Pengantar kuratorial sesi
Amerika Latin oleh Ronny Agustinus, dalam ARKIPEL Jakarta International
Documentary Film Festival 2016.
Wacana antroposen menjadi semakin populer
dalam ilmu-ilmu sosial dan ekologi belakangan ini. Meski titik waktu resminya
sebagai sebuah kala geologi masih perlu dipastikan, tak terbantahkan bahwa kita
memang hidup di era antroposen, ketika ulah manusia—dan bukan alam—yang paling
berperan dalam mengubah iklim serta paras bumi. Dan sepanjang sekitar 200 tahun
terakhir, wujud antroposen tak syak lagi adalah masyarakat kapitalis industri. Dengan
segenap pola produksi dan konsumsinya, kapitalisme industri di mana-mana akan
berujung pada residu pamungkasnya: sampah—residu akhir yang justru membuat
wacana antroposen menjadi mendesak untuk dibicarakan pada awalnya. Dan itulah
yang akan menjadi tema kurasi program Amerika Latin dalam ARKIPEL social/kapital 2016 ini: sampah sebagai
akhir dan juga awal pergulatan social/kapital, sampah dalam arti
fisikal maupun sosial, dan bagaimana keduanya bertalian erat.
Sampah adalah persoalan besar kota-kota
Amerika Latin, dan bukan kebetulan bila sebagian filem pertama yang mengawali gebrakan
Sinema Baru Amerika Latin pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an mengangkat persoalan
sampah. Sebagai bagian dari usaha untuk menunjukkan realitas Amerika Latin apa
adanya (dalam kerangka besar gerakan-gerakan pembebasan), lahirlah dokumenter-dokumenter
macam Cantegriles (1958) dan Tire dié (1958/1960). Filem 8 menit Cantegriles karya Alberto Miller
(Uruguay) tedeng aling-aling menyandingkan gambaran wilayah perumahan mewah
Cantegril Country Club di Punta del Este, Uruguay, dengan wilayah kumuh di
seputar tempat pembuangan sampah (yang oleh kalangan kaya dengan olok-olok
disebut “cantegriles”-nya kaum
miskin). Sementara Tire dié direkam
di Santa Fe, Argentina, oleh sutradara Fernando Birri beserta para mahasiswanya
dari Sekolah Dokumenter Santa Fe selama tiga tahun—proyek yang mereka namai
“filem survei” dengan versi akhir sepanjang 33 menit.[1]
Cantegriles menunjukkan kontras
antara wilayah kumuh dan kaya di Punta del Este, sementara Tire dié menyeimbangkan antara kepedulian pada subjek-subjek di
lokasi dengan sistem ekonomi-politik (social/kapital)
yang melatarinya, yang paling gamblang tampak dalam caranya mengambil bidikan longshot dari atas untuk mendudukkan
Tire dié di tengah Santa Fe seutuhnya. Kedua filem ini menjadi pelopor bahkan
panutan filem-filem dokumenter sosial sejenis di kemudian hari, seperti Boca
do lixo (1993) besutan Eduardo Coutinho dari Brasil.
Penyikapan atas sampah dengan demikian
membutuhkan pandangan yang lebih dari sekadar pandangan teknik-teknokratik
bagaimana meminimalisir sampah industri dan konsumsi. Penyikapan atas sampah
membutuhkan penyikapan pula atas orang-orang dan kemiskinan di seputarnya.[2]
Dua filem dokumenter memasukkan intervensi seni sebagai unsur pokok
pendekatannya. Landfill Harmonic (2015)
—yang ditayangkan di sini—mengisahkan bagaimana masyarakat pemulung di wilayah
pembuangan sampah Cateura, Paraguay, dengan bantuan seorang konduktor orkestra,
membuat alat-alat musik dari sampah yang ada, mengenal musik, lalu
termanusiakan lahir-batin. Perlu dicatat bahwa tema serupa pernah digarap dalam
filem Waste Land (2010) yang
mengisahkan bagaimana masyarakat pemulung di wilayah pembuangan sampah terbesar
sedunia[3]
Jardim Gramacho, Rio de Janiro, Brasil, dengan bantuan seorang perupa dan
fotografer, membuat karya-karya rupa dari sampah yang ada, mengenal seni, lalu
termanusiakan lahir-batin. Tentu saja filem-filem jenis ini disanjung dan
populer di “Dunia Pertama” karena meredakan gundah gulana hati pemirsa Barat yang
mungkin sudah mbentoyong gara-gara terlalu berat memikul
white man’s burden. Mereka melihat
bagaimana akhirnya peradaban Barat (musik klasik Barat, kanon seni rupa Barat) bisa
membawa kebaikan bagi kumpulan orang
terpinggirkan ini. Saya tak meragukan manfaat pendekatan intervensi seni macam
ini, meski premis untuk menjadikannya solusi yang berdampak panjang secara
ekonomi-politis tetap saja kelewat utopis.
Di ujung yang lain, saya memilih
dokumenter pendek 12 menit Ilha das
Flores (1989) karya Jorge Furtado dari Brasil. Dengan montase kreatif atas
materi-materi foto dan footage, buat
saya inilah filem paling jitu dan menohok dalam membahas sampah sebagai residu
sisa-sisa sistem produksi dan konsumsi kapitalisme global, serta “orang
sisa-sisa” yang harus ada sebagai bagian inheren dari sistem. Furtado tak
menyajikan impian-impian indah bahwa ada jalan keluar yang manis dari ini.
Menyandingkan keduanya saya harap
memberikan perenungan dan kontras tersendiri untuk program Amerika Latin tahun
ini. Maka bila paragraf terakhir pengantar tematik ARKIPEL 2016 menyebut
tentang bagaimana social/kapital
telah melebur status warga “dalam sebuah dunia baru (global) tanpa—atau hanya
dengan samar-samar—ingatan-ingatan akan negara,” maka dua filem di atas hendak
menyajikan gambaran tersebut dalam dua kutub ekstremnya: komunitas yang “makan”
dari sampah dan komunitas yang secara harafiah memakan sampah, yang keduanya
terjalin rapat dengan cara kapitalisme global bekerja yang membuat di layar
maupun di luar layar negara tampak tidak hadir, samar-samar sekalipun.
[1] Kawasan pembuangan sampah Tire
diré mendapat namanya dari seruan “Tire diez!” (“Beri aku sepuluh sen”) yang
diteriakkan anak-anak manakala ada kereta lewat, seperti kawan-kawan sekampung
saya dulu di Jawa Timur berteriak-teriak “Minta uang” bila ada pesawat terbang
lewat.
[2] Perlu dicatat di sini dokumenter Cartoneros (2006) karya Ernesto Livon-Grosman yang membahas sampah
kertas dan daur-ulangnya tanpa menampilkan gambaran klise para pemulung kumuh
yang tinggal di sekitar gunungan sampah. Konteks filem ini adalah Buenos Aires
awal 2000-an, ketika krisis ekonomi dan dampak korupsi sistemik membangkrutkan
negara dan membuat kelas menengah terpaksa bertahan hidup dengan menjadi pemulung kertas, karton, dan
dus (“cartoneros”).
[3] Carlos Fuentes dalam novelnya La
Silla del Águila (2003) menyebut Mexico City sebagai “el basurero
más grande del mundo” (“tempat pembuangan sampah terbesar di dunia”).
Secara faktual ia keliru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar