Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari artikel Rafael Lam di harian Granma Internacional, Havana, 22 Maret 2012. Rafael Lam adalah kolumnis musik Amerika Latin, sebelumnya pernah menulis “García Márquez y el bolero.”
Gambar diambil dari Mariana Solanet, ilustrasi: Héctor Luis Bergandi, García Márquez para principiantes (Buenos Aires: Era Naciente SLR, 1999). |
Tahun ini dunia merayakan ulang tahun ke-85 Gabriel García Márquez, sang ikon Amerika Latin. Untuk menghormati penulis Kolombia itu, Cien años de soledad (Seratus Tahun Kesunyian), novelnya yang terpenting, dirilis di internet.
Heriberto Fiorillo, seorang intelektual dan budayawan Kolombia, baru-baru ini mengunjungi Havana dalam pemutaran perdana film dokumenter La cueva itinerante o García Márquez y su grupo de Barranquilla (Jelajah Gua, atau García Márquez dan Gerombolan Barranquilla).
Dokumenter ini mengulas sekelompok kawan di seputar peraih Nobel Sastra 1982 itu, yang biasa bertemu di toko buku terkenal di Barranquilla pada 1940-an dan lantas pindah ke Kafe Sastra La Cueva pada 1954, tempat dilangsungkannya acara-acara sastra yang diikuti oleh García Márquez dan kawan-kawannya.
García Márquez menjalin ikatan dengan kelompok itu dan bolak-balik dari Cartagena ke Barranquilla sesering yang ia bisa. Lantas pada Januari 1950, sesudah terkena radang paru-paru, ia pindah kerja dari koran El Universal untuk menulis kolom harian di koran El Heraldo yang bermarkas di Barranquilla—kolom yang diberi judul “La jirafa” (“Jerapah”) dan ditandatangani dengan nama pena “Septimus”.
Dokumenter ini mengungkap nostalgia García Márquez saat mengenang zaman yang telah lampau itu. “Aku dengarkan The Beatles dengan rasa cemas tertentu, karena kurasa aku akan terus teringat-ingat mereka sepanjang sisa hidupku … itulah jebakan nostalgia, yang mencopot momen-momen pedih dari tempat semestinya dan memulasnya dengan warna lain, menggantikannya saat tak lagi terasa menyakitkan.”
“Ibarat dalam foto-foto lawas, yang tampak seperti diterangi oleh pendaran ilusif suasana bahagia, di mana hanya dengan rasa terkejut kita bisa melihat bagaimanakah kita saat masih muda. Che Guevara, saat mengobrol dengan pasukannya di seputar api unggun pada malam-malam perang, pernah berkata bahwa nostalgia dimulai dari makanan. Itu benar, tapi hanya ketika seseorang lapar. Sebaliknya, nostalgia selalu dimulai dengan musik. Sesungguhnya, masa lalu personal kita menjadi berjarak pada saat kita dilahirkan, tapi kita baru merasakannya saat musik usai diputar.”
Sang penulis memang gemar mengungkapkan kecintaannya akan musik. “Aku ini teman para penyanyi. Aku suka berkisar di antara para bintang. Saat bersama teman dekat tak ada yang lebih kusukai selain mengobrolkan musik. Aku punya lebih banyak rekaman daripada buku. Kutemukan mujizat bahwa segala sesuatu yang berbunyi adalah musik, mobil-mobil di jalan, klakson, suara-suara, segalanya. Musik adalah segala sesuatu yang berbunyi. Aku pecinta musik tulen, semboyanku selalu: satu-satunya hal yang lebih baik ketimbang musik adalah mengobrol soal musik. Aku terus meyakini hal ini sebagai kebenaran mutlak. Sudah kudengar karya musik sebanyak yang bisa kuperoleh. Di toko-toko musik New York kuborong rekaman-rekaman musik Karibia yang tidak bisa didapatkan di mana pun. Saat sedang menulis Cien años de soledad di Meksiko, kuputar Beatles sampai aus. Kudengarkan buat menstimulasi diri. Pendewaan nostalgia atas dekade yang menakjubkan itu.”
Karena sekarang García Márquez tidak bisa banyak bepergian, di keteduhan rumahnya di Meksiko ia dengarkan musik dari seluruh penjuru dunia. “Tentunya, musik favoritku yang berakar dari musik rakyat. Aku berkomitmen pada musik rakyat, dan sekalipun aku mungkin telah mencapai puncak ketenaran, aku tetaplah orang biasa, itulah hakikatku. Aku mengenal dan merasakan lingkungan kerakyatanku. Aku punya koleksi musik Karibia, sudah jelas itulah yang paling menarik minatku. Dari tembang-tembang Rafael Hernández dan Matamoros Trio, musik plena Puerto Rico, tabuh-tabuhan Panama. Irama polo dari Kepulauan Margarita di Venezuela, atau merengue Dominika. Dan tentunya, yang paling bersangkut paut dengan hidup dan buku-bukuku, lagu-lagu vallenato dari pesisir Kolombia. Cien años de soledad adalah sebuah vallenato raksasa. Aku mendapatkan akordion pertama saat masih belia, benar-benar pencerahan buatku. Baru kemudian kutemukan kesusastraan dan menyadari bahwa prosedurnya sama saja.”
Si penulis Kolombia ini juga memuji Daniel Santos, Armando Manzanero, dan Toña la Negra. “Pérez Prado yang abadi adalah salah satu idolaku yang paling awal dan paling awet, sebagaimana bisa dibuktikan dari arsip-arsip koran El Heraldo di Barranquilla, tempatku menulis artikel-artikel pertamaku. Aku punya ribuan lagu bolero, membicarakan musik tanpa membicarakan bolero sama artinya dengan tidak membicarakan apa-apa.”
Sebagai anak muda, si novelis ini menonton film-film dan pertunjukan Sarita Montiel dari Spanyol. “Tapi sekarang, bukan untuk mendengar lagi lagu-lagu zaman nenekku, tapi untuk terbenam dalam nostalgia akan masa-masa itu di Meksiko. Manakala kudengar ‘El ultimo cuplé’ di Barcelona, lagu-lagunya terdengar begitu menyayat sampai-sampai nyaris tak tertanggungkan buat perindu akut macam aku ini. Lebih dari nostalgia, aku mengalami suatu perasaan yang lebih dalam dan lebih memilukan: nostalgia akan nostalgia. Sudah menjadi takdir kita untuk hidup pada zaman ketika semua kenangan diabadikan. Semua ini mengajari kita untuk menghidupi nostalgia akan nostalgia, yang bisa meremuk hatimu.”
[ Baca esai García Márquez tentang Shakira, di sini ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar