Senin, 10 Desember 2012

“Arpillera”: Kain Perca Perlawanan


Ulasan atas Marjorie Agosín, Tapestries of Hope, Threads of Love: The Arpillera Movement in Chile, terjmh. Celeste Kostopulos-Cooperman (Rowman & Littlefield, 2007) dengan kata pengantar Isabel Allende; dan Marjorie Agosín, Scraps of Life: Chilean Arpilleras, terjmh. Cola Franzen (Zed Books, 1987). Gambar-gambar diambil dari kedua buku tersebut.


Bagaimanakah ibu-ibu dengan kain perca, jarum, dan benang bisa melawan sebuah rezim militer? Kisah ini bermula pada 11 September 1973, sebuah tanggal historis dalam sejarah Amerika Latin dan Cile khususnya, ketika pemerintahan sah presiden sosialis Salvador Allende yang terpilih melalui pemilu demokratis digulingkan oleh kudeta militer Jenderal Augusto Pinochet dengan dukungan CIA.

Mirip Indonesia? Memang. Pinochet memetik inspirasinya dari kudeta terselubung Soeharto pada 1965, sampai-sampai operasi sabotase ekonomi dan demonstrasi-demonstrasi rekayasa anti-Allende pun dinamai “Plan Djakarta.” Sejak awal 1973, kata-kata “Ya viene Djakarta” (“Jakarta datang”) banyak dicoretkan dengan cat hitam di tembok-tembok kota Santiago. Pelaksana utama “Plan Djakarta” adalah Brigjen Hernan Hiriart Laval yang sebelumnya telah diberhentikan karena terbukti bersekongkol dengan tuan tanah di Provinsi Valdivia dan memerintahkan pembunuhan dua orang petani (baca Bab 3 buku The Murder of Allende and the End of the Chilean Way to Socialism karya Róbinson Rojas).

Yang terjadi pascakudeta pun juga mirip: pada akhir September 1973, dilaporkan 3.000 orang telah hilang, ribuan aktivis pro Allende ditangkapi sebagai “tapol” dan sebagian besar dibunuh. Bila Indonesia punya Pulau Buru sebagai tempat pembuangan, Cile punya Pulau Dawson dekat Antartika, juga Pisagua, sebuah tambang nitrat terbengkalai di gurun pasir sebelah utara.

Kehidupan berantakan, dan yang terimbas paling dahsyat adalah kaum ibu, yang kehilangan suami atau anaknya dengan paksa, seringkali ditembak atau dicokok begitu saja di depan mata mereka. Persoalan desaparecidos (orang hilang) menjadi persoalan yang menghantui masyarakat Cile sebagaimana juga Indonesia. Di Amerika Latin, Amnesty International memperkirakan sebanyak 90.000 orang hilang selama pelbagai masa kediktatoran selama 20 tahun terakhir.

Saat mencari keterangan soal sanak keluarganya yang hilang –di penjara, kantor polisi, pusat-pusat penahanan, dan gereja—para ibu ini saling bertemu dan berbagi cerita satu sama lain. Dari pencarian, derita, dan cerita para perempuan inilah Gereja Katolik mulai menyadari besarnya represi yang terjadi. Komite Pro-Paz (Pro Perdamaian) dibentuk untuk menampung laporan dan kesaksian tentang orang hilang, namun komite ini hanya bertahan dua tahun karena diberangus oleh junta militer.

Atas inisiatif Kardinal Raúl Silva Henriquez, uskup Santiago yang lantang menyerukan penentangannya atas kediktatoran militer Pinochet, dibentuklah lembaga baru yang sepenuhnya berada di bawah wewenang Gereja Katolik, bernama Vicaría de la Solidaridad (Vikariat Solidaritas). Meletakkannya di bawah lembaga keuskupan dan dengan demikian tunduk pada hukum ekumenis Gereja Katolik Roma adalah taktik agar lembaga ini tidak akan pernah bisa dibubarkan oleh penguasa.

Vikariat Solidaritas pun menjadi tempat berkumpulnya para aktivis HAM dan menjadi satu-satunya organisasi yang berani dengan lantang menyerukan pelanggaran HAM di Cile semasa kediktatoran militer. Selain itu, Vikariat juga berusaha mencari jalan keluar bagi kaum ibu untuk memecahkan masalah finansial dan emosional mereka setelah mereka terpaksa harus menjadi “kepala keluarga.”

Jahit-menjahit menjadi salah satu pilihan utama kaum ibu untuk mencari sedikit uang. Vikariat pun membentuk bengkel-bengkel kerja agar para ibu ini bisa bekerja sambil tetap mengasuh anggota keluarga yang masih kecil, juga menjadi wadah untuk saling berbagi cerita dan informasi tentang anggota keluarga mereka yang dihilangkan paksa.

Dari konteks sosial inilah, dari penindasan dan kesusahan hidup, lahirlah sebuah seni sulam khas Amerika Latin yang dipakai untuk melestarikan ingatan akan korban dan melawan militerisme: arpillera. Arti sesungguhnya adalah “kain goni”, namun praktik pembuatan arpillera di Cile telah mengubah artinya menjadi “kain perlawanan.”

Awalnya sebagai curahan perasaan, arpillera pun menjadi potongan kain yang berkisah, memberi kesaksian tentang apa yang dialami para perempuan Cile. Vikariat Solidaritas mulai menjual hasil karya ibu-ibu ini kepada orang-orang asing yang menyelundupkannya ke luar negeri, dan cerita-cerita mereka pun akhirnya beredar ke dunia internasional—cerita tentang penghilangan paksa, kerinduan, cinta, perdamaian, dan harapan akan keadilan.

“Saya gambarkan gedung hancur, rumah porak poranda, seperti rumah saya sendiri sejak hilangnya putra dan menantu saya,” kata Irma Muller, salah satu pendiri bengkel arpillera pertama. Karyanya berikut ini dibuat pada 1976, menggambarkan bagaimana putranya, Jorge, dan menantunya diciduk tentara saat sedang berjalan-jalan. Perempuan dengan rok panjang yang dibuat dengan kain hitam seperti sosok para tentara itu, yang menampakkan sikap seperti sedang melaporkan Jorge dan istrinya, adalah Flaca Alejandra, yang menjelang akhir 1990an membuat pengakuan publik tentang kerjanya di polisi rahasia.

Karya Irma Muller tentang penangkapan anak dan menantunya

Violeta Morales, salah seorang anggota tertua bengkel kerja ini dan saudara perempuan dari salah seorang desaparecido, berkata, “Saya membuat arpillera karena ada kejahatan ganda yang harus saya kecam: penculikan anak saya dan saudara saya. Saya bergabung di sini untuk terus berjuang agar kebenaran bisa diketahui karena luka-luka saya masih menganga.” Karya Violeta berikut ini yang dibuat pada 1970an memasang foto saudaranya yang hilang, Newton Morales, langsung pada kain—sebuah teknik yang banyak dipakai untuk mengenang seseorang yang dihilangkan:

Violeta Morales menjahitkan foto Newton Morales, saudara
laki-lakinya yang hilang, dalam arpillera-nya.

Ibunda Violeta Morales juga membuat arpillera berikut ini yang menggambarkan para perempuan menarikan la cueca sola. La cueca adalah tarian populer rakyat Cile yang ditarikan berpasang-pasangan, namun karena orang laki-laki mereka kini tiada, maka mereka pun menarikannya sendirian (la cueca sola inilah yang mengilhami Sting menuliskan lagunya "They Dance Alone"). Bisa dilihat bagaimana si perempuan menyematkan foto pasangannya yang hilang di bajunya. 



Pertanyaan dan gugatan “¿Dónde están?(“Di mana mereka?”) menjadi tema yang sering muncul dalam arpillera, seperti bisa kita lihat dalam tiga karya berikut:



Gambaran demo pada Hari Perempuan Internasional 1984

Kini tak ada lagi bengkel-bengkel arpillera di Cile. Dipulihkannya demokrasi pada 1989 membuat Vikariat Solidaritas menganggap kerjanya rampung. Dan tanpa naungan Gereja, bengkel-bengkel ini pun tutup pada 1992. Tapi para pembuat arpillera tetap melajutkan kerja mereka secara independen, karena mereka tahu tugas belum selesai dan sejarah tetap harus dituliskan.

Terbongkarnya kuburan-kuburan massal di Cile pada 1991, disusul dengan penelitian yang mengungkapkan para korban tewas itu telah disiksa dengan brutal, ternyata tak melahirkan suatu keadilan bagi ibu-ibu ini. Para penyiksa masih bisa hidup merdeka dan berkeliaran dengan bebas, tanpa pengadilan dan tanpa hukuman. Jenderal Pinochet memang sempat diadili di Inggris, namun bebas dengan alasan kesehatan. Dan sekembalinya ke Cile pada 2000, Kongres malah menghadiahinya status “mantan presiden,” yang membuatnya kebal secara hukum dari tuntutan apapun.

Persis dengan kita di sini. Komnas HAM telah membuat laporan rinci tentang pelanggaran HAM selama 1965, film The Act of Killing menyadarkan kita bahwa para pembunuh dari masa-masa itu hidup bebas di sekitar kita, lalu Tempo menindaklanjutinya dengan reportase atas para jagal lainnya. Namun kekuasaan mementahkan itu semua. Kejaksaan Agung terang-terangan menolak menindaklanjuti laporan Komnas HAM.

Dengan dalih “rekonsiliasi”, pemerintah kedua negara sepertinya ingin menciptakan citra negara yang telah damai tanpa punya masa lalu yang begitu bersimbah darah. Namun para arpilleristas di Cile tahu rekonsiliasi tidak akan bisa terjadi tanpa pengungkapan kebenaran dan pengadilan. Karena itulah mereka tak henti berkarya, memadukan potongan-potongan kain perca dan menusukkan benang jahit mereka—untuk berbagi kisah, untuk memberi kesaksian bagi generasi mendatang.

Arpillera yang menggambarkan hukuman mati sewenang-
wenang di Stadion Nasional pada 1973


Jumat, 23 November 2012

Don Kisot atau Don Kihote?


Sebagai karya klasik, bisa dipastikan banyak pembaca di Indonesia tahu mengenai (meski belum tentu membaca) El ingenioso hidalgo don Quixote de la Mancha atau sering disingkat Don Quxiote, novel karangan Miguel de Cervantes Saavedra yang terbit pertama kali pada 1605. Dalam survei yang disebar di kalangan para penulis dunia tahun 2002, Don Quixote bahkan menduduki peringkat pertama “karya sastra terbaik sepanjang masa.” Namun, yang tidak banyak diketahui orang adalah pelafalannya yang benar. Don Quxiote seringkali dibaca “don Kisot”, padahal semestinya adalah “don Kihote” (dengan e seperti pada “tempe”). Bagaimana salah kaprah ini terjadi?

Saya kira ada dua penyebabnya: Pertama, dalam bahasa Indonesia “x” memang dibaca “ks” dan bukan “h”, sehingga otomatis orang mengidentikkan “x” pada Quixote sebagai “s”. Kedua, Abdul Moeis ikut “bertanggungjawab” mempopulerkan salah kaprah ini melalui terjemahannya Don Kisot de la Mancha, yang terbit pertama kali pada 1933.

Don Kisot terjemahan Abdul Moeis
(cetakan ketiga, 1955)
Meski bukan versi utuh (hanya 359 halaman, sementara lengkapnya bisa dua setengah kali lipat itu), terjemahan Abdul Moeis terbitan Perpustakaan Perguruan Kem. P.P. dan K. ini adalah terjemahan asyik yang mampu menangkap kekocakan dan greget novel ini dengan baik. Namun memang gaya bahasa dan kosakata arkaisnya tentu akan membuat generasi masa kini mengernyitkan dahi saat membacanya. Sayangnya buku ini tak pernah dicetak lagi sejak 1960an.

Pertanyaannya: mengapa Abdul Moeis menerjemahkannya sebagai Kisot dan bukan Kihote? Apakah ia tidak tahu pelafalannya yang benar? Sepertinya kok mustahil, melihat luasnya pengetahuan dan bacaannya akan sastra dunia. Saya lebih menduga Kisot dipilih Abdul Moeis secara sengaja, dengan dipengaruhi oleh rujukan yang dipakainya saat menerjemahkan.

Tidak ada keterangan pasti dari bahasa manakah Abdul Moeis menerjemahkan Don Kisot. Dugaan awal saya dari bahasa Belanda, sesuai dengan konteks kolonial saat itu, namun ilustrasi yang menghiasi halaman-halaman isi buku edisi Indonesia itu adalah grafis karya H. Pisan berdasarkan gambar Gustave Doré. Ilustrasi ini berasal dari edisi Perancis tahun 1863, L'ingénieux hidalgo don Quichotte de la Manche, terjemahan Louis Viardot. Jadi, agak bisa dipastikan terjemahan Abdul Moeis memakai terjemahan Perancis tersebut sebagai landasan kerjanya. Padahal, Viardot memperanciskan “don Quixote” sebagai “don Quichotte”, yang dibaca “don Ki-syot”.

Pelafalan dengan s juga dipakai dalam penerjemahan ke bahasa Italia, “Don Chisciotte”, yang dibaca “Don Ki-syot-te”. Persoalan agak lebih pelik untuk bahasa Inggris. Saking terkenalnya tokoh ini, pada 1718 don Quixote masuk dalam kosakata bahasa Inggris sebagai kata sifat quixotic (“foolishly impractical especially in the pursuit of ideals,” menurut definisi Merriam-Webster), serta quixotical dan quixotically. Namun, sekalipun penutur Inggris melafalkan “don Quixote” sesuai pelafalan Spanyolnya “don Ki-ho-te”, “quixotic” justru mereka lafalkan “kwik-so-tik” dan bukan “ki-ho-tik”.

Itulah sebagian dari keragaman cara melafalkan don Quixote. Dan saya kira ini jugalah yang menjadi pertimbangan Abdul Moeis untuk tak segan-segan mengindonesiakannya menjadi Don Kisot. Dan itulah yang terwariskan ke kita hingga kini.

Kamis, 18 Oktober 2012

Infografis Gabriel García Márquez


Hanya eksperimen iseng belaka karena sedang tertarik mendalami infografis. Aslinya dibuat dalam ukuran A3 resolusi tinggi, sehingga bisa dijadikan poster. Data yang terkumpul soal García Márquez dan bisa diinfografiskan sebenarnya lebih banyak daripada yang muat terpampang di sini.


Selasa, 16 Oktober 2012

Chávez dan Revolusinya


Catatan: Tulisan lama ini saya sampaikan pertama kali pada 2006 dalam diskusi pendamping pemutaran film dokumenter The Revolution Will Not Be Televised (2003) karya Kim Bartley dan Donnacha Ó Briain di kantor Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Jakarta. Di sini saya menggambarkan bahwa dalam konteks Amerika Latin dan Venezuela khususnya, militer bisa menjadi kekuatan progresif dan revolusioner. Tapi –dan ini harus digarisbawahi—TIDAK dalam konteks Indonesia! Hal ini perlu saya tekankan karena sebagian pendukung Prabowo dalam bursa calon presiden 2014 membuat persamaan bahwa Prabowo adalah militer progresif yang bisa membuat perubahan mendasar seperti Chávez (beberapa tulisan internet telah memajang judul “Prabowo, Hugo Chavez-nya Indonesia?”) Baca baik-baik sejarah Hugo Chávez untuk tahu betapa ia tidak bisa disamakan dengan Prabowo. Saat menjadi tentara, Chávez memberontak melawan rezim oligarki Venezuela, ia membangun jaringan perlawanan dengan aktivis-aktivis kiri dan progresif lainnya dan memberi dukungan militer pada mereka. Sebaliknya, Prabowo murni alat kekuasaan rezim diktator Orde Baru, yang menumpas gerakan perlawanan dan prodemokrasi dengan cara menculik dan menghilangkan paksa aktivis-aktivisnya. Tidak dengan cara apapun keduanya bisa disamakan.


Hari itu [4 Februari 2004], akhirnya saya bertemu Chávez untuk sekian menit. Seorang ajudan memperkenalkan kami: “Ini Aleida Guevara, Pak Presiden.” Beliau bertanya kapan saya tiba; Sabtu kemarin jawab saya. Ia buru-buru membalas, “Ah tidak, kau sudah ada di sini sejak lama.” “Tidak, Pak Presiden,” jawab saya, “baru Sabtu kemarin.” Chávez menatap saya dan berkata, “Kau senantiasa ada di sini.” Momen ini sungguh istimewa; bukan hanya karena orang sebesar dia yang mengucapkannya, tapi karena saya sadar bahwa maksud Chávez, yang selalu ada di sini adalah ayah saya, Che Guevara.
— Aleida Guevara, dari buku wawancara panjangnya dengan Hugo Chávez, Chávez: Un hombre que anda por áhi (Ocean Press, 2005)


Che Guevara, Simón Bolívar, José Marti, Emiliano Zapata: ya, Chávez adalah pewaris seluruh tokoh militer revolusioner Amerika Latin. Di satu sisi, rezim-rezim terburuk di Amerika Latin memang rezim diktator militer (Pinochet atau Trujillo misalnya), namun di sisi lain, gerakan-gerakan revolusioner di sana juga bersifat militer. Bisa dibilang sejarah revolusi Amerika Latin adalah sejarah pemberontakan militer, bahkan gerakan masyarakat sipil yang berkembang hebat dari Chiapas tidak akan terjadi tanpa didahului oleh pemberontakan bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Zapatista. Maka untuk melihat Chávez kita perlu melihat terlebih dahulu “ideologi” tentara Venezuela, yang merupakan turunan langsung dari Tentara Persatuan Pembebasan Amerika Selatan bentukan Simón Bolívar.

Bolívar dan Cita-Cita Pembebasan Amerika Latin
Simón Bolívar alias “El Libertador” adalah pejuang Venezuela yang pertama kali mencita-citakan lepasnya Amerika Latin dari penjajahan Spanyol. Lahir di Caracas 24 Juli 1783, Bolívar yatim piatu sejak berusia 9 tahun. Pada usia 15 tahun Bolívar dikirim ke Spanyol oleh pamannya untuk belajar. Ia mendapat pendidikan yang istimewa, terutama dari guru dan teman sepanjang hayatnya Simón Rodríguez, yang memperkenalkannya pada ide-ide Pencerahan serta karya-karya klasik Yunani dan Romawi.

Awal abad ke-19 saat berada di Eropa, Bolívar menyaksikan proklamasi Napoleon sebagai Kaisar Perancis, sekaligus pengangkatannya sebagai Raja Italia di Milan. Bolívar muak melihat Napoleon yang dianggapnya telah mengkhianati cita-cita Revolusi Perancis. Ketika berada di Italia itulah Bolívar menyatakan sumpahnya yang termasyhur di pucuk Gunung Aventin, Roma, untuk tidak pernah beristirahat sampai seluruh Amerika terbebaskan dari penjajahan.

Detil perjuangan Bolívar tidak perlu diulas panjang lebar di sini. Yang jelas pada akhirnya Bolívar berhasil membebaskan Venezuela, Granada Baru (kini Kolombia), Quito (kini Ekuador), Peru, dan sebuah negara baru yang diberi nama Bolivia untuk menghormati dirinya. Meski demikian, ada satu hal yang tidak bisa ditaklukkan oleh Bolívar, yakni kaum oligarki nasional.

Sesudah Spanyol terusir, kaum oligarki inilah yang naik menduduki kekuasaan di tiap-tiap negara. Persaingan perebutan kekuasaan antar mereka sendiri memecah-memecah kembali persatuan Amerika Selatan yang sudah diperjuangkan oleh Bolívar. Lebih parah dan ironis dari itu, para pejuang Bolívarian justru tersingkir dari sistem politik pasca pembebasan ini. Simón Bolívar takkan pernah bisa kembali ke kampung halamannya di Venezuela. Jenderal Sucre, tokoh seperjuangan Bolívar dan orang terakhir yang mengusir Spanyol dalam pertempuran di Ayachuco, dibunuh oleh rekayasa kaum oligarki tersebut. “Apa bagusnya kemerdekaan ini?” tanya Simón Bolívar sekembalinya ke Cartagena, Kolombia, setelah 20 tahun di medan perang, ketika ia mendapati kota itu masih penuh anak-anak pengemis—kemiskinan yang tak kunjung selesai gara-gara oligarki nasional tak peduli dengan cita-cita kesejahteraan sosial yang terkandung dalam perjuangan kemerdekaan Bolívar.

Bangkitnya Kembali Ide Bolívarian dalam Tentara Venezuela
Chávez dan beberapa rekan tentara seangkatannya tahu bahwa tentara Venezuela mengemban kebanggaan sebagai turunan langsung Tentara Persatuan Pembebasan Amerika Selatan bentukan Bolívar. Seiring kebanggaan ini mereka juga sadar bahwa oligarki telah memanfaatkan mereka sebagai alat kekuasaan belaka.

Pada Oktober 1977, Hugo Chávez yang berusia 23 tahun ditempatkan di wilayah pegunungan timur yang masih banyak dihuni “gerilyawan pemberontak” (menurut Chávez, apa yang dimaksud sebagai “gerilyawan” ini sesungguhnya cuma petani miskin). Hal ini kian memperkuat keyakinannya bahwa Tentara Venezuela sudah melenceng dari cita-citanya. Bersama keempat rekannya ia pun membentuk “Tentara Bolívarian Pembebasan Rakyat Venezuela.” Tentu saja dengan anggota cuma 5 tak banyak yang bisa mereka lakukan, namun inilah cikal bakal kembalinya ideologi Bolivarian dalam tentara Venezuela. Mereka tahu bahwa meninggalkan ketentaraan justru tidak efektif bagi perjuangan. Kelima orang ini bekerja keras mempengaruhi rekan-rekannya yang lain. Tahun 1982 Chávez menjadi kapten pasukan regu payung. Sebagai kapten ia bisa mempengaruhi anak buahnya lebih banyak. Mereka bersumpah di bawah pohon samán, yang menurut catatan sejarah pernah dipakai sebagai tempat berkemah Simón Bolívar. Mereka berikrar untuk membentuk gerakan Bolivarian di dalam tentara. (Inilah yang sesungguhnya membuat mayoritas pucuk pimpinan militer bisa begitu setia kepada Chávez dalam menghadapi kudeta oligarki sebagaimana kita lihat di film yang tadi diputar. Sebagian besar perwira tinggi sekarang adalah rekan seangkatan Chávez yang turut mengucapkan ikrar di bawah pohon samán itu, misalnya Pangkostrad Jenderal Baduel dan Jenderal Cordero, begitu pula kepala pasukan pengawal kepresidenan).

Hubungan Sipil-Militer

Menciptakan prajurit-prajurit yang berwawasan sipil dan warga sipil yang sadar militer, inilah yang selalu menjadi tujuan kami.
— Hugo Chávez

Chávez tahu bahwa pergulatan mereka dalam tentara harus didukung dengan gerakan oposisi dari luar. Meski ide-ide kiri bukan barang baru bagi Chávez (ia mengaku masa mudanya sangat dipengaruhi oleh buku Plekhanov, Peran Individu dalam Sejarah, bahkan pernah di hadapan tamtaman-tamtama sekolah militer ia memberi ceramah soal Che Guevara, yang membuatnya dikenai sanksi disipliner), baru pada saat ia mulai menjalankan “Tentara Bolívarian”-nya ia berkenalan konkret dengan gerakan kiri.

Kakak sulungnya, Adán, adalah seorang komunis, bagian dari kelompok klandestin mahasiswa Universitas Andes bersama Rafael Ramírez (kini Menteri Perminyakan). Keduanya adalah binaan gerilyawan legendaris Douglas Bravo, pendiri Partai Revolusi Venezuela. Sejak 1977 sampai 1982, Chávez banyak melakukan kontak dengan Bravo yang sangat dihormatinya. Namun bagi Chávez, Bravo sama saja dengan penguasa oligarki yang memperlakukan militer hanya sebagai alat. Seakan-akan militer cuma “sayap bersenjata dari revolusi”. Bila di sini kita ogah dengan dwifungsi, yang diinginkan Chávez justru dwifungsi militer ini. “Aku tidak ingin menghadiri pertemuan yang temanya cuma berapa jumlah personil yang ada di pihak kita dan apa rencana militernya. Aku tertarik dengan rencana politik.” Chávez ingin angkatan bersenjata dilibatkan aktif dalam menyusun manifesto politik.

Chávez juga berhubungan dengan tokoh-tokoh buruh dari partai radikal Causa R (“Radical Cause”) seperti Ramón Machuca dan Alfredo Maneiro. Dari pertemuan-pertemuan mereka Chávez membayangkan keterlibatan seluruh komponen masyarakat dalam pemberontakan dan mengangankan terbentuknya semacam batalion buruh.

Pembantaian Caracazo dan Pemberontakan Pertama Chávez
Cendekiawan Perancis Ignacio Ramonet berpendapat bahwa Venezuela adalah kasus unik yang perlu dipelajari mendalam dalam menghadapi globalisasi neoliberal. Ramonet membagi globalisasi menjadi 3 fase. Pertama, ketika ambruknya Uni Soviet membawa perubahan-perubahan besar dan dunia sibuk bertanya-tanya seperti apa kondisi nanti setelah konsensus-konsensus neoliberal digencarkan. Kedua, saat proses globalisasi neoliberal ini sudah bisa dicerna dan dipahami, lalu dunia mulai melancarkan protes atas model tersebut (fase Zapatista, Seattle, Genoa). Ketiga, ketika proposal alternatif mulai ditawarkan dan diimplementasikan.

Menurut Ramonet, Venezuela berada di luar pola ini, karena sejak awal, yakni pada 1989 (bahkan sebelum Uni Soviet benar-benar runtuh), rakyat Venezuela sudah turun ke jalan memprotes neoliberalisme. Mereka menuntut agar Presiden Carlos Andrés Pérez batal melaksanakan “paket kebijakan” pasar bebas yang dipaksakan oleh IMF (dalam bentuknya yang sudah kita kenal: pencabutan subsidi, PHK massal, privatisasi BUMN, dan secara umum mereduksi peran negara dalam perekonomian). Protes ini direspons secara militer oleh pemerintah, dan terjadilah apa yang disebut sebagai “pembantaian Caracazo”. Angka resmi menyebutkan korban sipil yang tewas 276 jiwa, namun berdasarkan temuan lanjutan atas kuburan-kuburan massal bikinan tentara, Mahkamah HAM Inter-Amerika memperkirakan jumlah korban sesungguhnya bisa melebihi 3.000 jiwa. Bila pembantaian Tiennamen –protes terhadap pemerintahan komunis—begitu meluas pemberitaannya di seluruh dunia, pembantaian Caracazo –protes terhadap pemerintahan neoliberal—nyaris tak terdengar di mana pun.

Peristiwa ini benar-benar mengusik Chávez. Ia berkata kepada rekan-rekan “Tentara Bolívar”-nya: “Bolívar pernah berkata, ‘Terkutuklah tentara yang memakai senjatanya untuk melawan rakyatnya sendiri.’ Sebagai tentara kita sudah terkutuk sekarang, dan kita harus mengusir kutuk ini agar tidak merongrong kesadaran kita.” Tiga tahun kemudian, 4 Februari 1992, Chávez bangkit melancarkan pemberontakannya.

Tentu saja syarat-syarat revolusi belum cukup matang dalam masyarakat Venezuela. Kekuasaan masih bercokol terlalu kuat dan rakyat belum terorganisir dengan baik. Pemberontakan Chávez bisa dipatahkan dengan mudah. Semua perwira dan prajurit yang terlibat dijebloskan ke penjara militer Caracas. Mereka diminta mencopot seragam tentaranya tetapi menolak. Justru 2½ tahun di penjara militer semakin menempa Tentara Bolívarian ini untuk jadi semakin solid.

Sementara di luar penjara proses politik bergulir. Carlos Andrés Pérez dilengserkan dari kursi kepresidenan atas tuduhan korupsi. Penggantinya, Ramon Caldera, memberi pengampunan bagi Chávez dkk. Saat dibebaskan dari penjara pada 26 Maret 1994, sekelompok jurnalis bertanya pada Chávez, “Anda hendak ke mana sekarang, comandante?” Jawabnya: “Ke kekuasaan.”

Revolusi Takkan Disiarkan di Televisi
Tahun 1994 saat Chávez dkk dibebaskan adalah tahun “pilkadal” di Venezuela. Kelompok Chávez memutuskan meninggalkan jalan pemberontakan bersenjata dan memilih perjuangan elektoral. Mereka rancang cara-cara untuk mematahkan basis kekuatan kaum neoliberal. Mereka ajukan tokoh-tokoh Bolívarian untuk kandidat gubernur dan walikota, dan sepanjang 1995 berkeliling pelosok Venezuela untuk menjelaskan ide-idenya. Persatuan militer-sipil yang dicita-cita Chávez mulai terjalin.

Meski awalnya gerakan ini (yang dinamai “Gerakan Republik Kelima”) diremehkan oleh penguasa, pada 1997 kaum oligarki nasional mulai cemas melihat basis gerakan ini yang kian meluas. Kampanye negatif pun digencarkan di media cetak dan siar. Televisi memang sudah sejak lama menjadi musuh Chávez. Dalam proses menuju pemilu 1998 ini Chávez nyaris tak pernah diwawancarai. Beberapa jurnalis diringkus karena telah mewawancarai Chávez, dan stasiun teve yang menyiarkan berita kampanye Chávez diancam ditutup.

Pesaing utama Chávez, mantan Miss Universe Irene Sáenz, mendapat dukungan kuat kaum oligarki. Sebuah acara teve pernah menyiarkan jajak pendapat: Irene Sáenz 77% dan Claudio Fermín 10%. Seorang hadirin di studio bertanya: “Bagaimana dengan Chávez? Jajak pendapat ini tidak menyebut-nyebut comandante Chávez.” Si pembawa acara menjawab, “Tidak, ia cuma mitos yang sudah menguap.”

Stasiun teve lain bahkan pernah menyewa aktor sulih suara profesional untuk memfitnah Chávez. Chávez dibikin seolah-olah menyatakan dalam sebuah pidatonya, “Akan kugoreng para adecos dan copeyanos [orang-orang partai berkuasa] itu dengan minyak.” Namun sang aktor akhirnya angkat bicara dan mengatakan bahwa ia telah ditipu. Ia diberitahu oleh stasiun teve bahwa ini hanya untuk komedi. Pengakuannya menjadi pukulan telak bagi kredibilitas kubu oligarki.

Terlepas dari semua itu dan terlepas dari dugaan semua orang, Chávez menang telak dalam pemilu 6 Desember 1998.

Chávez gemar menunjukkan buku-buku yang dibacanya saat berpidato. Pada 2006,
dalam pidato di Gedung PBB ia menunjukkan buku "Hegemony and Survival"
karya Noam Chomsky untuk mengkritik AS (foto: Julie Jacobson/AP).
Pada 1 Oktober 2011, dalam sebuah upacara di istana kenegaraan ia membacakan
kutipan-kutipan dari buku "Socialismo" karya Irving Fetscher (foto: Leo Ramirez/AFP)

Referendum Bersejarah
Hal pertama yang dilakukan Chávez setelah dilantik adalah menggelar referendum. Ia sadar betul bahwa “Republik Kelima” takkan bisa berdiri bila “Republik Keempat” yang selama puluhan tahun menjadi mesin kaum oligarki itu tidak dikubur terlebih dahulu, baik institusi-institusinya maupun perangkat hukumnya (Sama seperti reformasi kita di sini terseok-seok karena tidak ada perubahan mendasar diterapkan).

Sejak saat dilantik pun Chávez sudah “membuat ulah”. Ketika ketua Kongres meletakkan UUD [lama] ke tangan Chávez dan bertanya, “Apakah Saudara bersumpah di atas konstitusi ini?,” Chávez menjawab, “Saya bersumpah di atas konstitusi yang sudah lapuk ini bahwa saya akan berbuat sekuat tenaga dalam lingkup kekuasaan saya untuk memberi rakyat kita Magna Charta sejati yang sejalan dengan impian mereka.”

Referendum yang diserukan Chávez inilah yang bikin geger dan akhirnya memunculkan kudeta oligarki seperti kita lihat di film. Pihak penentang melancarkan 25 gugatan ke Mahkamah Agung untuk menganulir dekrit referendum tersebut, meski MA akhirnya menolaknya. Referendum digelar dan para anggota Majelis Perwakilan dipilih. Majelis ini sendiri menjadi perdebatan besar bahkan di kalangan progresif, karena keberadaannya di beberapa negara Amerika Latin lainnya (Kolombia, Ekuador, dan Argentina) tidak punya banyak pengaruh. Bahkan Carlos Menem di Argentina memakainya sebagai alat legitimasi kebijakan neolibnya. Namun di Venezuela Majelis ini berjalan dan perubahan besar dalam sistem pemerintahan mulai dilakukan. Konstitusi baru pro-rakyat dirancang dan disahkan.

Venezuela dan Persatuan (Kembali) Amerika Latin

Bolívar bangkit 100 tahun sekali manakala rakyat bangkit.
— Pablo Neruda

Chávez penting bukan hanya karena retorika-retorika kerasnya dalam mengkritik kebijakan Bush di forum-forum internasional. Chávez penting karena inilah pertama kalinya upaya persatuan Amerika Latin mulai digalang kembali secara serius—dari segi politik, bukan sebagai zona-zona perdagangan bebas.

Cita-cita Simón Bolívar mempersatukan Amerika Selatan dan Tengah sebenarnya punya tujuan praktis, agar negara-negara kawasan ini bisa berdiri sama tinggi dengan Amerika Serikat dan Eropa (Gagasan Bolívar sebenarnya mirip dengan gagasan Tan Malaka tentang Federasi Aslia, yang menyatakan bahwa dunia sebenarnya hanya perlu empat atau lima pemain besar yang terdiri dari federasi negara kecil-kecil. Dalam kata-kata Tan Malaka, kurang lebih: “Anjing yang sama besar akan selalu menjaga diri untuk tidak saling menerkam.”) Cita-cita inilah yang digaungkan kembali oleh Chávez.

Kesadaran bahwa Zona Perdagangan Bebas Benua Amerika (Acuerdo Libre de Comercio para las Americas atau ALCA) bisa membahayakan pembangunan kawasan, mulai dirasakan oleh Argentina, Brasil, negara-negara Karibia, dan terakhir oleh Bolivia. Chávez mengusulkan pembentukan Alternatif Bolívarian untuk Amerika (ALBA, yang kebetulan dalam bahasa Spanyol juga berarti “fajar”) sebagai penanding ALCA. Bila ALCA menitikberatkan pada “perdagangan bebas”, ALBA meningkatkan kerjasama ekonomi antar negara berdaulat yang mengontrol penuh SDA-nya sendiri demi memprioritaskan “keadilan sosial” rakyat di kawasan tersebut.

Chávez juga mengusulkan pembentukan “PetroAmerica”, semacam OPEC untuk kawasan Amerika Latin, gabungan dari BUMN-BUMN minyak yang belum diprivatisasi: PDVSA di Venezuela, PETROBRAS di Brasil, COPETROL di Kolombia, PETROTRIN di Trinidad, PETRO-ECUADOR di Ekuador, dan PETROPERU di Peru, ditambah dengan Bolivia yang cadangan minyaknya besar namun selama ini belum dikelola dengan benar.