr, misalnya, menyebut Tongkat Raja Ottokar dan Lotus Biru sebagai karya “anti-fasis” (dikutip dalam Judah, 1999: 14). Pernyataan Tim Judah bahwa Hergé dan Tintin adalah “sahabat yang plin-plan” (1999: 13), yang beradaptasi pada kecenderungan zaman guna memuluskan penjualan, barangkali merupakan pendekatan yang membuahkan pemahaman paling komprehensif atas sikap politik Hergé yang selalu terombang-ambing sepanjang karyanya. Seperti kata McCarthy, “melalui serangkaian penghapusan dan penintaan ulang yang kompleks” (2006: 39), Hergé memungkinkan politiknya bergeser dari kanan ke kiri, sebelum datangnya Perang Dunia II “menghapus kecondongan politiknya yang spesifik” (2006: 40).

Dengannya absennya politik, tumbuhlah minat yang makin besar pada persahabatan, yang terkulminasi pada salah satu karya Hergé yang paling banyak dipuji, Tintin di Tibet: “Tintin boleh jadi memulai hidup sebagai agen politik, namun sesudah bertemu Chang, baik dirinya maupun karyanya secara umum kian menanggalkan politik demi persahabatan” (McCarthy, 2006: 48). Namun demikian, pada saat terbitnya Tintin dan Picaros, yang mengandung kritik politik paling sinis dari seluruh karya Hergé, bahkan persahabatan pun mulai kehilangan intinya yang ditakzimkan: “Dari fasisme yang sakral menuju persahabatan yang sakral menjadi versi yang profan dan dangkal dari keduanya: inilah jalan yang ditempuh Hergé melalui abad ke-20 yang terpiuh dalam buku-buku Tintin” (McCarthy, 2006: 58).

Karenanya, dalam artikel ini saya ingin mempelajari petualangan-petualangan Tintin di Amerika  Latin dalam kaitannya dengan pergeseran (a)politis, stereotip, serta representasi. Dalam sebagian besar kajian tentang Tintin, cuma sedikit yang secara serius memperhitungkan Amerika Latin (biasanya hanya menyoal rujukan sumber-sumber yang dipakai Hergé). Sedikit artikel yang mengupas Amerika Latin cenderung berfokus pada Tujuh Bola Ajaib dan Tawanan Dewa Matahari, menekankan bagaimana pandangan Eropa kolonial Hergé terus bertahan.3 Hugo Frey menganalisa penularan penyakit-penyakit kolonial, berpendapat bahwa karya-karya tersebut “memberi dukungan implisit pada mitos-mitos umum Eropa mengenai serangan balik invasi kolonial”(Frey, 2004: 177). Niall Binns membandingkan Tawanan Dewa Matahari dengan cerpen Augusto Monterroso, yang mensatirkan akhir dari cerita tersebut (Binns, 1997). Kedua artikel tersebut didasari oleh kritik kuat terhadap Tintin sebagai orang luar dengan pandangan baku Eropa yang bertualang dalam representasi stereotip yang merendahkan atas Amerika Latin dan orang Amerika Latin.

Simpulan Frey amat menohok:

Kemampuan Hergé untuk memberi lapisan pada ciri-ciri tertentu, menukar nama, potensi antikolonialismenya yang ironis, serta gambarnya yang memukau, barangkali membuat kedua buku ini tak bisa sepenuhnya diklaim oleh kaum rasis zaman sekarang. Di lain pihak, tafsiran Hergé atas fantasi-fantasi kolonial mengenai invasi biologis dan fobianya akan percampuran ras membuatnya sama-sama susah bagi pembaca yang lebih liberal untuk memperoleh kepuasan selain dari gaya gambarnya yang teliti. Inilah pencapaian yang jauh lebih paradoksal ketimbang yang hendak diakui oleh para pakar, jurnalis, dan Tintinofilia lainnya. (Frey, 2004: 186)

Saya tidak bermaksud membantah pokok utama argumen tersebut—kita harus senantiasa mawas diri terhadap dukungan tersurat dan tersirat Hergé terhadap kolonialisme, rasisme, anti-Semitisme, dan chauvinisme kejantanannya. Apalagi, berdasarkan kajian-kajian seperti How to Read Donald Duck (1975) karya Ariel Dorfman dan Armand Mattelart yang sangat berpengaruh, yang menggarisbawahi ideologi imperialis kartun-kartun Disney di Amerika Latin, tak perlu ditekankan lagi bahayanya komentar-komentar seperti yang diucapkan oleh Nick Rodwell, ketua Hergé Foundation ini: ‘Tintin mewakili kemenangan yang-baik atas yang-jahat, petualangan, gambar yang indah, pertemuan dengan negara-negara lain, dan ringkasan abad ke-20. Nikmati saja! Jangan kelewat banyak dianalisa. Ini toh buat anak-anak” (dikutip dalam Judah, 1999: 18).

Namun demikian, saya sekaligus juga ingin menyatakan bahwa argumen-argumen mengenai petualangan Tintin di Amerika Latin di atas luput memahami tegangan lain yang tak kalah penting dalam kisah-kisahnya. Alih-alih sekadar mempertanyakan cara Hergé merepresentasikan Amerika Latin, saya juga ingin menyatakan bahwa sebuah Amerika Latin yang tanpa dasar muncul secara tak terduga dalam diri Tintin sendiri: perjuangan itulah, pergulatan Tintin menjadi Latin, yang bersemayam di inti kisah-kisah petualangan ini.

Beberapa teoretikus yang bekerja “di bidang” Kajian Amerika Latin telah mempertanyakan watak geografis Amerika Latin dan disiplin ilmu itu sendiri sebagai cabang Kajian Wilayah. Maka, mengikuti Jon Beasley-Murray, saya nyatakan bahwa petualangan Tintin di Amerika Latin menyiratkan suatu latinidad yang “telah mengalami ‘deteritorialisasi’, melintasi batas nasional dan regional untuk lepas dari teritori geografis Amerika Latin itu sendiri” (2003: 223). Latinidad ini terumuskan “dari cara menyikapinya sebagaimana dari demografi, biologi, atau geografi” (2003: 224).

Bukan berarti bahwa latinidad yang mengalami deteritorialisasi ini menihilkan perbedaan. Sebagaimana diingatkan Beasley-Murray: “Sekalipun mungkin saja kita semua menjadi Amerika Latin, jangan kita lupa bahwa kita takkan menjadi Amerika Latin sepenuhnya dengan cara yang sama” (2003: 225). Maka Hergé (dan Tintin), sebagaimana kata Beasley-Murray perihal Lou Bega dan Bacardi, “[tidak] memberitahu kita semua yang ingin kita tahu mengenai identitas Latin” (2003: 225) — namun ada lebih banyak hal yang diceritakannya pada kita ketimbang yang ia niatkan sendiri.

Kolonialisme
Debat mengenai kecenderungan politik Hergé terangkum dalam petualangan pertama Tintin di Amerika Latin, Patung Kuping Belah. Hergé memparodikan apa yang ia pandang sebagai rapuhnya kekuasaan politik di Amerika Latin. Saat menunggu dihukum mati di negara fiktif San Theodoros sesudah dijebak sebagai mata-mata, Tintin berulang kali dibebaskan dan ditahan kembali hanya dalam rentang satu halaman cerita, seraya tarik ulur pergulatan kekuasaan antara Jenderal Alcazar dan Jenderal Tapioca membuahkan kudeta silih berganti satu sama lain.

Silih ganti rezim penguasa San Theodoros dalam 1 halaman cerita,
pekik pro-Alcazar berganti menjadi pekik pro-Tapioca hanya dengan selisih 7 panel
(Patung Kuping Belah, hlm. 20, panel 5 dan 13)

Sesudah revolusi orang salah kira Tintin sebagai pendukung Alcazar (untuk alasan-alasan yang akan dijabarkan nanti). Ia pun ditunjuk menjadi ajudan Sang Jenderal. Satir Hergé tentang demokrasi Amerika Latin yang tak stabil jelas merupakan pandangan merendahkan seorang kolonialis arogan atas orang-orang Amerika Latin yang dianggap korup dan inkompeten yang tidak memiliki prinsip-prinsip etik dan politik yang jelas (Binns, 1997: 53).

Meski demikian, Patung Kuping Belah bukan hanya menghadirkan pandangan stereotip mengenai perpolitikan Amerika Latin, namun secara simultan juga kritik keras terhadap eksploitasi kaum kapitalis asing. San Theodoros terus menerus berada di ambang perang dengan negeri jirannya, Nuevo Rico, dan dalam perannya sebagai ajudan sementara Presiden Alcazar, Tintin bertemu R.W. Trickler, perwakilan perusahaan minyak General American Oil. Trickler mengusulkan agar San Theodoros menginvasi Nuevo Rico untuk merebut cadangan minyak di kawasan Gran Chapo, yang masuk ke batas wilayah kedua negara. Sekalipun Tintin terperanjat dan mengusir pergi perwakilan itu, Alcazar –yang sepertinya tak menjunjung “kaidah moral” Tintin—nantinya menerima usulan Trickler.

Kepentingan perusahaan multinasional dalam konflik di Amerika Latin
(Patung Kuping Belah, hlm. 31, panel 9-11)

Hergé secara serentak menohok sinis kubu pedagang senjata yang disimbolkan oleh Basil Bazarov yang terlihat sedang menggolkan perjanjian baik dengan Alcazar maupun penguasa Nuevo Rico Jenderal Mogador, serta perusahaan-perusahaan multinasional General American Oil dan British South-American Petrol, yang keduanya ditampilkan punya kepentingan tersembunyi dalam konflik ini.

Pedagang senjata Basil Bazarov mengeruk untung dari dua kubu yang bertikai
(Patung Kuping Belah, hlm. 34, panel 7 dan 14)

Hergé melanjutkan kritik atas kolonialismenya pada petualangan Tintin berikutnya di Amerika Latin, yakni Tujuh Bola Ajaib dan Tawanan Dewa Matahari. Dimulai menjelang akhir Perang Dunia II dan rampung pada 1948, Hergé memilih memberi latar cerita ini di negara yang tak seberapa kontroversial, sesudah menunda penerbitan Negeri Emas Hitam yang berlatar Timur Tengah (saat itu sedang dilanda kecamuk politik).

Tujuh Bola Ajaib dimulai dengan kembalinya ekspedisi Sanders-Hardiman dari Peru dan berita tentang kuburan Inca yang mereka “temukan”. Namun entah bagaimana, satu per satu awak ekspedisi secara misterius terserang koma, akibat zat yang keluar dari bola kristal yang dipecahkan di dekat mereka oleh orang tak dikenal. Para keturunan Inca, yang turut menyebarkan penyakit koma ini sebagai balas dendam atas penodaan kesucian yang dilakukan ekspedisi itu, menculik Calculus karena lancang memakai gelang Inca. Tintin dan Haddock mengejar para penculik itu sampai ke Peru, kedatangan mereka menandai dimulainya Tawanan Dewa Matahari.

Mengetahui rencana orang Inca untuk menghukum mati Calculus, mereka menempuh perjalanan berat menuju Kuil Matahari, dan di sana mereka ditawan bersama Calculus hingga akhirnya dibebaskan (berkat bantuan gerhana matahari dan kecerdasan Tintin).

Sejak awal Tawanan Dewa Matahari, Inca dihadirkan sebagai “orang Indian” adat dan bukan “orang Peru” Hispanik. Tintin diceritakan menyelamatkan Zorrino si penjual jeruk dari sepasang begundal Hispanik, kritik terselubung atas warisan brutal kolonialisme “awal”, yakni  pendudukan Spanyol atas Amerika Latin. Seorang pendeta tinggi Dewa Matahari yang membuntuti Tintin memberinya jimat perlindungan sebagai pengakuan atas keberaniannya. Tatkala Pangeran Matahari melihat jimat itu, ia menuduh Tintin mencuri: “Seperti mereka, kau rampok kuburan nenek moyang kami, tak salah lagi!”

Memang, seluruh petualangan ini bermula dari bentuk lain “penemuan” dan penjarahan kolonial, yakni pembongkaran kuburan raja Inca Rascar Capac. Di awal Tujuh Bola Ajaib, Tintin sedang membaca berita koran tentang ekspedisi Sanders-Hardiman. Sesama penumpang, yang ikut membaca koran Tintin, berkata, “Ini akan mengarah pada kesukaran. Lihat saja nanti … Semua urusan mummi ini. Masih ingat peristiwa makam Tut-Ankh-Amen?” Menyitir apa yang dijuluki sebagai “Kutukan Firaun”, penumpang sebelah Tintin itu melanjutkan: “Tapi untuk apa mereka membongkar makam itu? Bagaimana kalau orang-orang Mesir dan Peru datang ke sini, dan menggali makam raja-raja kita? ... Apakah kita akan senang?”

Inca dan Mesir: dunia non-rasional bagi orang Eropa
(Tujuh Bola Ajaib, hlm. 17, panel 6-7)

Meskipun Hergé mengamini balas dendam orang Inca, kritiknya atas para penjelajah Eropa menjadi goyah oleh caranya menyikapi ancaman yang dihadirkan orang Inca pada bangsa Eropa dalam wujud penyakit misterius. Hal ini menampakkan kontradiksi dalam pandangannya tentang sang-liyan dari Amerika Latin.

Begitu berada di Eropa, Inca menjadi kekuatan yang mengancam, misterius, dan menakutkan, dilambangkan oleh mumi Rascar Capac. Frey menekankan kejang-kejang kesurupan yang menginterupsi kondisi koma para pasien (2004: 180) dan berpendapat bahwa infeksi misterius ini menyiratkan “pembacaan yang sangat ambigu atas kolonialisme Eropa” (2004: 178).

Kritik tersirat Hergé atas kolonialisme (dalam segala jenisnya) makin digerogoti oleh dukungannya terhadap kolonialisme “yang diperbolehkan”. Di penghujung Tawanan Dewa Matahari, Pangeran Matahari menjelaskan bahwa para peneliti itu dihukum karena membongkar makam Inca dan mencuri harta mereka. Tapi Tintin membela tindakan para peneliti: “Mereka datang tidak untuk merampok, Pangeran yang Mulia: melainkan untuk memperkenalkan adat kuno dan peradabanmu yang tinggi.” Seolah-olah Hergé mensahkan perlakuan atas subyeknya –“penjarahan” citra, katakanlah begitu—demi pengetahuan dan hiburan, bidikan dan pembingkaian visual yang didominasi oleh pandangan Eropa dan kekinian etnografisnya.

Tintin (dan Hergé) memberi dalih keilmuan bagi kolonialisme
(Tawanan Dewa Matahari, hlm. 60, panel 2-4)

Pandangan Eropa
Dua petualangan pertama Tintin di Amerika Latin diawali dengan menempatkan Amerika Latin sebagai pajangan untuk dilihat. Pada bagian awal Tawanan Dewa Matahari, Tintin dan Haddock keluyuran di jalan-jalan Callao sembari menunggu kedatangan Pachacamac, kapal tempat Calculus disekap. Haddock memberitahu Tintin agar jangan khawatir: “Tenang saja! Lihat sekelilingmu! Orang Indian berbaju aneka warna, dan llama itu.”

Dengan penekanan serupa dalam memandang sang-liyan, Patung Kuping Belah berpusat pada jimat yang diambil dari suku Arumbaya di Amazon, dan dipamerkan di Museum Etnografi di kota tempat tinggal Tintin. Jimat itu dicuri dari museum namun langsung dikembalikan, dan pencurian itu pun dianggap sebagai keisengan belaka. Penasaran oleh kasus ini, Tintin menengarai bahwa patung penggantinya tidak rompal di bagian kuping dan ia pun menyadari bahwa ini palsu. Ia kejar para penjahatnya sampai ke Amerika Selatan, di mana ia menemukan adanya berlian yang disembunyikan dalam patung. Saat memburu para penjahat itu dalam perjalanan balik ke Eropa, Tintin terlibat baku hantam dengan mereka di atas kapal pesiar di mana jimat tersebut jatuh, retak berantakan, dan membuat permatanya menggelinding masuk laut (bersama para penjahatnya). Jimat yang rusak itu ditambal dan dikembalikan ke Museum Etnografi.

Bagi Hergé, tempat Amerika Latin adalah di museum: lampau dan mandek
(Patung Kuping Belah, hlm. 1, panel 1 dan 5)

Museum menyediakan kerangka bagi Patung Kuping Belah. Panel paling pertama menggambarkan seseorang hendak memasuki pintunya, menggiring pembaca ke dalam dunia petualangan. Bahwa Amerika Latin dikonstruksi sebagai objek studi dilambangkan pada panel kedua, di mana Hergé melukiskan dirinya sebagai pengamat budaya dengan diam-diam menggambar dirinya sendiri berdiri di ruang penuh totem, dengan tangan memegang topi. Seperti totem-totem itu, jimat dalam kisah petualangan ini yang merupakan representasi Amerika Latin, adalah benda tak bergerak, diam terpaku di dudukannya, ditaruh di museum agar semua orang bisa melihatnya.4

Nilainya sebagai barang pameran mengindikasikan peralihan ironis dari benda magis suku Arumbaya menjadi objek yang disanjung-sanjung oleh orang Eropa. Tentunya, kunjungan Tintin ke suku Arumbaya guna mencari kebenaran di balik –atau tepatnya, di dalam—jimat tersebut menyiratkan bagaimana ia pun terobsesi oleh penyelamatannya, guna melestarikan sihir dan kekeramatan jimat yang asli.

Karenanya, kemenangan puncak Tintin pada akhir petualangan ini adalah bisa mengembalikan jimat tersebut ke museum. Panel terakhir menggambarkan jimat itu dikembalikan sepatutnya di dudukan/altarnya, ditambal dan siap disaksikan pengunjung berikutnya, kembali ke tempatnya yang “berhak”. Pandangan etnografis Eropa menempatkan (kembali) objek studi itu dengan kukuh ke dalam museum, tempat par excellence untuk kemandekan dan masa lalu. Tak terlintas sedikit pun ironi dalam pernyataan Tintin ke Tuan Goldbaar, pembeli jujur jimat tersebut, bahwa objek ini adalah “barang curian.” Begitu pula dalam permintaan Tuan Goldbaar ke Tintin agar “Tolong bawalah kalau anda kembali. Kembalikan ke museum tempatnya (cetak miring ditambahkan). Seperti kata McCarthy:

Yang jauh lebih dramatis [ketimbang penemuan permata] adalah penemuan awal Tintin bahwa patung yang dikembalikan ke museum adalah barang tiruan, serta klimaks di bagian akhir saat Tintin mendapati bahwa patung tersebut telah direplikasi massal. […] Bila jimat itu jadi semakin retak-retak di penghujung buku ketimbang pada awal cerita, ini barangkali karena jimat tersebut telah dikorbankan –secara harafiah dimuntahkan […]—bukan pada altar keserakahan melainkan kemiripan, mimesis, serta sisinya yang destruktif, simulakra. (2006: 156)

Penyalinan dan produksi massal yang dirujuk McCarthy itulah persisnya yang tak tersangkal oleh Tintin (dan Hergé): bukan hanya komersialisasi Amerika Latin namun juga reproduksinya yang tak senonoh, proses penjiplakan artistik yang merupakan profanitas puncak terhadap aura keramat dan unik jimat tersebut.

Yang otentik telah habis oleh profanitas reproduksi
(Patung Kuping Belah, hlm. 57, panel 12)

Dalam ulasannya mengenai kartun-kartun Disney, Jean Franco berpendapat bahwa gagasan untuk menganimasikan (animate) Amerika Latin itu sendiri “menyiratkan hembusan nafas kehidupan pada suatu benda mati (inanimate) serta daya-daya mendekati mitis yang dihadirkannya” (2002: 26). Bilamana reproduksi Hergé itu mitis dan keramat karena –laiknya sang jimat—ia yakini itu unik, maka ia menganggap reproduksi lainnya sebagai reproduksi yang tak senonoh. Kepedulian Hergé atas “profanitas” reproduksi ini rada ironis melihat betapa ngototnya ia menciptakan gambar yang “otentik”, dengan mengkliping bahan-bahan dari koran, majalah, dan pameran-pameran, serta banyak memakai dan menyalin foto-foto (foto itu sendiri tentunya adalah reproduksi mekanis yang mengancam “keunikan” seni). Dalam Patung Kuping Belah, misalnya, Hergé membuat Amerika Latinnnya terasa “otentik” dengan detail-detail seperti Jenderal Olivaro, rujukan terselubung pada Simon Bolívar, atau detail-detail jimat itu sendiri, yang merupakan reproduksi teliti atas patung Chimu dari masa pra Kolombus yang tersimpan di Royal Museum of Art and History di Brussels (Farr, 2001: 66-67).

Kritik tajam Hergé pada perusahaan-perusahaan multinasional dan perdagangan senjata juga dipenuhi rujukan-rujukan terselubung. Gran Chapo merujuk pada Perang Gran Chaco (1932-1935) antara Bolivia dengan Paraguay, yang juga melibatkan perusahaan-perusahaan minyak AS dan Inggris. General American Oil adalah rujukan pada Standard Oil dan Basil Bazarov pada Sir Basil Zaharoff, bawahan Vickers Armstrong selama Perang Dunia I (Farr, 2001: 62).

Sama halnya, sumber-sumber utama Tawanan Dewa Matahari adalah buku karya Charles Wiener Peru and Bolivia yang terbit pada 1880 serta artikel National Geographic tahun 1938 tulisan Philip Ainsworth Means (Means, 1938). Obsesi Hergé pada detail bahkan membuat para pegawainya “terpaksa berpose berjam-jam mengenakan ponco garis-garis sembari ia membikin sketsa lipatan-lipatan kainnya” (Thompson, 1991: 136). Hergé juga memasukkan beberapa guyonan lokal yang menggambarkan kedalaman risetnya, terutama pada hlm. 46 Tujuh Bola Ajaib, di mana sopir mobil coklat muda tempat Calculus diculik adalah Fernando Ramirez, eksportir guano asal Peru.5

Semangat Hergé untuk menghasilkan detail yang teliti dan “otentik” kerap melahirkan debat seputar “validitas” representasinya. Beberapa kritikus memberi perhatian pada “kelemahan” Patung Kuping Belah. Harry Thompson menulis: “Bahan mentahnya ada di situ … namun makin lama, kita bisa merasakan semangat untuk membuat detail yang teliti itu surut … Tumbuh-tumbuhannya (yang adalah spesialisasi Hergé) salah –pisang digambar tumbuh ke bawah bukan ke atas—atau malah tidak ada sama sekali” (Thompson, 1991: 70).

Kegandrungan Hergé akan detail:
Jenderal Olivaro, rujukan terselubung pada Simon Bolívar
(Patung Kuping Belah, hlm. 30, panel 3)

Namun ia juga bisa ngawur dalam soal detail:
pisang asli dan pisang Hergé yang tumbuh terbalik
(Patung Kuping Belah, hlm. 32, panel 8-10)

Karena itu, menurut Thompson, di Patung Kuping Belah “Amerika Selatannya Hergé tidak memiliki greget kebenaran yang sama sebagaimana Cinanya Hergé (Thompson, 1991: 70). Di sini Thompson merujuk kisah petualangan Tintin sebelumnya, Lotus Biru, yang disanjung sebagai karya yang menampar stereotip-stereotip tradisional Eropa atas orang Cina. Kawan baru Hergé, Chang Chong-Chen, mahasiswa seni dari Cina, meruntuhkan banyak mitos tentang Cina dan membantu Hergé menggambarkan adegan jalanan yang sangat rinci, poster-posternya, dan terutama, aksara serta grafis Cina.6

Karenanya, sejak Lotus Biru dan seterusnya, Hergé tersohor berkat perhatian cermatnya pada detail dengan mengumpulkan sumber-sumber primer, yang memukau pembacanya dan menghadirkan stempel otentisitas yang membuat antropolog paradigmatik Claude Lévi-Strauss berkata bahwa “Tintin était la bande dessinée la plus respectueuse des coutumes du monde” (Tintin adalah komik yang paling menghargai adat kebiasaan dunia) (dikutip dalam Screech, 2005: 25).

Tuntutan akan otentisitas, selain didorong oleh cara Hergé sendiri dalam mendekati petualangan-petualangan Tintin, juga merupakan indikasi bagaimana pandangan Eropa mendominasi pengharapan pembaca: pandangan yang berhasrat melihat seperti apa “sesungguhnya” sang-liyan itu. Dan tentunya, rubrik ‘Le Journal de Tintin’ di situs resmi Tintin menyuguhkan informasi yang kaya tentang cara membaca Tintin secara historis.7 Tintin dan Picaros, misalnya, menyediakan basis bagi analisa di situs itu mengenai “Coups de force et coups d’état”, termasuk menyitir soal Che Guevara, Idi Amin, dan kudeta September 2006 di Thailand, yang mengindikasikan seberapa kontemporer Tintin hendak dicitrakan oleh Hergé Foundation.

Tapi bila demikian, lantas mengapa Hergé kerap memilih melakukan penyamaran dan mengarang, misalnya, negeri fiktif tempat Patung Kuping Belah maupun Tintin dan Picaros berlangsung? Republik fiktif San Theodoros digambarkan sebagai salah satu negara Amerika Selatan di wilayah tengah yang berbatasan dengan Amazon, tapi Hergé memilih untuk tidak menyebut suatu negara yang spesifik, tidak seperti Peru dalam Tawanan Dewa Matahari.

Jawabannya bukanlah untuk membenahi segala inkonsistensi yang terkait dengan “dunia Tintin,” sebagaimana cenderung dikemukakan para penggemarnya.8 Malah salah satu alasan bagi keputusan untuk memberi rujukan samar atau disamarkan ini adalah untuk menekankan segi-segi arketipnya. San Theodoros bukanlah Peru atau Ekuador atau Bolivia atau manapun justru karena San Theodoros adalah kesemuanya sekaligus. Hergé bersikap sama dengan banyak kisah petualangan Tintin di Eropa. Polaritas dan ketegangan politik di Eropa pra dan pasca Perang Dunia II dilambangkan melalui pertarungan antara Borduria yang “fasis” dengan Syldavia yang “liberal”.

Tindakan Hergé untuk mengungkap sekaligus menyamarkan juga merupakan cerminan laku artistik itu sendiri: sang pencipta merajut fakta-fakta agar pembaca punya pijakan, hanya untuk menutupinya lagi di balik jubah pesulap. Dan aksi penyamaran ini tergambar paling bagus dalam pembukaan Tujuh Bola Ajaib, di mana 15 halaman pertamanya didominasi oleh aneka pentas di panggung hiburan: cenayang, pelempar pisau (tak lain adalah Alcazar sendiri yang bekerja dengan asisten orang Inca), konser menggetarkan Bianca Castafiore yang membawakan Jewel Song dari Faust, dan terakhir: seorang pesulap. Dan memang si pesulap itulah alasan Haddock dan Tintin datang menonton karena Haddock mati-matian ingin tahu trik si pesulap mengubah air jadi wiski. Cara Hergé menggambarkan dalam panel setengah halaman ulah memalukan Haddock yang tak sengaja merusak klimaks pertunjukan sulap itu merupakan momen kunci yang berkebalikan telak dengan “sulapan” Tintin sendiri di akhir petualangan ini, sebagaimana akan dibahas di bawah. Lebih dari itu, pada tirai yang berfungsi sebagai latar pertunjukan sulap tergambar tanda tanya besar, seolah mengisyaratkan pengelabuan lainnya dalam panel itu sendiri: Hergé menggambar dirinya sendiri, E.P. Jacobs, serta Michel Regnier di antara para hadirin.9 Dengan demikian panel ini berfungsi sebagai lapisan misteri dan teka-teki, petunjuk-petunjuk yang disebar sebagai lelucon dan rujukan-rujukan terselubung, yang merecoki semua pembacaan dan panel lainnya. Ia juga memberi pertanda akan akhir kisah petualangan ini, ketika Tintin memainkan “sulapannya” untuk lolos dari orang Inca. Pelapisan macam itu menggoyahkan gagasan tentang mana yang rujukan sebenarnya dan mana yang fiktif: keduanya saling berkelindan secara konstan, mobilitas inheren yang kentara dalam perlakuan Hergé atas waktu, yang akhirnya akan mengacau identitas Tintin sendiri yang tampak baku dan tetap.

Kekinian Etnografis
McCarthy menulis bahwa Patung Kuping Belah disusun seputar dua sejarah simultan yang bermula dari dua jenis pencurian yang berbeda, yakni pencurian jimat dari suku Arumbaya pada abad ke-19 dan pencurian jimat dari Museum Etnografi (2006: 18). Sekalipun jimat itu sendiri tampak konstan, tak berubah-ubah, reproduksinya mengindikasikan bahwa ia memang berubah—atau paling tidak ia berubah melalui multiplikasi, dengan menjadi dirinya sendiri berulang kali, kehilangan keunikannya di bengkel kerja pematung, sekalipun jimat asli –yang kembali menjadi unik gara-gara tambalan plester dan kawat—dipasang kembali di museum.

Di lain pihak, suku Arumbaya, yang secara implisit terancam oleh kekuatan yang sama yang memengaruhi jimat itu, awalnya tidak begitu gampang diubah. Mencapai wilayah yang dihuni suku tersebut sesudah berkano jauh ke dalam Amazon, Tintin bersua Ridgewell, peneliti Barat yang sudah tinggal di tengah-tengah suku itu selama bertahun-tahun. Ridgewell menjadi luar biasa mahir memakai sumpitan, senjata favorit suku Arumbaya, dan fasih berbahasa Arumbaya.

Bilamana Ridgewell mampu belajar dari suku lokal, ia mengeluh bahwa suku Arumbaya tak mampu belajar cara Barat: ia gagal mengajari mereka golf. Ketidakmampuan suku “primitif yang tak bisa diajari” ini untuk berubah dan beradaptasi mengindikasikan bagaimana Arumbaya terkurung dalam “kekinian etnografis.” Seperti kata Micaela di Leonardo: ‘Terperangkap dalam waktu ibarat lalat membeku dalam damar, obyek penelitian antropologis bagi para kritikus seakan-akan tak mengalami pergeseran, perubahan, dan agensi historis yang tak terpisahkan dari kehidupan ‘orang Barat,’ mereka yang menjalankan kajian atas sang-liyan itu” (1998: 13).

Dalam Tujuh Bola Ajaib dan Tawanan Dewa Matahari Hergé meneruskan pembekuan ini dalam jenisnya yang lain. Pada artikelnya tahun 1938 di National Geographic soal Peru, Philip Means menulis:

Setengah jam sesudah aku turun dari pesawat yang membawaku ke Cuzco, Peru, derunya yang modern dan membandel masih bergaung di telingaku. Alhasil, ketika aku berjalan-jalan di luasnya Plaza de San Francisco tempat digelarnya pasar orang Indian setiap hari, aku mengalami kebingungan kronologis. Di telingaku abad ke-20 mendesir, tapi di depan mataku terhampar pemandangan abad ke-16. (1938: 225)

Bukan cuma memetik ilham dari deskripsi artikel tersebut, Hergé sepertinya juga terinspirasi oleh “kebingungan kronologis” Means. Maka jadilah sebuah Peru yang tidak didominasi oleh puing-puing bersejarah, melainkan oleh sebuah kerajaan Inca yang masih terus menghadirkan pengaruh besar bagi penduduk lokal. Bahwa seorang kondektur kereta didesak untuk melepas sambungan gerbong Tintin dan Haddock dari kereta yang membawa mereka ke Jagua guna mengirim mereka ke alam baka menegaskan pengaruh “anakronistik” kerajaan Inca ini. Tintin sudah mencurigai adanya pengaruh Inca ini ketika kapal Pachacamac dikarantina akibat demam kuning oleh dokter pelabuhan: “Dokter itu orang Indian, Kapten … Suku Quichua … Belum mengerti juga?” Nantinya, ketika Tintin diberitahu tentang pembalasan Inca yang mengerikan, bahkan ia pun terperanjat: “Inca? … Kuil Dewa Matahari? … Inca, di zaman ini? … Tak mungkin!” Hergé terlihat mati-matian hendak menekankan kemungkinan imajinatif berpadunya zaman historis yang berbeda-beda ini guna memicu keterpukauan pembaca. Saat Haddock bertarung dengan orang-orang Inca yang mencoba memenjarakannya ia berteriak: “Minggir, Inca palsu!”

Inca di abad modern: kekinian etnografis dan anakronisme zaman
(Tawanan Dewa Matahari, hlm. 60, panel 3-4)

Binns mengikuti argumen Dorfman dan Mattelart mengenai “Aztecland” dan “Disneylandisasi”. Ia nyatakan bahwa “pandangan stereotipikal” yang terungkap dalam tiga petualangan Tintin di Amerika Latin serupa dengan penggambaran Disney akan “‘orang buas yang naif’, terperangkap dalam kekinian arkais tanpa masa depan” (1997: 53).10 Mengenai Patung Kuping Belah dan Tawanan Dewa Matahari, ia menulis:

[Amerika Latin] terus digambarkan sebagai benua yang dikutuk untuk mengalami silih ganti jenderal-jenderal tak bermoral dan haus darah, serta mengalami kemunduran hakiki, berkebalikan total dengan kemegahan masyarakat Inca sebelum Zaman Penaklukan. (1997: 58)

Binns menekankan bagaimana orang Inca terperangkap dalam kekinian etnografis mereka sendiri, sekalipun mereka jauh lebih sadar akan ancaman dunia “luar” ketimbang suku Arumbaya yang tak tahu menahu gejolak di San Theodoros: “Dekadensi kehidupan kota berkebalikan … dengan primitivisme ‘alamiah’ suku-suku adat di rimba” (Binns, 1997: 53).

Namun saat petualangan pamungkas Tintin dan Picaros, bahkan suku Arumbaya pun terancam oleh perubahan besar di negeri itu. Masih tinggal bersama puak tersebut, Ridgewell berkata bahwa suku Arumbaya terus bergulat dengan golf, tapi “maju pesat… dalam soal mabuk-mabukan”, menenggak wiski yang diterjunkan Jenderal Tapioca ke dalam hutan dengan maksud merusak pasukan gerilya Alcazar. Sebagaimana Calculus memperingatkan Haddock, “Pemabuk! ... Itulah pengaruh ‘peradaban’ bagi orang ‘tak beradab’ ini.” Karenanya pada saat Tintin dan Picaros, bahkan suku Arumbaya pun menjadi historis, tak mampu bertahan dalam kehidupan rimba mereka yang tak terjamah. Sekalipun terkejut dengan kekekalan bangsa Inca, Tintin sendiri bermaksud mempertahankan identitas seorang Eropa superior yang stabil tak berubah-ubah.

Menerjunkan alkohol ke dalam hutan: dalam perang antara rezim otoriter
dengan gerilyawan pemberontak, masyarakat adatlah yang kena imbasnya
(Tintin dan Picaros, hlm. 32, panel 4 dan 9)

Dengan itulah Hergé sepertinya tak sadar bahwa Amerika Latin bukan hanya akan menjadi modern, melalui kolonialisme “yang bisa diterima” atau lainnya, namun juga akan memberi perubahan pada diri mereka yang berusaha memaksakan kekinian etnografis. Ia tak sadar bahwa Amerika Latin juga akan menghadirkan perubahan pada Tintin. Maka dari itu, sekarang mari kita alihkan perhatian pada tokoh kita ini beserta kawan-kawannya.

Menjadi Pribumi
Tintin punya peran yang tak lazim dalam Patung Kuping Belah. Awalnya bermaksud menghabiskan cuma satu hari di San Theodoros sebelum kembali ke kapalnya, kapten kapal mengingatkannya agar jangan terlambat, yang dibalas oleh Tintin, “Jangan kuatir. Aku tidak mau lama-lama di tempat ini!”

Namun demikian, bukan hanya Tintin akhirnya berlama-lama di “tempat ini”, melainkan ia malah terlibat langsung dalam masa depan negeri itu. Tintin memang kerap diceritakan memberi pengaruh “baik” pada masalah dalam negeri negara lain, namun Patung Kuping Belah memang tak lazim. Di situ Tintin bekerja sebagai orang dalam pemerintahan Alcazar –pejabat militer—dan bukan menjalankan peran jurnalistik atau investigatifnya yang lebih tipikal sebagai penolong dari luar.

Dijebak sebagai mata-mata untuk kedua kalinya, Tintin diselamatkan oleh Pablo, yang sebelumnya ia maafkan sesudah si orang San Theodoros itu gagal membunuhnya. Tintin berhasil mencuri mobil tentara, dan melaju ke perbatasan Nuevo Rico hanya untuk ditembak oleh pasukan patroli. Pasukan Nuevo Rico menangkap Tintin yang tak sadarkan diri dan mengirim peringatan akan adanya serangan oleh mobil musuh bersenjata. Dicanangkannya perang oleh Jenderal Mogador dengan demikian bukan disebabkan oleh campur tangan perusahaan minyak, melainkan oleh Tintin dalam seragam “Amerika Latin”-nya.

Sebelumnya, dalam kekisruhan revolusi silih berganti, pimpinan regu tembak menawari Tintin “brendi lokal” sembari menunggu perbaikan senapan regu tembak yang telah disabotase. Tak dinyana, Tintin mabuk berat dan sambil limbung ia berseru-seru “Panjang umur Jenderal Alcazar!”

Cerita-cerita Tintin memang sarat dengan mabuk-mabukan, tapi biang kerok biasanya adalah Kapten Haddock. Kesukaan Haddock akan minuman keras tergambar dalam banyak kisah, dan alkohol kerap berperan penting dalam pengembangan plot cerita: Calculus, misalnya, mengganti pasokan wiski Haddock dengan kapal selam hiunya di Harta Karun Rackham Merah. Sebaliknya, Tintin adalah suri tauladan hidup berpantang. Ia nyaris tak pernah minum dan selalu menasehati Haddock untuk berhenti minum, yang membuat kesengajaannya untuk mabuk dalam Patung Kuping Belah jadi terasa kian mengejutkan (dan menguak sifat-sifat terdalamnya).

Hanya dalam petualangan di Amerika Latin Tintin mabuk-mabukan…
(Patung Kuping Belah, hlm. 21, panel 7, 8, dan 13)

… dan tingkah lakunya menyulut perang antar dua negara
(Patung Kuping Belah, hlm. 41, panel 5-6, hlm. 42, panel 5-6)

Dua aspek Tintin ini dalam Patung Kuping Belah –perannya sebagai pejabat militer dan mabuk-mabukannya—menandai titik berangkat bagi Tintin dalam hal petualangan-petualangannya di Amerika Latin. Selama bertualang, Amerika Latin mengguncang Tintin, menggoyahkannya, menguak satu segi wataknya yang dipendam dalam seri-seri petualangan lainnya. Ini mengingatkan kita pada Amerika Latin abad ke-19, di mana “bahkan administrator-administrator kolonial yang paling rasional sekali pun bisa terbawa nafsu kelewat jauh, meninggalkan kewarasan mereka untuk menunjukkan semacam solidaritas bawaan pada penduduk pribumi yang terasa asing namun juga terasa akrab” (Beasley-Murray, 2003: 232). Alih-alih menjadi penengah suatu krisis internasional, Tintin malah memicu perang antara dua negara Amerika Latin dan mabuk-mabukannya mengubahnya menjadi seorang periang ngelantur yang tak stabil—yang keduanya bisa dibilang bukanlah ciri-cirinya secara umum.

Serupa dengan itu, Tawanan Dewa Matahari menggambarkan bagaimana Tintin dkk tanpa disadari mampu menjadi orang Amerika Latin. Ketika Haddock akhirnya berhasil menyusul Tintin setelah dua kali terpisah dalam melacak Calculus, ia tak bisa mengenali Tintin dalam samaran topi dan ponconya, yang dengan ini menekankan kemampuan Tintin berbaur dengan lingkungannya.11 Dan hewan llama yang meludahi muka Haddock dengan lekas mengoyak garis pemisah antara turis dan pemandangan setempat. Terlepas dari percecokan lain lagi dengan si llama sepanjang jalan ke Kuil Matahari, hubungan Haddock dengan hewan itu mengambil putaran sebaliknya pada akhir petualangan. Sebelum naik kereta kembali ke pesisir, Haddock mendekati pancuran air di jalan, yang membuat Tintin bingung tak berkesudahan: “Air? Kapten minum air? Saya tak pernah menyangka ini akan terjadi.” Namun demikian Haddock malah berjalan ke seekor llama dekat situ dan menyemburkan air semulut penuh ke mukanya: “Saya tidak dendam padamu pribadi,” ucapnya, “hanya membayar hutang lama!” Bila Tujuh Bola Ajaib dibuka dengan kegagalan Haddock menjadi pesulap serta kegagalannya beradaptasi dengan harta dan gaya hidup bangsawan yang diwarisinya dalam Harta Karun Rackham Merah, pada akhir cerita ia justru berhasil terintegrasi ke dalam Amerika Latin: ia menjadi llama.

Puncak cerita Tawanan Dewa Matahari juga banyak menerima sorotan. Ditahan di Kuil Matahari dan dijatuhi hukuman bakar hidup-hidup, Tintin dan Haddock diberi kebebasan untuk memilih hari kematian mereka. Haddock menemukan sobekan kertas koran di sakunya yang ia simpan kalau-kalau perlu untuk menyulut api. Ironisnya, justru sobekan kertas itulah yang menyelamatkan mereka dari api: membaca berita tentang gerhana yang bakal tiba, Tintin memilih tanggal tersebut sebagai hari eksekusi mereka.

Berdiri di api pembakaran pada hari dimaksud, Tintin “memanggil” gerhana dan orang-orang Inca yang ketakutan membebaskan tahanan mereka, yakin bahwa Tintin adalah dewa yang bisa memengaruhi matahari. Bahwa Tintin sang jurnalis mendapati berita gerhana itu di koran adalah simbol betapa modernitas lanjut Eropa mampu meloloskan mereka dari suku Inca yang pra-modern (Binns, 1997: 60). Namun poin pentingnya adalah bahwa Hergé yang begitu mementingkan otentisitas dan kedalaman riset, telah membuat “kesalahan” tak termaafkan: “Sebagai penyembah matahari, [suku Inca] jelas akan sangat paham soal gerhana, kesilapan dalam akurasi yang selalu merecoki Hergé” (Thompson, 1991: 136).

Kesilapan Hergé bukan hanya menampakkan pandangannya yang merendahkan atas Amerika Latin, namun juga merusak gagasan tentang sang-liyan dari Amerika Latin, dan malah menguak kemampuan (tak sadar) Tintin untuk bertindak Latin. Melalui gerhana itu, Tintin menjadi lebih Inca daripada orang Inca, sama seperti Haddock menjadi llama. Serupa dengan itu, bahwa seorang pendeta Inca memberi Tintin jimatnya menggambarkan kerelaan si pendeta untuk memberi perlindungan pada seorang non-Inca dan mencakupkan Tintin ke dalam semesta simbolik orang Inca, sama halnya Dewa Matahari membawa Tintin, Haddock, dan Calculus ke gudang penyimpanan harta Inca di akhir cerita, menjadikan mereka bagian dari rahasia bangsa Inca. Pada akhirnya, bahkan Calculus pun diperlihatkan mengenakan chullo merah.12

Pada akhirnya semua menjadi Latin:
Calculus memakai chullo merah dan Haddock meniru llama
(Tawanan Dewa Matahari, hlm. 62, panel 8-9)

Karenanya, akhir yang sukses dari petualangan ini bukan berasal dari superioritas Eropa dalam diri Tintin, melainkan karena kediriannya masuk ke dalam dunia Inca: ia berhasil bertindak sebagai orang Latin. Kendati demikian, petualangan selanjutnya di Amerika Latin akan menunjukkan bagaimana seiring dengan makin surutnya ilham Hergé, Tintin akan semakin sulit untuk –mengikuti Beasley-Murray yang mengutip Slavoj Žižek—“menikmati gejalanya” (2003: 226).

Tintin dan Picaros: Revolusi dalam Revolusi?
Terlepas dari diterbitkannya secara paripurna Tintin dan Alph-Art yang tak rampung, Tintin dan Picaros, kisah petualangan terakhir Tintin yang dirampungkan Hergé, punya nuansa “seri penghabisan”, dihiasi dengan munculnya kembali banyak tokoh yang pernah tampil sepanjang seri petualangan itu dan diwarnai dengan nuansa permenungan yang mengolok-olok diri sendiri (Thompson, 1991: 195).

Penerbitannya yang tertunda sekitar 8 tahun sejak Penerbangan 714 mengindikasikan bahwa Hergé tengah berjuang mengumpulkan energi untuk menggambar Tintin. Ketika pada akhirnya ia jadi menggoreskan pena di atas kertas, inspirasinya berasal dari Amerika Latin: “Aku punya kerangka: Amerika Selatan. Ada kasus Régis Debray, gerilyawan Tupamaros, beberapa peristiwa yang terkait dengan kerangka yang samar-samar ini” (dikutip dalam Farr, 2001: 190). Kaum gerilyawan Picaros juga jelas-jelas diilhami oleh Fidel Castro dan Revolusi Kuba: Alcazar merokok cerutu Havana dan Hergé terkesima oleh ikrar Castro pada 1956 untuk tidak mencukur janggut sampai ia membebaskan Kuba (Farr, 2001: 189).

Dalam Tintin dan Picaros Jenderal Tapioca sekali lagi memimpin San Theodoros sesudah menggulingkan Jenderal Alcazar dengan bantuan orang-orang Borduria. Alcazar pun pergi klandestin dengan kelompok gerilya bernama Picaros. Sementara itu, Bianca Castafiore, penyanyi opera tersohor sedunia, dipenjara di San Theodoros sesudah dituding merancang plot melawan Tapioca. Tapioca lantas menuduh Tintin, Haddock, dan Calculus (sebagai kawan-kawan lama Castafiore maupun Alcazar) juga ikut terlibat. Haddock dan Calculus, lantas disusul oleh Tintin yang penasaran, pergi ke San Theodoros untuk membersihkan nama mereka dan menyelamatkan Castafiore. Lolos dari rencana pembunuhan, ketiganya bergabung dengan Alcazar dan gerilyawan Picaros di hutan. Sesudah menuntaskan masalah alkoholisme Picaros, yang mengganjal keberhasilan pelaksanaan kudeta, Tintin dan Haddock bergabung dengan pasukan gerilya dan menyamar sebagai rombongan karnaval Irama Indah. Selama pesta, kelompok Picaros mengalahkan penjaga istana dan menggulingkan Tapioca untuk menaikkan Jenderal Alcazar ke tampuk kepresidenan. Tintin dkk membebaskan Castafiore lalu terbang pulang.

Thompson menganggap karya ini sebagai “sebuah cerita yang tak bersemangat, kehilangan kemilau petualangan Tintin sejati” (1991: 195). Kendati demikian, hilangnya kemilau itu merupakan indikasi bahwa Hergé telah mulai membelokkan genrenya sendiri, menggarap proyek yang dalam istilah Farr disebut “perlucutan” (2001: 197). Seperti kata Tintin dengan senyum ironis sesudah Haddock membacakannya berita tentang penahanan Castafiore dan tuduhan mata-mata: “Seperti novel picisan saja!”

Hergé telah memain-mainkan ruang lingkup petualangan Tintin dalam Zamrud Castafiore, satu-satunya cerita Tintin yang berlangsung sepenuhnya di kediaman Haddock, Marlinspike Hall. Berkisar seputar pencurian permata, karya ini menyuguhkan banyak tersangka namun pelakunya ternyata hanya seekor burung murai. Serupa dengan itu, 10 halaman pertama Tintin dan Picaros berlangsung di Marlinspike, para tokoh kita akhirnya terseret ke dalam petualangan karena berharap bisa membela reputasi mereka. Seolah-olah Hergé memaksa mereka bertualang untuk membela kemasyhuran mereka sendiri dalam bertualang.

Hampir semua karakter “dilucuti” oleh Hergé dan diolok-olok. Nestor, pelayan setia Haddock, ketahuan menguping di balik pintu dan mencicipi diam-diam wiski Haddock. Nama depan Haddock ternyata rada konyol, “Archibald”, dan ia juga tak sanggup menenggak alkohol gara-gara Calculus diam-diam memberinya obat temuan terbarunya yang membuat minuman keras terasa sangat tidak enak. Jenderal Alcazar dan pasukannya yang pemabuk bukanlah gerilyawan yang andal, apalagi sebagai calon pemimpin negeri itu. Mendorong proyek “perlucutan”-nya lebih jauh, Hergé menimang-nimang ide untuk memberi wig pada Alcazar (Goddin, 1992: 270) dan akhirnya ia memilih nama Picaros sebab ia merasa kata tersebut bermakna anak nakal tapi menyenangkan (Goddin, 1992: 199). Maka di tengah-tengah revolusi, Alcazar digambarkan memakai celemek mengelap piring dan menulis surat kekanak-kanakan kepada istrinya yang galak. Chauvinisme kejantanan Hergé yang laten makin diperjelas oleh gambaran terakhir Alcazar pasca kudeta: didamprat istrinya karena “menyebarkan abu cerutu ke mana-mana”.

Namun “sang pahlawan” sendirilah yang menanggung pukulan terberat dari proyek perlucutan Hergé. Pada panel paling awal pun Tintin akhirnya mengganti celana komprang bawah lutut (celana plus fours) khasnya dengan jins coklat cutbrai dan memakai helm bergambar logo Kampanye Perlucutan Senjata Nuklir. Sekian halaman kemudian ia digambarkan berlatih yoga. Bila Haddock terbujuk untuk pergi ke San Theodoros, Tintin malah enggan memasuki petualangan ini, dan menerima cercaan dari sahabatnya: “Baik, tinggallah di sini, Pak Keledai! Tenang tentram di kamar tidur! Aku dan Cuthbert akan pergi ke sana untuk mempertahankan kehormatan kami, dan kehormatanmu juga dari sekawanan Zapotic!”

Tintin baru bergabung dengan kedua temannya (dan masuk ke cerita ini) sekitar 10 halaman kemudian. Lebih dari itu, Tintin tampak lebih undur ke belakang sepanjang petualangan ini: “Alain Chante mencatat bahwa Kapten Haddock mengambil alih pusat perhatian itu dari Tintin: ia muncul di 47,9% dari keseluruhan panel, Tintin hanya 41,7%” (Screech, 2005: 45).

Binns berpendapat bahwa Tintin dan Picaros adalah potret pedas lainnya tentang Amerika Latin, di mana politik didominasi oleh ambisi pribadi, “kekerasan, pengkhianatan dan kenaifan” (1997: 54). Tintin dkk jelas dipasang untuk dipertentangkan dengan orang-orang Amerika Latin yang kekanak-kanakan tapi haus darah, namun seperti karya-karya Amerika Latinnya yang lain, kritik Hergé menukik lebih dalam, menyerang pengaruh perusahaan-perusahaan multinasional AS di Amerika Latin: gerilyawan Alcazar didanai oleh Perusahaan Pisang Internasional dan San Theodoros memiliki gedung pencakar langit yang memampang logo TIT, alusi pada perusahaan telekomunikasi ITT (Farr, 2001: 197).

Barangkali kritik yang paling pedas adalah tiadanya perubahan yang dihadirkan oleh pergantian pemerintah: saat Haddock dan Calculus terbang ke Tapiocapolis, pesawat digambarkan sedang melewati sebuah kota modern yang merujuk pada Brasilia yang baru selesai dibangun pada saat itu.13 Panel berikutnya menggambarkan pesawat terbang melewati perkampungan kumuh dengan dua perwira militer yang sedang berpatroli serta baliho bertuliskan “Viva Tapioca”. Tepat di akhir petualangan, sesudah revolusi berhasil berjalan tanpa pertumpahan darah, pesawat terbang kembali ke Eropa melewati perkampungan kumuh serupa, hanya kali ini balihonya berbunyi “Viva Alcazar” dan pasukan patroli memakai seragam yang berbeda. Sekalipun petualangan ini terjadi, dan sekalipun Tintin hadir, tetap tak ada yang berubah.

Penguasa dan seragam tentara berganti, namun kemiskinan tetap sama
Tintin tidak lagi mampu menghadirkan perubahan
(Tintin dan Picaros, hlm. 11, panel 9, hlm. 62, panel 11)

Tintin dan Picaros, karenanya, menguak ketegangan dalam era historisnya sendiri. Di satu sisi, petualangan ini sangat terpengaruh perkembangan politik era 1960 dan 1970-an, khususnya gerilyawan Tupamaros, Revolusi Kuba, dan pengalaman Régis Debray. Hergé juga memilih “memutakhirkan” Tintin, membawanya “ke masa kini” dan mengindikasikan betapa Tintin sendiri telah menjadi historis sebagaimana Kisah Petualangan Tintin selama ini. Namun demikian, di lain pihak, kedua transformasi ini membuahkan stagnasi: Amerika Latin telah “dimutakhirkan” pada sebuah realitas kemiskinan kontemporer yang tidak bisa diubah; Tintin telah “dimutakhirkan” menjadi sebuah karakter yang tidak bisa lagi memengaruhi perubahan. Ia tidak lagi mendiktekan jalannya narasi namun “terpukul oleh nasib”, pasrah menerima bahwa “tak banyak yang bisa dilakukannya untuk mengubah [totalitarianisme]” (Farr, 2001: 193).

Tintin dan Picaros mengindikasikan redupnya antusiasme Hergé pada sosok pahlawan yang ia ciptakan sendiri: menggambar Tintin lari-lari, ujarnya, membuatnya merasa lelah (Thompson, 1991: 195).14 Philippe Goddin mencatat bahwa gambar-gambar Tintin dalam petualangan ini tidak digarap dengan baik dan kadang disproporsional (1992: 283). Antusiasme Hergé akan Tintin dan petualangan dalam arti tradisionalnya meredup. Tom McCarthy menyatakan bahwa yang membuat Tintin punya daya tarik sebagian besarnya adalah karena “tak peduli seberapa sering lawan-lawan berusaha menguncinya dalam pusara, mengikatnya, membebatnya dengan jaket pengaman, ia selalu lolos” (2006: 90-91). Namun demikian, dengan Tintin dan Picaros, Tintin terlihat capek meloloskan diri, yang memaksanya melakukan satu pelarian terakhir: kabur dari petualangannya sendiri. Tidak mengejutkan karenanya bila Tintin tidak lagi mampu bertingkah Latin sebagaimana pada petualangan-petualangannya sebelumnya di Amerika Latin: ia tidak lagi “menikmati gejalanya”.

Bilamana Tintin diajak menjadi bagian dari rahasia bangsa Inca dalam Tawanan Dewa Matahari, dalam Tintin dan Picaros ia lelah menjadi Latin, dan lebih memilih mempertahankan superioritas moralnya dengan menganjurkan kudeta tanpa kekerasan. Bahkan superioritas moral itu sendiri pada akhirnya tak terjangkau olehnya, karena ia menjadi terlibat dengan pasukan gerilya yang dibeking oleh perusahaan internasional yang menjalankan neokolonialisme ekonomi.

Tintin tahu Alcazar dibeking perusahaan multinasional,
namun membiarkannya. Mulai lelah dengan
kaidah moralnya sendiri?
(Tintin dan Picaros, hlm. 1, panel 7)

Tak lagi punya pengaruh yang bisa memperbaiki keadaan –gubuk-gubuk kumuhnya tetap sama—ucapan penutup Tintin semata-mata mengindikasikan hasratnya untuk pulang ke rumah, yang mengungkap bahwa Tintin, ibarat sang jimat, telah kehilangan aura keramatnya. Tapi tidak seperti Goddin, yang menyatakan bahwa garis bersih Hergé menjadi ruwet dan terperangkap dalam dan oleh rimba raya Amerika Latin (1992: 285), barangkali Tintin dan Picaros menjadi final yang sinis dan tak menggerakkan karena Hergé memang tidak lagi membolehkan Tintin tergerak oleh Amerika Latin.


Terima Kasih Penulis
Terima kasih kepada Jon Beasley-Murray dan Patience Schell, yang mengomentari rancangan awal naskah ini; kepada Ana dan Pablo Moro, sesama peminat; dan saudaraku Nicholas Scorer, dengan siapa saya berbagi buku-buku komik ini.

Catatan
1.       Tanggal-tanggal ini merujuk pada versi cerita bersambung aslinya.
2.      Baca http://www.tintinologist.org/articles/defence.html (diakses 29 Maret 2006). Diasumsikan, tentunya, sangat bisa diterima bila Hergé memakai nama sebuah negara Amerika Latin untuk musuh baru Tintin.
3.      Untuk analisa yang sedikit lebih rinci mengenai pengaruh Amerika Latin pada Tintin dan Picaros, baca Goddin (1992). Sekalipun analisa tersebut tetap lebih berfokus untuk menyoroti Amerika Latin America sebagai sumber primer “riil”.
4.      Jimat juga melambangkan pertikaian kapitalis di inti cerita ini: sama seperti jimat tersebut mengandung sebuah permata, begitu pula Amerika Latin mengandung minyak yang begitu ingin dieksploitir oleh perusahaan-perusahaan AS dan Inggris.
5.      Baca http://www.tintinologist.org/guides/books/13seven.html (diakses 29 Maret 2006).
6.      Baca, misalnya, artikel Tara Jacob, “Great Snakes! The Adventures of Tintin: The Blue Lotus: An Analytical Reading”. Penting dicatat bahwa pujian atas perlakuan Hergé terhadap Cina, termasuk dalam artikel Jacob, cenderung menafikan peran karikatural yang diberikan pada orang Jepang dalam petualangan tersebut.
7.      Baca versi Perancis situs Tintin http://www.tintin.com (diakses 26 Maret 2006).
8.      Baca, misalnya, forum di www.tintinologist.org atau manifesto pada situs Denmark “Tintinologisk Tidsskrift”, http://www.akira.ruc.dk/~rsj/tintin/manifest.htm (diakses 19 Oktober 2006).
9.      Baca http://www.free-tintin.net/english/details.htm (diakses 19 Oktober 2006). E.P. Jacobs membantu Hergé dalam gambar dan alur cerita beberapa kisah petualangan Tintin. Regnier adalah kartunis Belgia yang menciptakan komik strip Achille Talon.
10.     Semua terjemahan dari artikel Binns adalah terjemahan saya sendiri.
11.     Keberhasilan Tintin menyamar sebagai warga setempat berkebalikan telak dengan detektif kembar Thomson-Thompson, yang memakai samaran lokal secara ekstrem dan membuat mereka makin ketahuan karenanya. Lihat, misalnya, Lotus Biru, di mana mereka berpakaian gaya kekaisaran Cina untuk menyamar di Cina tahun 1930-an.
12.     Chullo adalah topi rajutan khas daerah dataran tinggi Peru.
13.     Rujukan tentang Brasilia terungkap dalam catatan persiapan Hergé dalam menyusun kisah petualangan itu (Goddin, 1992: 153).
14.     Buku Goddin (1992) menguak perkembangan Tintin dan Picaros yang berlarut-larut, mendokumentasikan pelbagai macam rancangan awal kisah ini yang dibatalkan oleh Hergé, pendekatan yang benar-benar baru dalam membuat sketsa awal guna menemukan inspirasi (1992: 81), serta upayanya untuk mencegah dirinya sendiri mengubah Tintin dari sosok penyelamat di zaman dulu menjadi korban yang pasif (1992: 62).

Daftar Pustaka
Beasley-Murray, Jon (2003) “Latin American Studies and the Global System”, dalam Philip Swanson (ed.) The Companion to Latin American Studies, hlm. 222-238. London: Arnold.
BBC (2007) “Bid to Ban ‘Racist’ Tintin Book”, http://news.bbc.co.uk/1/hi/entertainment/6294670.stm (diakses 24 November 2007).
Binns, Niall (1997) “Tintín en Hispanoamérica: Augusto Monterroso y los estereotipos del cómic”, Cuadernos hispanoamericanos 568: 51–66.
di Leonardo, Micaela (1998) Exotics at Home: Anthropologies, Others, American Modernity. Chicago, IL: University of Chicago Press.
Dorfman, Ariel and Armand Mattelart (1975) How to Read Donald Duck: Imperialist Ideology in the Disney Comic. New York: International General.
Farr, Michael (2001) Tintin: The Complete Companion. London: John Murray.
Franco, Jean (2002) The Decline and Fall of the Lettered City: Latin America in the Cold War. Cambridge, MA, and London: Harvard University Press.
Frey, Hugo (2004) “Contagious Colonial Diseases in Hergé’s The Adventures of Tintin”, Modern & Contemporary France 12: 177-188.
Goddin, Philippe (1992) Hergé y los Bigotudos: La novela de una aventura. Barcelona: Juventud.
Hergé [Georges Remi] (1962) The Seven Crystal Balls. London: Methuen / (1983 [1975]) Tujuh Bola Ajaib. Jakarta: Indira.
Hergé [Georges Remi] (1962) Prisoners of the Sun. London: Methuen / (1995 [1976]) Tawanan Dewa Matahari. Jakarta: Indira.
Hergé [Georges Remi] (1975) The Broken Ear. London: Methuen  / (1992 [1981]) Patung Kuping Belah. Jakarta: Indira.
Hergé [Georges Remi] (1976) Tintin and the Picaros. London: Methuen  / (1995 [1988]) Tintin dan Picaros. Jakarta: Indira.
Jacob, Tara “Great Snakes! The Adventures of Tintin: The Blue Lotus: An Analytical Reading”, http://www.tintinologist.org/articles/greatsnakes.html (diakses 29 Maret 2006).
Judah, Tim (1999) “Tintin in the Dock”, The Guardian. Sisipan akhir pekan 30 Januari, hlm. 8-18.
McCarthy, Tom (2006) Tintin and the Secret of Literature. London: Granta.
Means, Philip Ainsworth (1938) ‘The Incas: Empire Builders of the Andes’, The National Geographic Magazine 73 (2): 225-264.
Screech, Matthew (2005) Masters of the Ninth Art: Bandes Dessinées and Franco-Belgian Identity. Liverpool: Liverpool University Press.
Thompson, Harry (1991) Tintin: Hergé and his Creation. London: Hodder and Stoughton.

8 komentar:

  1. Ulasan yang menarik mengenai Tintin. Boleh aku re-post ke website Tintin ID?

    M. Misdianto
    ==================
    Web Master Tintin

    BalasHapus
  2. Dengan senang hati, Mas. Silakan...

    BalasHapus
  3. aku pikir penggemar Tintin tu dah Punah.. permisi print post nya kak.. untuk aku bacakan ke teman-temanku... :)

    permisi berbagi kabar baik juga ya...


    Urgently Required
    Easy Speak, A fast-growing National English Language Consultant, is hunting for
    English Tutors
    Qualifications:
    1) Competent, Experienced, or Fresh Graduates
    2) Proficient in English both spoken & written
    3) Friendly, Communicative, & Creative
    4) Available for being placed in one of the following cities:
    a. Batam 0778-460785
    b. Pekanbaru 0761-7641321
    c. Balikpapan 0542-737537
    d. Palembang 0711-350788
    e. Samarinda 0541-273163
    f. Denpasar 0361-422335
    g. Makassar 0411-451510
    h. Semarang 024-3562949
    i. Bandung 022-76660044
    j. Banjarmasin 0511-7069699

    If you meet the qualifications above, please send your resume to: easyspeak.recruiting@gmail.com.
    Or contact our branch offices mentioned above to confirm prior to sending your resume.
    Deadline: July 30, 2011.
    Visit http://www.easyspeak.co.id for further information.
    Make sure that you won’t miss this golden opportunity as the day after tomorrow might be too late for you to compete for this position

    BalasHapus
  4. Menarik... bole di post ke Fb kah? Selidik National Geographic Inka uda terbit loh...

    BalasHapus
  5. bahasan ini yang akhirnya memunahkan kegusaran saya selama ini sebagai seorang penggemar Tintin dan penciptanya Herge, terima kasih Pak Ronny Agustinus :)

    ijinkan saya untuk taruh bahasan ini di FB saya. Terima kasih banyak

    BalasHapus
  6. Halo..mas. Ini boleh kutaruh di website kajian komik yang sedang kukelola? Trims atas izinnya

    BalasHapus
  7. wowo keren analisanya, meskipun Tintin bacaan wajib semasa smp-sma tapi tiap kali baca ulang atau nonton versi filmnya tetap menghibur. apalagi ada ulasannyayang mendalam. Thnks.

    BalasHapus