Selasa, 25 Januari 2011

Bulan Salah Tempat (atau: Seberapa Penting Detail Faktual dalam Sastra?)

Bahan diskusi ringan yang saya bawakan untuk Diskusi Sabtuan di Cak Tarno Institute, Stasiun UI Depok, sekitar Juni 2006.

Rupanya bukan Sitor Situmorang saja yang pernah salah menulis soal bulan. Kita tentu ingat puisi satu barisnya

MALAM LEBARAN
Bulan di atas kuburan

yang banyak menimbulkan debat "ilmiah": Mana ada bulan di malam lebaran?

Penyair Inggris Samuel Taylor Coleridge (1772-1834) malah lebih parah lagi. Dalam puisinya yang terkenal "Rime of the Ancient Mariner" dia menulis:

Till clomb above the eastern bar
The hornèd moon, with one bright star
Within its nether tip.

(Hingga mendaki ke atas ambang sungai timur
Bulan sabit, dengan satu bintang cerlang
Di antara kedua runcingnya.)

Padahal bintang tidak mungkin terlihat di antara kedua runcing bulan sabit! Karena letaknya lebih jauh dari bulan, maka sisi gelap bulan pasti menutupinya dari pandangan kita di bumi.(1)

Ada lagi Edgar Allan Poe dalam cerpen "Descent to the Maelstrom". 'Maelstrom' adalah pusaran air yang dijumpai di antara Pulau Moskenesy dan Mosken di Norwegia utara. Poe menulis tentang kapal yang terjebak pusaran air ini pada tanggal 10 Juli. Kapal itu digambarkan terseret arus dengan dramatisasi cahaya bulan bersinar di atasnya. Padahal, di Norwegia pada bulan Juli, tak ada malam hari. Matahari bersinar 24 jam penuh sehingga mendeskripsikan cahaya bulan jelas salah besar.

Pertanyaannya: seberapa penting kesalahan ini? Apakah dengan mengetahuinya lantas semua karya di atas serta merta menjadi tidak kredibel, dan karenanya tidak benar, dan karenanya tidak bagus?

Ada contoh kebalikannya dari Gabriel García Márquez. Dalam novel sejarahnya tentang pejuang pembebasan Amerika Latin Simón Bolívar,(2) Márquez menuliskan saat Bolívar terpaksa menginap di Guaduas tanggal 10 Mei 1830. Dia menyisipkan kalimat "y la luna llena se encendió en el patio de los naranjos" ("dan bulan purnama pun bersinar di pelataran penuh pohon-pohon jeruk"). Demi satu kalimat sepele ini ia sampai harus menelepon Akademi Sains di Meksiko untuk mengecek apakah pada malam 10 Mei 1830 itu bulan purnama memang bersinar. Dan mereka menjawab ya. Bagaimana bila ternyata Akademi Sains Meksiko menjawab tidak? Kata Márquez, "Yah, aku tinggal mencoret bulan purnama itu. Habis perkara. Bulan ini detail yang tidak dicermati siapapun [...] Dalam fiksi, bila ada satu fakta yang bisa diverifikasi —bahwa ada bulan purnama malam itu di Guaduas— maka pembaca akan mempercayai segala lainnya."(3)

Pertanyaannya sama: seberapa penting detail itu? Bila tidak membaca pernyataan Márquez ini saya juga tidak akan mencermati soal bulan purnama yang ditulisnya. Apakah mengetahui hal ini mengubah sesuatu? Mungkin kekaguman saya terhadap Márquez bertambah, tapi terhadap novelnya sendiri tampaknya tidak.

* * *

Saya ingin mengangkat persoalan ini karena belakangan sedang marak apa yang disebut "fiksi sejarah". Genre ini bukan genre baru tentunya, tapi popularitasnya terus bertambah (misalnya larisnya tetralogi Tariq Ali). Sebagai genre yang mengklaim memberi penafsiran baru terhadap "sejarah" tentunya ada banyak fakta yang diungkapkannya tidak boleh keliru. Tapi sebenarnya, bahkan tanpa perlu menulis "fiksi sejarah" pun seorang penulis jelas dituntut untuk bersikap detail agar novelnya koheren dan logis. Tapi apakah koherensi dan logika dalam menangani fakta ini ada pengaruhnya terhadap "kedalaman" —katakanlah begitu— suatu karya sastra?

Dalam bukunya yang kadang masih saya buka-buka karena asyik, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Seno Gumira Ajidarma membedakan antara fakta dan kebenaran. Fakta bisa dibungkam dan ditutup-tutupi, katanya, tapi kebenaran tidak. Jadi, apakah fakta tidak langsung berbanding lurus dengan kebenaran?

García Márquez sendiri, sang empunya realisme magis, selalu menekankan bahwa ia sama sekali tidak berangkat dari yang magis dalam menulis novel-novelnya, tapi justru dari yang riil. Masa lalunya sebagai wartawanlah yang memberinya dorongan untuk selalu memperlakukan fakta seteliti-telitinya. Beberapa episode "aneh-aneh" dalam novelnya selalu punya pijakan dalam realitas, sementara beberapa karya jurnalistiknya kadang tampak "aneh-aneh", meski kebenarannya selalu bisa diverifikasi. Márquez pernah menuliskan reportase tentang Caracas sewaktu kemarau hebat dan tentang seorang pria yang bercukur dengan sari blewah. Fakta ini sepenuhnya kredibel dan bisa diverifikasi, tapi juga sangat berbau sastra.

Lain lagi Mario Vargas Llosa. Tulisnya:
"Si las novelas son ciertas o falsas importa a cierta gente tanto como que sean buenas o malas y muchos lectores, consciente o inconscientemente, hacen depender lo segundo de lo primero."(4)

("Apakah novel itu benar atau bohong bagi sebagian orang sama pentingnya dengan apakah novel itu baik atau buruk, dan banyak pembaca, sadar atau tidak sadar, menilai yang belakangan ini dari yang pertama tadi.")

Tentu ini bukan dalih Vargas Llosa untuk mengabaikan detail faktual dalam novelnya. Justru Vargas Llosa sering dijuluki "hiperrealis" karena cermatnya ia dalam memperlakukan fakta-fakta. Tapi ia sendiri menganggap kebenaran faktual dalam fiksi ini tak seberapa penting.

* * *

Sesungguhnya karya-karya sastra besar tak luput dari kesalahan. Ben-Hur karya klasik Lew Wallace misalnya, yang bisa digolongkan dalam "fiksi sejarah". Syeik Ilderim memberi nama kuda-kudanya berdasarkan nama bintang-bintang:

"Kuda yang bagus," kata Syeik [...] Sambil menoleh ke Ben-Hur ia menambahkan, "Ini Sirius, bapak dari empat ekor kuda di sini. Mira, induknya, menanti kepulangan kita [...]"
"Mira. Sirius. Nama bintang-bintang, bukan begitu, Syeik?" tanya Ben-Hur.(5)

Masalahnya, nama bintang-bintang itu baru dikenal pada sekitar abad ke-10, sementara Ben-Hur di-setting pada masa kemunculan agama Kristen abad ke-2. Jadi selisihnya 800 tahun!

William Golding, Nobelis Sastra 1983, membuat kesalahan besar dalam mahakaryanya Lord of the Flies. Novel ini bercerita tentang sekelompok anak sekolah yang terdampar di pulau terpencil akibat pesawat mereka kandas dan terpaksa bertahan hidup di sana. Akhirnya mereka menemukan bahwa kacamata tebal si gendut Piggy bisa dipakai untuk membuat api. Masalahnya, Piggy dikisahkan rabun dekat, dan kacamata rabun dekat sama sekali tidak mungkin dipakai sebagai semacam kaca pembesar untuk membuat titik api.(6)

Yah, penulis juga manusia. Tapi pentingkah dampak kesalahannya pada pembaca dan pembacaan?

-----------
(1) Contoh unik tentang Coleridge dan Poe ini saya kutip dari astrolog Frank C. Jordan, direktur observatorium Pennsylvania, dalam jurnal Natural History, Oktober 1935.
(2) El general en su laberinto (Buenos Aires: Editorial Sudamericana, 1993).
(3) Silvana Paternostro, "Three Days with Gabo," dalam George Plimpton (ed.), Latin American Writers at Work – The Paris Review (Modern Library, 2003), hlm. 155-181.
(4) Mario Vargas Llosa, "Introducción", dalam La verdad de las mentiras: ensayos sobre literatura (Barcelona: Seix Barral, 1990), hlm. 5-20.
(5) Lew Wallace, Ben-Hur (edisi Oxford's World Classic) (Oxford University Press, 1998), bab 2.
(6) Saya baca ini dalam Julian Barnes, Flaubert's Parrot (edisi Vintage International, 1990).

3 komentar:

  1. memang penulis fiksi sejarah suka "berlindung" dibalik kefiksiannya, seharusnya ia juga bertanggung jawab pada penulis kebenaran sejarahnya.

    BalasHapus
  2. untuk sajak Sitor saya mungkin berikan komentar tentang hadirnya 'bulan'. Bulan sebagai metafor dilihat Sitor sebagai 'awal' yang bertempat di malam lebaran dan kuburan sebagai akhir yang bertempat di--bulan mati--(julukan di kalender Masehi), sebaliknya -bulan baru- (bagi kalender Qomariyah/Hijriyah).

    Untuk puisi ini logikanya ada pada 'bulan baru' dimana sebuah awal hadir dalam akhir, mungkin inilah fungsi puisi, menggeser yang inderawi dengan ekspresi imajinasi. Sitor (saya rasakan) mengalami malam Lebaran sebagai puncak, bisa jadi-sebuah awal atau akhir--dalam puisi, judul dan isi--juga sangat berkorespodensi, terlebih puisi singkat ini. Baca saja.

    MALAM LEBARAN
    Bulan di atas kuburan

    Suasana saat malam Lebaranpun sangat paradoks dengan sajak Sitor ini. Entah kalau ia membuatnya bukan di Indonesia, tapi malam lebaran di Indonesia bukanlah suasana kuburan--Ernest Cassirer menyatakan simbol melakukan emansipasi melalui ekspresi hanya ketika simbol tersebut melekat pada keseharian, dan melepas kekangan terhadap apa yang dirasakan sehari-hari. Puisi sebaris ini menimbulkan tanya bukan hanya pada hadirnya 'bulan', namun juga pada 'apa' yang dirasakan penyair di malam lebaran yang tanpa bulan.

    BalasHapus
  3. Entahlah, saya tidak bisa menebak Sitor mau bicara apa dengan puisinya itu. Dia sendiri tidak pernah menjelaskannya, setahu saya. Tapi begitulah perdebatan yang sempat muncul di kancah sastra kita oleh puisi tsb.

    BalasHapus