Makalah untuk diskusi meja bundar "Saling Silang Cerita Dua Daratan", Komunitas Salihara, 28 Oktober 2017.
Kamis, 26 Oktober 2017
Selasa, 07 Maret 2017
"Duabelas Perempuan di Tahun Keduabelas", oleh Subcomandante Marcos
Terjemahan ini pertama kali
dimuat di Subcomandante Marcos, Bayang Tak Berwajah: Dokumen Perlawanan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista, terjmh. dan kompilasi
Ronny Agustinus (Yogyakarta: Insist
Press, 2003), hlm. 255-261.
Selang tahun keduabelas EZLN, puluhan kilometer, dan jarak maha jauh
dari Peking, 12 orang perempuan berkumpul tanggal 8 Maret dengan wajah-wajah
terhapus…
1. Kemarin…
Seraut wajah terbalut hitam masih menyisakan mata dan beberapa helai
rambut yang terjuntai dari kepala. Dalam tatapan itu terbersitlah seorang yang
mencari. Karaben M-1 digenggam di depan, dalam kuda-kuda yang dinamakan
“penyerangan”, dan sepucuk pistol tersarung di pinggang. Di sisi kiri dada
perempuan itu, tempat harapan dan keyakinan bersemayam, tersematlah pangkat
Mayor Infantri pasukan tentara pemberontak, yang pada subuh 1 Januari 1994
menamai diri mereka Tentara Pembebasan Nasional Zapatista. Di bawah komandonya,
berdiri sepasukan pemberontak yang menduduki San Cristóbal de las Casas, bekas
ibukota negara bagian Chiapas, Meksiko Tenggara. Alun-alun San Cristóbal
senyap. Hanya lelaki dan perempuan pribumi yang dikomandoinyalah yang jadi
saksi saat Mayor itu, seorang perempuan pemberontak suku Tzotzil, merebut
bendera nasional dan memberikannya kepada komandan-komandan pergerakan, mereka
yang disebut “Komite Klandestin Revolusioner Adat”. Di radio, sang Mayor
berucap: “Bendera telah kami selamatkan. 10-23 ganti.” 1 Januari 1994, pukul
02.00 waktu tenggara, atau pukul 01.00 tahun baru di belahan dunia lainnya, dan
ia telah menunggu 10 tahun lamanya untuk bisa mengucapkan kalimat tersebut. Ia
tiba di pegunungan rimba raya Lacandon bulan Desember 1984. Belum genap 20
tahun usianya, namun sekujur tubuhnya telah membawa bekas-bekas riwayat penindasan
penduduk adat. Bulan Desember 1984, perempuan coklat ini berkata “Cukup
sudah!”, namun ia mengucapkannya begitu lirih sampai cuma ia seorang yang
mendengar. Bulan Januari 1994, perempuan ini beserta sekian ribu penduduk adat
bukan cuma mengucapkan, namun meneriakkan lantang-lantang “Cukup sudah!”,
sampai seluruh dunia mendengar mereka…
Di luar San Cristóbal, sekelompok
pemberontak lainnya yang dikomandoi seorang pria –satu-satunya yang berkulit
terang dan berhidung besar di antara penduduk pribumi yang menyerbu kota—baru
saja rampung mengambil alih markas besar kepolisian. Dari penjara yang
tersembunyi itu dibebaskanlah orang-orang pribumi yang menghabiskan malam tahun
baru di bui akibat kejahatan terberat di wilayah tenggara Chiapas: jadi orang
miskin. Eugenio Asparuk, suku Tzetzal, adalah nama Kapten pemberontak yang
bersama-sama si hidung besar mengawasi penggeledahan dan penyitaan markas besar
tersebut. Saat pesan sang Mayor tiba, Kapten pemberontak Pedro, suku Chol,
telah selesai mengambil alih markas besar Polantas Federal dan mengamankan
jalan raya yang menghubungkan San Cristóbal dengan Tuxtla Gutierrez. Kapten
pemberontak Ubilio, suku Tzeltal, telah menguasai jalan masuk sisi utara kota
berikut simbol uluran tangan pemerintah pada masyarakat adat, Institut Adat
Nasional. Kapten pemberontak Guillermo, suku Chol, mengambil posisi di titik
tertinggi kota. Dari situ ia memberi aba-aba dengan tatapannya. Rasa kaget yang
tercekat mengintip dari balik jendela rumah-rumah dan gedung-gedung. Kapten pemberontak
Gilberto dan Noe, masing-masing suku Tzotzil dan Tzeltal, tapi sama-sama
pembangkang, mengakhiri pendudukan markas besar kepolisian hukum negara bagian
lantas membakarnya sebelum berbaris mengamankan sisi kota yang mengarah menuju
barak-barak Zona Militer ke-31 di Rancho Nuevo.
Pukul 02.00 waktu tenggara, 1 Januari
1994, lima petinggi pemberontak, lelaki-lelaki pribumi, mendengar di radio
suara pimpinan mereka, seorang perempuan pribumi pemberontak yang berucap,
“Bendera telah kami selamatkan. 10-23 ganti.” Mereka mengulanginya pada pasukan
mereka, semua lelaki perempuan pribumi pemberontak, lantas menerjemahkan ucapan
berikut “Kita telah mulai…”
Di istana kotapraja, sang Mayor
mengorganisir posisi pertahanan guna melindungi orang-orang yang kini memerintah
kota—kota yang sekarang ada dalam kekuasaan pemberontak pribumi. Seorang
perempuan bersenjatalah yang melindungi mereka.
Di antara para komandan pemberontak ada
seorang perempuan imut, bahkan lebih imut ketimbang mereka yang di sekitarnya.
Seraut wajah terbalut hitam masih menyisakan mata dan beberapa helai rambut
yang terjuntai dari kepala. Dalam tatapan itu terbersitlah seorang yang
mencari. Senapan laras pendek kaliber 12 tergantung di punggungnya. Mengenakan
gaun tradisional perempuan San Andrés, Ramona turun gunung bersama seratus
lebih perempuan lainnya, menuju San Cristóbal di malam terakhir tahun 1993 itu.
Bersama Susana dan lelaki-lelaki adat lainnya ia adalah bagian dari komando
perang Indian yang pada tahun 1994 melahirkan Komite Klandestin Revolusioner
Adat - Komando Jenderal EZLN. Nantinya, Comandanta Ramona dengan imut tubuhnya
dan kecerdasannya akan mengejutkan pers internasional saat ia muncul di sela
Dialog Perdamaian pertama yang diselenggarakan di Katedral. Ia keluarkan dari
tas ranselnya, bendera nasional yang direbut sang Mayor tanggal 1 Januari itu.
Ramona tak tahu kapan, begitu pula kita, tapi dalam tubuhnya berdiam penyakit
yang menggerogoti dirinya dalam gigitan-gigitan lebar, yang meredupkan suara
dan tatapan matanya. Ramona dan sang Mayor, perempuan satu-satunya dalam
delegasi Zapatista yang tampil di hadapan dunia, untuk pertama kalinya
mencanangkan: “Demi segala niat dan tujuan kami telah mati, kami tak berarti
apa-apa.” Dengan ini mereka belum memperhitungkan segala jenis pelecehan dan
keterbelakangan. Sang Mayor menerjemahkan untuk Ramona pertanyaan para
wartawan. Ramona mengangguk dan mengerti, seakan-akan jawaban yang diminta
darinya telah ada di sana, dalam tubuh imut yang menertawakan bahasa Spanyol
dan perilaku wanita kota. Ramona tertawa seakan tidak tahu dirinya sedang
sekarat. Andaipun tahu, ia tetap tertawa. Sebelum ini ia tidak eksis bagi
siapapun, sekarang ia eksis, sebagai seorang perempuan, sebagai seorang
perempuan adat, sebagai seorang perempuan pemberontak. Sekarang Ramona hidup,
perempuan dari ras yang harus mati terlebih dulu untuk bisa hidup…
Sang Mayor mengawasi cahaya memenuhi
jalan-jalan San Cristóbal. Para prajuritnya mengorganisir pertahanan kota tua
Jovel dan perlindungan bagi para penduduknya yang sedang lelap tertidur,
orang-orang pribumi dan mestizo, yang sama-sama terkejut. Sang Mayor, perempuan
pribumi pemberontak ini telah menduduki kota mereka. Ratusan penduduk pribumi
bersenjata mengepung kota tua. Seorang perempuan bersenjatalah yang memimpin
mereka…
Sekian menit kemudian para pemberontak
menduduki Las Margaritas, sekian jam setelahnya pasukan pemerintah yang
mempertahankan Ocosingo, Altamirano, dan Chanal menyerah. Huixtan dan Oxchuc
direbut oleh sekelompok prajurit yang menuju ke arah penjara utama San
Cristóbal. Tujuh kota sekarang ada dalam genggaman kelompok pemberontak yang
tunduk pada 7 kata sang Mayor:
Perang demi kata-kata sekarang telah
dimulai…
Di tempat berbeda, para perempuan lainnya
yang sama-sama pribumi dan sama-sama pembangkang, telah menyusun ulang potongan
sejarah yang diberikan pada mereka. Potongan yang sampai tanggal 1 Januari 1994
itu selalu dibopong dalam kebisuan. Tak juga nama ataupun rupa mereka punya:
IRMA. Kapten Infantri Pemberontak. Irma, perempuan suku
Chol, membawahi sepasukan gerilya yang merebut alun-alun Ocosingo tanggal 1
Januari 1994 itu. Dari salah satu sisi taman kota, bersama tentara-tentara yang
dikomandoinya, ia menyerang garnisun yang terletak dalam istana kotapraja
sampai mereka menyerah. Lantas Irma menggerai kepang rambutnya. Rambut itu
terjatuh ke pinggang seakan berkata “inilah aku, yang baru dan merdeka”. Rambut
Kapten Irma bersinar, dan terus bersinar walau malam telah menyelimuti Ocosingo
yang ada dalam genggaman kaum pemberontak…
LAURA. Kapten Infantri Pemberontak. Suku Tzotzil. Gigih
dalam perang dan gigih dalam belajar-mengajar. Laura menjadi kapten dalam unit
yang beranggotakan lelaki semua. Bukan cuma itu, merekapun semuanya anggota
baru. Dengan sabar, sesabar gunung yang melihatnya tumbuh dewasa, Laura
mengajar dan memberi perintah. Kalau lelaki-lelaki yang dibawahinya itu ragu,
ia memberi contoh dengan mengerjakannya sendiri. Tak ada yang menggotong beban
dan berjalan kaki sebanyak dia. Setelah penyerbuan Ocosingo, ia memerintahkan
unitnya mundur. Begitu teratur dan beres. Wanita berkulit terang ini jarang
bicara, tapi ia menggenggam di tangannya sepucuk karaben yang direbutnya dari
seorang polisi yang memandang seorang wanita dusun tak lebih dari sosok untuk
dihina atau diperkosa. Setelah menyerah, polisi itu kabur dalam celana
kolornya, persis mereka lainnya yang sampai hari itu percaya bahwa wanita cuma
berguna di dapur atau untuk dihamili…
ELISA. Kapten Infantri Pemberontak. Ibarat piala perang, ia
membawa dalam tubuhnya pecahan-pecahan mortir yang tertanam selamanya di situ.
Ia sedang mengatur pasukannya tatkala barisan pemberontak terputus dan sebuah
bola api menggulung pasar Ocosingo dengan darah. Kapten Benito terluka dan
kehilangan matanya. Sebelum pingsan, ia sempat memberi penjelasan dan aba-aba:
“Aku kena, Kapten Elisa ambil alih”. Kapten Elisa sendiri telah terluka saat ia
berhasil membawa segerombolan prajurit keluar dari pasar itu. Kalau Kapten
Elisa, perempuan suku Tzeltal itu memberi perintah, suaranya cuma menggumam
lirih… tapi tiap orang patuh…
SILVIA. Kapten Infantri Pemberontak. Ia terperangkap 10
hari di Ocosingo yang telah jadi sarang tikus sejak tanggal 2 Januari itu.
Menyamar sebagai warga negara biasa, ia berlari tergesa-gesa sepanjang kota
yang penuh berisi tentara federal, tank, dan meriam. Di satu pos penjagaan
militer ia diberhentikan. Tapi segera saja mereka membolehkannya lewat. “Tak
mungkin wanita semuda dan selembut itu anggota pemberontak”, kata
tentara-tentara itu saat melihatnya pergi. Sesudah bergabung kembali bersama
unitnya di pegunungan, perempuan suku Chol ini tampak murung. Dengan
hati-hati, aku tanya kenapa gelak tawanya berkurang. “Di Ocosingo situ,”
jawabnya dengan kepala tertunduk, “di Ocosingo kutinggalkan ranselku berisi
semua kaset lagu yang telah kukoleksi, kini kita tak punya apa-apa.” Senyap,
kepedihannya tergolek di tangannya. Aku tak berkata apa-apa, kusampaikan
belasungkawaku dan kulihat dalam perang tiap-tap orang kehilangan apa yang
paling ia cintai…
MARIBEL. Kapten Infantri Pemberontak. Ia
mengambil alih stasiun radio Las Margaritas saat unitnya menyerbu kotapraja itu
tanggal 1 Januari 1994. Sembilan tahun penuh ia hidup di pegunungan untuk bisa
duduk di depan mikrofon dan mengucapkan: “Kami ini hasil dari 500 tahun
perjuangan; pertama kami berjuang melawan perbudakan…” Transmisinya tak
berjalan baik karena alasan-alasan teknis, dan Maribel pindah posisi untuk
melindungi sisi belakang unitnya yang bergerak menuju Comitan. Berhari-hari
sesudahnya ia bertugas sebagai penjaga tawanan perang, Jenderal Absalon
Castellanos Dominguez. Maribel suku Tzeltal dan umurnya belum genap 15 tahun
saat ia tiba di pegunungan Meksiko Tenggara. “Masa terberat dalam 9 tahun itu
adalah saat aku harus mendaki bukit pertama yang dijuluki ‘bukit akhirat’,
sesudah itu semuanya gampang,” kata perwira pemberontak ini. Tatkala Jenderal
Castellanos Dominguez dikembalikan ke pemerintah, Kapten Maribel adalah
pemberontak pertama yang melakukan kontak dengan pemerintah. Komisaris Manuel
Camacho Solis mengulurkan tangan padanya dan bertanya berapa umurnya. “502,”
jawab Maribel, yang menghitung tahun keseluruhan sejak pemberontakan dimulai…
ISIDORA. Infantri Pemberontak. Isidora pergi ke
Ocosingo sebagai tamtama di hari pertama bulan Januari itu. Dan sebagai tamtama
Isidora meninggalkan Ocosingo yang bermandi api, setelah berjam-jam lamanya
berjuang menyelamatkan unitnya, sekitar 40 orang lelaki yang terluka. Dia juga
menyimpan pecahan-pecahan mortir di lengan dan kakinya. Saat Isidora tiba di
unit perawatan untuk menyerahkan mereka yang terluka, ia meminta sedikit air
dan bangkit berdiri lagi. “Mau ke mana kau?” tanya mereka sambil mencoba
mengobati luka-luka yang merobek-melukisi wajahnya serta memerahkan seragamnya.
“Menjemput yang lain,” jawab Isidora sambil mengokang lagi. Mereka mencoba
menghentikannya tapi tak mampu. Tamtama Isidora bersikukuh ia harus kembali ke
Ocosingo menyelamatkan compañeros lainnya dari nada-nada kematian yang
dialunkan oleh mortir dan granat. Mereka sampai harus memenjarakannya untuk
menghentikannya. “Paling tidak saat aku dihukum aku tidak turun pangkat,” kata
Isidora sembari menunggu dalam kamar yang baginya tampak seperti kurungan.
Berbulan-bulan kemudian, saat mereka menganugerahinya bintang jasa yang
menaikkannya jadi perwira infantri, Isidora, seorang Tzeltal dan Zapatista,
menatap bintang itu terlebih dahulu lalu menatap komandannya, dan bertanya
seakan-akan ia sedang dihina “Kenapa?”… Tapi ia tidak menunggu jawabannya…
AMALIA. Letnan satu di unit rumah sakit. Amalia punya gelak
tawa tercepat di seluruh wilayah Tenggara Meksiko. Saat ia menjumpai Kapten
Benito tergeletak tak sadar bergenang darah, ia menyeretnya ke tempat yang
lebih aman. Ia menggendongnya di punggung dan membawanya keluar dari lingkaran
kematian yang mengitari pasar. Tatkala seseorang mengusulkan untuk menyerah,
Amalia, taklid akan darah Chol yang mengalir di nadinya, naik pitam dan mulai
membantah. Tiap orang menyimak, sekalipun di atas mereka ledakan-ledakan begitu
bengis dan peluru-peluru berdesingan. Tak seorang pun menyerah…
ELENA. Letnan di unit rumah sakit. Saat bergabung dengan
EZLN ia buta huruf. Di sana ia belajar membaca, menulis, serta apa yang disebut
obat-obatan. Dari mengobati diare dan menyuntikkan vaksin, ia kini menangani
mereka yang terluka di rumah sakit kecil yang sekaligus jadi rumah, gudang, dan
farmasi. Dengan jerih payah ia mengeluarkan cuilan-cuilan mortir yang dibawa
orang-orang Zapatista di tubuh mereka. “Ada yang bisa aku buang, ada yang
tidak,” kata Elena, suku Chol pemberontak, seolah-olah ia sedang membicarakan
kenangan dan bukan potongan-potongan logam…
Di San Cristóbal, pagi hari 1 Januari
1994 itu, ia bercakap dengan si hidung putih besar: “Seseorang baru saja ke
mari bertanya-tanya tapi aku tak paham bahasanya, barangkali Inggris. Entah
fotografer atau bukan tapi ia bawa kamera.”
“Aku segera ke sana,” kata si hidung
besar sambil merapikan topeng skinya.
Ke dalam kendaraan dibawa pulalah
senjata-senjata yang direbut dari markas polisi dan ia meluncur menuju pusat
kota. Mereka mengeluarkan senjata-senjata itu dan membagikannya kepada
penduduk-penduduk adat yang berjaga di seputar istana kotapraja. Orang asing
itu turis yang bertanya apakah ia bisa meninggalkan kota. “Tidak,” jawab si
topeng ski yang kelebihan hidung itu, “lebih baik kau kembali ke hotelmu. Kami
tak tahu apa yang bakal terjadi.” Turis itu pergi setelah meminta izin merekam
dengan kamera videonya. Seraya pagi datang, datang pulalah orang-orang yang
ingin tahu, wartawan-wartawan dan pertanyaan-pertanyaan. Si hidung besar
menjawab dan menjelaskannya pada penduduk setempat, turis, dan wartawan. Mayor
ada di belakangnya. Si topeng ski menjawab dan bercanda. Perempuan bersenjata
itu mengawasi di baliknya.
Seorang wartawan, dari balik kamera
televisi bertanya: “Dan siapa Anda?” “Siapa aku,” jawab si topeng ski ragu-ragu
seakan sedang melawan kantuk setelah malam berkepanjangan. “Ya,” desak si
jurnalis, “siapakah Anda ini, ‘Komandan Macan’ atau “Komandan Singa’?” “Bukan,”
jawab si topeng ski sambil mengucek matanya yang kini penuh berisi kejemuan.
“Jadi, siapa nama Anda?” tanya si wartawan sambil menyorongkan kamera dan
mikrofonnya. Si topeng ski berhidung besar itu menjawab “Marcos. Subcomandante
Marcos”… Di atas kepala kapal-kapal Pontius Pilatus mulai berdengung…
Sejak itulah, kisah tertibnya aksi
militer dalam pendudukan San Cristóbal mulai meremang. Terhapuslah fakta bahwa
seorang perempuan, seorang perempuan dusun pemberontaklah yang mengkomandoi
seluruh operasi. Peran serta semua perempuan dalam aksi-aksi lain tanggal 1
Januari itu, serta sepanjang 10 tahun jalan berliku lahirnya EZLN, jadi
dinomorduakan. Wajah-wajah di balik topeng-topeng ski jadi makin anonim saat
semua cahaya mengarah ke Marcos. Sang Mayor diam saja, ia terus menjagai sisi
belakang si hidung besar yang namanya sekarang tersohor ke seluruh dunia. Tak
seorang pun bertanya siapa namanya…
Subuh 2 Januari 1994, masih perempuan
yang sama itu jugalah yang memimpin penarikan mundur dari San Cristóbal untuk
berbalik ke pegunungan. Ia kembali ke San Cristóbal 50 hari setelahnya sebagai
bagian dari rombongan pengawal yang menjaga keamanan delegasi CCRI-CG dari EZLN
dalam Dialog di Katedral. Beberapa jurnalis perempuan mewawancarainya dan
menanyakan namanya. “Ana Maria, Mayor Pemberontak Ana Maria,” jawabnya dengan
tatapan matanya yang gelap. Ia tinggalkan Katedral dan menghilang sepanjang
sisa tahun 1994 itu. Seperti compañera-compañera lainnya, ia mesti
menunggu, ia mesti diam…
Tiba bulan Desember 1994, 10 tahun sejak
ia menjadi tentara, Ana Maria menerima tugas menyiapkan penerobosan blokade
militer yang dipasang pemerintah di sekeliling rimba raya Lacandon. Subuh 19
Desember, EZLN mengambil posisi di 38 kotapraja. Ana Maria mengkomandoi aksi di
kotapraja-kotapraja Altos di Chiapas. Duabelas perwira perempuan bersamanya
dalam aksi itu: Monica, Isabela, Yuri, Patricia, Juana, Ofelia, Celina, Maria,
Gabriela, Alicia, Zenaida, dan Maria Luisa. Ana Maria sendiri menangani
kotapraja Bochil.
Setelah penyebaran pasukan Zapatista,
perwira-perwira tinggi tentara federal memerintahkan diam seribu bahasa atas
bobolnya blokade, dan media massa menuliskannya sebagai aksi “propagandis” EZLN
belaka. Harga diri kaum federal sangat terluka: Zapatista sanggup lolos dari
blokade dan yang lebih menghina lagi, seorang perempuanlah yang mengkomandoi
unit yang menduduki pelbagai wilayah kotapraja. Jelas hal ini tidak bisa
diterima dan sejumlah besar uang harus dikucurkan agar kejadian ini tertutupi
selamanya.
Karena aksi-aksi tak sengaja para compañeros
bersenjatanya, serta aksi-aksi sengaja pemerintah, peran Ana Maria dan kaum
perempuan Zaptista memudar dan jadi tak terlihat…
2. Hari Ini
Aku hampir rampung menuliskan ini saat
seseorang lainnya tiba…
Doña Juanita. Setelah wafatnya Pak Tua Antonio, doña
Juanita membiarkan ritme hidupnya melambat selambat saat ia menjerang kopi.
Meski kuat secara fisik, doña Juanita mengabarkan bahwa ia akan mati. “Jangan
konyol, nek,” kataku, segan menatap matanya. “Kau ini…,” jawabnya, “kalau untuk
hidup kita mesti mati, maka tak satupun bisa menghalangiku mati, apalagi bocah
kurang ajar sepertimu,” berkata dan mengumpatlah doña Juanita, istri Pak Tua
Antonio, seorang perempuan pemberontak seumur hidupnya, dan seperti terlihat,
seorang pemberontak bahkan dalam menjawab panggilan mautnya…
Dari simpang lain blokade terlihatlah…
Ia. Ia tak punya pangkat militer, seragam, ataupun
senjata. Ia seorang Zapatista meski hanya ia seorang yang tahu. Ia tak punya
wajah ataupun nama, seperti layaknya Zapatista. Ia berjuang demi demokrasi,
kebebasan, dan keadilan, sama seperti Zapatista. Ia bagian dari apa yang
dinamakan EZLN “masyarakat sipil”. Ia orang tanpa partai, orang yang tak jadi
milik “masyarakat politik” yang tersusun atas aturan-aturan dan
pimpinan-pimpinan partai politik. Ia sebagian dari kerumitan itu, tapi bagian
sesungguhnya dari suatu masyarakat yang, hari demi hari, mengucapkan sendiri
“Sudah, cukup!”
Pertama ia kaget mendengar ucapannya
sendiri, tapi kemudian, berazaskan kekuatan yang timbul dari
mengulang-ulangnya, dan terlebih-lebih, menghidupinya, ia tak lagi gentar akan
mereka, tak lagi gentar akan dirinya sendiri. Ia kini seorang Zapatista. Ia
telah menggabungkan nasibnya dengan nasib orang-orang Zapatista dalam igauan
baru yang begitu menakutkan partai-partai politik dan kaum intelektual Kekuasaan:
Tentara Pembebasan Nasional Zapatista. Ia telah berjuang melawan tiap orang,
melawan suaminya, kekasihnya, pacarnya, anak-anaknya, temannya, saudara
lelakinya, ayahnya, kakeknya. “Kau sinting,” begitulah penilaian yang lazim. Ia
tinggalkan banyak hal di belakangnya. Apa yang ia tinggalkan jauh lebih besar
ketimbang apa yang ditinggalkan para pemberontak lain yang memang sudah tak
punya apa-apa untuk dipertaruhkan. Segala sesuatunya, dunianya, menghendaki ia
melupakan “orang-orang Zapatista gila itu”, dan kompromi memintanya duduk dalam
ketidakacuhan nyaman yang hidup dan kuatir hanya tentang dirinya sendiri. Ia
tinggalkan semuanya. Ia tak mengucapkan apa-apa. Suatu pagi buta ia
meruncingkan sisi tumpul harapannya dan mulai berusaha menyamai 1 Januari milik
saudari-saudari Zapatistanya berulang-ulang dalam satu hari, setidaknya 364
kali dalam setahun, yang tak ada hubungannya dengan sebuah tanggal satu Januari
saja.
Ia tersenyum karena ia pernah mengagumi
Zapatista dan kini tidak lagi. Ia mengakhiri kekagumannya saat ia tahu bahwa
mereka hanyalah pantulan pemberontakannya sendiri, harapannya sendiri.
Ia menemukan dirinya terlahir tanggal 1
Januari 1994. Sejak itulah ia merasa hidupnya, yang selalu dikatakan sebagai
mimpi dan utopi, ternyata bisa diwujudkan.
Ia mulai merajut dalam diam dan tanpa
bayaran, berdampingan dengan lelaki dan perempuan lainnya, impian ruwet yang
oleh beberapa orang disebut harapan: segala sesuatu untuk semua orang, tak ada
yang untuk diri kami sendiri.
Ia bertemu tanggal 8 Maret dengan wajah
yang terhapus dan nama yang sembunyi. Dengannya datang pula ribuan perempuan.
Banyak dan kian banyak. Lusinan, ratusan, ribuan, dan jutaan perempuan seluruh
dunia yang ingat ada banyak soal yang harus digarap dan masih banyak lagi yang
harus diperjuangkan. Tampaknya apa yang disebut ‘martabat’ itu bisa menular dan
kaum perempuanlah yang rentan terjangkiti penyakit meresahkan ini…
Tanggal 8 Maret adalah saat yang tepat
untuk mengenang dan memberikan tempat yang semestinya bagi orang-orang
Zapatista pemberontak itu, bagi kaum Zapatista, bagi para perempuan bersenjata
maupun tak bersenjata. Bagi para pembangkang dan para perempuan Meksiko yang
gelisah ditekuk-tekuk sebagai bawahan. Sejarah, tanpa mereka, tak lebih dari
sekadar fabel yang dikarang secara buruk…
2. Hari Esok
Bila ada hari esok, maka ia akan disusun
bersama kaum perempuan, dan terlebih lagi, oleh kaum perempuan…
Dari pegunungan Meksiko Tenggara
Subcomandante Insurgente Marcos
Meksiko, Maret 1996
Minggu, 06 November 2016
Karya-karya Fiksi tentang Pablo Neruda
Dengan
mulai diputarnya di festival-festival internasional film Neruda (2016), karya anyar sutradara
Cile Pablo Larrain yang berkisah tentang Inspektur Polisi Óscar
Peluchonnea (diperankan oleh Gael García Bernal) yang ditugaskan memburu penyair
komunis Pablo Neruda, saya mencoba mengingat-ingat lagi karya-karya fiksi apa
sajakah yang pernah dibuat tentang penyair besar satu ini.
Yang
paling populer di Indonesia tentu saja adalah novel Ardiente paciencia karya Antonio Skármeta, yang bercerita tentang
tukang pos pengantar surat Neruda yang berusaha belajar berpuisi dari sang
maestro. Novel ini diadaptasi menjadi film berbahasa Italia yang sangat
terkenal oleh sutradara Inggris Michael Radford berjudul Il Postino (1994). Terjemahan Indonesia novel Skármeta itu
diterbitkan oleh penerbit Akubaca lebih dari satu dekade lalu dengan memakai
judul versi filmnya.
Melihat
ulasan-ulasan positif para kritikus beberapa hari belakangan yang menyanjung Neruda sebagai film yang melabrak
batas-batas genre biopic, sepertinya Neruda-nya
Larrain bakal melebihi kepopuleran Il
Postino. Sebagai catatan, perlu disebut di sini bahwa pada 2014 lalu telah
ada film berjudul Neruda karya
sutradara Cile Manuel Basoalto yang juga merupakan biopic sang penyair, tetapi
film ini jeblok secara kualitas maupun komersial. Selain itu, pada 2017
mendatang dokumenter Pablo Neruda: The People’s Poet semoga juga sudah dirilis sesuai jadwalnya. Dokumenter ini
disutradarai dan diproduksi oleh Mark Eisner, salah satu penerjemah, penulis
biografi, dan pakar Neruda paling terkemuka di dunia.
Neruda
juga menjadi tokoh sentral novel detektif karya Roberto Ampuero berjudul El caso Neruda (2008), yang terjemahan
Inggrisnya terbit sebagai The Neruda Case
(2012). Berlatar era 1970an yang penuh gejolak politik di Cile, novel ini
adalah novel keenam Ampuero dalam serial detektif Cayetano Brulé, meski
mengisahkan kasus paling pertama yang ditanganinya: Neruda menugaskan si
detektif mencari dokter Kuba yang pernah ditemui penyair itu pada tahun 1940an.
Untuk menggambarkan sosok Neruda, Ampuero –yang selain novelis juga menjabat
duta besar Cile untuk Meksiko—menggali ingatan masa kecilnya sendiri yang pada
1960an memang tinggal bertetangga dengan Neruda. Ia ingat misalnya saat
sedang berjalan-jalan di hari Minggu bersama ayahnya, mereka lihat Neruda di
bangku belakang mobil yang disopiri oleh seorang perempuan, sementara di bangku
depan ada seorang lelaki lain mengenakan kacamata berbingkai hitam tebal. “Jangan
pernah lupakan bapak-bapak itu, nak,” pesan ayahnya. “Yang satu, suatu hari
nanti akan menerima Hadiah Nobel, dan yang satunya akan menjadi Presiden Cile.”
Lelaki di bangku depan itu memang adalah Salvador Allende.
Lalu
ada buku anak-anak/remaja karangan penulis Hispanik AS Pam Muñoz Ryan berjudul The Dreamer (2010). Buku yang sangat
imajinatif ini berkisah tentang Neruda kecil (Neftali Reyes) yang terpukau pada
kata-kata dan bunyi-bunyian dari dunia sekitarnya: tetes hujan, kapak ayahnya
menghantami batang pohon, sepatu botnya menginjak lumpur dll. Masih untuk buku
anak-anak, Neruda juga dikenalkan sejak dini bagi para pembaca bahasa Spanyol
dan Inggris lewat dua buku ini: Conoce a Pablo Neruda (2012)
karya Georgina Lázaro León dengan ilustrasi Valeria Cis, dan Pablo Neruda: Poet of
the People (2011)
karya Monica Brown dengan
ilustrasi Julie Paschkis.
Apa
sih sesungguhnya yang bikin Neruda sepopuler itu sebagai penyair? Di antara
analisa-analisa serius tentang kualitas puisinya, novelis eksil Cile Ariel
Dorfman punya jawaban paling asyik: “Satu alasan mengapa Neruda selalu populer
di kalangan anak muda adalah karena ia doyan sekali seks. Di tiap generasi,
para lelaki, termasuk aku, pernah mengutip Neruda buat menggaet cewek.” Ya,
seperti si tukang pos di novel Skármeta, atau perhatikan bagaimana puisi “Soneta XVII” Neruda dibacakan di film Patch Adams (1998) oleh Robin Williams untuk kepentingan yang sama: merayu
perempuan.
Nah
untuk soal satu ini, ada sisi gelap kehidupan Neruda yang mungkin jarang
diketahui orang. Ketika ditugaskan sebagai diplomat di Batavia, Neruda menikahi
seorang perempuan Belanda kelahiran Jawa, María Antonieta Hagenaar, dan punya
seorang putri bernama Malva Marina. Malva menderita hidrosefalus (pembesaran
kepala), dan Neruda menelantarkan anak dan istrinya begitu saja, sampai Malva
meninggal di Belanda pada usia 9 tahun. Neruda tak pernah menyebut-nyebut sama
sekali anak istrinya ini dalam semua karyanya termasuk memoarnya.
Dua
penulis Belanda telah mengarang novel tentang kasus ini. Pauline Slot menulis En het vergeten zo lang / Dan Lupa Itu Lama (2010), yang pernah
diterjemahkan sedikit oleh Joss Wibisono di tautan ini, sementara Hagar Peeters menulis novel Malva (2015) yang
banyak dipuji kritikus sebagai karya yang cemerlang. Secara khusus, sutradara
teater perempuan Cile Flavia Radrigán juga pernah mementaskan karyanya yang mengecam
keras kelakuan Neruda ini berjudul Un ser
perfectamente ridículo / Seseorang yang Sempurna Konyolnya (2004). Bila
ingin mengetahui lebih lanjut tentang anak Neruda yang tak diakuinya ini, ada
satu buku non-fiksi yang bisa dibaca berjudul El enigma de Malva Marina: la hija de Pablo Neruda (2013) karya Bernardo
Reyes, keponakan Neruda sendiri.
Rabu, 10 Agustus 2016
Sampah dan Orang Sisa-sisa
Pengantar kuratorial sesi
Amerika Latin oleh Ronny Agustinus, dalam ARKIPEL Jakarta International
Documentary Film Festival 2016.
Wacana antroposen menjadi semakin populer
dalam ilmu-ilmu sosial dan ekologi belakangan ini. Meski titik waktu resminya
sebagai sebuah kala geologi masih perlu dipastikan, tak terbantahkan bahwa kita
memang hidup di era antroposen, ketika ulah manusia—dan bukan alam—yang paling
berperan dalam mengubah iklim serta paras bumi. Dan sepanjang sekitar 200 tahun
terakhir, wujud antroposen tak syak lagi adalah masyarakat kapitalis industri. Dengan
segenap pola produksi dan konsumsinya, kapitalisme industri di mana-mana akan
berujung pada residu pamungkasnya: sampah—residu akhir yang justru membuat
wacana antroposen menjadi mendesak untuk dibicarakan pada awalnya. Dan itulah
yang akan menjadi tema kurasi program Amerika Latin dalam ARKIPEL social/kapital 2016 ini: sampah sebagai
akhir dan juga awal pergulatan social/kapital, sampah dalam arti
fisikal maupun sosial, dan bagaimana keduanya bertalian erat.
Sampah adalah persoalan besar kota-kota
Amerika Latin, dan bukan kebetulan bila sebagian filem pertama yang mengawali gebrakan
Sinema Baru Amerika Latin pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an mengangkat persoalan
sampah. Sebagai bagian dari usaha untuk menunjukkan realitas Amerika Latin apa
adanya (dalam kerangka besar gerakan-gerakan pembebasan), lahirlah dokumenter-dokumenter
macam Cantegriles (1958) dan Tire dié (1958/1960). Filem 8 menit Cantegriles karya Alberto Miller
(Uruguay) tedeng aling-aling menyandingkan gambaran wilayah perumahan mewah
Cantegril Country Club di Punta del Este, Uruguay, dengan wilayah kumuh di
seputar tempat pembuangan sampah (yang oleh kalangan kaya dengan olok-olok
disebut “cantegriles”-nya kaum
miskin). Sementara Tire dié direkam
di Santa Fe, Argentina, oleh sutradara Fernando Birri beserta para mahasiswanya
dari Sekolah Dokumenter Santa Fe selama tiga tahun—proyek yang mereka namai
“filem survei” dengan versi akhir sepanjang 33 menit.[1]
Cantegriles menunjukkan kontras
antara wilayah kumuh dan kaya di Punta del Este, sementara Tire dié menyeimbangkan antara kepedulian pada subjek-subjek di
lokasi dengan sistem ekonomi-politik (social/kapital)
yang melatarinya, yang paling gamblang tampak dalam caranya mengambil bidikan longshot dari atas untuk mendudukkan
Tire dié di tengah Santa Fe seutuhnya. Kedua filem ini menjadi pelopor bahkan
panutan filem-filem dokumenter sosial sejenis di kemudian hari, seperti Boca
do lixo (1993) besutan Eduardo Coutinho dari Brasil.
Penyikapan atas sampah dengan demikian
membutuhkan pandangan yang lebih dari sekadar pandangan teknik-teknokratik
bagaimana meminimalisir sampah industri dan konsumsi. Penyikapan atas sampah
membutuhkan penyikapan pula atas orang-orang dan kemiskinan di seputarnya.[2]
Dua filem dokumenter memasukkan intervensi seni sebagai unsur pokok
pendekatannya. Landfill Harmonic (2015)
—yang ditayangkan di sini—mengisahkan bagaimana masyarakat pemulung di wilayah
pembuangan sampah Cateura, Paraguay, dengan bantuan seorang konduktor orkestra,
membuat alat-alat musik dari sampah yang ada, mengenal musik, lalu
termanusiakan lahir-batin. Perlu dicatat bahwa tema serupa pernah digarap dalam
filem Waste Land (2010) yang
mengisahkan bagaimana masyarakat pemulung di wilayah pembuangan sampah terbesar
sedunia[3]
Jardim Gramacho, Rio de Janiro, Brasil, dengan bantuan seorang perupa dan
fotografer, membuat karya-karya rupa dari sampah yang ada, mengenal seni, lalu
termanusiakan lahir-batin. Tentu saja filem-filem jenis ini disanjung dan
populer di “Dunia Pertama” karena meredakan gundah gulana hati pemirsa Barat yang
mungkin sudah mbentoyong gara-gara terlalu berat memikul
white man’s burden. Mereka melihat
bagaimana akhirnya peradaban Barat (musik klasik Barat, kanon seni rupa Barat) bisa
membawa kebaikan bagi kumpulan orang
terpinggirkan ini. Saya tak meragukan manfaat pendekatan intervensi seni macam
ini, meski premis untuk menjadikannya solusi yang berdampak panjang secara
ekonomi-politis tetap saja kelewat utopis.
Di ujung yang lain, saya memilih
dokumenter pendek 12 menit Ilha das
Flores (1989) karya Jorge Furtado dari Brasil. Dengan montase kreatif atas
materi-materi foto dan footage, buat
saya inilah filem paling jitu dan menohok dalam membahas sampah sebagai residu
sisa-sisa sistem produksi dan konsumsi kapitalisme global, serta “orang
sisa-sisa” yang harus ada sebagai bagian inheren dari sistem. Furtado tak
menyajikan impian-impian indah bahwa ada jalan keluar yang manis dari ini.
Menyandingkan keduanya saya harap
memberikan perenungan dan kontras tersendiri untuk program Amerika Latin tahun
ini. Maka bila paragraf terakhir pengantar tematik ARKIPEL 2016 menyebut
tentang bagaimana social/kapital
telah melebur status warga “dalam sebuah dunia baru (global) tanpa—atau hanya
dengan samar-samar—ingatan-ingatan akan negara,” maka dua filem di atas hendak
menyajikan gambaran tersebut dalam dua kutub ekstremnya: komunitas yang “makan”
dari sampah dan komunitas yang secara harafiah memakan sampah, yang keduanya
terjalin rapat dengan cara kapitalisme global bekerja yang membuat di layar
maupun di luar layar negara tampak tidak hadir, samar-samar sekalipun.
[1] Kawasan pembuangan sampah Tire
diré mendapat namanya dari seruan “Tire diez!” (“Beri aku sepuluh sen”) yang
diteriakkan anak-anak manakala ada kereta lewat, seperti kawan-kawan sekampung
saya dulu di Jawa Timur berteriak-teriak “Minta uang” bila ada pesawat terbang
lewat.
[2] Perlu dicatat di sini dokumenter Cartoneros (2006) karya Ernesto Livon-Grosman yang membahas sampah
kertas dan daur-ulangnya tanpa menampilkan gambaran klise para pemulung kumuh
yang tinggal di sekitar gunungan sampah. Konteks filem ini adalah Buenos Aires
awal 2000-an, ketika krisis ekonomi dan dampak korupsi sistemik membangkrutkan
negara dan membuat kelas menengah terpaksa bertahan hidup dengan menjadi pemulung kertas, karton, dan
dus (“cartoneros”).
[3] Carlos Fuentes dalam novelnya La
Silla del Águila (2003) menyebut Mexico City sebagai “el basurero
más grande del mundo” (“tempat pembuangan sampah terbesar di dunia”).
Secara faktual ia keliru.
Langganan:
Postingan (Atom)