Dengan
mulai diputarnya di festival-festival internasional film Neruda (2016), karya anyar sutradara
Cile Pablo Larrain yang berkisah tentang Inspektur Polisi Óscar
Peluchonnea (diperankan oleh Gael García Bernal) yang ditugaskan memburu penyair
komunis Pablo Neruda, saya mencoba mengingat-ingat lagi karya-karya fiksi apa
sajakah yang pernah dibuat tentang penyair besar satu ini.
Yang
paling populer di Indonesia tentu saja adalah novel Ardiente paciencia karya Antonio Skármeta, yang bercerita tentang
tukang pos pengantar surat Neruda yang berusaha belajar berpuisi dari sang
maestro. Novel ini diadaptasi menjadi film berbahasa Italia yang sangat
terkenal oleh sutradara Inggris Michael Radford berjudul Il Postino (1994). Terjemahan Indonesia novel Skármeta itu
diterbitkan oleh penerbit Akubaca lebih dari satu dekade lalu dengan memakai
judul versi filmnya.
Melihat
ulasan-ulasan positif para kritikus beberapa hari belakangan yang menyanjung Neruda sebagai film yang melabrak
batas-batas genre biopic, sepertinya Neruda-nya
Larrain bakal melebihi kepopuleran Il
Postino. Sebagai catatan, perlu disebut di sini bahwa pada 2014 lalu telah
ada film berjudul Neruda karya
sutradara Cile Manuel Basoalto yang juga merupakan biopic sang penyair, tetapi
film ini jeblok secara kualitas maupun komersial. Selain itu, pada 2017
mendatang dokumenter Pablo Neruda: The People’s Poet semoga juga sudah dirilis sesuai jadwalnya. Dokumenter ini
disutradarai dan diproduksi oleh Mark Eisner, salah satu penerjemah, penulis
biografi, dan pakar Neruda paling terkemuka di dunia.
Neruda
juga menjadi tokoh sentral novel detektif karya Roberto Ampuero berjudul El caso Neruda (2008), yang terjemahan
Inggrisnya terbit sebagai The Neruda Case
(2012). Berlatar era 1970an yang penuh gejolak politik di Cile, novel ini
adalah novel keenam Ampuero dalam serial detektif Cayetano Brulé, meski
mengisahkan kasus paling pertama yang ditanganinya: Neruda menugaskan si
detektif mencari dokter Kuba yang pernah ditemui penyair itu pada tahun 1940an.
Untuk menggambarkan sosok Neruda, Ampuero –yang selain novelis juga menjabat
duta besar Cile untuk Meksiko—menggali ingatan masa kecilnya sendiri yang pada
1960an memang tinggal bertetangga dengan Neruda. Ia ingat misalnya saat
sedang berjalan-jalan di hari Minggu bersama ayahnya, mereka lihat Neruda di
bangku belakang mobil yang disopiri oleh seorang perempuan, sementara di bangku
depan ada seorang lelaki lain mengenakan kacamata berbingkai hitam tebal. “Jangan
pernah lupakan bapak-bapak itu, nak,” pesan ayahnya. “Yang satu, suatu hari
nanti akan menerima Hadiah Nobel, dan yang satunya akan menjadi Presiden Cile.”
Lelaki di bangku depan itu memang adalah Salvador Allende.
Lalu
ada buku anak-anak/remaja karangan penulis Hispanik AS Pam Muñoz Ryan berjudul The Dreamer (2010). Buku yang sangat
imajinatif ini berkisah tentang Neruda kecil (Neftali Reyes) yang terpukau pada
kata-kata dan bunyi-bunyian dari dunia sekitarnya: tetes hujan, kapak ayahnya
menghantami batang pohon, sepatu botnya menginjak lumpur dll. Masih untuk buku
anak-anak, Neruda juga dikenalkan sejak dini bagi para pembaca bahasa Spanyol
dan Inggris lewat dua buku ini: Conoce a Pablo Neruda (2012)
karya Georgina Lázaro León dengan ilustrasi Valeria Cis, dan Pablo Neruda: Poet of
the People (2011)
karya Monica Brown dengan
ilustrasi Julie Paschkis.
Apa
sih sesungguhnya yang bikin Neruda sepopuler itu sebagai penyair? Di antara
analisa-analisa serius tentang kualitas puisinya, novelis eksil Cile Ariel
Dorfman punya jawaban paling asyik: “Satu alasan mengapa Neruda selalu populer
di kalangan anak muda adalah karena ia doyan sekali seks. Di tiap generasi,
para lelaki, termasuk aku, pernah mengutip Neruda buat menggaet cewek.” Ya,
seperti si tukang pos di novel Skármeta, atau perhatikan bagaimana puisi “Soneta XVII” Neruda dibacakan di film Patch Adams (1998) oleh Robin Williams untuk kepentingan yang sama: merayu
perempuan.
Nah
untuk soal satu ini, ada sisi gelap kehidupan Neruda yang mungkin jarang
diketahui orang. Ketika ditugaskan sebagai diplomat di Batavia, Neruda menikahi
seorang perempuan Belanda kelahiran Jawa, María Antonieta Hagenaar, dan punya
seorang putri bernama Malva Marina. Malva menderita hidrosefalus (pembesaran
kepala), dan Neruda menelantarkan anak dan istrinya begitu saja, sampai Malva
meninggal di Belanda pada usia 9 tahun. Neruda tak pernah menyebut-nyebut sama
sekali anak istrinya ini dalam semua karyanya termasuk memoarnya.
Dua
penulis Belanda telah mengarang novel tentang kasus ini. Pauline Slot menulis En het vergeten zo lang / Dan Lupa Itu Lama (2010), yang pernah
diterjemahkan sedikit oleh Joss Wibisono di tautan ini, sementara Hagar Peeters menulis novel Malva (2015) yang
banyak dipuji kritikus sebagai karya yang cemerlang. Secara khusus, sutradara
teater perempuan Cile Flavia Radrigán juga pernah mementaskan karyanya yang mengecam
keras kelakuan Neruda ini berjudul Un ser
perfectamente ridículo / Seseorang yang Sempurna Konyolnya (2004). Bila
ingin mengetahui lebih lanjut tentang anak Neruda yang tak diakuinya ini, ada
satu buku non-fiksi yang bisa dibaca berjudul El enigma de Malva Marina: la hija de Pablo Neruda (2013) karya Bernardo
Reyes, keponakan Neruda sendiri.