“El río de nuestra vida”, El Espectador, 22 Maret 1981, dimuat ulang di El País 25 Maret 1981 dengan judul “El río de la vida”. Diterjemahkan ke
bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus.
Satu-satunya yang bisa membuat
saya ingin kembali jadi anak-anak adalah pergi sekali lagi naik kapal uap menyusuri
Sungai Magdalena. Barangsiapa belum pernah mengalaminya tak bakal bisa
membayangkan seperti apa rasanya. Saya harus menjalaninya dua kali setahun
—pulang pergi—selama enam tahun di sekolah menengah dan dua tahun di
universitas, dan pada setiap kesempatan belajar lebih banyak, dan lebih baik, tentang
kehidupan ketimbang yang saya dapatkan di sekolah. Pada saat arus air sedang
pasang, perjalanan makan waktu lima hari dari Barranquilla ke Puerto Salgar, di
mana kereta akan mengangkut kami ke Bogotá. Pada musim kering, saat yang sangat
dan paling menyenangkan buat bepergian, pelayaran bisa mulur sampai tiga minggu.
Kereta dari Puerto Salgar meniti
tepian batu seharian penuh. Di tanjakan-tanjakan tercuram ia menggelinding
mundur untuk mencari daya dorong, lalu maju lagi mendengus-dengus naik bak
seekor naga, dan kadang penumpang sampai perlu turun dan berjalan kaki hingga ke
landaian berikutnya, buat meringankan beban. Desa-desa di sepanjang rel beku
dan sedih, dan para bakul yang seumur hidupnya berjualan menawar-nawarkan di
jendela kereta ayam bumbu kuning besar dimasak utuh serta kentang tumbuk yang
baunya seperti makanan rumah sakit. Kereta tiba di Bogotá pukul enam sore, yang
buat saya jadi seperti momen tersuram dalam hidup. Kota ini murung dan beku, dengan
trem-trem berisik memercikkan bunga api di tiap tikungan, dan kucuran hujan air
campur jelaga tak pernah reda. Para prianya berpakaian hitam-hitam, dengan topi
hitam, berjalan cepat-cepat dan bersenggolan seperti ada urusan mendesak, dan tak
ada satu pun perempuan terlihat di jalanan. Kami harus menghabiskan setahun
penuh di sana, pura-pura belajar, padahal yang kami perbuat sesungguhnya cuma menunggu
bulan Desember tiba agar bisa melayari Sungai Magdalena sekali lagi.
Di zaman itu kapal uap punya tiga
tingkat dan dua cerobong asap, yang pada malam hari melaju seperti kampung
terang-benderang, meninggalkan jejak musik dan mimpi-mimpi ilusif ke dukuh-dukuh
di pinggiran kali. Bedanya dengan kapal-kapal di Mississippi, roda pendorong kapal kami bukan berada di sisi-sisinya,
melainkan di buritan, dan tak pernah di bagian mana pun di dunia saya melihat
lagi yang seperti itu. Nama-namanya mudah dan cepat diingat: Atlántico, Medellín, Capitán de Caro, David
Arango. Kapten-kapten mereka, seperti dalam cerita-cerita Conrad, berwibawa
tapi lembut hati, makannya seperti orang barbar, dan tak pernah tidur sendirian
di kabin-kabin mereka yang terpencil. Awak kapal menyebut diri sendiri marineros (pelaut) seolah-olah sedang
berada di tengah samudera. Namun di bar-bar dan rumah-rumah bordil
Barranquilla, saat sedang berbaur di tengah para pelaut sungguhan, mereka dikenal
dengan nama khasnya: vaporinos
(tukang kapal uap).
Perjalanan lambat dan penuh
kejutan di siang hari, para penumpang duduk-duduk di geladak atas memandangi hidup
berlalu. Kami bisa melihat buaya-buaya mengapung di kedangkalan seperti batang
pohon, dengan mulut menganga, menanti mangsa masuk. Kami lihat kawanan kuntul
terbang ketakutan saat kapal lewat, rombongan itik liar di paya-paya pedalaman,
ikan tiada akhir, duyung menyusui anakan mereka dan memekik-mekik seperti
sedang menyanyi di pinggiran. Kadang, bau busuk memualkan menganggu tidur siang
kami, dan bangkai seekor sapi besar yang tenggelam mengambang-ambang nyaris
seperti tak bergerak dibawa arus dengan seekor burung nasar bertengger di
perutnya. Sepanjang jalan, kami terbangun saat subuh, kaget oleh hiruk-pikuk
monyet-monyet dan ocehan burung bayan.
Pada zaman sekarang susah untuk
mengenal siapa-siapa dalam penerbangan udara. Tapi di kapal-kapal Sungai Magdalena
itu, para penumpang akhirnya seperti satu keluarga besar, sebab kami sepakat
tiap tahunnya bertemu lagi di perjalanan. Keluarga Eljach turun di Calamar, keluarga
Peña dan Del Toro –dari dusun—naik di Plato; keluarga Estorino dan Viña di Magangué,
keluarga Villafañes di Banco. Makin lama perjalanan, pestanya makin meriah. Kehidupan
kami terhubung dengan cara yang sepintas lalu, tapi tak terlupakan, dengan
orang-orang di dermaga-dermaga pemberhentian, dan banyak akhirnya yang nasibnya
jadi terpaut selamanya. Vicente Escudero, seorang mahasiswa kedokteran, ikut
menari tanpa diundang di pesta kawinan di Gamarra, berdansa tanpa minta izin dengan
perempuan tercantik di desa itu, lalu ditembak dan dibunuh oleh suami si
perempuan. Sebaliknya, Pedro Pablo Guillén menikahi gadis pertama yang ia sukai
dalam pesta mabuk-mabukan legendaris di Barrancabermeja, dan sampai sekarang
masih hidup berbahagia dengan istrinya itu dan kesembilan anaknya. José
Palencia yang tiada duanya, seorang musisi bawaan lahir, ikut lomba genderang di
Tenerife, memenangkan seekor sapi dan menjualnya saat itu juga seharga 50 peso:
sudah kaya di zaman itu. Kadang kapal bisa kandas sampai lima belas hari di
gundukan pasir. Tak ada yang keberatan, sebab ini berarti pesta berlanjut, dan
surat dengan stempel sang kapten sudah cukup untuk jadi alasan mengapa
terlambat masuk sekolah.
Suatu malam, dalam perjalanan
terakhir saya tahun 1948, kami semua terbangun oleh tangis memilukan dari
pinggir sungai. Kapten Climaco Conde Abello, salah satu kapten terbesar, memerintahkan
orang-orangnya mengarahkan reflektor ke tempat kegaduhan berasal. Seekor duyung
betina terjerat ranting-ranting pohon tumbang. Para awak lompat ke air, mengikat
hewan itu ke lir, dan berhasil melepaskannya. Hewan yang fantastis dan
menggugah, hampir empat meter panjangnya, kulitnya pucat mulus, dan torsonya kelihatan
seperti perempuan, dengan tetek besar seorang ibu yang penuh kasih, dan mata
lebar sayu yang menitikkan air mata manusia. Dari Kapten Conde Abello jugalah
saya mendengar untuk pertama kalinya bahwa dunia akan berakhir apabila semua
orang terus membunuhi binatang-binatang sungai. Ia larang siapa pun menembak dari
geladak. “Kalau mau bunuh-bunuhan, di rumah sendiri-sendiri saja,” serunya, “Tidak
di kapalku.” Namun tak ada yang mengindahkannya. Tiga belas tahun kemudian –pada
19 Januari 1961—seorang kawan menelepon saya di Meksiko mengabarkan bahwa kapal
uap David Arango terbakar jadi abu di
dermaga Magangué. Saat menutp telepon saya mendapat kesan mengerikan bahwa masa
muda saya akhirnya tamat, dan bahwa yang tersisa dari sungai kami tinggallah
nostalgia yang sudah hancur terbakar.
![]() |
Sungai Magdalena menjadi latar banyak karya García Márquez. Kapal uap di artikel ini tergambar dengan baik di sampul edisi Perancis El amor en los tiempos del cólera. |
Dan memang terbukti. Sungai Magdalena
mati, dengan air yang teracuni dan hewan-hewan yang diburu sampai punah. Kerja
pelestarian yang mulai dibicarakan pemerintah sejak sekelompok jurnalis yang
peduli mengangkat permasalahan ini tak lebih dari hiburan lawak. Rehabilitasi
Sungai Magdalena hanya mungkin dilakukan melalui upaya intens dan terus-menerus
dari sekurang-kurangnya empat generasi yang peduli: dengan kata lain, satu abad
penuh.
Orang bicara gampang saja soal reboisasi.
Itu saja, dalam kenyataannya, berarti menanam 59,110 juta batang pohon di
sepanjang tepian Sungai Magdalena. Ucapkan secara penuh: lima puluh sembilan
juta seratus sepuluh ribu batang pohon. Namun masalah terbesarnya bukan jumlah,
tetapi di mana akan ditanam. Hampir semua lahan subur di tepi sungai itu milik
swasta, dan penghijauan menyeluruh berarti menutupi 90% luasannya. Layak
ditanyakan siapa pemilik tanah baik hati yang mau dengan rela menyerahkan 90%
lahan mereka buat ditanami pohon, dan dengan demikian merelakan perginya 90% pendapatan
mereka saat ini.
Pencemaran, di lain pihak, bukan
cuma berdampak pada Sungai Magdalena, tetapi juga semua anak sungainya. Anak-anak
sungai ini bukan cuma menjadi drainase kota-kota dan desa-desa tepian, tapi menyeret
dan menumpuk juga limbah industri, pertanian, hewan, dan manusia, yang semuanya
mengalir ke dalam tampungan maha luas sampah nasional yakni Bocas de Ceniza. Pada
November tahun lalu, di Tocaima, dua orang prajurit gerilya menceburkan diri ke
Sungai Bogotá untuk kabur dari sergapan tentara. Mereka berhasil lolos, tapi
nyaris mati terinfeksi air sungai. Para penghuni tepian Magdalena, terutama di
sisi bawah, sudah lama tak pernah lagi meminum atau memanfaatkan airnya atau
makan ikan segar dari sungai. Karena itu akan sama dengan –maafkan bahasa saya,
nyonya-nyonya—makan tai.
Kerja besar, tapi setidaknya terukur. Proyek lengkap
dari apa yang perlu dilakukan sudah dirinci dalam studi yang dijalankan
beberapa tahun lalu oleh tim gabungan Belanda-Kolombia, dan tiga puluh jilid
hasilnya teronggok telantar di arsip Instituto de Hidrología y Meteorologia
(IMAT). Wakil direktur untuk kerja monumental ini adalah insinyur muda dari Antioquia,
Jairo Murillo, yang mengabdikan separuh hayatnya untuk itu, dan sebelum rampung
mengorbankan sisa umurnya untuk itu pula: ia tenggelam dalam sungai impiannya. Tak
perlu dibilang lagi bahwa tak ada kandidat presiden selama beberapa tahun
terakhir ini yang berisiko kehilangan nyawa di perairan seperti itu. Para
penduduk desa tepian sungai —yang sebentar lagi akan menjadi pusat perhatian
nasional berkat ekspedisi Caracola[1]—harus
sadar akan hal itu. Dan perlu mereka camkan bahwa antara Honda dan Bocas de
Ceniza ada cukup banyak suara untuk bisa memilih seorang presiden Republik.
[1] Catatan penerjemah: La Caracola adalah perahu yang dibiayai oleh jaringan radio swasta
Kolombia pada tahun 1980an untuk meningkatkan kesadaran tentang kerusakan
lingkungan di Sungai Magdalena dan daerah alirannya.